We're Seeing the End of Us

Ageeta berkali-kali mengumpat kala sebuah ketukan pada pintu terdengar di rungunya. Gadis dengan piyama bermotif bangau itu menyumpahserapahi Haikal yang menjadi pelaku malam ini. Kalau saja Haikal tidak sepilih kasih itu pada Tama, adiknya itu pasti akan mendengarkan permintaan Ageeta untuk menolak siapapun yang datang ke rumah mereka.

“Aku boleh masuk?”

Itu suara Tama, Ageeta bisa menebaknya dalam sekali mendengar. Dia diam tanpa memberi respon, menunggu dalam hening sebab kelewat paham jika Tama akan tetap masuk ke dalam kamarnya meskipun dia bilang tidak.

Detik berikutnya seperti tebakannya, kepala Tama muncul lebih dahulu melalui pintu, kemudian tubuh lelaki itu masuk sepenuhnya ke dalam kamar bernuansa putih miliknya.

Ageeta membuang pandangannya ke arah jendela, sepenuhnya enggan menatap presensi lelaki yang tengah berjalan ke arahnya dengan tangan kanan menenteng sebuah kantong plastik berisi beberapa bungkusan makanan.

“Makan dulu,” ucap Tama.

Ah sialan, mendengar suara raspy milik lelaki itu membuat Ageeta serasa dihantam ribuan batu besar. Suara dalam yang biasanya ia kagumi itu terdengar lelah, dan kali ini tak ada rasa kagum yang hinggap kala suara itu mengalun masuk ke indera pendengarannya.

“Pulang.”

Ageeta yakin Tama sedang menghela napas karena ucapannya.

Tak lama kemudian, ranjang yang ia duduki terasa bergoyang. Tama ikut duduk di sana tanpa suara, tangannya meletakkan bungkusan plastik yang tadi ia bawa di depan tubuhnya, membuka benda itu dan memposisikan satu persatu isinya dengan rapi.

“Ngga perlu ajak aku ngomong, cukup makan aja.”

Ageeta menoleh kala mendengar kalimat yang diudarakan Tama, kedua matanya memindai ekspresi wajah di hadapannya ini dengan tatapan penuh selidik. Mencoba mencari apa jenis rasa yang Tama miliki saat mengucapkan kalimatnya.

“Kamu... bener-bener ngga nganggep omongan aku di chat tadi penting ya?”

Tama tak memberi respon.

“Makan, Ageeta.”

“Kita break.”

Tama beralih membuka sebuah kotak sterofoam di hadapannya, dan hal itu membuat bau makanan yang Ageeta yakin adalah mie ayam kering kesukaannya merebak ke suluruh ruangan.

“Makan.”

“Tama liat aku,” sergah Ageeta.

Tapi lelaki di depannya masih sibuk membenahi makanan di dalam kotak.

“Baskara Naratama.”

Have your dinner, Ageeta.”

Sayangnya, Ageeta bukan tipe perempuan yang akan langsung menyerah.

I'm not gonna eat anything from you, Bas.”

Telak.

Tama langsung terpaku di tempatnya dengan rahang mengeras. Tangannya mengepal kuat dan kepalanya langsung mendongak menatap Ageeta yang menunjukkan raut wajah serius.

Where did you get that nick name?”

“Ngga penting.”

Tama kembali mengetatkan rahangnya, dan hal ini membawa sedikit kerutan di dahi Ageeta.

“Makan, sekarang.”

Mendengar perintah itu lagi, Ageeta memutar bola matanya dengan malas. Gadis itu kemudian bergerak cepat menarik kotak sterofoam di dekatnya, bermaksud untuk menyingkirkan sejenak benda itu agar Tama berhenti memintanya untuk makan.

Namun sayangnya, Ageeta tidak memperkirakan kekuatan yang ia pakai untuk menarik kotak itu.

Pada akhirnya, makanan yang ada di dalam sana tumpah ruah ke atas kasur. Sebagian bahkan mengenai celana piyama miliknya. Ageeta mematung melihat tumpahan itu, matanya mengerjap pelan sebab tak menyangka bahwa tindakannya akan berakhir seperti ini.

Tapi yang paling tidak dia sangka adalah sebuah teriakan dari lelaki di depannya yang ditunjukkan padanya.

“AGEETA!”

Hatinya mencelos.

Demi Tuhan, siapa pun tidak pernah meneriakinya sekencang itu. Baik ayah mau pun bunda, atau bahkan Haikal sekali pun, tidak ada yang pernah memanggil namanya dengan nada setinggi itu.

“Kamu... barusan bentak aku?” tanyanya dengan suara bergetar.

Tama tampak memejamkan mata kalut, lelaki itu tampak sangat kelelahan. Kedua bagian bawah matanya sedikit kehitaman, pertanda bahwa dia tidak mendapatkan waktu tidur yang cukup. Kalau biasanya Ageeta akan luluh ketika melihat wajah lelah itu, kali ini tidak. Wajah kalut itu malah membuatnya semakin bergetar ketakutan.

“Gee...”

Ageeta mulai terisak, tangisnya pecah dalam sekejap saat mendengar suara Tama kembali pada kelembutan.

“Pulang.”

“Gee, dengerin dulu.”

Ageeta menggeleng kuat. Air matanya masih terus mengalir. Dia sebetulnya benci kalau harus terlihat lemah di depan lelaki ini, tapi sekarang, tubuhnya menolak untuk berkompromi.

Hatinya sakit.

Ageeta tidak suka dibentak, dan itu mutlak.

“Jangan nangis...”

“Pulang sekarang.”

“Gee...”

“PULANG, TAMA! AKU BILANG PULANG!”

Tama semakin kalut. Lelaki itu menangkup kedua tangannya ke wajah, semakin frustasi ketika mendengar suara tangisan Ageeta yang semakin kencang. Isaknya terputus-putus, sampai cukup membuatnya sulit bernapas.

Kali ini, Tama tahu bahwa dirinya sudah melakukan sebuah kesalahan fatal.

“Gee, dengerin dulu.”

“Bas, please.”

Tama kembali mengetatkan rahangnya, lelaki ini berusaha mengontrol emosi agar keadaan tidak semakin parah.

Not that nick name, please?” pintanya pelan pada Ageeta.

Why? Does that 'Bas' bring a memory about Adara? Iya?”

Ageeta menarik napas sebelum melanjutkan. “Kalau iya, itu artinya aku bakal selalu manggil kamu Bas supaya kamu keinget Adara tiap sama aku. That's the only way to know what happened between you and her.

“Jangan kaya anak kecil bisa ngga?”

Ageeta menggeleng kencang sambil berusaha menghentikan tangisnya.

I've told you, kalo ngga mau sama cewek childish kaya aku, mending kita putus. Now it's all up to you, you better get your ass away of me and take your time with that whore.”

“Ageeta!”

Gadis itu tertawa cukup kencang di tengah tangis.

“Kamu teriak ke aku dua kali.”

Tubuhnya bangkit dari ranjang, kakinya ia bawa menuju pintu utama. Susah payah sebab dirinya harus menyingkirkan bekas tumpahan makanan yang melekat di celana piyama yang ia pakai, namun tak menghalangi langkahnya untuk menuju pintu.

“Pergi.”

Tama menatapnya dengan pandangan yang ia enggan artikan.

“Aku tadinya mau sekedar break supaya kamu sadar salah kamu apa. Tapi malam ini, kamu buktiin sama kamu kalau kita emang ngga bisa lagi diperbaiki.”

Ditariknya napas sejenak sebelum melanjutkan.

“Maksudku, kamu. Kamu yang ngga bisa diperbaiki.”

“Hubungan itu antara dua orang, Tama. Isinya aku sama kamu, bukan kamu aja atau aku aja. Kita ngga bisa jalanin hubungan kalau semuanya tentang aku, atau semuanya cuma tentang kamu.”

Suaranya kembali bergetar, namun Ageeta berusaha keras menahannya.

“Hubungan itu soal komunikasi dan saling terbuka. Sedangkan di hubungan kita, aku rasa cuma aku yang terbuka. Cuma aku yang cerita, dan itu ngga cukup. Aku ngga tau masa lalu orang yang aku sayang ini gimana. Aku ngga tau orang yang aku sayang ini hari-harinya baik atau buruk. Sedangkan kamu, kamu tau semua tentang aku karena aku ngga pernah lewatin satu cerita pun di hidup aku untuk dibagi ke kamu.”

“Ageeta...”

No, jangan panggil nama aku. Suara kamu... wajah kamu... bahkan napas kamu pun bikin aku sakit sekarang.”

Ageeta bergerak memutar gagang pintu, mempersilakan Tama untuk undur diri dari kamarnya.

It's a goodbye, I guess.

Tama bangkit dengan cepat dari tempatnya. “Ngga, ngga ada yang kaya gitu.”

“Ada. We break up. Kita selesai, putus, tamat.”

Ageeta menghela napasnya sekali lagi.

“Jangan muncul lagi di depan aku, ya?”