The Death Do Us – Bagian Dua
*Content Warning : Blood
Setelah sempat merasakan kegelapan mendominasi dunianya, saat dimana dia merasa sudah ditarik ke alam yang berbeda, Ageeta kembali tersadar kala bayangan Haikal dan kalimatnya melintas bak cahaya putih di benaknya.
Haikal pernah bilang kalau manusia hidup dengan sangat singkat dan tak terduga. Hari ini mungkin seseorang bisa merasa dirinya tak terkalahkan, bahkan bisa menggenggam dunia dengan sejumput jari, tapi di hari berikutnya bisa saja dia jadi yang paling mengenaskan. Waktu Haikal bilang begitu, Ageeta hanya berdeham sebagai respon sebab dia berpikir adiknya itu bicara omong kosong.
Nih anak abis nonton serial anime mana lagi nih, pikirnya.
Tapi sekarang, waktu Ageeta pertama kali menyadari kalau dirinya sudah tergeletak di aspal dengan beberapa bagian tubuh bercucuran darah, Ageeta tahu kalau ucapan Haikal sepenuhnya benar. Dia merasa hidupnya baik-baik saja kemarin, meski dengan masalah percintaan yang cukup rumit, tapi hari ini semua hal berputar ke arah berlawanan.
Kalau Ageeta punya kesempatan untuk memohon pada Tuhan lebih banyak, dia akan berlutut menyampaikan satu hal. Bahwa kalau pun nyawanya harus terlepas dari tubuh sesegera mungkin, Ageeta ingin diberi satu hari khusus.
Dia mau bertemu Haikal, memeluk adiknya itu dengan erat dan menepuk kepalanya. Setidaknya memberi tahu remaja itu bagaimana cara mengoperasikan rice cooker dan microwave dengan benar agar tidak perlu kesulitan saat dirinya pergi.
Dia mau bertemu Jevian, untuk sekedar meminta maaf karena pernah mengempeskan ban mobil lelaki itu sebab sudah mengenalkan Tama pada benda bernama rokok.
Dia mau bertemu Yudhis, sebab Ageeta baru sadar kalau dia tidak pernah benar-benar berterima kasih pada lelaki itu karena sudah membuatnya bertemu dengan sosok Tama, serta karena sudah menjadi tempat terbaik baginya untuk berkeluh kesah.
Ageeta juga ingin setidaknya sekali lagi melihat Tama. Tidak ingin mengucapkan sepatah kata pun, sebab dia takut. Takut kalau dirinya menyesali keputusan yang dia ambil untuk berpisah dengan sosok itu. Takut kalau dia tidak bisa meninggalkan lelaki itu dengan sepenuh hati. Amat takut, sampai rasanya kata apa pun yang mungkin terucap tidak akan bisa menggambarkan yang dia rasakan terhadap sosok Tama.
Terakhir, Ageeta ingin setidaknya sekali melihat Kinara. Untuk sekedar melihat gadis pendiam itu tersenyum, sekali saja. Karena selama bertahun-tahun mengenal Rara, Ageeta tidak pernah benar-benar melihat Rara menarik kedua ujung bibirnya dengan cara yang benar, tidak dengan kebahagiaan yang terpancar.
Sayangnya, hal terakhir yang dia sebutkan sepertinya mustahil. Yang Ageeta lihat di hadapannya adalah mobil Audi hitam milik Rara sudah dalam keadaan hancur di bagian depan, dan Kinara sendiri masih terjepit di belakang kemudi.
Kinara, tadi sempat mendorong Ageeta keluar dengan cara menendang pintu mobil di sampingnya, membuat Ageeta tidak sempat merasakan benturan lebih lanjut sebab sudah terlempat keluar. Sedangkan Rara dan mobilnya, masih berlanjut menabrak pembatas jalan hingga melewati setidaknya lima beton.
“Gue mati ya ini?”
Kemudian, suara denging keras menguasai rungunya.
Rasanya sakit luar biasa.
Kemudian, di ujung rasa sakit yang dia yakin bisa membuat kulit kepalanya terlepas itu, dalam samar suara-suara panik milik orang-orang mulai mengerumuni. Ada yang berteriak meminta pertolongan. Juga ada bunyi tangkapan kamera yang mungkin menyorotnya. Tapi yang menarik perhatiannya adalah sebuah suara yang terasa familiar, suara itu memanggil namanya dalam getar dan terdengar amat panik.
“Ageeta!“
Ah, suara milik Yudhis. Rasanya Ageeta ingin tersenyum saking leganya.
Dia mungkin akan hidup.
Lalu, suara lain merasuki telinganya dan kali ini membuatnya malah ingin menangis.
“Gee, sayang. Bangun, aku mohon.“
Itu suara Tama.
Disusul dengan suara yang dia yakin milik Johnny, yang meraung memanggil nama Kinara.
Kemudian, semua hal kembali gelap.