writer.as/lalalafindyou

Kalau Ageeta bisa memilih, mungkin nyawanya bisa dia tukarkan pada Kinara. Kalau hidup itu berupa pilihan, maka Ageeta mungkin akan memilih untuk tidak punya kehidupan sejak awal.

Ini apaan sih?

Benaknya berkali-kali bertanya hal yang sama, memastikan semua yang dia dengar dari Jevian hanyalah bualan belaka.

“Pemakaman Kinara besok pagi, kayanya salah satu dari kita mesti stay buat jagain Ageeta.”

Ageeta baru saja ingin meminta tolong pada salah satu dari mereka untuk membantunya bertemu Kinara, dia yakin gadis itu berada di ruangan lain yang terpisah.

Kirana pasti hanya luka-luka sepertinya, kan?

Atau paling parah, Kinara mungkin hanya mengalami patah tulang di beberapa bagian sepertinya, kan?

Ageeta yakin saat kecelakaan itu terjadi, dirinya terdorong keluar dari badan mobil, sehingga tidak perlu merasakan benturan lebih parah.

Kinara... pasti juga ikut keluar dari sana, kan?

Ageeta menolak keras untuk menangis, walaupun matanya sudah terasa sangat penuh. Otaknya masih sibuk berspekulasi kalau Jevian hanya salah memberi informasi dadakan.

Kemudian, lamunannya buyar oleh pintu yang secara tiba-tiba dibuka dengan kasar. Badannya sedikit terperanjat kala presensi Tama terlihat di ambang pintu, lelaki itu memacu langkah dan serta merta menghambur ke arahnya.

Tama memeluknya seerat yang lelaki itu bisa lakukan. Bahu lebarnya melingkupi tubuh mungil milik Gee, seakan tidak membiarkan tubuh miliknya bergetar dalam waktu yang lama.

Detik itu juga, Ageeta merasa pertahanannya runtuh. Matanya memanas dalam hitungan detik, bulir bening menyerbu menuruni pipi tirusnya dalam waktu singkat seiring pelukan Tama yang semakin erat.

“Kamu ngga salah, kamu orang baik. Kinara bakal ngerasa usaha dia sia-sia kalau tau kamu ikut hancur kaya gini.”

Ah, tampaknya Ageeta melupakan sesuatu. Kinara sengaja membanting kemudi ke arah kanan. Kinara juga berpesan padanya untuk tetap hidup. Ageeta sepertinya melupakan fakta bahwa saat dirinya terdorong keluar mobil, Kinara tidak pernah punya kesempatan untuk keluar dari sana.

“Kamu bukan orang jahat, Gee. Jangan salahin diri kamu, silakan salahin aku.”

Lalu sebuah kalimat lain dari Tama terudara dan membuatnya menangis semakin kencang.

“Kamu orang baik, Sayang. Sayangnya Tama selalu baik.”

-

Kalau Ageeta bisa memilih, mungkin nyawanya bisa dia tukarkan pada Kinara. Kalau hidup itu berupa pilihan, maka Ageeta mungkin akan memilih untuk tidak punya kehidupan sejak awal.

Ini apaan sih?

Benaknya berkali-kali bertanya hal yang sama, memastikan semua yang dia dengar dari Jevian hanyalah bualan belaka.

“Pemakaman Kinara besok pagi, kayanya salah satu dari kita mesti stay buat jagain Ageeta.”

Ageeta baru saja ingin meminta tolong pada salah satu dari mereka untuk membantunya bertemu Kinara, dia yakin gadis itu berada di ruangan lain yang terpisah.

Kirana pasti hanya luka-luka sepertinya, kan?

Atau paling parah, Kinara mungkin hanya mengalami patah tulang di beberapa bagian sepertinya, kan?

Ageeta yakin saat kecelakaan itu terjadi, dirinya terdorong keluar dari badan mobil, sehingga tidak perlu merasakan benturan lebih parah.

Kinara... pasti juga ikut keluar dari sana, kan?

Ageeta menolak keras untuk menangis, walaupun matanya sudah terasa sangat penuh. Otaknya masih sibuk berspekulasi kalau Jevian hanya salah memberi informasi dadakan.

Kemudian, lamunannya buyar oleh pintu yang secara tiba-tiba dibuka dengan kasar. Badannya sedikit terperanjat kala presensi Tama terlihat di ambang pintu, lelaki itu memacu langkah dan serta merta menghambur ke arahnya.

Tama memeluknya seerat yang lelaki itu bisa lakukan. Bahu lebarnya melingkupi tubuh mungil milik Gee, seakan tidak membiarkan tubuh miliknya bergetar dalam waktu yang lama.

Detik itu juga, Ageeta merasa pertahanannya runtuh. Matanya memanas dalam hitungan detik, bulir bening menyerbu menuruni pipi tirusnya dalam waktu singkat seiring pelukan Tama yang semakin erat.

“Kamu ngga salah, kamu orang baik. Kinara bakal ngerasa usaha dia sia-sia kalau tau kamu ikut hancur kaya gini.”

Ah, tampaknya Ageeta melupakan sesuatu. Kinara sengaja membanting kemudi ke arah kanan. Kinara juga berpesan padanya untuk tetap hidup. Ageeta sepertinya melupakan fakta bahwa saat dirinya terdorong keluar mobil, Kinara tidak pernah punya kesempatan untuk keluar dari sana.

“Kamu bukan orang jahat, Gee. Jangan salahin diri kamu, silakan salahin aku.”

Lalu sebuah kalimat lain dari Tama terudara dan membuatnya menangis semakin kencang.

“Kamu orang baik, Sayang. Sayangnya Tama selalu baik.”

-

Kalau Ageeta bisa memilih, mungkin nyawanya bisa dia tukarkan pada Kinara. Kalau hidup itu berupa pilihan, maka Ageeta mungkin akan memilih untuk tidak punya kehidupan sejak awal.

Ini apaan sih?

Benaknya berkali-kali bertanya hal yang sama, memastikan semua yang dia dengar dari Jevian hanyalah bualan belaka.

“Pemakaman Kinara besok pagi, kayanya salah satu dari kita mesti stay buat jagain Ageeta.”

Ageeta baru saja ingin meminta tolong pada salah satu dari mereka untuk membantunya bertemu Kinara, dia yakin gadis itu berada di ruangan lain yang terpisah.

Kirana pasti hanya luka-luka sepertinya, kan?

Atau paling parah, Kinara mungkin hanya mengalami patah tulang di beberapa bagian sepertinya, kan?

Ageeta yakin saat kecelakaan itu terjadi, dirinya terdorong keluar dari badan mobil, sehingga tidak perlu merasakan benturan lebih parah.

Kinara... pasti juga ikut keluar dari sana, kan?

Ageeta menolak keras untuk menangis, walaupun matanya sudah terasa sangat penuh. Otaknya masih sibuk berspekulasi kalau Jevian hanya salah memberi informasi dadakan.

Kemudian, lamunannya buyar oleh pintu yang secara tiba-tiba dibuka dengan kasar. Badannya sedikit terperanjat kala presensi Tama terlihat di ambang pintu, lelaki itu memacu langkah dan serta merta menghambur ke arahnya.

Tama memeluknya seerat yang lelaki itu bisa lakukan. Bahu lebarnya melingkupi tubuh mungil milik Gee, seakan tidak membiarkan tubuh miliknya bergetar dalam waktu yang lama.

Detik itu juga, Ageeta merasa pertahanannya runtuh. Matanya memanas dalam hitungan detik, bulir bening menyerbu menuruni pipi tirusnya dalam waktu singkat seiring pelukan Tama yang semakin erat.

“Kamu ngga salah, kamu orang baik. Kinara bakal ngerasa usaha dia sia-sia kalau tau kamu ikut hancur kaya gini.”

Ah, tampaknya Ageeta melupakan sesuatu. Kinara sengaja membanting kemudi ke arah kanan. Kinara juga berpesan padanya untuk tetap hidup. Ageeta sepertinya melupakan fakta bahwa saat dirinya terdorong keluar mobil, Kinara tidak pernah punya kesempatan untuk keluar dari sana.

“Kamu bukan orang jahat, Gee. Jangan salahin diri kamu, silakan salahin aku.”

Lalu sebuah kalimat lain dari Tama terudara dan membuatnya menangis semakin kencang.

“Kamu orang baik, Sayang. Sayangnya Tama selalu baik.”

-

-

CONTENT WARNING : Mention of sexual harrashment, mention of violence, mention of traumatic event, mention of mental health issues, some kissing scene

“Tidurnya nyenyak?”

Suara Tama memasuki rungunya pertama kali saat Ageeta membuka mata. Kedua netranya mengerjap untuk menyesuaikan jumlah cahaya yang masuk ke area pupil, sebelum kemudian dapat melihat dengan jelas sosok Tama yang berdiri tegap di samping ranjang rumah sakitnya dengan tangan yang sibuk merapikan sesuatu.

You slept for almost two hours.

Ageeta mengerjapkan mata canggung. Mengingat kembali bagaimana dirinya yang memaksa Yudhistira untuk menghubungi Tama dan menyampaikan bahwa dia rindu.

Miss me?” tanya Tama dengan santai. Tanpa mempedulikan rona kemerahan yang langsung menyerbu Ageeta, menutupi wajah pucatnya yang bersih dari riasan.

Kangen banget, anjrit.

“Kamu ngapain di sini?”

“Nungguin kamu.”

Lelaki itu kemudian menarik kursi di samping tempat tidur Ageeta, membenahi posisinya agar dapat melihat Ageeta seutuhnya.

“Ada yang sakit?”

Gee mengerutkan dahinya, merasa tidak terbiasa dengan atmosfer yang tercipta antara dia dan Tama.

“Aku nanya, Gee.”

Ageeta mengangguk pelan. “Kepala aku pusing, pengen muntah, dan kakiku kebas. Tangan aku juga ngga bisa berenti gemetar.”

Dalam waktu dua detik setelah mendengar pengakuan itu, kedua tangan Ageeta sudah berada di genggaman hangat milik Tama. Telapak besar itu merangkum miliknya hingga tertutup sebagian besar. Jemari Tama mengelus buku-buku jarinya, mengantarkan rasa nyaman dan ribuan kupu-kupu ke dalam diri Ageeta.

“Tama,” panggil Ageeta.

“Iya?”

“Kita masih putus, kan?”

Tama terkekeh pelan hingga menampilkan deretan giginya.

Dan Ageeta yang pada dasarnya selalu lemah pada tawa dan senyum Tama pun langsung takjub melihatnya.

“Mau dengar cerita?”

Tanpa ragu, Ageeta mengangguk.

“Adara itu adik aku.”

Kalimat pertama dan pembuka, namun sudah mampu membuat Ageeta terkejut. Matanya tidak bisa berbohong, kalimat Tama barusan terlalu ambigu dan membingungkan.

“Maksud kamu?”

“Kamu mau tau soal keluarga aku, kan?”

Ageeta mengangguk pelan.

“Awalnya aku kira, menyembunyikan soal masa lalu adalah bagian dari privasi dan hak aku untuk ngga bagi semua itu ke kamu. Thanks a lot, Gee. Karena udah ngga pernah memaksa aku untuk terbuka soal itu selama setahun lebih.”

Ageeta masih kebingungan dengan arah percakapan yang Tama bawa.

“Kamu percaya sama aku selama ini, but when it comes to Adara, kamu mulai kehilangan kepercayaan itu. Did it feel useless to believe me over the whole year and find out that I probably cheating on you?

Ageeta mengangguk.

I'm sorry.

I lost my family when I was 18.

Ageeta baru tahu fakta ini.

“Mama sama Papa cerai, aku ikut Mama dan Papa ngga pernah ada kabar. Long short story, setelah beberapa tahun Papa balik lagi dan ngenalin keluarga barunya ke aku sama Mama.”

“Adara ada di situ, posisinya bukan sebagai anak tiri atau anak bawaan. Tapi ternyata sebagai anak kandung. Yang artinya, Papa udah selingkuh bahkan sejak tahun pertama pernikahannya sama Mama. It hit my Mom so bad, Mama ngerasa ngga berguna sebagai wanita.”

“Waktu aku ulang tahun, I found out my Mom left home. Aku ngga bisa nemuin Mama dimana pun.”

Mata Ageeta mulai memanas. Sedangkan Tama semakin mengeratkan genggaman tangannya.

“Setelah dua bulan, Mama balik lagi ke rumah dan hal yang bahkan lebih buruk terjadi.”

Ageeta menyela, “Kamu bisa berhenti cerita kalau berat. Jangan dipaksa.”

Gee tahu betul tangan milik Tama bergetar saat kata demi kata keluar dari mulutnya. Tapi Tama memilih untuk menggeleng.

“Biar aku lanjut.”

Tama berdeham singkat sebelum menyambung ceritanya.

“Mama... balik ke rumah dalam keadaan berantakan.”

Ada lirih dan getar samar di ujung suara lelaki itu. Ageeta pun menyadari kalau lelaki itu menahan tangis sekuat tenaga.

“Bajunya sobek dan bau alkohol. I didn't know that things goes wrong sampai kemudian Mama divonis hamil sama dokter.”

Ageeta seperti ditampar saat sebuah bulir bening lolos dari mata Tama. Lelaki itu menangis.

Tanpa berpikir dua kali, Ageeta langsung melingkarkan kedua tangannya pada leher lelaki di hadapannya. Dirinya kemudian menarik Tama agar mendekat, lalu tanpa ragu menjemput bibir ranum Tama dengan bibirnya.

Air mata lolos dari netra Ageeta, berbarengan dengan lumatan dan hisapan halus yang dia berikan pada bibir Tama yang masih terpaku.

Di tengah kecupan, Ageeta berusaha merangkai kata.

Was it hard to suffer alone?

Tama bukannya menjawab, namun malah mengeratkan dekapannya pada Ageeta. Bibirnya mengambil alih cumbuan dan membuat Ageeta mengerang pelan.

I miss you, girlie. I miss you so bad.

Kecupan halus yang Tama berikan membuat Ageeta merasakan tubuhnya merinding.

Terlebih kala lidah basah milik Tama ikut mengambil peran, membelai lidah dan langit-langit mulutnya hingga rasa geli mendominasi.

Tama menyelesaikan cumbuannya kala tersadar kalau Ageeta mulai membutuhkan udara. Benang saliva terbentuk kala bibir mereka terlepas. Kemudian, ibu jari Tama secara impulsif bergerak menyapu belah bibir bawah Ageeta yang basah oleh saliva mereka.

“Lanjut ceritanya dulu.”

Gee mengangguk.

We passed nine months of the pregnancy dengan cukup berat. Mama sering ngamuk, mecahin banyak barang dan nangis berjam-jam. She was mentally unstable.

I tried very hard untuk jaga Mama dan kandungannya. Cause... It was just a baby, the purest creature ever.

“Dan waktu hari dimana Mama melahirkan, Mama nyetir tanpa sepengetahuan aku. Mama kecelakaan, dan bikin dia punya partial amnesia sama PTSD. Beruntung, bayinya bisa selamat walaupun dia kemungkinan bakal punya cacat permanen di kepala.”

“Bayinya dimana?”

“Di panti asuhan yang sering kita datengin. Namanya Garda.”

Ageeta berpikir sejenak sebelum tersadar.

“Jadi...”

“Iya, Sayang. Bayi yang hari itu kamu gendong dan kamu mandiin.”

Ageeta tidak tahu kenapa dirinya langsung menangis detik itu juga.

“Jangan nangis dulu, Gee. Kamu belum denger soal Adara.”

Saat mendengar nama itu, Ageeta berusaha menahan tangisnya hingga membuat Tama gemas.

“Jadi Adara siapa?”

Tama memperbaiki posisi duduknya sebelum kembali menjelaskan.

“Adik aku yang punya masalah kejiwaan, she suffers DID.

Then what's the problem?

The problem is she falls in love with me.

“Sinting.”

Tama mengangguk, “Sinting, memang.”

Cerita itu kemudian dilanjutkan dengan perjanjian antara Tama dan papanya, namun dengan menghilangkan bagian 'mimpi yang dia punya' sebab bagaimana pun, ini adalah Tama yang punya gengsi setinggi langit.

Kemudian, tanpa rasa ragu Tama kembali mendekatkan diri pada Ageeta. Bibirnya kembali menjemput ranum gadis itu dan mencecap semua rasa yang ada. Ciuman itu menjadi penyalur rindu dan resah yang mereka lewati selama berbulan-bulan. Banyak yang berusaha Tama sampaikan melalui decapan dan kecupan yang dia berikan.

I love you, Gee. I love you so bad.

Ageeta memejamkan matanya dengan napas tidak beraturan.

“Ayo baikan,” pinta Tama.

Sayang, Ageeta menggeleng pelan.

“Ayo istirahat dulu. Kamu capek dan aku capek. Nanti, kalau semua udah selesai, kalau semua udah jelas, baru kita melangkah lagi ke sana.

Untuk sekarang, ayo perbaiki diri kita dulu. Kamu yang harus belajar berbagi masalah dan beban, kamu yang harus istirahat dari semua beban yang kamu tanggung. Dan aku yang harus belajar lebih sabar dan lebih dewasa.

Kalau nanti kita sama-sama siap, ayo baikan dan ayo balikan.”

-

CONTENT WARNING : Mention of sexual harrashment, mention of violence, mention of traumatic event, mention of mental health issues, some kissing scene

“Tidurnya nyenyak?”

Suara Tama memasuki rungunya pertama kali saat Ageeta membuka mata. Kedua netranya mengerjap untuk menyesuaikan jumlah cahaya yang masuk ke area pupil, sebelum kemudian dapat melihat dengan jelas sosok Tama yang berdiri tegap di samping ranjang rumah sakitnya dengan tangan yang sibuk merapikan sesuatu.

You slept for almost two hours.

Ageeta mengerjapkan mata canggung. Mengingat kembali bagaimana dirinya yang memaksa Yudhistira untuk menghubungi Tama dan menyampaikan bahwa dia rindu.

Miss me?” tanya Tama dengan santai. Tanpa mempedulikan rona kemerahan yang langsung menyerbu Ageeta, menutupi wajah pucatnya yang bersih dari riasan.

Kangen banget, anjrit.

“Kamu ngapain di sini?”

“Nungguin kamu.”

Lelaki itu kemudian menarik kursi di samping tempat tidur Ageeta, membenahi posisinya agar dapat melihat Ageeta seutuhnya.

“Ada yang sakit?”

Gee mengerutkan dahinya, merasa tidak terbiasa dengan atmosfer yang tercipta antara dia dan Tama.

“Aku nanya, Gee.”

Ageeta mengangguk pelan. “Kepala aku pusing, pengen muntah, dan kakiku kebas. Tangan aku juga ngga bisa berenti gemetar.”

Dalam waktu dua detik setelah mendengar pengakuan itu, kedua tangan Ageeta sudah berada di genggaman hangat milik Tama. Telapak besar itu merangkum miliknya hingga tertutup sebagian besar. Jemari Tama mengelus buku-buku jarinya, mengantarkan rasa nyaman dan ribuan kupu-kupu ke dalam diri Ageeta.

“Tama,” panggil Ageeta.

“Iya?”

“Kita masih putus, kan?”

Tama terkekeh pelan hingga menampilkan deretan giginya.

Dan Ageeta yang pada dasarnya selalu lemah pada tawa dan senyum Tama pun langsung takjub melihatnya.

“Mau dengar cerita?”

Tanpa ragu, Ageeta mengangguk.

“Adara itu adik aku.”

Kalimat pertama dan pembuka, namun sudah mampu membuat Ageeta terkejut. Matanya tidak bisa berbohong, kalimat Tama barusan terlalu ambigu dan membingungkan.

“Maksud kamu?”

“Kamu mau tau soal keluarga aku, kan?”

Ageeta mengangguk pelan.

“Awalnya aku kira, menyembunyikan soal masa lalu adalah bagian dari privasi dan hak aku untuk ngga bagi semua itu ke kamu. Thanks a lot, Gee. Karena udah ngga pernah memaksa aku untuk terbuka soal itu selama setahun lebih.”

Ageeta masih kebingungan dengan arah percakapan yang Tama bawa.

“Kamu percaya sama aku selama ini, but when it comes to Adara, kamu mulai kehilangan kepercayaan itu. Did it feel useless to believe me over the whole year and find out that I probably cheating on you?

Ageeta mengangguk.

I'm sorry.

I lost my family when I was 18.

Ageeta baru tahu fakta ini.

“Mama sama Papa cerai, aku ikut Mama dan Papa ngga pernah ada kabar. Long short story, setelah beberapa tahun Papa balik lagi dan ngenalin keluarga barunya ke aku sama Mama.”

“Adara ada di situ, posisinya bukan sebagai anak tiri atau anak bawaan. Tapi ternyata sebagai anak kandung. Yang artinya, Papa udah selingkuh bahkan sejak tahun pertama pernikahannya sama Mama. It hit my Mom so bad, Mama ngerasa ngga berguna sebagai wanita.”

“Waktu aku ulang tahun, I found out my Mom left home. Aku ngga bisa nemuin Mama dimana pun.”

Mata Ageeta mulai memanas. Sedangkan Tama semakin mengeratkan genggaman tangannya.

“Setelah dua bulan, Mama balik lagi ke rumah dan hal yang bahkan lebih buruk terjadi.”

Ageeta menyela, “Kamu bisa berhenti cerita kalau berat. Jangan dipaksa.”

Gee tahu betul tangan milik Tama bergetar saat kata demi kata keluar dari mulutnya. Tapi Tama memilih untuk menggeleng.

“Biar aku lanjut.”

Tama berdeham singkat sebelum menyambung ceritanya.

“Mama... balik ke rumah dalam keadaan berantakan.”

Ada lirih dan getar samar di ujung suara lelaki itu. Ageeta pun menyadari kalau lelaki itu menahan tangis sekuat tenaga.

“Bajunya sobek dan bau alkohol. I didn't know that things goes wrong sampai kemudian Mama divonis hamil sama dokter.”

Ageeta seperti ditampar saat sebuah bulir bening lolos dari mata Tama. Lelaki itu menangis.

Tanpa berpikir dua kali, Ageeta langsung melingkarkan kedua tangannya pada leher lelaki di hadapannya. Dirinya kemudian menarik Tama agar mendekat, lalu tanpa ragu menjemput bibir ranum Tama dengan bibirnya.

Air mata lolos dari netra Ageeta, berbarengan dengan lumatan dan hisapan halus yang dia berikan pada bibir Tama yang masih terpaku.

Di tengah kecupan, Ageeta berusaha merangkai kata.

Was it hard to suffer alone?

Tama bukannya menjawab, namun malah mengeratkan dekapannya pada Ageeta. Bibirnya mengambil alih cumbuan dan membuat Ageeta mengerang pelan.

I miss you, girlie. I miss you so bad.

Kecupan halus yang Tama berikan membuat Ageeta merasakan tubuhnya merinding.

Terlebih kala lidah basah milik Tama ikut mengambil peran, membelai lidah dan langit-langit mulutnya hingga rasa geli mendominasi.

Tama menyelesaikan cumbuannya kala tersadar kalau Ageeta mulai membutuhkan udara. Benang saliva terbentuk kala bibir mereka terlepas. Kemudian, ibu jari Tama secara impulsif bergerak menyapu belah bibir bawah Ageeta yang basah oleh saliva mereka.

“Lanjut ceritanya dulu.”

Gee mengangguk.

We passed nine months of the pregnancy dengan cukup berat. Mama sering ngamuk, mecahin banyak barang dan nangis berjam-jam. She was mentally unstable.

I tried very hard untuk jaga Mama dan kandungannya. Cause... It was just a baby, the purest creature ever.

“Dan waktu hari dimana Mama melahirkan, Mama nyetir tanpa sepengetahuan aku. Mama kecelakaan, dan bikin dia punya partial amnesia sama PTSD. Beruntung, bayinya bisa selamat walaupun dia kemungkinan bakal punya cacat permanen di kepala.”

“Bayinya dimana?”

“Di panti asuhan yang sering kita datengin. Namanya Garda.”

Ageeta berpikir sejenak sebelum tersadar.

“Jadi...”

“Iya, Sayang. Bayi yang hari itu kamu gendong dan kamu mandiin.”

Ageeta tidak tahu kenapa dirinya langsung menangis detik itu juga.

“Jangan nangis dulu, Gee. Kamu belum denger soal Adara.”

Saat mendengar nama itu, Ageeta berusaha menahan tangisnya hingga membuat Tama gemas.

“Jadi Adara siapa?”

Tama memperbaiki posisi duduknya sebelum kembali menjelaskan.

“Adik aku yang punya masalah kejiwaan, she suffers DID.

Then what's the problem?

The problem is she falls in love with me.

“Sinting.”

Tama mengangguk, “Sinting, memang.”

Cerita itu kemudian dilanjutkan dengan perjanjian antara Tama dan papanya, namun dengan menghilangkan bagian 'mimpi yang dia punya' sebab bagaimana pun, ini adalah Tama yang punya gengsi setinggi langit.

Kemudian, tanpa rasa ragu Tama kembali mendekatkan diri pada Ageeta. Bibirnya kembali menjemput ranum gadis itu dan mencecap semua rasa yang ada. Ciuman itu menjadi penyalur rindu dan resah yang mereka lewati selama berbulan-bulan. Banyak yang berusaha Tama sampaikan melalui decapan dan kecupan yang dia berikan.

I love you, Gee. I love you so bad.

Ageeta memejamkan matanya dengan napas tidak beraturan.

“Ayo baikan,” pinta Tama.

Sayang, Ageeta menggeleng pelan.

“Ayo istirahat dulu. Kamu capek dan aku capek. Nanti, kalau semua udah selesai, kalau semua udah jelas, baru kita melangkah lagi ke sana.

Untuk sekarang, ayo perbaiki diri kita dulu. Kamu yang harus belajar berbagi masalah dan beban, kamu yang harus istirahat dari semua beban yang kamu tanggung. Dan aku yang harus belajar lebih sabar dan lebih dewasa.

Kalau nanti kita sama-sama siap, ayo baikan dan ayo balikan.”

-

CONTENT WARNING : Mention of sexual harrashment, mention of violence, mention of traumatic event, mention of mental health issues, some kissing scene

“Tidurnya nyenyak?”

Suara Tama memasuki rungunya pertama kali saat Ageeta membuka mata. Kedua netranya mengerjap untuk menyesuaikan jumlah cahaya yang masuk ke area pupil, sebelum kemudian dapat melihat dengan jelas sosok Tama yang berdiri tegap di samping ranjang rumah sakitnya dengan tangan yang sibuk merapikan sesuatu.

You slept for almost two hours.

Ageeta mengerjapkan mata canggung. Mengingat kembali bagaimana dirinya yang memaksa Yudhistira untuk menghubungi Tama dan menyampaikan bahwa dia rindu.

Miss me?” tanya Tama dengan santai. Tanpa mempedulikan rona kemerahan yang langsung menyerbu Ageeta, menutupi wajah pucatnya yang bersih dari riasan.

Kangen banget, anjrit.

“Kamu ngapain di sini?”

“Nungguin kamu.”

Lelaki itu kemudian menarik kursi di samping tempat tidur Ageeta, membenahi posisinya agar dapat melihat Ageeta seutuhnya.

“Ada yang sakit?”

Gee mengerutkan dahinya, merasa tidak terbiasa dengan atmosfer yang tercipta antara dia dan Tama.

“Aku nanya, Gee.”

Ageeta mengangguk pelan. “Kepala aku pusing, pengen muntah, dan kakiku kebas. Tangan aku juga ngga bisa berenti gemetar.”

Dalam waktu dua detik setelah mendengar pengakuan itu, kedua tangan Ageeta sudah berada di genggaman hangat milik Tama. Telapak besar itu merangkum miliknya hingga tertutup sebagian besar. Jemari Tama mengelus buku-buku jarinya, mengantarkan rasa nyaman dan ribuan kupu-kupu ke dalam diri Ageeta.

“Tama,” panggil Ageeta.

“Iya?”

“Kita masih putus, kan?”

Tama terkekeh pelan hingga menampilkan deretan giginya.

Dan Ageeta yang pada dasarnya selalu lemah pada tawa dan senyum Tama pun langsung takjub melihatnya.

“Mau dengar cerita?”

Tanpa ragu, Ageeta mengangguk.

“Adara itu adik aku.”

Kalimat pertama dan pembuka, namun sudah mampu membuat Ageeta terkejut. Matanya tidak bisa berbohong, kalimat Tama barusan terlalu ambigu dan membingungkan.

“Maksud kamu?”

“Kamu mau tau soal keluarga aku, kan?”

Ageeta mengangguk pelan.

“Awalnya aku kira, menyembunyikan soal masa lalu adalah bagian dari privasi dan hak aku untuk ngga bagi semua itu ke kamu. Thanks a lot, Gee. Karena udah ngga pernah memaksa aku untuk terbuka soal itu selama setahun lebih.”

Ageeta masih kebingungan dengan arah percakapan yang Tama bawa.

“Kamu percaya sama aku selama ini, but when it comes to Adara, kamu mulai kehilangan kepercayaan itu. Did it feel useless to believe me over the whole year and find out that I probably cheating on you?

Ageeta mengangguk.

I'm sorry.

I lost my family when I was 18.

Ageeta baru tahu fakta ini.

“Mama sama Papa cerai, aku ikut Mama dan Papa ngga pernah ada kabar. Long short story, setelah beberapa tahun Papa balik lagi dan ngenalin keluarga barunya ke aku sama Mama.”

“Adara ada di situ, posisinya bukan sebagai anak tiri atau anak bawaan. Tapi ternyata sebagai anak kandung. Yang artinya, Papa udah selingkuh bahkan sejak tahun pertama pernikahannya sama Mama. It hit my Mom so bad, Mama ngerasa ngga berguna sebagai wanita.”

“Waktu aku ulang tahun, I found out my Mom left home. Aku ngga bisa nemuin Mama dimana pun.”

Mata Ageeta mulai memanas. Sedangkan Tama semakin mengeratkan genggaman tangannya.

“Setelah dua bulan, Mama balik lagi ke rumah dan hal yang bahkan lebih buruk terjadi.”

Ageeta menyela, “Kamu bisa berhenti cerita kalau berat. Jangan dipaksa.”

Gee tahu betul tangan milik Tama bergetar saat kata demi kata keluar dari mulutnya. Tapi Tama memilih untuk menggeleng.

“Biar aku lanjut.”

Tama berdeham singkat sebelum menyambung ceritanya.

“Mama... balik ke rumah dalam keadaan berantakan.”

Ada lirih dan getar samar di ujung suara lelaki itu. Ageeta pun menyadari kalau lelaki itu menahan tangis sekuat tenaga.

“Bajunya sobek dan bau alkohol. I didn't know that things goes wrong sampai kemudian Mama divonis hamil sama dokter.”

Ageeta seperti ditampar saat sebuah bulir bening lolos dari mata Tama. Lelaki itu menangis.

Tanpa berpikir dua kali, Ageeta langsung melingkarkan kedua tangannya pada leher lelaki di hadapannya. Dirinya kemudian menarik Tama agar mendekat, lalu tanpa ragu menjemput bibir ranum Tama dengan bibirnya.

Air mata lolos dari netra Ageeta, berbarengan dengan lumatan dan hisapan halus yang dia berikan pada bibir Tama yang masih terpaku.

Di tengah kecupan, Ageeta berusaha merangkai kata.

Was it hard to suffer alone?

Tama bukannya menjawab, namun malah mengeratkan dekapannya pada Ageeta. Bibirnya mengambil alih cumbuan dan membuat Ageeta mengerang pelan.

I miss you, girlie. I miss you so bad.

Kecupan halus yang Tama berikan membuat Ageeta merasakan tubuhnya merinding.

Terlebih kala lidah basah milik Tama ikut mengambil peran, membelai lidah dan langit-langit mulutnya hingga rasa geli mendominasi.

Tama menyelesaikan cumbuannya kala tersadar kalau Ageeta mulai membutuhkan udara. Benang saliva terbentuk kala bibir mereka terlepas. Kemudian, ibu jari Tama secara impulsif bergerak menyapu belah bibir bawah Ageeta yang basah oleh saliva mereka.

“Lanjut ceritanya dulu.”

Gee mengangguk.

We passed nine months of the pregnancy dengan cukup berat. Mama sering ngamuk, mecahin banyak barang dan nangis berjam-jam. She was mentally unstable.

I tried very hard untuk jaga Mama dan kandungannya. Cause... It was just a baby, the purest creature ever.

“Dan waktu hari dimana Mama melahirkan, Mama nyetir tanpa sepengetahuan aku. Mama kecelakaan, dan bikin dia punya partial amnesia sama PTSD. Beruntung, bayinya bisa selamat walaupun dia kemungkinan bakal punya cacat permanen di kepala.”

“Bayinya dimana?”

“Di panti asuhan yang sering kita datengin. Namanya Garda.”

Ageeta berpikir sejenak sebelum tersadar.

“Jadi...”

“Iya, Sayang. Bayi yang hari itu kamu gendong dan kamu mandiin.”

Ageeta tidak tahu kenapa dirinya langsung menangis detik itu juga.

“Jangan nangis dulu, Gee. Kamu belum denger soal Adara.”

Saat mendengar nama itu, Ageeta berusaha menahan tangisnya hingga membuat Tama gemas.

“Jadi Adara siapa?”

Tama memperbaiki posisi duduknya sebelum kembali menjelaskan.

“Adik aku yang punya masalah kejiwaan, she suffers DID.

Then what's the problem?

The problem is she falls in love with me.

“Sinting.”

Tama mengangguk, “Sinting, memang.”

Cerita itu kemudian dilanjutkan dengan perjanjian antara Tama dan papanya, namun dengan menghilangkan bagian 'mimpi yang dia punya' sebab bagaimana pun, ini adalah Tama yang punya gengsi setinggi langit.

Kemudian, tanpa rasa ragu Tama kembali mendekatkan diri pada Ageeta. Bibirnya kembali menjemput ranum gadis itu dan mencecap semua rasa yang ada. Ciuman itu menjadi penyalur rindu dan resah yang mereka lewati selama berbulan-bulan. Banyak yang berusaha Tama sampaikan melalui decapan dan kecupan yang dia berikan.

I love you, Gee. I love you so bad.

Ageeta memejamkan matanya dengan napas tidak beraturan.

“Ayo baikan,” pinta Tama.

Sayang, Ageeta menggeleng pelan.

“Ayo istirahat dulu. Kamu capek dan aku capek. Nanti, kalau semua udah selesai, kalau semua udah jelas, baru kita melangkah lagi ke sana.

Untuk sekarang, ayo perbaiki diri kita dulu. Kamu yang harus belajar berbagi masalah dan beban, kamu yang harus istirahat dari semua beban yang kamu tanggung. Dan aku yang harus belajar lebih sabar dan lebih dewasa.

Kalau nanti kita sama-sama siap, ayo baikan dan ayo balikan.”

-

CONTENT WARNING : Mention of sexual harrashment, mention of violence, mention of traumatic event, mention of mental health issues, some kissing scene

“Tidurnya nyenyak?”

Suara Tama memasuki rungunya pertama kali saat Ageeta membuka mata. Kedua netranya mengerjap untuk menyesuaikan jumlah cahaya yang masuk ke area pupil, sebelum kemudian dapat melihat dengan jelas sosok Tama yang berdiri tegap di samping ranjang rumah sakitnya dengan tangan yang sibuk merapikan sesuatu.

You slept for almost two hours.

Ageeta mengerjapkan mata canggung. Mengingat kembali bagaimana dirinya yang memaksa Yudhistira untuk menghubungi Tama dan menyampaikan bahwa dia rindu.

Miss me?” tanya Tama dengan santai. Tanpa mempedulikan rona kemerahan yang langsung menyerbu Ageeta, menutupi wajah pucatnya yang bersih dari riasan.

Kangen banget, anjrit.

“Kamu ngapain di sini?”

“Nungguin kamu.”

Lelaki itu kemudian menarik kursi di samping tempat tidur Ageeta, membenahi posisinya agar dapat melihat Ageeta seutuhnya.

“Ada yang sakit?”

Gee mengerutkan dahinya, merasa tidak terbiasa dengan atmosfer yang tercipta antara dia dan Tama.

“Aku nanya, Gee.”

Ageeta mengangguk pelan. “Kepala aku pusing, pengen muntah, dan kakiku kebas. Tangan aku juga ngga bisa berenti gemetar.”

Dalam waktu dua detik setelah mendengar pengakuan itu, kedua tangan Ageeta sudah berada di genggaman hangat milik Tama. Telapak besar itu merangkum miliknya hingga tertutup sebagian besar. Jemari Tama mengelus buku-buku jarinya, mengantarkan rasa nyaman dan ribuan kupu-kupu ke dalam diri Ageeta.

“Tama,” panggil Ageeta.

“Iya?”

“Kita masih putus, kan?”

Tama terkekeh pelan hingga menampilkan deretan giginya.

Dan Ageeta yang pada dasarnya selalu lemah pada tawa dan senyum Tama pun langsung takjub melihatnya.

“Mau dengar cerita?”

Tanpa ragu, Ageeta mengangguk.

“Adara itu adik aku.”

Kalimat pertama dan pembuka, namun sudah mampu membuat Ageeta terkejut. Matanya tidak bisa berbohong, kalimat Tama barusan terlalu ambigu dan membingungkan.

“Maksud kamu?”

“Kamu mau tau soal keluarga aku, kan?”

Ageeta mengangguk pelan.

“Awalnya aku kira, menyembunyikan soal masa lalu adalah bagian dari privasi dan hak aku untuk ngga bagi semua itu ke kamu. Thanks a lot, Gee. Karena udah ngga pernah memaksa aku untuk terbuka soal itu selama setahun lebih.”

Ageeta masih kebingungan dengan arah percakapan yang Tama bawa.

“Kamu percaya sama aku selama ini, but when it comes to Adara, kamu mulai kehilangan kepercayaan itu. Did it feel useless to believe me over the whole year and find out that I probably cheating on you?

Ageeta mengangguk.

I'm sorry.

I lost my family when I was 18.

Ageeta baru tahu fakta ini.

“Mama sama Papa cerai, aku ikut Mama dan Papa ngga pernah ada kabar. Long short story, setelah beberapa tahun Papa balik lagi dan ngenalin keluarga barunya ke aku sama Mama.”

“Adara ada di situ, posisinya bukan sebagai anak tiri atau anak bawaan. Tapi ternyata sebagai anak kandung. Yang artinya, Papa udah selingkuh bahkan sejak tahun pertama pernikahannya sama Mama. It hit my Mom so bad, Mama ngerasa ngga berguna sebagai wanita.”

“Waktu aku ulang tahun, I found out my Mom left home. Aku ngga bisa nemuin Mama dimana pun.”

Mata Ageeta mulai memanas. Sedangkan Tama semakin mengeratkan genggaman tangannya.

“Setelah dua bulan, Mama balik lagi ke rumah dan hal yang bahkan lebih buruk terjadi.”

Ageeta menyela, “Kamu bisa berhenti cerita kalau berat. Jangan dipaksa.”

Gee tahu betul tangan milik Tama bergetar saat kata demi kata keluar dari mulutnya. Tapi Tama memilih untuk menggeleng.

“Biar aku lanjut.”

Tama berdeham singkat sebelum menyambung ceritanya.

“Mama... balik ke rumah dalam keadaan berantakan.”

Ada lirih dan getar samar di ujung suara lelaki itu. Ageeta pun menyadari kalau lelaki itu menahan tangis sekuat tenaga.

“Bajunya sobek dan bau alkohol. I didn't know that things goes wrong sampai kemudian Mama divonis hamil sama dokter.”

Ageeta seperti ditampar saat sebuah bulir bening lolos dari mata Tama. Lelaki itu menangis.

Tanpa berpikir dua kali, Ageeta langsung melingkarkan kedua tangannya pada leher lelaki di hadapannya. Dirinya kemudian menarik Tama agar mendekat, lalu tanpa ragu menjemput bibir ranum Tama dengan bibirnya.

Air mata lolos dari netra Ageeta, berbarengan dengan lumatan dan hisapan halus yang dia berikan pada bibir Tama yang masih terpaku.

Di tengah kecupan, Ageeta berusaha merangkai kata.

Was it hard to suffer alone?

Tama bukannya menjawab, namun malah mengeratkan dekapannya pada Ageeta. Bibirnya mengambil alih cumbuan dan membuat Ageeta mengerang pelan.

I miss you, girlie. I miss you so bad.

Kecupan halus yang Tama berikan membuat Ageeta merasakan tubuhnya merinding.

Terlebih kala lidah basah milik Tama ikut mengambil peran, membelai lidah dan langit-langit mulutnya hingga rasa geli mendominasi.

Tama menyelesaikan cumbuannya kala tersadar kalau Ageeta mulai membutuhkan udara. Benang saliva terbentuk kala bibir mereka terlepas. Kemudian, ibu jari Tama secara impulsif bergerak menyapu belah bibir bawah Ageeta yang basah oleh saliva mereka.

“Lanjut ceritanya dulu.”

Gee mengangguk.

We passed nine months of the pregnancy dengan cukup berat. Mama sering ngamuk, mecahin banyak barang dan nangis berjam-jam. She was mentally unstable.

I tried very hard untuk jaga Mama dan kandungannya. Cause... It was just a baby, the purest creature ever.

“Dan waktu hari dimana Mama melahirkan, Mama nyetir tanpa sepengetahuan aku. Mama kecelakaan, dan bikin dia punya partial amnesia sama PTSD. Beruntung, bayinya bisa selamat walaupun dia kemungkinan bakal punya cacat permanen di kepala.”

“Bayinya dimana?”

“Di panti asuhan yang sering kita datengin. Namanya Garda.”

Ageeta berpikir sejenak sebelum tersadar.

“Jadi...”

“Iya, Sayang. Bayi yang hari itu kamu gendong dan kamu mandiin.”

Ageeta tidak tahu kenapa dirinya langsung menangis detik itu juga.

“Jangan nangis dulu, Gee. Kamu belum denger soal Adara.”

Saat mendengar nama itu, Ageeta berusaha menahan tangisnya hingga membuat Tama gemas.

“Jadi Adara siapa?”

Tama memperbaiki posisi duduknya sebelum kembali menjelaskan.

“Adik aku yang punya masalah kejiwaan, she suffers DID.

Then what's the problem?

The problem is she falls in love with me.

“Sinting.”

Tama mengangguk, “Sinting, memang.”

Cerita itu kemudian dilanjutkan dengan perjanjian antara Tama dan papanya, namun dengan menghilangkan bagian 'mimpi yang dia punya' sebab bagaimana pun, ini adalah Tama yang punya gengsi setinggi langit.

Kemudian, tanpa rasa ragu Tama kembali mendekatkan diri pada Ageeta. Bibirnya kembali menjemput ranum gadis itu dan mencecap semua rasa yang ada. Ciuman itu menjadi penyalur rindu dan resah yang mereka lewati selama berbulan-bulan. Banyak yang berusaha Tama sampaikan melalui decapan dan kecupan yang dia berikan.

I love you, Gee. I love you so bad.

Ageeta memejamkan matanya dengan napas tidak beraturan.

“Ayo baikan,” pinta Tama.

Sayang, Ageeta menggeleng pelan.

“Ayo istirahat dulu. Kamu capek dan aku capek. Nanti, kalau semua udah selesai, kalau semua udah jelas, baru kita melangkah lagi ke sana.

Untuk sekarang, ayo perbaiki diri kita dulu. Kamu yang harus belajar berbagi masalah dan beban, kamu yang harus istirahat dari semua beban yang kamu tanggung. Dan aku yang harus belajar lebih sabar dan lebih dewasa.

Kalau nanti kita sama-sama siap, ayo baikan dan ayo balikan.”

-

CONTENT WARNING : Mention of sexual harrashment, mention of violence, mention of traumatic event, mention of mental health issues

“Bas? Is that you?

Suara penuh lirih itu terdengar saat Tama berhasil mencapai ruangan yang menjadi tempat sang mama beristirahat. Tama mengatur napas sejenak, jantungnya lumayan bergemuruh setelah berlari dari tempatnya memarkirkan mobil hingga sampai ke tujuan utamanya. Jarak dua tempat itu tidaklah dekat, Tama harus melewati beberapa gedung dan memacu langkah melalui lorong.

Sedikit cerita, wanita paruh baya itu mengalami Post Traumatic Stress Disorder akibat kecelakaan yang dia alami satu tahun yang lalu. Tak hanya itu, mama juga punya partial amnesia yang membuatnya tidak bisa mengingat sebagian masa lalu. Dua hal itu membawa mama berada di rumah sakit milik Dokter Liana ini. Mama diberi satu gedung khusus yang bentuknya mirip dengan rumah berukuran sedang, lengkap dengan dapur dan segala macamnya. Bukan tanpa alasan, Tama sengaja meminta fasilitas ini sebab lelaki itu tahu mama selalu suka berada di rumah, walaupun kata 'rumah' sebetulnya tidak lagi ada di antara mereka.

Kala pintu terbuka dan napasnya sudah dapat dia kendalikan, kedua netranya menangkap sosok itu tengah berbaring di atas tempat tidur berukuran besar di tengah ruangan.

Kedua tangannya terhalang sebuah borgol besi, dengan posisi di depan dada dan tubuhnya meringkuk bak janin di dalam kandungan. Ada bekas air mata yang menjejak basah di kedua pipi berkerut itu. Bagian bawah mata mama tampak lelah, menjadi bukti kalau wanita 40 tahunan itu tidak mendapat tidur yang pulas.

Rasanya, hati Tama seperti diremas kala melihat pemandangan di hadapannya.

Tama membawa langkahnya masuk ke dalam kamar, kedua tangan dan langkahnya bergetar namun berusaha dia samarkan sebaik mungkin.

Hey, Queen. Look, it's me,” ucapnya pelan.

Mama menajamkan pandangannya, berusaha menjernihkan kedua iris matanya yang penuh air, berusaha menangkap sosok jelas dari siluet tegap yang tengah melangkah ke arahnya.

Detik berikutnya, layaknya lensa kamera saat diatur oleh sang pengguna, bayangan yang semula samar dalam sekejap menampilkan presensi Tama di dalam matanya. Sosok tegap itu mendekat ke arahnya dengan kedua sudut bibir tertarik perlahan.

“Borgolnya.. Sakit..”

Tama mengangguk paham, matanya kemudian menjelajah untuk menemukan anak kunci untuk membuka penghalang itu. Sesegera mungkin, ia buka borgol yang bersarang di tangan sang mama, membebaskan kedua tangan halus itu dan langsung menggenggamnya erat.

“Mama kenapa ngelukain tangan lagi?” tanya Tama dengan nada suara yang ia usahakan sehalus mungkin.

Jemarinya mengelus bekas-bekas luka yang tertinggal di pergelangan tangan kurus di genggamannya, memerhatikan bekas-bekas itu dengan perasaan kacau dan mata yang memanas. Serta luka baru yang terbalut perban, letaknya sedikit di bawah nadi. Dengan hati-hati, Tama menyapukan ibu jarinya mengelus permukaan perban itu. Berharap dengan hal kecil yang dia lakukan, mama dapat merasakan energi yang coba ia salurkan lewat tatapan mata dan sentuhan penuh kasih sayang.

I saw a baby.”

Tama menegang.

That was probably me,” sanggahnya cepat. Namun, mama menggeleng tegas. Matanya berkobar berapi-api, tampak sangat ingin menjelaskan sesuatu pada Tama namun tidak dapat menemukan kalimat yang tepat untuk disusun di kepalanya.

“Bukan! I watch the baby version and the grown up version of you every single time, but this one is different!

Tama memandang wanita di hadapannya dengan penuh perhatian, jemarinya masih dalam posisi mengelus pergelangan tangan sang mama dengan penuh perasaan.

Tell me, pelan-pelan aja. Jangan paksain diri Mama.”

Mama memulai cerita dengan mata menajam dan tangannya memindahkan tangan milik Tama untuk dia genggam dengan penuh.

“Dia punya mata mirip seperti kamu. But yours are much more deeper, punya dia lebih lembut waktu dia lihat Mama.”

I saw him crying out of loud, it seems like that was the first time for him to see the whole universe.

Ah, Tama tahu saat itu.

Waktu makhluk kecil yang dia beri nama Garda terlahir ke dunia, mama sempat melihat sosok mungil itu sebelum tidak sadarkan diri selama berhari-hari. Mungkin sekelebat ingatan mama membawa momen singkat itu ke dalam kepalanya, membuatnya kembali merasa tertekan karena berusaha mengingat setiap detail kejadian yang muncul di syaraf otaknya hingga dirinya hilang kontrol.

“Mama inget sesuatu soal dia?”

“Ngga ada.”

Tama menghela napas panjang.

“Yang ada, cuma bayangan tiga laki-laki itu dateng ke kepala Mama. I remember how they rapped me tiap kali bayangan bayi itu ada.”

Mendengar itu, Tama merasa seperti sebuah pukulan keras telak menghantam dadanya. Ini bukan pertama kali Tama mendengar soal bayangan tiga laki-laki yang menjadi pelaku pemerkosaan mama dari mulut wanita itu, tapi entah kapan rasa sakit dan sesak akan menghilang tiap cerita itu terdengar di telinganya.

I was trying to see his face, but it turned out into a terrifying memory about those three men.

Suara mama terdengar bergetar. Ingatannya kembali membuatnya tak mampu mempertahankan emosi. Ingatan itu hanya datang sebatas kejadian mengerikan yang dia alami, sebatas itu dan bahkan tidak meninggalkan sedikit ruang pun bagi mama untuk mengingat Garda.

“Udah ya? Mama mau Bas peluk ngga?” tawar Tama mengakhiri cerita.

Sengaja, sebab dia sudah tidak sanggup mendengar lebih lanjut. Terlalu menyakitkan.

Mama mengangguk pelan, yang kemudian membawa Tama merebahkan dirinya di sisi kanan tempat tidur. Tubuhnya mengisi sisi kosong di sebelah mama, kedua tangannya melingkar di pinggang wanita paruh baya itu dengan erat, telinganya menempel tepat di posisi jantung mama berada.

Iramanya pelan, terdengar amat tenang walau Tama tahu otak dan batinnya berperang.

Alunan detak itu membawa sebuah ketenangan yang Tama tidak bisa jelaskan. Tenang, damai, apa pun kata yang bisa menggambarkan rasa lega dan aman yang dia rasakan saat mendengar alunan jantung mama.

Rasanya hampir sama seperti setiap kali dirinya merengkuh Ageeta.

Mind to share some stories, little one?

Tama terkekeh mendengar panggilan lama itu.

Napas wanita itu terdengar di telinganya, mengingatkan Tama pada Ageeta yang sekarang mungkin tengah merengut kesal karena dirinya.

“Mama inget Ageeta?”

Mama berdeham sejenak.

The girl you use as your phone home screen?

Tama mengangguk.

We broke up.

Mama menoleh, lalu tanpa Tama duga, sebuah pukulan cukup kencang mendarat di dahinya.

“Kamu aneh-aneh, kan? Kamu pasti bikin salah sampai bisa putus, kan?”

Tama mengerjapkan kedua matanya sebelum tersadar dan tertunduk.

“Iya.”

Tama melanjutkan kalimatnya dengan mata terpejam. “Bas bikin dia merasa kurang di mata Bas.”

Mata mama memicing.

What did you do actually?

I let her suffer her insecurities alone,” balas Tama.

Dia melanjutkan, “Bas bikin dia mikir kalau Bas selingkuh, sampai dia kehilangan kepercayaan dan sempat bentak dia.”

That's not a manner of a man, little one.

I know, right.

Have you ever told her that you love her?

Tama menggeleng perlahan.

I hide many things from her. About my life, about my past, about my feelings on her. I hide many things, Mam.”

Tama dapat merasakan tangan mama merangkak menyusuri rambut tebal miliknya, membuatnya makin ingin memejamkan mata sebab rasa nyaman dan aman yang menyeruak.

Do you love her?

Tama mengangguk.

I do.

Mama tersenyum simpul.

Then let her know, tell her.

I just never find a proper way to tell her.

Sisiran tangan mama masih berlanjut di rambutnya.

Telling your stories of the past would be the best one. Berbagi kesedihan sama dia bisa jadi salah satu jalannya. Kalau kalian begini, tanpa sadar bakal mengundang sakit buat diri kalian masing-masing.”

“Maksud Mama?”

“Dia sakit karena kamu ngga pernah terbuka sama dia. Sedangkan kamu sakit karena ngga pernah membagi beban kamu sama siapa pun.”

Tama mencoba memahami kalimat itu.

You both suffer the different paths.

Mama melarikan jari telunjuknya untuk berada di dahi Tama, kemudian menggambar beberapa pola abstrak di dahi putih milik puteranya itu.

One question. Apa yang membuat kamu memutuskan untuk jatuh cinta sama Ageeta?”

Tama berpikir sejenak, menimbang-nimbang alasan yang tepat soal itu. Ada banyak pendapat yang melewati benaknya perkara kenapa dia bisa jatuh cinta pada Ageeta, semua hal itu datang satu persatu menghinggapi pikirannya.

“Mungkin karena dia yang selalu ceria? Atau karena dia yang selalu kelihatan ngga peduli sama nilai padahal diam-diam punya kekhawatiran paling besar soal masa depan? Atau mungkin karena Ageeta penyayang?”

Mama menyela, “More specific, please?

Tama berpikir lagi.

“Karena dia satu-satunya yang ngga nanya kenapa Bas selalu kelihatan diam.”

“Karena Ageeta satu-satunya yang malah dengan lantang bilang kalau Bas punya hak untuk diam bahkan sepanjang tahun.”

“Karena Ageeta satu-satunya yang ngga pernah nanya kenapa Bas merokok atau kenapa Bas minum, tapi diam-diam tetap buang rokok dan whine punya Bas kalau Bas lagi lengah.”

Sebuah senyum muncul di wajah mama.

“Biar dia tau semua, Bas. Biar Ageeta jadi satu-satunya yang tau kenapa kamu selalu kelihatan diam. Biar Ageeta jadi satu-satunya orang yang tau kenapa kamu merokom atau minum. Biar dia jadi satu-satunya tempat kamu berbagi masa lalu.”

Tama mengeratkan pelukan.

“Bas... takut.”

“Takut dia malah pergi setelah tau cerita kamu?”

Tama mengangguk pelan. Matanya terasa panas dan bahunya mulai bergetar pelan.

Little one, listen. Dia tau yang dia lakukan sejak awal, she chose you over a million men, walaupun dia tau kamu diam dan datar. Dia tetap milih kamu walau tau kamu merokok dan minum. Apa artinya?”

Tama diam dalam dekapan sang mama.

“It means she loves you, a lot.*”

But we broke up.

“Itu karena dia merasa yang dia percayakan sama kamu selama ini sia-sia setelah menganggap kamu selingkuh. Kalau satu kesalahan itu ngga terdeteksi sama dia, Mama yakin dia tetap percaya sama kamu.”

Mama melanjutkan kalimatnya, “Go to her, go explain everything. Tell her that you love her for the whole of the world.

“Mama.”

Yes, little one?

Thanks a lot.”

Umm-hmm, and promise me you'll bring her here as soon as possible.

Tama tertawa mendengar itu.

Wanita itu... tampak baik-baik saja. Wanita itu tampak kuat dan tidak punya sisi rapuh di dalam dirinya. Tapi jauh di dalam dirinya, Tama yakin kalau mama sebetulnya menyembunyikan banyak luka dan derita.

“Mama.”

“Ya?”

Don't hurt yourself ever again.

Di ujung kalimatnya, Tama tidak menyadari kalau mama tidak pernah menjawab permintaannya yang satu ini selain dengan kembali mengelus puncak kepalanya.

-

Ketika layar ponselnya sudah meredup, Tama memindahkan satu lengannya untuk berada di atas kepala, menghalau cahaya memasuki netra miliknya yang terasa amat berat.

Tidak ada yang terasa benar baik hari ini maupun hari kemarin.

Semua yang dia rencanakan, semua yang dia susun di otaknya, semua yang dia yakini akan berjalan sesuai ekspeksi, nyatanya berada di ambang kehancuran.

Perjanjiannya dengan Tuan Besar Naratama terlepas, Tama mengakui kalau dirinya tidak lagi mampu memikul hal itu.

Adara... terlalu gila untuk dilawan.

Kalau ditanya soal adiknya itu, Tama akan dengan lantang menjawab kalau dia lebih memilih untuk tidak mengenal sosok itu. Kehadiran Adara dalam hidupnya sewaktu umur 18 tahun sudah cukup menghancurkan hidupnya, dan selama dua tahun, Tama mengembang tanggung jawab untuk menjadi penjaga gadis itu. Mengatur jadwal pengobatannya, membuat janji pada beberapa dokter kejiwaan, memastikan gadis itu meminum obat dengan benar.

Bahkan membuat dirinya harus menghadapi hal lebih gila saat Adara menyatakan perasaan padanya.

Semua hal terasa berat, sangat.

Awalnya, kala papa menawarkan perjanjian itu padanya, Tama hanya termotivasi menerima sebab tergiur pada angka 30% yang akan dia terima. Well, angka itu akan membuat dirinya terbantu di masa depan. Tapi sejak punya Ageeta, Tama mulai menyusun rencana masa depannya dengan lebih terarah. Bertanya pada beberapa orang yang dia kenal soal properti dan tipe rumah, dan hal lain yang berkaitan dengan masa depan.

“Dulu waktu kecil, aku pengen banget punya rumah yang ada taman bunga lilac sama baby's breath di bagian depan. Aku juga pengen punya rumah yang ada sunroom, biar nanti kalau punya bayi, aku bisa ngajak dia sun bathing di situ.”

Tama ingat kala itu Ageeta sedang berbaring di sisinya, tangan kanannya terangkat dan menggambar pola abstrak di udara. Tama ingat tiap baitnya, dan sejak hari itu dirinya yakin kalau dia punya satu keinginan.

Ageeta, rumah dengan taman bunga dan sun room, serta dirinya.

Cukup dan tidak ada hal lain.

Sayangnya, mimpi satu itu mungkin tidak bisa dia capai. Tama kehilangan Ageeta lebih awal.

Dunia seakan tidak bisa mencukupkan diri dengan membuat keluarganya tidak utuh. Orangtua bercerai, Johnny dan Kinara yang sempat dia anggap tempat bersandar juga ikut hancur karenanya, dan sekarang Ageeta.

Menghela napas berat dan menyelesaikan lamunan panjang, Tama bergegas bangkit dari tempat tidur. Kepalanya tertoleh kala notifikasi pesan masuk muncul dari ponselnya. Nama Yudhistira tertera di layar, menampilkan sebuah pesan singkat yang membuatnya langsung berlari keluar daei unit apartemennya, bertujuan untuk sesegera mungkin mencapai rumah sakit tempat Ageeta dirawat.

From : Yudhis Ageeta siuman

-

*Content Warning : Blood

Setelah sempat merasakan kegelapan mendominasi dunianya, saat dimana dia merasa sudah ditarik ke alam yang berbeda, Ageeta kembali tersadar kala bayangan Haikal dan kalimatnya melintas bak cahaya putih di benaknya.

Haikal pernah bilang kalau manusia hidup dengan sangat singkat dan tak terduga. Hari ini mungkin seseorang bisa merasa dirinya tak terkalahkan, bahkan bisa menggenggam dunia dengan sejumput jari, tapi di hari berikutnya bisa saja dia jadi yang paling mengenaskan. Waktu Haikal bilang begitu, Ageeta hanya berdeham sebagai respon sebab dia berpikir adiknya itu bicara omong kosong.

Nih anak abis nonton serial anime mana lagi nih, pikirnya.

Tapi sekarang, waktu Ageeta pertama kali menyadari kalau dirinya sudah tergeletak di aspal dengan beberapa bagian tubuh bercucuran darah, Ageeta tahu kalau ucapan Haikal sepenuhnya benar. Dia merasa hidupnya baik-baik saja kemarin, meski dengan masalah percintaan yang cukup rumit, tapi hari ini semua hal berputar ke arah berlawanan.

Kalau Ageeta punya kesempatan untuk memohon pada Tuhan lebih banyak, dia akan berlutut menyampaikan satu hal. Bahwa kalau pun nyawanya harus terlepas dari tubuh sesegera mungkin, Ageeta ingin diberi satu hari khusus.

Dia mau bertemu Haikal, memeluk adiknya itu dengan erat dan menepuk kepalanya. Setidaknya memberi tahu remaja itu bagaimana cara mengoperasikan rice cooker dan microwave dengan benar agar tidak perlu kesulitan saat dirinya pergi.

Dia mau bertemu Jevian, untuk sekedar meminta maaf karena pernah mengempeskan ban mobil lelaki itu sebab sudah mengenalkan Tama pada benda bernama rokok.

Dia mau bertemu Yudhis, sebab Ageeta baru sadar kalau dia tidak pernah benar-benar berterima kasih pada lelaki itu karena sudah membuatnya bertemu dengan sosok Tama, serta karena sudah menjadi tempat terbaik baginya untuk berkeluh kesah.

Ageeta juga ingin setidaknya sekali lagi melihat Tama. Tidak ingin mengucapkan sepatah kata pun, sebab dia takut. Takut kalau dirinya menyesali keputusan yang dia ambil untuk berpisah dengan sosok itu. Takut kalau dia tidak bisa meninggalkan lelaki itu dengan sepenuh hati. Amat takut, sampai rasanya kata apa pun yang mungkin terucap tidak akan bisa menggambarkan yang dia rasakan terhadap sosok Tama.

Terakhir, Ageeta ingin setidaknya sekali melihat Kinara. Untuk sekedar melihat gadis pendiam itu tersenyum, sekali saja. Karena selama bertahun-tahun mengenal Rara, Ageeta tidak pernah benar-benar melihat Rara menarik kedua ujung bibirnya dengan cara yang benar, tidak dengan kebahagiaan yang terpancar.

Sayangnya, hal terakhir yang dia sebutkan sepertinya mustahil. Yang Ageeta lihat di hadapannya adalah mobil Audi hitam milik Rara sudah dalam keadaan hancur di bagian depan, dan Kinara sendiri masih terjepit di belakang kemudi.

Kinara, tadi sempat mendorong Ageeta keluar dengan cara menendang pintu mobil di sampingnya, membuat Ageeta tidak sempat merasakan benturan lebih lanjut sebab sudah terlempat keluar. Sedangkan Rara dan mobilnya, masih berlanjut menabrak pembatas jalan hingga melewati setidaknya lima beton.

“Gue mati ya ini?”

Kemudian, suara denging keras menguasai rungunya.

Rasanya sakit luar biasa.

Kemudian, di ujung rasa sakit yang dia yakin bisa membuat kulit kepalanya terlepas itu, dalam samar suara-suara panik milik orang-orang mulai mengerumuni. Ada yang berteriak meminta pertolongan. Juga ada bunyi tangkapan kamera yang mungkin menyorotnya. Tapi yang menarik perhatiannya adalah sebuah suara yang terasa familiar, suara itu memanggil namanya dalam getar dan terdengar amat panik.

Ageeta!

Ah, suara milik Yudhis. Rasanya Ageeta ingin tersenyum saking leganya.

Dia mungkin akan hidup.

Lalu, suara lain merasuki telinganya dan kali ini membuatnya malah ingin menangis.

Gee, sayang. Bangun, aku mohon.

Itu suara Tama.

Disusul dengan suara yang dia yakin milik Johnny, yang meraung memanggil nama Kinara.

Kemudian, semua hal kembali gelap.