Them

“Kak Anin mau laporannya sekarang atau mau saya bikinin kopi dulu?”

Itu suara Raihan, Anin sudah hafal suara itu di luar kepala sebab sudah bertahun-tahun mengenal lelaki yang merupakan salah satu juniornya itu. Anin tersenyum simpul, posisi tubuhnya yang pada awalnya tengah ia dudukkan di sofa putih di ruangan itu langsung ia tegakkan, menyambut Raihan yang berjalan ke arahnya.

“Sekarang aja, saya cuma mau liat sesuatu.”

Raihan mengangguk, kemudian mengambil sebuah map berisi kertas laporan hasil pemeriksaan Karin, tanda tangannya terbubuh di bagian paling bawah, menunjukkan dengan jelas kalau dirinya menjadi dokter yang bertanggungjawab dalam menangani Karinina tadi sore.

Anindia memeriksa satu persatu tulisan berupa angka dan beberapa keterangan itu, memastikan tak ada yang terlewati oleh tajam matanya. Dia ingin memastikan sesuatu, walaupun sebetulnya sudah dapat menyimpulkan satu hal sejak Hema memberitahunya perihal keadaan Karin, Anin tetap harus melakukan hal yang menurutnya benar.

“Waktu dateng ke rumah sakit, dia dalam keadaan pingsan atau gimana?” tanya Anin dengan mata yang masih mengawasi deretan keterangan di kertas. Raihan tampak mengingat sejenak, sebelum menjawab dengan nada tenang.

“Untuk ukuran kecelakaan dengan kerusakan separah itu, harusnya dia pingsan. Well, bukan berarti persentase pasien tetap sadar setelah mengalami kecelakaan berjumlah nihil, tapi kalau saya dengar dari keterangan polisi dan warga, mobilnya hancur di bagian depan.”

Raihan menarik napas panjang sebelum melanjutkan, “Yang artinya, benturan dan tabrakan paling banyak terjadi di area kemudi dan kemungkinan besar pasien akan langsung kehilangan kesadaran.”

Anindia diam sejenak, matanya menelusuri kertas dengan kening berkerut dalam.

“Sederhananya, saya heran gimana bisa dia cuma tutup mata, tapi dengan napas yang kelewat teratur bahkan sempat garuk-garuk telinga.”

Anin tertegun, penjelasan itu membuatnya mengosongkan pikiran. Walau sebetulnya dia yakin tidak akan terlalu kaget dengan pemaparan itu, tapi fakta kalau Karin hanya pura-pura pingsan tetap tidak dapat dicerna oleh akalnya. Tangan kanannya bergerak memijat pelipis, rasa pening tiba-tiba menyerang. Lalu bayangan mengenai Jeandra yang tengah kalut melintasi kepalanya, menghantam kesadarannya soal betapa khawatir lelaki itu ketika mendengar kabar kalau Karin mengalami kecelakaan.

Bagaimana kalau dia tau khawatirnya cuma berujung sia-sia?

Pada akhirnya, Anin segera mengucap pamit pada Raihan. Lelaki itu mengantarnya sampai ke depan pintu. Raut wajahnya memperlihatkan khawatir sejak Anin berubah lebih diam, namun Anin mencoba meyakinkan dengan mengangkat kedua sudut bibir ke atas dan menepuk bahu lelaki itu pelan.

Kepalanya kembali memutar ingatan soal cengkeraman kuat yang Jeandra berikan pada kemudi, juga umpatan yang melayang sebab dia ingin segera sampai ke rumah sakit demi melihat keadaan Karin. Kepalanya memutar semua ingatan itu bak kaset rusak, dengan payah mengulang-ulang adegan yang sama sampai membuat kepalanya semakin pening.

Kemudian saat kakinya ia bawa menuju pintu masuk ruangan ICU tempat Karin berada, tangannya secara perlahan membuka pintu dengan menempelkan kartu tanda pengenal miliknya di sistem keamanan yang terpasang, sebelum kemudian masuk dan kembali menutup pintu dengan pelan.

Napasnya tertahan tanpa aba-aba.

Di sana, Karinina tengah berbaring dengan satu kaki terangkat dan ditopang di atas lutut. Suara tawanya terdengar ke seluruh penjuru. Tangannya memainkan ujung selimut dengan gerakan kecil, sedangkan satu lagi menggenggam ponsel yang tengah memutar sesuatu.

“Kamu keliatan terlalu sehat untuk ukuran orang yang abis kecelakaan sampai bagian depan mobil hancur lebur,” ucap Anin ketika tubuhnya sudah sepenuhnya memasuki ruangan. Karin tampak terkesiap namun gadis itu berusaha mengendalikan air mukanya setenang mungkin.

“Kak Anin ngapain ke sini? Dokter yang tadi mana?”

Anin berjalan mendekat.

“Saya kepala Unit Gawat Darurat, anggap aja ini kunjungan dari saya buat pasien.”

Karin mengetatkan rahang, terlihat kentara menahan rasa kesal karena ucapan Anindia padanya barusan. Sedangkan Anin menyibukkan diri dengan selang oksigen yang dibiarkan terlepas oleh Karin. Bibirnya belum melanjutkan kalimat satupun, namun tangannya tetap bergerak memutar tuas di bagian atas tabung oksigen, menghentikan tekanan angin sejuk yang awalnya terus menerus keluar dari selang itu. Anin kemudian menggantung selang oksigen itu ke sebuah kait khusus yang tertempel di dinding, sebelum memindahkan perhatiannya pada sosok Karinina yang tengah menatapnya tajam.

“Kalau sampai Jean tau soal ini, gue juga ngga akan segan muncul di depan Ibun.”

Anin menghentikan seluruh gerak tubuhnya, ancaman itu menarik perhatiannya. Anin memiringkan kepalanya, matanya menelusuri perban yang melingkari kepala Karin. Berlebihan, sebab tadi Raihan bercerita kalau Karin memintanya untuk membalut kepala gadis itu dengan perban melingkar penuh, padahal lukanya tidak terlalu besar sampai harus diberi treatment semacam itu.

Karin kembali membuka suara, “Gue ngga pernah main-main sama ucapan gue. Kalau sampai Jean tau soal ini, gue bakal muncul di depan Ibun dan bilang semuanya soal hubungan gue dan Jean.”

Anin berdeham singkat, berusaha membersihkan tenggorokannya dari rasa tidak nyaman yang sejak tadi menguasainya. Anin berpikir sejenak mengenai ancaman yang dia dapat dari Karinina. Benaknya berkecamuk dan memikirkan banyak kemungkinan jika saja ancaman Karin benar-benar terjadi.

Lalu detik berikutnya, Anin tersenyum. Senyumnya kelewat tenang sampai Karinina sendiri kehilangan sedikit keberaniannya untuk melanjutkan kecaman. Senyum itu tidak menunjukkan satupun watak keras, tapi entah mengapa Karin langsung terdiam dibuatnya.

“Tanpa saya kasih tau Jean soal kamu yang pura-pura kecelakaan ini pun, kalau kamu mau muncul di depan Ibun sekarang juga, saya bisa bantu telpon Ibun,” ucapnya tenang.

“Jangan main-main, Kak Anin. Kakak tau sendiri pernikahan kalian ngga akan aman kalau gue muncul di depan Ibun.”

Anin kali ini terkekeh pelan, tangannya kemudian bergerak menuju sambungan infus di pergelangan tangan Karin yang tidak terpasang dengan benar. Gerakannya lembut, sama sekali tidak bermaksud menyakiti kulit gadis itu. Bahkan Anindia secara refleks mengelus tempat dimana jarum infus itu tertancap, berusaha menyalurkan rasa nyaman pada Karin seperti yang biasa dia lakukan pada semua pasiennya.

Sampai akhirnya Karin menarik paksa pergelangan tangannya, dan Anin tersentak sadar akan yang dia lakukan. Anin menghela napas sejenak, kepalanya terasa semakin pening. Kakinya ia mundurkan, hingga bisa melihat setitik darah muncul tembus pandang dari selang infus yang transparan.

“Jangan banyak gerak, nanti tangan kamu malah bengkak,” ucapnya pada Karin meskipun tidak mendapat respon yang berarti.

“Keluar.”

Titah itu dia dapat dari gadis di hadapannya, kesannya mutlak tanpa bisa dibantah. Anin lalu memilih untuk menyerah dan melangkah mundur, berniat meninggalkan ruangan besar tempat Karin dirawat. Namun sebelum tubuhnya mencapai pintu keluar, Anin membalikkan badan dan mengatakan sesuatu sebagai penutup akhir kehadirannya.

“Karin, kamu harus tau sesuatu. Faktanya, kalaupun kamu muncul di hadapan Ibun, ngga akan merubah kenyataan kalau saya tetap istrinya Jeandra. Jangan nyusahin diri kamu sendiri, mau gimanapun usaha kamu, Ibun bakal tetap ada di pihak saya.”

Genggamannya di gagang pintu mengerat seiring kalimatnya yang belum selesai.

“Kalau kamu muncul di depan Ibun, yang bakal hancur bukan saya, tapi Jeandra. Jadi tolong pikirkan baik-baik ancaman kamu. Kalau mau liat Jean hancur, silakan kamu bikin dia dilihat sebagai orang jahat sama Ibun. Semuanya terserah kamu.”

“Satu lagi, beliau bukan Ibu kamu. Jadi tolong berhenti manggil beliau Ibun.”