They Finally Meet
Jeandra sudah memastikan kalau dirinya benar-benar aman dari jangkauan Aksara. Lelaki berdarah Kanada itu kemungkinan besar tidak akan menyadari kehadirannya yang tengah menyembunyikan diri di salah satu bilik toilet yang terletak di ujung koridor rumah sakit. Napasnya memburu, tapi dia tahan sebisa mungkin. Segala hal akan kacau kalau sampai Aksara menemukannya berada di tempat ini, amat kacau sampai Jean sendiri enggan menerka-nerka bayangannya di kepala.
Di tengah kegelisahannya yang sedang sibuk menyembunyikan diri dengan apik, wajah bingung milik Anindia tiba-tiba menerobos pikiran. Raut cemas dan penuh rasa penasaran di wajah cantik itu masih bisa Jean ingat dengan jelas, membuat rasa bersalah seketika menyeruak ke dalam dada, membawa rasa tidak nyaman ke sekujur tubuh tegapnya.
Jean meringis, merutuki ketidakberdayaannya. Sebab bahkan di situasi paling genting sekalipun, Anin bahkan tidak pernah pergi dari celah otaknya. Anindia terlalu mendominasi, sampai Jeandra kebingungan sebab posisi itu benar-benar tak terbantahkan.
Mungkin setelah urusan dengan Karin selesai, Jean harus segera pulang dan membawa tubuh mungil Anin ke dalam rengkuhannya. Semoga.
Sudah hampir lima menit, Jean pada akhirnya memutuskan untuk keluar dari bilik toilet. Udara mulai menipis dan dia butuh menghirup angin segar dari luar. Posisi tubuhnya membelakangi pintu masuk, sehingga ketika tubuh tingginya memutar dan menghadap ke depan, lelaki itu dibuat terpaku, diam di tempat tanpa perlawanan.
Di sana, tak jauh di tempatnya hendak keluar, lelaki bernama Aksara Restupati tengah berdiri dengan kedua tangan menyilang di depan dada. Kedua mata rusa milik Aksa menyorot dingin, seakan siap membelah Jean menjadi beberapa bagian dalam sekejap mata.
“Trying to hide, huh?” Aksa tertawa mengejek. Langkah tegapnya membawa kedua kaki jenjang itu maju mendekat ke arah Jean yang mematung, meski dengan perbedaan tinggi yang ada, Aksa tetap maju tanpa ragu. Mata coklat jernih itu memaku figur Jean dari dekat, mencoba mencari fitur mana yang berubah dari sosok itu setelah tiga tahun berlalu.
“Orang sesibuk lo ngga akan ada urusan di sini kalau bukan perkara penting,” sindirnya.
“It's none of your business, excuse me.” Jean mencoba melangkah menjauh, tapi tubuhnya tertahan saat nama Karinina terlontar lantang begitu saja dari bibir tipis Aksara, membuat suaranya menggema di seluruh dinding toilet yang sepi.
“Kondisinya cukup stabil walaupun masih belum sadar, hasil benturan cukup keras di area kepala. Patah tulang bahu dan kaki kanan terkilir, juga ada beberapa luka di tubuh akibat terkena serpihan kaca. Luckily, pecahan kacanya ngga sampai menancap di area vital, she's 80% safe.“
Mendengar itu, ada sebagian dari diri Jean yang seakan luruh. Bahunya sedikit merosot tanpa dia sadari. Napasnya jadi sedikit lebih teratur. Karin sudah melewati masa kritis, setidaknya itu kabar baik. Tapi mengingat dari mana sumber informasi itu didapat, Jean memicingkan mata.
“Gue rasa informasi itu ngga seharusnya dibawakan oleh lo, betul?”
Aksa terkekeh pelan. “As I guess, you're still super arrogant. Memang, harusnya bukan gue yang kasih tau hal itu. But still, gue dokter di sini dan gue tau persis perkembangan pasien, so why not?“
“Thanks, now let me leave.“
Aksa mengangkat bahu acuh, kemudian menggeser tubuhnya sehingga Jean dapat melewati jalur kosong itu dan membawa dirinya menuju pintu.
“That girl was so lucky,” ucap Aksa sebelum Jean sempat meraih gagang pintu toilet. Jean mengerutkan dahi, tubuhnya kembali memutar menghadap Aksa.
“Maksudnya?”
“That girl was so lucky, dua orang laki-laki langsung lari kesetanan buat nyamperin dia sewaktu sampai di sini.”
Aksa melanjutkan, “Or should I call her your girl instead of that girl?“
Jean mendengus sebal, merasa jengah dengan kalimat-kalimat Aksa yang menurutnya membuang waktu. “Berhenti ikut campur dalam urusan gue dan Karin. Lo bukan siapa-siapa.”
“Memang, tapi kayaknya masa lalu ngga izinin gue buat diem aja.”
Aksa melanjutkan, “Kenapa?”
“Apanya yang kenapa?”
“Kenapa lo selalu menghindar setiap ketemu gue?”
Telak, pertanyaan itu membuat Jean bungkam.
“Kita ketemu dua kali, tiga hari lalu di pom bensin dan hari ini. Lo bahkan sembunyi di sini demi ngga ketemu gue.”
“Gue ngga sembunyi.”
“Then what?“
Jean mendengus, “Told you, it's none of your business.“
“Lo tau? Gue mungkin bakal diem aja kalau semuanya selesai di lo dan Karin. But your stupid ass brought Anindia inside and I don't think she deserves this.“
Jean memicing tidak suka kala mendengar nama Anin disebut. Entah, tapi dia merasa kalau nada bicara Aksa melembut saat menyebut nama itu.
“Ini ngga ada hubungannya sama Anin, stop messing everything up.”
“Oh ya? Kalau memang benar begitu, gue kira lo ngga akan capek-capek sembunyi dari gue. Lo tau gue kenal Anin, jangan berusaha mengelak.”
“Listen, Doc, gue di sini sebagai keluarga pasien dan gue rasa, ngga etis untuk seorang dokter bicara soal masalah pribadi pasien kayak gini. You're being too much, Aksara.”
Aksa tampak tidak terganggu, lelaki itu malah maju dan mendekati wastafel yang berada tak jauh dari sana, membuka keran air dan mencuci kedua tangannya dengan santai.
“Well, technically, I'm not her doctor. Gue cuma tau informasi seputar perkembangan dia, dokter yang asli masih di dalam buat ngejahit beberapa luka. So yeah, I can do anything.“
Cukup sudah, Jean sudah berada di puncak rasa muak. Lelaki tinggi itu memutar gagang pintu dengan kasar, dan melangkah keluar. Meninggalkan Aksara seorang diri di dalam sana dengan kekehan halus. Tangannya masih sibuk dengan air dan sabun cair yang dia gosokkan ke telapak tangan sambil sesekali melihat ke arah pintu.
“You don't deserve any of them, Jeandra. Baik itu Anindia atau Karinina, you don't even deserve them.”