CONTENT WARNING : Mention of sexual harrashment, mention of violence, mention of traumatic event, mention of mental health issues
“Bas? Is that you?“
Suara penuh lirih itu terdengar saat Tama berhasil mencapai ruangan yang menjadi tempat sang mama beristirahat. Tama mengatur napas sejenak, jantungnya lumayan bergemuruh setelah berlari dari tempatnya memarkirkan mobil hingga sampai ke tujuan utamanya. Jarak dua tempat itu tidaklah dekat, Tama harus melewati beberapa gedung dan memacu langkah melalui lorong.
Sedikit cerita, wanita paruh baya itu mengalami Post Traumatic Stress Disorder akibat kecelakaan yang dia alami satu tahun yang lalu. Tak hanya itu, mama juga punya partial amnesia yang membuatnya tidak bisa mengingat sebagian masa lalu. Dua hal itu membawa mama berada di rumah sakit milik Dokter Liana ini. Mama diberi satu gedung khusus yang bentuknya mirip dengan rumah berukuran sedang, lengkap dengan dapur dan segala macamnya. Bukan tanpa alasan, Tama sengaja meminta fasilitas ini sebab lelaki itu tahu mama selalu suka berada di rumah, walaupun kata 'rumah' sebetulnya tidak lagi ada di antara mereka.
Kala pintu terbuka dan napasnya sudah dapat dia kendalikan, kedua netranya menangkap sosok itu tengah berbaring di atas tempat tidur berukuran besar di tengah ruangan.
Kedua tangannya terhalang sebuah borgol besi, dengan posisi di depan dada dan tubuhnya meringkuk bak janin di dalam kandungan. Ada bekas air mata yang menjejak basah di kedua pipi berkerut itu. Bagian bawah mata mama tampak lelah, menjadi bukti kalau wanita 40 tahunan itu tidak mendapat tidur yang pulas.
Rasanya, hati Tama seperti diremas kala melihat pemandangan di hadapannya.
Tama membawa langkahnya masuk ke dalam kamar, kedua tangan dan langkahnya bergetar namun berusaha dia samarkan sebaik mungkin.
“Hey, Queen. Look, it's me,” ucapnya pelan.
Mama menajamkan pandangannya, berusaha menjernihkan kedua iris matanya yang penuh air, berusaha menangkap sosok jelas dari siluet tegap yang tengah melangkah ke arahnya.
Detik berikutnya, layaknya lensa kamera saat diatur oleh sang pengguna, bayangan yang semula samar dalam sekejap menampilkan presensi Tama di dalam matanya. Sosok tegap itu mendekat ke arahnya dengan kedua sudut bibir tertarik perlahan.
“Borgolnya.. Sakit..”
Tama mengangguk paham, matanya kemudian menjelajah untuk menemukan anak kunci untuk membuka penghalang itu. Sesegera mungkin, ia buka borgol yang bersarang di tangan sang mama, membebaskan kedua tangan halus itu dan langsung menggenggamnya erat.
“Mama kenapa ngelukain tangan lagi?” tanya Tama dengan nada suara yang ia usahakan sehalus mungkin.
Jemarinya mengelus bekas-bekas luka yang tertinggal di pergelangan tangan kurus di genggamannya, memerhatikan bekas-bekas itu dengan perasaan kacau dan mata yang memanas. Serta luka baru yang terbalut perban, letaknya sedikit di bawah nadi. Dengan hati-hati, Tama menyapukan ibu jarinya mengelus permukaan perban itu. Berharap dengan hal kecil yang dia lakukan, mama dapat merasakan energi yang coba ia salurkan lewat tatapan mata dan sentuhan penuh kasih sayang.
“I saw a baby.”
Tama menegang.
“That was probably me,” sanggahnya cepat. Namun, mama menggeleng tegas. Matanya berkobar berapi-api, tampak sangat ingin menjelaskan sesuatu pada Tama namun tidak dapat menemukan kalimat yang tepat untuk disusun di kepalanya.
“Bukan! I watch the baby version and the grown up version of you every single time, but this one is different!“
Tama memandang wanita di hadapannya dengan penuh perhatian, jemarinya masih dalam posisi mengelus pergelangan tangan sang mama dengan penuh perasaan.
“Tell me, pelan-pelan aja. Jangan paksain diri Mama.”
Mama memulai cerita dengan mata menajam dan tangannya memindahkan tangan milik Tama untuk dia genggam dengan penuh.
“Dia punya mata mirip seperti kamu. But yours are much more deeper, punya dia lebih lembut waktu dia lihat Mama.”
“I saw him crying out of loud, it seems like that was the first time for him to see the whole universe.“
Ah, Tama tahu saat itu.
Waktu makhluk kecil yang dia beri nama Garda terlahir ke dunia, mama sempat melihat sosok mungil itu sebelum tidak sadarkan diri selama berhari-hari. Mungkin sekelebat ingatan mama membawa momen singkat itu ke dalam kepalanya, membuatnya kembali merasa tertekan karena berusaha mengingat setiap detail kejadian yang muncul di syaraf otaknya hingga dirinya hilang kontrol.
“Mama inget sesuatu soal dia?”
“Ngga ada.”
Tama menghela napas panjang.
“Yang ada, cuma bayangan tiga laki-laki itu dateng ke kepala Mama. I remember how they rapped me tiap kali bayangan bayi itu ada.”
Mendengar itu, Tama merasa seperti sebuah pukulan keras telak menghantam dadanya. Ini bukan pertama kali Tama mendengar soal bayangan tiga laki-laki yang menjadi pelaku pemerkosaan mama dari mulut wanita itu, tapi entah kapan rasa sakit dan sesak akan menghilang tiap cerita itu terdengar di telinganya.
“I was trying to see his face, but it turned out into a terrifying memory about those three men.“
Suara mama terdengar bergetar. Ingatannya kembali membuatnya tak mampu mempertahankan emosi. Ingatan itu hanya datang sebatas kejadian mengerikan yang dia alami, sebatas itu dan bahkan tidak meninggalkan sedikit ruang pun bagi mama untuk mengingat Garda.
“Udah ya? Mama mau Bas peluk ngga?” tawar Tama mengakhiri cerita.
Sengaja, sebab dia sudah tidak sanggup mendengar lebih lanjut. Terlalu menyakitkan.
Mama mengangguk pelan, yang kemudian membawa Tama merebahkan dirinya di sisi kanan tempat tidur. Tubuhnya mengisi sisi kosong di sebelah mama, kedua tangannya melingkar di pinggang wanita paruh baya itu dengan erat, telinganya menempel tepat di posisi jantung mama berada.
Iramanya pelan, terdengar amat tenang walau Tama tahu otak dan batinnya berperang.
Alunan detak itu membawa sebuah ketenangan yang Tama tidak bisa jelaskan. Tenang, damai, apa pun kata yang bisa menggambarkan rasa lega dan aman yang dia rasakan saat mendengar alunan jantung mama.
Rasanya hampir sama seperti setiap kali dirinya merengkuh Ageeta.
“Mind to share some stories, little one?“
Tama terkekeh mendengar panggilan lama itu.
Napas wanita itu terdengar di telinganya, mengingatkan Tama pada Ageeta yang sekarang mungkin tengah merengut kesal karena dirinya.
“Mama inget Ageeta?”
Mama berdeham sejenak.
“The girl you use as your phone home screen?“
Tama mengangguk.
“We broke up.“
Mama menoleh, lalu tanpa Tama duga, sebuah pukulan cukup kencang mendarat di dahinya.
“Kamu aneh-aneh, kan? Kamu pasti bikin salah sampai bisa putus, kan?”
Tama mengerjapkan kedua matanya sebelum tersadar dan tertunduk.
“Iya.”
Tama melanjutkan kalimatnya dengan mata terpejam. “Bas bikin dia merasa kurang di mata Bas.”
Mata mama memicing.
“What did you do actually?“
“I let her suffer her insecurities alone,” balas Tama.
Dia melanjutkan, “Bas bikin dia mikir kalau Bas selingkuh, sampai dia kehilangan kepercayaan dan sempat bentak dia.”
“That's not a manner of a man, little one.“
“I know, right.“
“Have you ever told her that you love her?“
Tama menggeleng perlahan.
“I hide many things from her. About my life, about my past, about my feelings on her. I hide many things, Mam.”
Tama dapat merasakan tangan mama merangkak menyusuri rambut tebal miliknya, membuatnya makin ingin memejamkan mata sebab rasa nyaman dan aman yang menyeruak.
“Do you love her?“
Tama mengangguk.
“I do.“
Mama tersenyum simpul.
“Then let her know, tell her.“
“I just never find a proper way to tell her.“
Sisiran tangan mama masih berlanjut di rambutnya.
“Telling your stories of the past would be the best one. Berbagi kesedihan sama dia bisa jadi salah satu jalannya. Kalau kalian begini, tanpa sadar bakal mengundang sakit buat diri kalian masing-masing.”
“Maksud Mama?”
“Dia sakit karena kamu ngga pernah terbuka sama dia. Sedangkan kamu sakit karena ngga pernah membagi beban kamu sama siapa pun.”
Tama mencoba memahami kalimat itu.
“You both suffer the different paths.“
Mama melarikan jari telunjuknya untuk berada di dahi Tama, kemudian menggambar beberapa pola abstrak di dahi putih milik puteranya itu.
“One question. Apa yang membuat kamu memutuskan untuk jatuh cinta sama Ageeta?”
Tama berpikir sejenak, menimbang-nimbang alasan yang tepat soal itu. Ada banyak pendapat yang melewati benaknya perkara kenapa dia bisa jatuh cinta pada Ageeta, semua hal itu datang satu persatu menghinggapi pikirannya.
“Mungkin karena dia yang selalu ceria? Atau karena dia yang selalu kelihatan ngga peduli sama nilai padahal diam-diam punya kekhawatiran paling besar soal masa depan? Atau mungkin karena Ageeta penyayang?”
Mama menyela, “More specific, please?“
Tama berpikir lagi.
“Karena dia satu-satunya yang ngga nanya kenapa Bas selalu kelihatan diam.”
“Karena Ageeta satu-satunya yang malah dengan lantang bilang kalau Bas punya hak untuk diam bahkan sepanjang tahun.”
“Karena Ageeta satu-satunya yang ngga pernah nanya kenapa Bas merokok atau kenapa Bas minum, tapi diam-diam tetap buang rokok dan whine punya Bas kalau Bas lagi lengah.”
Sebuah senyum muncul di wajah mama.
“Biar dia tau semua, Bas. Biar Ageeta jadi satu-satunya yang tau kenapa kamu selalu kelihatan diam. Biar Ageeta jadi satu-satunya orang yang tau kenapa kamu merokom atau minum. Biar dia jadi satu-satunya tempat kamu berbagi masa lalu.”
Tama mengeratkan pelukan.
“Bas... takut.”
“Takut dia malah pergi setelah tau cerita kamu?”
Tama mengangguk pelan. Matanya terasa panas dan bahunya mulai bergetar pelan.
“Little one, listen. Dia tau yang dia lakukan sejak awal, she chose you over a million men, walaupun dia tau kamu diam dan datar. Dia tetap milih kamu walau tau kamu merokok dan minum. Apa artinya?”
Tama diam dalam dekapan sang mama.
“It means she loves you, a lot.*”
“But we broke up.“
“Itu karena dia merasa yang dia percayakan sama kamu selama ini sia-sia setelah menganggap kamu selingkuh. Kalau satu kesalahan itu ngga terdeteksi sama dia, Mama yakin dia tetap percaya sama kamu.”
Mama melanjutkan kalimatnya, “Go to her, go explain everything. Tell her that you love her for the whole of the world.“
“Mama.”
“Yes, little one?“
“Thanks a lot.”
“Umm-hmm, and promise me you'll bring her here as soon as possible.“
Tama tertawa mendengar itu.
Wanita itu... tampak baik-baik saja. Wanita itu tampak kuat dan tidak punya sisi rapuh di dalam dirinya. Tapi jauh di dalam dirinya, Tama yakin kalau mama sebetulnya menyembunyikan banyak luka dan derita.
“Mama.”
“Ya?”
“Don't hurt yourself ever again.“
Di ujung kalimatnya, Tama tidak menyadari kalau mama tidak pernah menjawab permintaannya yang satu ini selain dengan kembali mengelus puncak kepalanya.
-