Those Never Delivered Words

“Tama.”

“Hmm.”

“Sayang?”

“Apa?”

“Baskara Naratama.”

“Apa, Ageeta?”

Ageeta tersenyum sumringah, kedua matanya tampak hilang dalam lengkungan saat menatap wajah Tama yang tengah dalam raut datar.

“Ngga apa-apa, aku suka aja manggil kamu,” ucap gadis itu masih dengan senyum terpatri di ranumnya.

Tama meraih pinggangnya dalam hening, merengkuh tubuh mungil itu untuk didekap dan disandarkan ke tubuh miliknya yang jauh lebih besar.

“Tidur,” titahnya mutlak.

Tapi Ageeta tetaplah Ageeta.

“Aku pengen cerita.”

Tama mengangkat sebelah alisnya, merenggangkan pelukan dan menatap wajah di dekapannya dengan satu alis terangkat, bertanya lewat isyarat raut wajah.

“Apa? Go ahead, I'm all ears.”

Ageeta kemudian bergerak kecil, berusaha mencari posisi ternyaman dalam pelukan lelakinya. Gadis itu berhenti kala sudah final berada pada posisi dirinya mendekap Tama dari atas, sedangkan lelaki itu merebahkan diri dengan sebelah tangan merengkuh pinggangnya, dan sebelah lagi memainkan rambut panjang miliknya.

“Aku tadi mimpi buruk.”

Tama diam memersilakan gadis itu untuk melanjutkan cerita tanpa interupsi. Tangannya masih bergerak menyusuri surai panjang kecoklatan milik Ageeta dengan hati-hati, berusaha memberikan kenyamanan agar gadis itu tetap bicara meskipun Tama tahu, dari getar suaranya pun, Ageeta merasa tidak nyaman dengan ceritanya sendiri.

“Kamu inget, kan, aku tadi cerita kalo aku ketemu cewek aneh di lift?” Ageeta melanjutkan.

“Inget.”

“Aku mimpi dia jahatin Haikal.”

Ada getar samar di ujung kalimat gadis itu, yang membuat Tama langsung dengan sigap meletakkan tangannya untuk mengusap punggung sempit miliknya. Seperti membagi rasa nyaman yang ia punya pada Ageeta, dan Tama sadar, kalau yang dia lakukan sudah menjadi kebiasaan dan tak pernah tertinggal dia lakukan setiap kali berhadapan dengan Ageeta yang sedang seperti ini.

“Aneh banget ngga sih? Padahal aku baru sekali ketemu dia, tapi aku yakin orang yang di mimpi aku tuh ya cewek itu.”

“Kamu yakin dari mana?”

“Dari kemeja yang dia pake, warnanya sama persis. Well, mukanya emang samar. Tapi dari bentuk badannya aku yakin itu dia.”

Tama mengerutkan dahi sebelum bertanya. “Emang dia jahatin si Ekal kaya gimana?”

“Dia... nabrak Haikal sampe berdarah-darah banyak banget. Aku di situ tapi ngga bisa ngapa-ngapain.”

Ah, Tama baru menemukan titik terangnya.

Ageeta takut pada darah, itulah mengapa gadis itu tampak sangat tidak nyaman.

Diam-diam, Tama mengeratkan rengkuhan di tubuh yang ia peluk.

“Kamu pasti ngga inget ya kalo aku punya trauma sama darah?!” tanya Ageeta menuduh.

“Emang ngga.”

Tama tahu kalau Ageeta tengah mencebik sebal, lelaki itu lalu merendahkan posisi tubuhnya demi menghadap Ageeta langsung.

Lalu dalam satu gerakan yang terlampau tiba-tiba, Tama meraih bibir Ageeta dalam sebuah tautan, membuat bibir yang semula mendumal kesal itu sontak terdiam dan kaku sebab kekagetan yang teramat sangat.

Tama melepas tautan, kesepuluh jemarinya lalu bergerak merapikan anak rambut yang menghalangi wajah terkejut Ageeta.

Damn, you look so pretty.

Wajah Ageeta memerah.

Gadis itu hendak membuka mulut untuk melancarkan protes, Tama kembali membungkamnya dengan kecupan manis.

“Tama, ihh!”

Satu kecupan lain.

“Tam-”

Dua kecupan.

“Aku-”

Tiga.

“Kamu tuh-”

Empat, dan kali ini dilanjutkan dengan gerakan halus di bibir bawah Ageeta. Hisapan kecil ia rasakan di sana, tepat di bilah atas dan bawah ranum miliknya yang didominasi oleh Tama. Lelaki itu meletakkan tangan kanannya di sisi wajah Ageeta, dengan ibu jadi yang mengelus pipi tirus nan halus itu dengan gerakan teramat lembut. Lalu tangan satunya ia pergunakan untuk menahan leher bagian belakang Ageeta agar tautan mereka tak terlepas.

Saat udara terasa semakin menipis, Tama dengan sadar memutus sesapan. Meninggalkan jalinan benang saliva saat dirinya bergerak memundurkan diri dan beralih untuk menyatukan kedua kening mereka.

Promise me something, do you mind?”

Ageeta mengerjap perlahan.

“Apa?”

Sebelum melanjutkan kalimatnya, Tama memutuskan untuk mengecup sekali lagi bibir Ageeta dalam durasi cukup lama.

Promise me that you're gonna be safe, no matter what. Janji sama aku buat selalu jaga diri kamu,” ungkap Tama dengan suara dalam miliknya.

“Kenapa?”

Just promise me, iya atau ngga?”

“Iya.”

Tama kemudian kembali merengkuh tubuh itu.

“Gee.”

“Iya?”

No, nothing.

I love you, I always do.

Tapi kalimat itu tidak pernah tersampai dengan benar.

-