Two Pregnant Women

Tubuh tinggi Jeandra berdiri menjulang ketika Anin menapakkan kakinya turun dari mobil milik Aksa, lelaki itu menunggu di depan pintu utama rumah dengan kedua tangan berada di saku. Anin sempat ragu untuk melangkah maju, sampai dia harus menoleh ke arah Aksa demi mendapat dukungan melalui tatapan dan senyum lembut.

Tapi nyatanya, senyum itu tidak membuat Anin merasa tenang. Kepanikan masih menjalar di seluruh tubuhnya ketika Jean melangkah maju mendekatinya. Tatapan tajam Jean hunuskan, tepatnya ke arah Aksara yang berdiri tegap di sisi Anin seakan menantang.

“Karin di dalam, gue udah coba bujuk dia makan nasi tapi ngga berhasil. Lo masuk duluan.”

Aksa mengepalkan tangan, rahangnya mengetat.

Is that how you talk to your wife?” ucap Aksa dengan suara mendesis.

“Bukan urusan lo,” balas Jean.

Aksa semakin berang, tangannya mengepal semakin erat dan lelaki itu hampir melayangkan sebuah pukulan tepat ke wajah Jean, namun Anin menahan tangannya dan membawanya ke dalam sebuah genggaman hangat.

“Kamu pulang, saya ngga apa-apa, saya janji.”

Amarahnya surut, Aksa menahan emosinya agar tidak meledak dan beralih menghentak tangan Anin dari genggamannya hingga terlepas dan berakhir menyakiti wanita itu.

Aksa mengalihkan pandangan dari Jeandra ke arah Anin, tatapannya berubah lembut dalam sekejap. Dan dia tahu pasti, kalau kedua tangan Jeandra mengepal kuat ketika dia bawa Anin ke hadapannya dan dia letakkan tangannya di sisi bahu Anin. Dia tahu kalau Jeandra memandangnya seakan siap menerjang Aksa kapan saja.

“Kalau ada apa-apa, telpon saya. Jangan nunggu bajingan di sana itu dan Karin buat berulah kelewatan baru kamu nelpon saya, kalau Karin macam-macam lagi, langsung keluar dari sini dan telpon saya, you get me?”

Anin mengangguk, sebuah senyum sehalus kapas dia tunjukkan pada Aksa, yang kemudian Aksa balas dengan mengacak surai cokelat miliknya dengan gemas.

“Saya masuk duluan,” pamit Anin.

Kakinya melangkah masuk ke dalam rumah, diiringi oleh Jeandra yang berjalan tepat di belakang.

“Karin di kamar mana?”

“Kamar kita.”

Dan harusnya Anin tidak perlu bertanya sebab jawaban Jeandra membuat sesak kembali mengerubungi dada dan membuatnya mengunci mulut rapat-rapat.

Sampai akhirnya kedua manusia itu sudah berada di depan kamar utama yang dulu pernah mereka tinggali bersama, Anin menahan Jeandra untuk masuk.

“Aku boleh minta tolong buat ambilin beberapa obat di mobilku? Kuncinya ada di kamar tamu, kugantung deket pintu. Sama beliin beberapa obat di apotek, aku lupa kalau stock di sana habis. Aku periksa Karin dulu, nanti kukabarin lewat chat kalau ada apa-apa.”

Jean mengangguk, lalu tanpa protes memutar langkahnya untuk menuju mobil milik Anin yang terparkir manis di pekarangan rumah mereka.

Sedangkan Anin memantapkan hatinya sebelum memutuskan untuk masuk dan menemukan sosok Karin yang terbaring di atas tempat tidur, yang dulu juga pernah dia tempati bersama Jeandra untuk beberapa waktu. Sesak kembali menggerayangi dada, Anin mati-matian menahan diri agar kakinya tidak tumbang dan berakhir tersungkur di lantai.

Karin membuka mata, tatapannya dia arahkan dengan malas ke arah Anin yang berdiri di ambang pintu. Sadar kalau Karin memaku tatap padanya, Anin mengulum senyum tipis. Dalam pandangannya, sosok mungil itu terlalu muda untuk menjadi alasan utama rumah tangga seseorang hancur berantakan. Di matanya, sosok cantik dengan mata bulat menarik itu terlalu berharga untuk terjebak di antara kelumit hubungannya dan Jeandra. Anin seperti melihat sosok gadis kecil yang polos dan egois di saat yang bersamaan, Karin terlihat seperti sosok yang sebetulnya hanya ingin mempertahankan apa yang menurutnya patut menjadi miliknya, dan Anin merasa menjadi sosok jahat yang menghalangi gadis manis itu dalam misi menggapai hal yang dia sebut bahagia.

“Karin,” sapa Anin pelan.

Karin berdehem singkat, Anin bisa menebak sebenci apa gadis itu padanya dan dia bisa memaklumi itu.

“Tunggu di sini sebentar, saya ambil beberapa alat dulu. Kamu bisa duduk sendiri?”

Karin mengangguk malas. Gadis itu lalu duduk dan bersandar di kepala ranjang. Anin memastikan sebentar kalau Karin tidak akan jatuh dari sana dengan memasang bantal di pinggir kasur, sebelum kemudian menuju kamar tamu dan mengambil beberapa alat yang biasa dia pakai di rumah sakit untuk memeriksa tekanan darah pasien dan alat lainnya.

Lima menit kemudian, Anin sudah kembali ke dalam kamar utama, berhadapan dengan Karin yang terlihat pucat dan keringat dingin memenuhi dahi gadis itu.

Anin dengan hati-hati memeriksa satu persatu hal yang perlu dia periksa. Tekanan darah gadis itu normal, Anin tidak menemukan hal-hal aneh saat memeriksa Karin.

Namun saat dirinya tersadar akan sesuatu, Anin memucat.

Matanya mengarah pada Karin yang tampak kentara menahan mual. Anin bergerak memeriksa detak jantung Karin sekali lagi, kemudian dengan semua pertanyaan yang mengerubungi kepalanya, Anin memastikan sesuatu.

“Kamu... sama Jeandra, kapan terakhir kali having sex?”

Suara Anin terdengar bergetar. Sebuah batu besar seakan menyumbat saluran pernapasannya dan membuatnya kesulitan menarik udara dengan benar. Kedua tangannya bergetar, sampai Anin harus menyembunyikan tangannya di balik bantal yang tadi dia letakkan di pinngir kasur. Tubuhnya dingin, jantungnya berirama berantakan.

“Dua minggu yang lalu.” Karin menjawab dengan suara parau.

Anin kembali menyiapkan diri untuk bertanya, kali ini dengan air mata yang sekuat tenaga dia tahan agar tidak merebak keluar.

“Kapan terakhir kali kamu datang bulan?”

Karin tampak berusaha mengingat, sebelum raut wajahnya berubah dan pandangan terperangah dia arahkan pada Anin.

“Harusnya satu minggu yang lalu,” jawab Karin.

“Tunggu di sini, saya punya testpack. Kamu kemungkinan besar lagi mengandung, saya belum tau pasti hitungan usianya. Tapi beruntung kita tau lebih cepat, kamu jadi bisa istirahat dan ngga kerja berat dulu.”

Anin bangkit dari tempatnya, kedua kakinya terasa lemas. Sampai saat dia menuju pintu dan berjalan ke kamar tamu, Anin merasa sebagian nyawanya melayang bersamaan dengan tangannya yang menggenggam alat pendeteksi kehamilan. Anin berusaha menegapkan tubuh, meski kepalanya terasa berputar 360 derajat dan membuat seluruh badannya seakan kehilangan sendi.

Dan tepat saat alat itu dia berikan pada Karin, saat kemudian dua garis muncul di alat itu, Anin merasa kalau dunianya runtuh.

Tepat saat dia menyaksikan dua batang garis muncul di layar kecil benda berwarna putih itu, Anin merasa kalau dunianya hancur menjadi kepingan tak berbentuk.

You're pregnant,” ucapnya pada Karin.

Ada keterkejutan yang kentara di kedua mata Karin, namun segera dia gantikan dengan binar bahagia, yang entah bagaimana Anin bisa merasakan, kalau binar itu terlalu dipaksakan.

Tanpa sadar, Anindia menggenggam erat pinggiran bajunya. Kakinya melangkah ke arah pintu, namun Anin menahan tubuhnya sebelum benar-benar keluar dari sana.

Sebuah kalimat meluncur dari bibir tipis Anin, bersumber dari kekacauan yang tercipta di kepalanya.

“Karin,” panggil Anin.

“Jeandra memang punya kamu.”

Suara Anin semakin bergetar, tenggorokannya mulai terasa sakit sebab dia berkali-kali menahan suaranya agar terdengar tegas, meskipun tetap berakhir gagal total.

“Tapi dia masih suami saya, dia masih terikat sama saya. Dan harusnya, kamu bisa tau batasan untuk ngga melangkah sejauh ini. But congratulations, you got a baby inside your belly, keep it alive. Jeandra bakal jadi ayah yang baik, percaya sama saya.”

Lalu langkahnya kembali dia lanjutkan hingga menuju kamar tamu, dimana saat dia benar-benar sudah masuk ke dalam sana, Anin tidak lagi dapat menahan tubuhnya untuk jatuh ke lantai dan melepaskan air mata yang sejak tadi dia tahan.

Well, Jeandra got two pregnant women by now. Tapi sepertinya, Jeandra hanya akan mengetahui satu di antara mereka, dan Anindia bukan satu itu. Sebab dalam getar yang menguasai tubuhnya, Anin mengambil keputusan untuk menyimpan bayinya sendiri, tanpa memberitahu Jeandra, tidak akan pernah.

-