writer.as/lalalafindyou

“Ageeta.”

Ageeta langsung menoleh kala suara lembut milik Kinara menyapa rungunya. Gadis di belakang kemudi itu tampak gelisah, tidak seperti Kinara Larasati yang tenang seperti biasa.

“Rara kenapa?” tanyanya dengan kedua alis terangkat.

Girl, listen. Kalau ada apa-apa terjadi, aku bakal banting setir ke kanan, yang artinya benturan bakal lebih banyak ke arah aku. You gotta be safe, Gee.”

Ageeta semakin kebingungan dengan sederet kalimat itu.

Now, can you do me a favor?

Ageeta tanpa ragu mengangguk, entah bagaimana. Padahal kepalanya masih dipenuhi pertanyaan seputar sikap Kinara yang aneh.

“Aku tau kamu lagi marahan sama Bas, tapi sekarang bisa kamu unblock nomer dia?”

“Kamu... kenapa manggil dia Bas?”

Kinara tersenyum miris. “I used to call him that way, as well as Johnny.”

“Kamu... kenal Tama?”

Kinara mengangguk pelan sambil masih berusaha memfokuskan diri pada kemudi.

“Bas pasti punya banyak cerita yang dia mau bagi sama kamu. He's just too scared that you'll leave him all alone setelah kamu tau beberapa hal soal dia.”

“Ageeta,” sambung Kinara sebelum kembali melanjutkan pertanyaannya.

Those feelings are still existing for him, right?

Sekali lagi, Ageeta mengangguk pelan.

All right, sekarang lakuin yang aku minta demi rasa yang kamu masih punya itu.”

“Apa?”

“Kalau sesuatu terjadi sama kita, call him immediately. Save yourself, dan jangan pikirin aku.”

Usai kalimat itu, Ageeta hendak membuka mulut untuk menyanggah.

Sayangnya, gadis itu terhenti lantaran suara ledakan besar terdengar dari kap mobil bagian depan.

Detik berikutnya, yang Ageeta ingat terakhir kali adalah mobil yang mereka tumpangi terpelanting menuju badan jalan dan menabrak pembatas beton. Ageeta terlalu terkejut untuk merasa panik. Rasanya seluruh dunia berputar tepat di depan matanya. Yang dia tahu, Kinara benar-benar membanting setir ke arah kanan.

Dan seumur hidupnya, Ageeta tidak pernah merasa seputus asa ini.

Tangannya berusaha menggapai ponsel yang terjatuh di bagian bawah kursi penumpang. Dia harus menghubungi Tama sebisa mungkin

Depan rumah makan padang, Jalan Kapitan Patimura

Sayang, kalimat itu tidak sempat tersampai sebab Ageeta terlanjur melihat kegelapan menghitam di depan matanya.

Gadis itu tidak sadarkan diri.

Content Warning : Mention of mental health

Waktu gue umur 18 tahun, bokap sama nyokap cerai. Gue ngga bisa cerita lebih lanjut soal ini, intinya mereka pisah dan gue milih buat tinggal sendiri.”

Tama menatap kaleng minuman bersoda di tangannya dengan seksama, sembari menyusun deretan kalimat di dalam kepalanya untuk disampaikan kepada tiga orang di hadapannya; Jevian, Yudhis, dan Haikal.

“Di semester dua, yang artinya waktu umur gue 19 tahun, Papa ngenalin Adara ke gue sebagai anaknya. Gue kaget, dan yang bikin gue lebih kaget adalah fakta kalau Adara ini sebenernya bukan anak tiri, tapi anak kandung.”

Haikal, yang sejak tadi punya reaksi paling dramatis di antara ketiga orang itu, langsung melotot tidak percaya. Mulutnya ternganga dan langsung mengeluarkan sepatah kata andalan.

Daebak! Kaya sinetron SCTV!”

Lalu remaja itu mendapatkan hadiah geplakan di kepala belakangnya oleh Jevian.

“Lanjut, bro. Ini anak nanti biar gue yang tabok kalo responnya aneh-aneh lagi,” sanggah Jevian.

Tama diam sejenak sebelum melanjutkan ceritanya.

“Si Adara ini punya Dissociative Identity Disorder, yang sejauh ini munculin dua karakter. Satu, Adara yang polos dan baik. Dua, Adara yang egois dan obsessed sama gue. Adara yang pertama ini selalu muncul di hadapan bokap, yang bikin dia selalu percaya kalau Adara ini anak baik. Meskipun dia tau fakta kalau Adara punya DID, tapi Papa ngga pernah liat langsung karakter lain selain Adara yang polos ini. Makanya dia ngga pernah percaya sama gue.”

“Bentar,” Yudhis menyela sambil memegangi kepalanya.

“Kepala gue puyeng.”

“Otak lo dangkal, Bang.”

“Serius gue, anjing.”

Tama kembali menghela napas lelah.

“Intinya begitu, dan Dara ini ngga segan-segan nyakitin Ageeta.”

Haikal mengangguk pelan.

“Jadi teror yang Teteh dapet selama ini tuh ulahnya si Adara ini?”

Tama mengangguk menyetujui.

“Gue kira cukup sampai di sini. Sisanya cukup gue yang tau, ranahnya terlalu pribadi.”

Kali ini, Jevian yang membuka suara.

“Jadi... sekarang ngapain?”

“Gue butuh bantuan lo buat nyadap isi hp Adara, Jev. Bisa?”

Dan Jevian mengangguk.

Content Warning : Mention of mental health

“Waktu gue umur 18 tahun, bokap sama nyokap cerai. Gue ngga bisa cerita lebih lanjut soal ini, intinya mereka pisah dan gue milih buat tinggal sendiri.”

Tama menatap kaleng minuman bersoda di tangannya dengan seksama, sembari menyusun deretan kalimat di dalam kepalanya untuk disampaikan kepada tiga orang di hadapannya; Jevian, Yudhis, dan Haikal.

“Di semester dua, yang artinya waktu umur gue 19 tahun, Papa ngenalin Adara ke gue sebagai anaknya. Gue kaget, dan yang bikin gue lebih kaget adalah fakta kalau Adara ini sebenernya bukan anak tiri, tapi anak tunggal.”

Haikal, yang sejak tadi punya reaksi paling dramatis di antara ketiga orang itu, langsung melotot tidak percaya. Mulutnya ternganga dan langsung mengeluarkan sepatah kata andalan.

Daebak! Kaya sinetron SCTV!”

Lalu remaja itu mendapatkan hadiah geplakan di kepala belakangnya oleh Jevian.

“Lanjut, bro. Ini anak nanti biar gue yang tabok kalo responnya aneh-aneh lagi,” sanggah Jevian.

Tama diam sejenak sebelum melanjutkan ceritanya.

“Si Adara ini punya Dissaosiative Identity Disorder, yang sejauh ini munculin dua karakter. Satu, Adara yang polos dan baik. Dua, Adara yang egois dan obsessed sama gue. Adara yang pertama ini selalu muncul di hadapan bokap, yang bikin dia selalu percaya kalau Adara ini anak baik. Meskipun dia tau fakta kalau Adara punya DID, tapi Papa ngga pernah liat langsung karakter lain selain Adara yang polos ini. Makanya dia ngga pernah percaya sama gue.”

“Bentar,” Yudhis menyela sambil memegangi kepalanya.

“Kepala gue puyeng.”

“Otak lo dangkal, Bang.”

“Serius gue, anjing.”

Tama kembali menghela napas lelah.

“Intinya begitu, dan Dara ini ngga segan-segan nyakitin Ageeta.”

Haikal mengangguk pelan.

“Jadi teror yang Teteh dapet selama ini tuh ulahnya si Adara ini?”

Tama mengangguk menyetujui.

“Gue kira cukup sampai di sini. Sisanya cukup gue yang tau, ranahnya terlalu pribadi.”

Kali ini, Jevian yang membuka suara.

“Jadi... sekarang ngapain?”

“Gue butuh bantuan lo buat nyadap isi hp Adara, Jev. Bisa?”

Dan Jevian mengangguk.

Selama hampir tiga tahun mengenal sosok Baskara Naratama, yang terpikir oleh Yudhis tiap melihat presensinya adalah gelap. Tama dan cerita tentang dirinya itu gelap, Yudhis bahkan tidak bisa melihat seberkas warna lain selain mendung dan kelabu pada kehidupan Tama.

Awalnya Yudhis kira, akan sangat sulit memecah keheningan jika berada di dekat Tama. Sebab dalam sekali lihat, dia bisa menyimpulkan bahwa lelaki itu tidak suka banyak bicara. Berbanding terbalik dengan dirinya ataupun Jevian yang suka mengomentari hal-hal sederhana dan suka bercanda.

Singkat cerita, Tama, Jevian, dan Yudhis itu teman satu kelompok pada saat ospek waktu jaman mahasiswa baru. Waktu itu mereka diminta membentuk kelompok yang isinya 10 orang, terdiri dari tiga lelaki dan sisanya perempuan. Karena mereka bertiga berdiri berdekatan, jadilah ketiganya memilih untuk berada di dalam kelompok yang sama. Sebetulnya karena Yudhis malas untuk bergerak hanya untuk mencari kelompok, ditambah lagi tampaknya maba perempuan malah kegirangan sebab tiga orang paling most wanted (kata Yudhis tiga, kata Jevian cuma dua dan Yudhis tidak termasuk) seantero Prodi Teknik Sipil berada di satu kelompok.

Sejak itu, mereka jadi sering bertemu secara tidak sengaja. Ditambah, ketiganya berada di kelas yang sama dan selalu memilih mata kuliah dengan dosen yang sama. Ketiganya selalu bersama sampai sekarang, bukan dalam artian selalu berada dalam jarak dekat setiap hari, tapi lebih kepada saling menjadi andalan dan sepertinya seluruh warga fakultas tahu pasal ini.

Di tahun pertamanya mengenal Tama, Yudhis masih berprinsip bahwa Tama tidak punya warna dalam hidupnya. Tama itu monoton, banyak diam, dan tidak suka basa-basi. Maka dari itulah, dia dan Jevian sampai mengira Tama diberi guna-guna oleh Ageeta kala kedua orang itu dikabarkan dekat sampai berujung resmi berpacaran.

“Tapi lo sadar ngga, sih? Tama tuh jadi jarang nyebat sejak sama Ageeta.”

Itu kata Jevian lebih dari setahun yang lalu. Tepat saat mereka berdua memerhatikan Tama yang memberikan seluruh atensi dalam diam kepada Ageeta yang tengah bercerita dengan antusias.

Yudhis setuju dengan itu.

Tama punya setidaknya satu warna dalam kesehariannya sejak kehadiran Ageeta.

Terlepas dari perasaan yang dia miliki pada gadis itu, Yudhis tahu kalau dua orang itu saling bersandar satu sama lain. Bedanya, Ageeta dengan terang-terangan mengatakan kalau Tama punya dirinya sebagai tempat pulang. Sedangkan Tama lebih memilih untuk berjalan di belakang gadis itu, memerhatikan langkahnya dalam diam dan menjadi orang pertama yang menyambutnya kala jatuh.

Maka, saat hari ini Tama mengajak dirinya, Jevian, dan Haikal untuk bicara secara langsung mengenai permasalahan yang ada, Yudhis yakin kalau temannya itu tidak sepenuhnya diam dan berpangku tangan.

Ada pergerakan besar yang dia lakukan tanpa siapa pun tahu. Sebab Yudhis kelewat paham, kalau Baskara Naratama lebih memilih untuk menyelesaikan segala hal sendiri tanpa melibatkan siapa pun, terlebih jika urusannya menyangkut soal Ageeta.

Ageeta berkali-kali mengumpat kala sebuah ketukan pada pintu terdengar di rungunya. Gadis dengan piyama bermotif bangau itu menyumpahserapahi Haikal yang menjadi pelaku malam ini. Kalau saja Haikal tidak sepilih kasih itu pada Tama, adiknya itu pasti akan mendengarkan permintaan Ageeta untuk menolak siapapun yang datang ke rumah mereka.

“Aku boleh masuk?”

Itu suara Tama, Ageeta bisa menebaknya dalam sekali mendengar. Dia diam tanpa memberi respon, menunggu dalam hening sebab kelewat paham jika Tama akan tetap masuk ke dalam kamarnya meskipun dia bilang tidak.

Detik berikutnya seperti tebakannya, kepala Tama muncul lebih dahulu melalui pintu, kemudian tubuh lelaki itu masuk sepenuhnya ke dalam kamar bernuansa putih miliknya.

Ageeta membuang pandangannya ke arah jendela, sepenuhnya enggan menatap presensi lelaki yang tengah berjalan ke arahnya dengan tangan kanan menenteng sebuah kantong plastik berisi beberapa bungkusan makanan.

“Makan dulu,” ucap Tama.

Ah sialan, mendengar suara raspy milik lelaki itu membuat Ageeta serasa dihantam ribuan batu besar. Suara dalam yang biasanya ia kagumi itu terdengar lelah, dan kali ini tak ada rasa kagum yang hinggap kala suara itu mengalun masuk ke indera pendengarannya.

“Pulang.”

Ageeta yakin Tama sedang menghela napas karena ucapannya.

Tak lama kemudian, ranjang yang ia duduki terasa bergoyang. Tama ikut duduk di sana tanpa suara, tangannya meletakkan bungkusan plastik yang tadi ia bawa di depan tubuhnya, membuka benda itu dan memposisikan satu persatu isinya dengan rapi.

“Ngga perlu ajak aku ngomong, cukup makan aja.”

Ageeta menoleh kala mendengar kalimat yang diudarakan Tama, kedua matanya memindai ekspresi wajah di hadapannya ini dengan tatapan penuh selidik. Mencoba mencari apa jenis rasa yang Tama miliki saat mengucapkan kalimatnya.

“Kamu... bener-bener ngga nganggep omongan aku di chat tadi penting ya?”

Tama tak memberi respon.

“Makan, Ageeta.”

“Kita break.”

Tama beralih membuka sebuah kotak sterofoam di hadapannya, dan hal itu membuat bau makanan yang Ageeta yakin adalah mie ayam kering kesukaannya merebak ke suluruh ruangan.

“Makan.”

“Tama liat aku,” sergah Ageeta.

Tapi lelaki di depannya masih sibuk membenahi makanan di dalam kotak.

“Baskara Naratama.”

Have your dinner, Ageeta.”

Sayangnya, Ageeta bukan tipe perempuan yang akan langsung menyerah.

I'm not gonna eat anything from you, Bas.”

Telak.

Tama langsung terpaku di tempatnya dengan rahang mengeras. Tangannya mengepal kuat dan kepalanya langsung mendongak menatap Ageeta yang menunjukkan raut wajah serius.

Where did you get that nick name?”

“Ngga penting.”

Tama kembali mengetatkan rahangnya, dan hal ini membawa sedikit kerutan di dahi Ageeta.

“Makan, sekarang.”

Mendengar perintah itu lagi, Ageeta memutar bola matanya dengan malas. Gadis itu kemudian bergerak cepat menarik kotak sterofoam di dekatnya, bermaksud untuk menyingkirkan sejenak benda itu agar Tama berhenti memintanya untuk makan.

Namun sayangnya, Ageeta tidak memperkirakan kekuatan yang ia pakai untuk menarik kotak itu.

Pada akhirnya, makanan yang ada di dalam sana tumpah ruah ke atas kasur. Sebagian bahkan mengenai celana piyama miliknya. Ageeta mematung melihat tumpahan itu, matanya mengerjap pelan sebab tak menyangka bahwa tindakannya akan berakhir seperti ini.

Tapi yang paling tidak dia sangka adalah sebuah teriakan dari lelaki di depannya yang ditunjukkan padanya.

“AGEETA!”

Hatinya mencelos.

Demi Tuhan, siapa pun tidak pernah meneriakinya sekencang itu. Baik ayah mau pun bunda, atau bahkan Haikal sekali pun, tidak ada yang pernah memanggil namanya dengan nada setinggi itu.

“Kamu... barusan bentak aku?” tanyanya dengan suara bergetar.

Tama tampak memejamkan mata kalut, lelaki itu tampak sangat kelelahan. Kedua bagian bawah matanya sedikit kehitaman, pertanda bahwa dia tidak mendapatkan waktu tidur yang cukup. Kalau biasanya Ageeta akan luluh ketika melihat wajah lelah itu, kali ini tidak. Wajah kalut itu malah membuatnya semakin bergetar ketakutan.

“Gee...”

Ageeta mulai terisak, tangisnya pecah dalam sekejap saat mendengar suara Tama kembali pada kelembutan.

“Pulang.”

“Gee, dengerin dulu.”

Ageeta menggeleng kuat. Air matanya masih terus mengalir. Dia sebetulnya benci kalau harus terlihat lemah di depan lelaki ini, tapi sekarang, tubuhnya menolak untuk berkompromi.

Hatinya sakit.

Ageeta tidak suka dibentak, dan itu mutlak.

“Jangan nangis...”

“Pulang sekarang.”

“Gee...”

“PULANG, TAMA! AKU BILANG PULANG!”

Tama semakin kalut. Lelaki itu menangkup kedua tangannya ke wajah, semakin frustasi ketika mendengar suara tangisan Ageeta yang semakin kencang. Isaknya terputus-putus, sampai cukup membuatnya sulit bernapas.

Kali ini, Tama tahu bahwa dirinya sudah melakukan sebuah kesalahan fatal.

“Gee, dengerin dulu.”

“Bas, please.”

Tama kembali mengetatkan rahangnya, lelaki ini berusaha mengontrol emosi agar keadaan tidak semakin parah.

Not that nick name, please?” pintanya pelan pada Ageeta.

Why? Does that 'Bas' bring a memory about Adara? Iya?”

Ageeta menarik napas sebelum melanjutkan. “Kalau iya, itu artinya aku bakal selalu manggil kamu Bas supaya kamu keinget Adara tiap sama aku. That's the only way to know what happened between you and her.

“Jangan kaya anak kecil bisa ngga?”

Ageeta menggeleng kencang sambil berusaha menghentikan tangisnya.

I've told you, kalo ngga mau sama cewek childish kaya aku, mending kita putus. Now it's all up to you, you better get your ass away of me and take your time with that whore.”

“Ageeta!”

Gadis itu tertawa cukup kencang di tengah tangis.

“Kamu teriak ke aku dua kali.”

Tubuhnya bangkit dari ranjang, kakinya ia bawa menuju pintu utama. Susah payah sebab dirinya harus menyingkirkan bekas tumpahan makanan yang melekat di celana piyama yang ia pakai, namun tak menghalangi langkahnya untuk menuju pintu.

“Pergi.”

Tama menatapnya dengan pandangan yang ia enggan artikan.

“Aku tadinya mau sekedar break supaya kamu sadar salah kamu apa. Tapi malam ini, kamu buktiin sama kamu kalau kita emang ngga bisa lagi diperbaiki.”

Ditariknya napas sejenak sebelum melanjutkan.

“Maksudku, kamu. Kamu yang ngga bisa diperbaiki.”

“Hubungan itu antara dua orang, Tama. Isinya aku sama kamu, bukan kamu aja atau aku aja. Kita ngga bisa jalanin hubungan kalau semuanya tentang aku, atau semuanya cuma tentang kamu.”

Suaranya kembali bergetar, namun Ageeta berusaha keras menahannya.

“Hubungan itu soal komunikasi dan saling terbuka. Sedangkan di hubungan kita, aku rasa cuma aku yang terbuka. Cuma aku yang cerita, dan itu ngga cukup. Aku ngga tau masa lalu orang yang aku sayang ini gimana. Aku ngga tau orang yang aku sayang ini hari-harinya baik atau buruk. Sedangkan kamu, kamu tau semua tentang aku karena aku ngga pernah lewatin satu cerita pun di hidup aku untuk dibagi ke kamu.”

“Ageeta...”

No, jangan panggil nama aku. Suara kamu... wajah kamu... bahkan napas kamu pun bikin aku sakit sekarang.”

Ageeta bergerak memutar gagang pintu, mempersilakan Tama untuk undur diri dari kamarnya.

It's a goodbye, I guess.

Tama bangkit dengan cepat dari tempatnya. “Ngga, ngga ada yang kaya gitu.”

“Ada. We break up. Kita selesai, putus, tamat.”

Ageeta menghela napasnya sekali lagi.

“Jangan muncul lagi di depan aku, ya?”

Trigger Warning : Mention of blood

Saat ujung matanya menangkap siluet tubuh lain di belakangnya meski dengan jarak yang cukup jauh, Ageeta paham kalau ada yang tengah tidak beres mengejarnya.

Gadis itu dengan terburu melangkah menuju ruang kelas tempatnya meninggalkan buku tebalnya tadi siang, secara terburu-buru mencari benda itu di tempat terakhir dia meletakkannya. Untungnya, buku itu tergeletak dalam jangkauan mata, tepat di atas bangku di deretan paling depan sehingga dirinya dapat dengan mudah menemukannya.

Maka ketika buku sudah di tangan, Ageeta bergegas keluar dari ruang kelas itu dan melangkah cepat menuju koridor.

Kampus sepi, dan Ageeta merutuki kebodohannya karena ke sini sendirian. Dengan tergesa, kedua kakinya ia ayunkan agar dapat dengan segera menuju gerbang utama fakultas, karena sejujurnya, Ageeta sudah mulai merasa tidak nyaman dengan kesunyian yang melingkupinya.

Harusnya begitu. Harusnya, Ageeta sudah sampai di depan gerbang keluar fakultasnya dalam hitungan menit. Namun keadaan berbalik kala suara langkah lain menggema di belakangnya. Suaranya terdengar keras, sampai membuat seisi koridor hanya diwarnai oleh langkah itu. Ia sadar kalau sosok yang mengikutinya adalah seorang wanita, terlihat jelas kala matanya tanpa sengaja melirik sekilas pada kaca jendela kelas yang memantulkan bayangan wanita bergaun selutut yang berada cukup jauh di belakangnya.

Ketakutan merayap dengan cepat. Demi Tuhan, Ageeta yakin kalau langkah kakinya mulai tak beraturan. Arahnya memutar ke koridor kiri tanpa berpikir dua kali bahwa ia mengambil arah yang salah. Dia berusaha mempercepat langkah, hingga tanpa sadar setengah berlari menuju sebuah pintu besar di sayap kiri fakultas yang biasanya digunakan anak-anak lain sebagai jalan pintas menuju Fakultas Kedokteran yang berada tepat di sebelah.

Langkahnya ia percepat sampai betul-betul berlari. Ia sadar bahwa dirinya tengah diikuti seseorang, dan yang ia yakin, sosok itu tidak hadir dengan tangan kosong. Melainkan dengan sebilah benda tajam di tangan kanan, entah itu pisau atau benda lain.

Dan seumur hidupnya, Ageeta tidak pernah merasa setakut ini.

Berbagai macam pikiran negatif memenuhi kepalanya. Mulai dari kemungkinan ia akan menjadi korban mutilasi sampai memikirkan bagaimana nanti orang-orang akan menemukan mayatnya tergeletak penuh darah di ujung tempat ini.

“Bunda, ini kalo Geeta nyusul Bunda malem ini, si Ekal gimana...”

“Bunda, ini kalo Geeta beneran mati, nanti yang nyiram Janda Bolong di rumah siapa... Yaallah gue belom mau mati.”

Saat kedua kakinya menapaki area Fakultas Kedokteran, Ageeta tanpa sadar memacu langkah lebih cepat. Instingnya membawa dirinya berjalan menuju sebuah ruang kelas di urutan paling ujung koridor yang kebetulan terbuka. Kala ia membawa masuk tubuhnya ke dalam ruang kelas itu, Ageeta berharap sepenuh hati bahwa sosok yang tadi mengikutinya tidak dapat menemukan jejaknya.

Napas Ageeta berantakan, keringat bercucuran membasahi seluruh wajahnya. Bibirnya kemungkinan besar pucat, dan kedua tangannya gemetar.

Di tengah kepanikan, dirinya membuka ponsel. Mencari nama Tama di tengah kekalutan demi menghilangkan rasa panik. Pikirnya, Tama harus tahu mengenai kondisinya saat ini. Meski lelaki itu tidak berada dekat, namun Ageeta memilih untuk mengetikkan pesan berisi pemberitahuan bahwa ia tengah dilanda ketakutan hebat.

Yudhistira tidak dapat dihubungi kala Ageeta juga mengetikkan pesan ke kolom percakapan lelaki itu. Ageeta yakin, Yudhis tengah kalut mencari dirinya setelah Ageeta memberitahu perkara dia yang diikuti seseorang dari belakang setengah jam yang lalu.

Memberitahu Haikal juga merupakan ide buruk. Adiknya itu hanya akan panik tanpa bisa berpikir jernih.

Maka di tengah gemetar tangannya, Ageeta memutuskan untuk tetap mengirimkan pesan pada Tama. Berharap lelaki itu membaca pesannya dan menyarankan sesuatu.

Karena demi Tuhan, pikirannya sangat buntu kali ini.

Di saat yang bersamaan, suara langkah yang terdengar lebih menggema menggaung di telinganya.

Terdengar lebih dekat dan lebih lebar.

Ageeta mematung, bibirnya tergigit dan matanya mulai terasa panas. Kepanikan dan ketakutan mulai merambat naik bahkan lebih hebat dari sebelumnya.

Langkah itu terdengar semakin dekat, dan Ageeta mulai terisak ketakutan.

Dan sayangnya, Tama tidak memberikan respon apa pun yang bisa membuatnya sedikit tenang.

Bibirnya ia gigit sekuat tenaga, mencegah suara isakan keluar dan malah memperparah keadaan. Kedua tangannya tergenggam erat dengan telapak yang basah oleh keringat. Matanya terpejam kuat, enggan menoleh barang sekilas.

Ageeta takut, sangat takut.

Lalu, saat ketakutan dan kepanikannya berada di puncak ubun-ubun, sebuah suara memanggil namanya menggema memasuki ruang kelas. Suaranya berat namun terasa cukup familiar.

Dan Ageeta dapat merasakan seluruh tulangnya melemas kala melihat tubuh jangkung yang ia kenal berdiri di ambang pintu kelas, tangannya menaikkan sakelar lampu sehingga seluruhnya terang benderang.

Di sana, Johnny berdiri menjulang dengan wajah penuh tatapan khawatir.

Come here, girlie. You're safe, I'm here.

-

“Tama.”

“Hmm.”

“Sayang?”

“Apa?”

“Baskara Naratama.”

“Apa, Ageeta?”

Ageeta tersenyum sumringah, kedua matanya tampak hilang dalam lengkungan saat menatap wajah Tama yang tengah dalam raut datar.

“Ngga apa-apa, aku suka aja manggil kamu,” ucap gadis itu masih dengan senyum terpatri di ranumnya.

Tama meraih pinggangnya dalam hening, merengkuh tubuh mungil itu untuk didekap dan disandarkan ke tubuh miliknya yang jauh lebih besar.

“Tidur,” titahnya mutlak.

Tapi Ageeta tetaplah Ageeta.

“Aku pengen cerita.”

Tama mengangkat sebelah alisnya, merenggangkan pelukan dan menatap wajah di dekapannya dengan satu alis terangkat, bertanya lewat isyarat raut wajah.

“Apa? Go ahead, I'm all ears.”

Ageeta kemudian bergerak kecil, berusaha mencari posisi ternyaman dalam pelukan lelakinya. Gadis itu berhenti kala sudah final berada pada posisi dirinya mendekap Tama dari atas, sedangkan lelaki itu merebahkan diri dengan sebelah tangan merengkuh pinggangnya, dan sebelah lagi memainkan rambut panjang miliknya.

“Aku tadi mimpi buruk.”

Tama diam memersilakan gadis itu untuk melanjutkan cerita tanpa interupsi. Tangannya masih bergerak menyusuri surai panjang kecoklatan milik Ageeta dengan hati-hati, berusaha memberikan kenyamanan agar gadis itu tetap bicara meskipun Tama tahu, dari getar suaranya pun, Ageeta merasa tidak nyaman dengan ceritanya sendiri.

“Kamu inget, kan, aku tadi cerita kalo aku ketemu cewek aneh di lift?” Ageeta melanjutkan.

“Inget.”

“Aku mimpi dia jahatin Haikal.”

Ada getar samar di ujung kalimat gadis itu, yang membuat Tama langsung dengan sigap meletakkan tangannya untuk mengusap punggung sempit miliknya. Seperti membagi rasa nyaman yang ia punya pada Ageeta, dan Tama sadar, kalau yang dia lakukan sudah menjadi kebiasaan dan tak pernah tertinggal dia lakukan setiap kali berhadapan dengan Ageeta yang sedang seperti ini.

“Aneh banget ngga sih? Padahal aku baru sekali ketemu dia, tapi aku yakin orang yang di mimpi aku tuh ya cewek itu.”

“Kamu yakin dari mana?”

“Dari kemeja yang dia pake, warnanya sama persis. Well, mukanya emang samar. Tapi dari bentuk badannya aku yakin itu dia.”

Tama mengerutkan dahi sebelum bertanya. “Emang dia jahatin si Ekal kaya gimana?”

“Dia... nabrak Haikal sampe berdarah-darah banyak banget. Aku di situ tapi ngga bisa ngapa-ngapain.”

Ah, Tama baru menemukan titik terangnya.

Ageeta takut pada darah, itulah mengapa gadis itu tampak sangat tidak nyaman.

Diam-diam, Tama mengeratkan rengkuhan di tubuh yang ia peluk.

“Kamu pasti ngga inget ya kalo aku punya trauma sama darah?!” tanya Ageeta menuduh.

“Emang ngga.”

Tama tahu kalau Ageeta tengah mencebik sebal, lelaki itu lalu merendahkan posisi tubuhnya demi menghadap Ageeta langsung.

Lalu dalam satu gerakan yang terlampau tiba-tiba, Tama meraih bibir Ageeta dalam sebuah tautan, membuat bibir yang semula mendumal kesal itu sontak terdiam dan kaku sebab kekagetan yang teramat sangat.

Tama melepas tautan, kesepuluh jemarinya lalu bergerak merapikan anak rambut yang menghalangi wajah terkejut Ageeta.

Damn, you look so pretty.

Wajah Ageeta memerah.

Gadis itu hendak membuka mulut untuk melancarkan protes, Tama kembali membungkamnya dengan kecupan manis.

“Tama, ihh!”

Satu kecupan lain.

“Tam-”

Dua kecupan.

“Aku-”

Tiga.

“Kamu tuh-”

Empat, dan kali ini dilanjutkan dengan gerakan halus di bibir bawah Ageeta. Hisapan kecil ia rasakan di sana, tepat di bilah atas dan bawah ranum miliknya yang didominasi oleh Tama. Lelaki itu meletakkan tangan kanannya di sisi wajah Ageeta, dengan ibu jadi yang mengelus pipi tirus nan halus itu dengan gerakan teramat lembut. Lalu tangan satunya ia pergunakan untuk menahan leher bagian belakang Ageeta agar tautan mereka tak terlepas.

Saat udara terasa semakin menipis, Tama dengan sadar memutus sesapan. Meninggalkan jalinan benang saliva saat dirinya bergerak memundurkan diri dan beralih untuk menyatukan kedua kening mereka.

Promise me something, do you mind?”

Ageeta mengerjap perlahan.

“Apa?”

Sebelum melanjutkan kalimatnya, Tama memutuskan untuk mengecup sekali lagi bibir Ageeta dalam durasi cukup lama.

Promise me that you're gonna be safe, no matter what. Janji sama aku buat selalu jaga diri kamu,” ungkap Tama dengan suara dalam miliknya.

“Kenapa?”

Just promise me, iya atau ngga?”

“Iya.”

Tama kemudian kembali merengkuh tubuh itu.

“Gee.”

“Iya?”

No, nothing.

I love you, I always do.

Tapi kalimat itu tidak pernah tersampai dengan benar.

-

Kadang, Ageeta berpikir kalau Tama adalah manusia paling ribet yang pernah ia temui.

Lelaki itu mengaku sakit, tapi malah menghisap tiga batang rokok tanpa berpikir dua kali.

Well, Tama sebenarnya jarang merokok. Dia hanya menghisap batangan tembakau itu jika memang punya banyak beban pikiran.

Dan Ageeta hanya tahu sebatas itu. Tanpa pernah tahu beban apa yang membuat Tama sampai melampiaskan semuanya pada tembakau yang ia bakar.

“Gee.”

Suara berat itu mengudara kala Ageeta tengah sibuk berada di depan konter dapur milik Tama, gadis itu hanya berdeham untuk merespon. Sebab perhatiannya terlampau terpusat pada panci stainless yang tengah berisi bubur di atas kompor dengan api menyala, memastikan benda itu panas dengan sempurna.

“Kamu udah selesai ngerokoknya? tanya Ageeta masih dengan mata tertuju pada objek di depannya.

“Udah.”

Ageeta diam sejenak, sebelum kemudian mengalihkan perhatian ke arah lelaki di belakangnya. Kepalanya menoleh ke arah Tama yang ternyata sedang berdiri di depan sekat yang sengaja di pasang untuk memisahkan antara area dapur dan ruang makan.

“Aku tadi ketemu cewek aneh.”

Tama mengerutkan dahi, seolah meminta penjelasan lebih lanjut dari kalimat Ageeta barusan.

“Aneh banget tau, Sayang.”

“Aneh gimana?”

Ageeta bergerak mematikan kompor, kemudian memutar badannya agar menghadap Tama sepenuhnya. Kedua irisnya berapi-api kala melanjutkan cerita soal gadis lain yang ia temui di lift, tepat sebelum dirinya mencapai unit apartemen Tama.

“Cewek itu liatin aku dari ujung kepala sampe ujung kaki,” ucapnya sambil mengingat tatapan gadis itu padanya.

Well, sebetulnya Ageeta tidak menaruh rasa aneh sedikit pun kala gadis itu pertama kali berkontak mata dengan dirinya. Namun setelah hampir setengah menit berada di dalam lift yang tengah berjalan menuju lantai sepuluh dimana Tama tinggal, Ageeta mulai merasa aneh sebab tatapan itu terhunus cukup lama dan intens. Membuat dirinya cukup merasa tidak nyaman namun memilih untuk diam.

Padahal biasanya, Ageeta tak akan segan menegur dan mengajak siapa pun berbicara lebih dulu. Tapi kali ini rasanya berbeda, berkali-kali lipat lebih canggung sampai dia sendiri pun hanya bisa berdiam diri hingga pintu lift terbuka lebar.

Style kamu aneh kali di mata dia,” sahut Tama.

“Kamu mau aku siram pake bubur panas ini sekarang juga? Hah?”

Tanpa Ageeta duga, Tama malah tertawa. Tawanya tak sampai terbahak lebar, namun cukup menunjukkan gelak seakan perkataan Ageeta memanglah selucu itu.

Dan Ageeta memandang tawa itu dengan takjub.

Kedua matanya memandang hal itu dengan binar teduh, memerhatikan wajah Tama yang mulai menghentikan gelak.

“Kamu... bisa ngga sering-sering ketawa kaya tadi?”

Tama tersenyum simpul, dan kembali membuat Ageeta tertegun sampai kedua matanya terasa panas.

“Loh? Kenapa nangis?”

Ageeta menggeleng kuat, sebab sebetulnya merasa sama bingungnya dengan Tama. Ia tak paham kenapa dirinya malah merasa ingin menangis waktu melihat tawa dan senyum Tama, rasanya ada sebuah tekanan besar yang diangkat dari kepala dan bahunya saat melihat wajah di depannya tersenyum sumringah.

“Aku... Aku juga ngga tau kenapa malah nangis.”

Parah, karena yang terjadi malah isakan kencang ikut keluar saat kalimatnya tersampaikan.

Tama menatap jeli wajah milik gadis itu, memerhatikan bagaimana air mata membasahi kedua kelopak mata milik gadisnya.

Cantik.

Ageeta-nya selalu cantik.

“Kenapa malah nangis, Gee?”

Ageeta menggeleng lagi, kali ini kedua tangannya mengangkup wajah. Isakannya makin kencang dan sulit is kontrol.

Lalu, sebuah rengkuhan Ageeta rasakan di kedua bahunya.

Tama merangkum tubuh kecilnya dengan kedua tangan, menyalurkan rasa aman yang seketika menyergap di seluruh tubuhnya. Tangan lebar lelaki itu mengusap punggung kecilnya, sembari mengarahkan kepala Ageeta di dadanya.

Sontak, kedua tangan Ageeta melingkar di pinggang kekasihnya, mencari kehangatan dan rasa aman dari tubuh tinggi itu dengan dekapan yang ia dapatkan.

Detak jantung Tama terasa berdenyut normal. Debarnya terasa di telinga Ageeta dan membuatnya tak ingin melepaskan pelukan.

Perlahan, gadis itu mencoba membuka mulutnya untuk berbicara. Napasnya masih tersendat isakan namun ia paksakan.

Kepalanya mendongak dan menatap Tama yang juga menatapnya dengan menunduk, menyelami iris sehitam jelaga milik lelaki itu dengan seksama.

“Kamu sadar ngga sih?”

Tama masih memaku tatap pada wajah Ageeta.

Jemarinya kemudian bergerak ke arah wajah di depannya, satu-persatu merapikan surai yang menghalangi wajah cantik di hadapannya agar dirinya bisa melihat wajah itu tanpa gangguan.

“Sadar apa?” tanya Tama dengan untai jemari yang masih bergerak menepikan surai milik Ageeta.

“Kamu sadar ngga kalau kamu sejarang itu ketawa di depan aku?”

Ah, ternyata perkara itu.

Tama diam, tak menunjukkan reaksi apa pun.

Kedua telapak tangannya lalu merangkum wajah mungil gadisnya, tak lupa menghapus jejak air mata yang tersisa di kedua pipi tirus itu.

“Tau ngga?”

Ageeta mengerjap.

“Apa?”

Tama mengelus kedua pipi itu berhati-hati.

“Aku selalu ketawa kalau kamu ngga ada.”

Gadis di hadapannya sontak merengut sebal.

Melihat itu, Tama terdorong untuk memajukan wajahnya dan dalam detik selanjutnya, bibirnya menjumput ujung hidung milik Ageeta.

Tama mengecup kecil ujung hidung itu.

Tentu, gerakan tiba-tiba itu membuat Ageeta memerah dan beralih kembali memeluk tubuh Tama.

Tama tertawa pelan sekali lagi.

You're the reason. Aku kadang mirip orang gila karna ketawa sendiri pas kepikiran kamu.”

Ah, Ageeta baru tahu kalau kekasihnya ini pandai juga membuat kupu-kupu dengan jumlah jutaan beterbangan di seluruh tubuhnya.

-

Kadang, Ageeta berpikir kalau Taka adalah manusia paling ribet yang pernah ia temui.

Lelaki itu mengaku sakit, tapi malah menghisap tiga batang rokok tanpa berpikir dua kali.

Well, Tama sebenarnya jarang merokok. Dia hanya menghisap batangan tembakau itu jika memang punya banyak beban pikiran.

Dan Ageeta hanya tahu sebatas itu. Tanpa pernah tahu beban apa yang membuat Tama sampai melampiaskan semuanya pada tembakau yang ia bakar.

“Gee.”

Suara berat itu mengudara kala Ageeta tengah sibuk berada di depan konter dapur milik Tama, gadis itu hanya berdeham untuk merespon. Sebab perhatiannya terlampau terpusat pada panci stainless yang tengah berisi bubur di atas kompor dengan api menyala, memastikan benda itu panas dengan sempurna.

“Kamu udah selesai ngerokoknya? tanya Ageeta masih dengan mata tertuju pada objek di depannya.

“Udah.”

Ageeta diam sejenak, sebelum kemudian mengalihkan perhatian ke arah lelaki di belakangnya. Kepalanya menoleh ke arah Tama yang ternyata sedang berdiri di depan sekat yang sengaja di pasang untuk memisahkan antara area dapur dan ruang makan.

“Aku tadi ketemu cewek aneh.”

Tama mengerutkan dahi, seolah meminta penjelasan lebih lanjut dari kalimat Ageeta barusan.

“Aneh banget tau, Sayang.”

“Aneh gimana?”

Ageeta bergerak mematikan kompor, kemudian memutar badannya agar menghadap Tama sepenuhnya. Kedua irisnya berapi-api kala melanjutkan cerita soal gadis lain yang ia temui di lift, tepat sebelum dirinya mencapai unit apartemen Tama.

“Cewek itu liatin aku dari ujung kepala sampe ujung kaki,” ucapnya sambil mengingat tatapan gadis itu padanya.

Well, sebetulnya Ageeta tidak menaruh rasa aneh sedikit pun kala gadis itu pertama kali berkontak mata dengan dirinya. Namun setelah hampir setengah menit berada di dalam lift yang tengah berjalan menuju lantai sepuluh dimana Tama tinggal, Ageeta mulai merasa aneh sebab tatapan itu terhunus cukup lama dan intens. Membuat dirinya cukup merasa tidak nyaman namun memilih untuk diam.

Padahal biasanya, Ageeta tak akan segan menegur dan mengajak siapa pun berbicara lebih dulu. Tapi kali ini rasanya berbeda, berkali-kali lipat lebih canggung sampai dia sendiri pun hanya bisa berdiam diri hingga pintu lift terbuka lebar.

Style kamu aneh kali di mata dia,” sahut Tama.

“Kamu mau aku siram pake bubur panas ini sekarang juga? Hah?”

Tanpa Ageeta duga, Tama malah tertawa. Tawanya tak sampai terbahak lebar, namun cukup menunjukkan gelak seakan perkataan Ageeta memanglah selucu itu.

Dan Ageeta memandang tawa itu dengan takjub.

Kedua matanya memandang hal itu dengan binar teduh, memerhatikan wajah Tama yang mulai menghentikan gelak.

“Kamu... bisa ngga sering-sering ketawa kaya tadi?”

Tama tersenyum simpul, dan kembali membuat Ageeta tertegun sampai kedua matanya terasa panas.

“Loh? Kenapa nangis?”

Ageeta menggeleng kuat, sebab sebetulnya merasa sama bingungnya dengan Tama. Ia tak paham kenapa dirinya malah merasa ingin menangis waktu melihat tawa dan senyum Tama, rasanya ada sebuah tekanan besar yang diangkat dari kepala dan bahunya saat melihat wajah di depannya tersenyum sumringah.

“Aku... Aku juga ngga tau kenapa malah nangis.”

Parah, karena yang terjadi malah isakan kencang ikut keluar saat kalimatnya tersampaikan.

Tama menatap jeli wajah milik gadis itu, memerhatikan bagaimana air mata membasahi kedua kelopak mata milik gadisnya.

Cantik.

Ageeta-nya selalu cantik.

“Kenapa malah nangis, Gee?”

Ageeta menggeleng lagi, kali ini kedua tangannya mengangkup wajah. Isakannya makin kencang dan sulit is kontrol.

Lalu, sebuah rengkuhan Ageeta rasakan di kedua bahunya.

Tama merangkum tubuh kecilnya dengan kedua tangan, menyalurkan rasa aman yang seketika menyergap di seluruh tubuhnya. Tangan lebar lelaki itu mengusap punggung kecilnya, sembari mengarahkan kepala Ageeta di dadanya.

Sontak, kedua tangan Ageeta melingkar di pinggang kekasihnya, mencari kehangatan dan rasa aman dari tubuh tinggi itu dengan dekapan yang ia dapatkan.

Detak jantung Tama terasa berdenyut normal. Debarnya terasa di telinga Ageeta dan membuatnya tak ingin melepaskan pelukan.

Perlahan, gadis itu mencoba membuka mulutnya untuk berbicara. Napasnya masih tersendat isakan namun ia paksakan.

Kepalanya mendongak dan menatap Tama yang juga menatapnya dengan menunduk, menyelami iris sehitam jelaga milik lelaki itu dengan seksama.

“Kamu sadar ngga sih?”

Tama masih memaku tatap pada wajah Ageeta.

Jemarinya kemudian bergerak ke arah wajah di depannya, satu-persatu merapikan surai yang menghalangi wajah cantik di hadapannya agar dirinya bisa melihat wajah itu tanpa gangguan.

“Sadar apa?” tanya Tama dengan untai jemari yang masih bergerak menepikan surai milik Ageeta.

“Kamu sadar ngga kalau kamu sejarang itu ketawa di depan aku?”

Ah, ternyata perkara itu.

Tama diam, tak menunjukkan reaksi apa pun.

Kedua telapak tangannya lalu merangkum wajah mungil gadisnya, tak lupa menghapus jejak air mata yang tersisa di kedua pipi tirus itu.

“Tau ngga?”

Ageeta mengerjap.

“Apa?”

Tama mengelus kedua pipi itu berhati-hati.

“Aku selalu ketawa kalau kamu ngga ada.”

Gadis di hadapannya sontak merengut sebal.

Melihat itu, Tama terdorong untuk memajukan wajahnya dan dalam detik selanjutnya, bibirnya menjumput ujung hidung milik Ageeta.

Tama mengecup kecil ujung hidung itu.

Tentu, gerakan tiba-tiba itu membuat Ageeta memerah dan beralih kembali memeluk tubuh Tama.

Tama tertawa pelan sekali lagi.

You're the reason. Aku kadang mirip orang gila karna ketawa sendiri pas kepikiran kamu.”

Ah, Ageeta baru tahu kalau kekasihnya ini pandai juga membuat kupu-kupu dengan jumlah jutaan beterbangan di seluruh tubuhnya.

-

Warning : Harsh words, mature content.

“Sakit, Tama. Udahan, ya?”

Ageeta menunduk, kedua tangannya ia sandarkan pada dada lebar Tama yang masih diam di tempat. Gadis itu pun meletakkan kepalanya di dada Tama, seperti mengadukan rasa sakit yang lelaki itu berikan padanya.

“Ayo pulang dulu, kita bicara di rumah kamu.”

Geeta menggeleng kuat, badannya bahkan sampai hampir limbung jika Tama tidak menahan pinggang rampingnya.

“Di rumah ngga ada orang. Aku ngga mau sendirian.”

Tama mengerutkan dahi. “Haikal mana?”

“Ngga pulang udah tiga hari.”

Tama mengangguk dan mengeratkan rangkulannya di pinggang Ageeta. Entah gadis itu menyadari atau tidak, bahwa sejak ia meletakkan kepala di dada Tama, lelaki itu melingkarkan pergelangan tangannya untuk menahan tubuh gadis di dekapannya.

Dan entah gadis itu menyadarinya atau tidak, Tama sudah mengubur kepalanya di ceruk leher Ageeta. Menghirup dengan rakus aroma shampo yang tertinggal di sana, wangi lemon dan gula menguasai hidungnya, lembut namun memikat, membuat Tama enggan melepaskan diri dari sana.

“Dengerin aku dulu, mau?”

Tama menghela napas kala isakan menjadi jawaban dari pertanyaan yang ia tawarkan.

“Aku ngga selingkuh.”

“Kamu udah bilang itu lima kali hari ini.”

“Dan kamu ngga percaya?”

“Ya lo mikir aja, bangsat!”

Language, Ageeta.”

Teguran itu membuat Geeta memandang Tama dengan sengit.

“Kalo selingkuh tinggal bilang iya aja kali, ribet amat.”

Tama memejamkan mata frustasi. “For the hell shake, aku ngga selingkuh. Kamu mikir kejauhan.”

Kali ini, Geeta menghapus air matanya dengan gerakan kasar. Gadis itu kemudian mundur selangkah dan memerhatikan Tama dari atas hingga ujung kaki, memindai lelaki di hadapannya dengan sumpah serapah di dalam hati.

“Kamu tau anjing?”

Tama mengangguk malas. Sudah paham bahwa gadis di hadapannya akan mengeluarkan serapahan pada dirinya.

“Cewek itu kaya anjing.”

Tama mengernyit, tidak menduga kalimat itu akan keluar.

“Yang anjing bukan kamu, tapi dia. Pacar aku ngga boleh disebut anjing.”

“Gee.”

“Apa? Kamu mau marah aku bilang dia anjing? Mau bela dia?”

“Ngga gitu.”

Geeta merengut, kemudian melepaskan diri dari dekapan kekasihnya. “Goblok banget aku nangisin kamu. Untung maskara aku water proof.”

“Terserah, Ageeta. Terserah kamu.”

“Jadi... Adara, ya? Anak hukum, angkatan 2019.”

Tama mengangguk. “Kenapa?”

Ageeta mengangkat bahu cuek, lalu menggeleng singkat dan menunjukkan cengiran polos.

“Aku tau kamu ngga bakal jelasin dia siapa dan kenapa kamu meluk dia. Jadi yaudah,” ucapnya.

“Yaudah apa?” tanya Tama.

“Silakan pelukan sama dia. Terserah, kamu mau make out sama dia sekalipun terserah, tapi persilakan aku juga buat kasih tau dia kamu milik siapa.”

“Jangan macem-macem.”

Geeta tertawa sarkas, matanya memaku tatap pada Tama yang malam ini menggunakan kaos polos berwarna hitam dan ripped jeans biru tua.

“Kamu kenapa ganteng banget sih?”

Tama memutar bola mata. Tipikal Ageeta sekali, pikirnya.

“Aku kan jadi ngga tega mau nendang sama nampar kamu kalo liat ganteng begini.”

Sebelum Tama sempat menjawab, kalimat lain terudara dari bibirnya. “Tenang, Sayang. Aku ngga bakal macem-macem. Selingkuhan kamu aman, cuma bakal aku traktir makan sama ngobrol doang.”

“Aku ngga selingkuh, Ageeta.”

“Selingkuh, simpanan, mainan, backstreet. Terserah, you name it yourself.

Tama jelas menunjukkan wajah lelah dan frustasi, rahangnya mengeras.

“Aku ngga bakal minta putus lagi. Kecuali kamu yang minta. Jadi... Kalo sekarang kamu mau pisah-”

Kalimat itu meluncur namun tidak terselesaikan, sebab berbarengan dengan kedua tangan milik Tama yang menarik leher Ageeta, membawanya mendekat agar ranumnya dapat merangkum milik gadis itu hingga senyap.

Ageeta sontak diam, seluruh tubuhnya seakan dipaksa berhenti bekerja dan hanya fokus pada yang Tama lakukan.

Tama menghapus jarak di antara mereka.

Lelaki itu mempertemukan belah bibir mereka dalam jarak yang nihil.

“Jangan pernah sebut kata itu, Gee. Aku mohon.”

Tama berbisik di tengah tautan mereka, membuat Ageeta dapat merasakan getar suaranya lewat ranum mereka yang tertempel.

“Tama ini...”

Belum sempat menyelesaikan kalimatnya yang menggantung di udara, Tama secara impulsif menggerakkan tautan itu. Menyesap belah bawah milik gadisnya dengan hati-hati, berusaha setenang mungkin menyampaikan kerisauannya lewat kecupan-kecupan kecil yang ia berikan.

No break up, okay. Let's stop talking about this.”

-