writer.as/lalalafindyou

Tangan kanan milik Anindia mengepal sebuah gelas kristal berisi cairan merah. Tak ada alasan pasti, Anin hanya secara tiba-tiba menginginkan cairan itu membasahi kerongkongannya. Mungkin ingin melepas rindu pada bourbone itu, atau malah ingin mencari pengalihan dari tatapan Jeandra yang seakan-akan bisa menusuknya.

“Lo mau ngomong apa?”

Suara Jeandra terdengar serak, seperti menunjukkan betapa lelah lelaki itu hari ini. Seketika terbersit keinginan di benak Anin untuk menyuruh Jean undur diri, segera beristirahat dan meninggalkannya sendiri.

Tapi saat satu kalimat dari Jean meluncur, Anin mengurungkan niatnya.

“Karin biasanya suka bangun kalo ngga ada yang meluk, cepet ngomong.”

Detik itu, senyum Anindia mengembang. Menghiasi ranumnya yang terangkat tanpa kentara. Matanya menerawang, memperhatikan Jeandra yang mengenakan baju tidur satin berwarna hitam. Membalut gagah kedua bahu lebarnya yang tampak kokoh. Kedua tangannya berada di saku, terlihat menggenggam jemari-jemari panjang miliknya yang Anin yakin, tidak satupun jemari itu tersemat cincin pernikahan mereka.

Miris. Kenapa harus saya yang jatuh buat kamu, Jeandra?

Kemudian, saat Jean berdecak dan mulai memutar tubuhnya, Anin mulai bersuara. Suaranya kelewat tenang, namun mampu membuat Jeandra menghentikan langkah. Kakinya terpaku di lantai tempatnya berpijak, kedua tangannya mengepal erat.

“Yang butuh pelukan itu sebenarnya kamu atau Karin, Jeandra?”

Pertanyaan itu seakan terlempar telak mengenai ulu hati, Jean bahkan hampir kehilangan suaranya.

Lelaki itu memutar kembali tubuhnya hingga menghadap Anin. Matanya menyala tajam memerhatikan raut setenang danau milik Anindia.

“Karin. Karin yang butuh pelukan setiap sebelum tidur,” jawabnya berusaha setenang mungkin.

Tapi Anindia masih punya kalimat lain yang dia siapkan.

“Kamu mau tau apa yang Ibun bilang ke aku waktu pemberkatan kita?”

Senyap, tak ada jawaban.

“Jeandra itu lemah, Anindia. Jeandra selalu butuh pelukan setiap malam, setiap dia pulang kerja, setiap dia merasa lelah, atau setiap dia punya gundah.”

Anindia melanjutkan. “Jadi, kesimpulannya cukup sederhana. Kamu, Laksamana, kamu cuma menjadikan Karin tempat singgah. Kamu cuma menjadikan dia tempat berlabuh saat kamu lelah. Kamu boleh bersikap seakan dia adalah tempat kamu pulang di depan banyak orang. Tapi ini Anindia, kamu ngga bisa bohong di depan Anindia. Aku dokter, Jeandra. Banyak yang udah kuliat dan kulewatin selama bertahun-tahun.”

“Kamu itu pengecut, Jeandra.”

Selanjutnya tanpa menunggu lama, Jeandra kembali memutar tubuh. Melangkahkan kaki meninggalkan Anindia yang masih duduk di salah satu kursi dapur. Tangannya menggenggam erat sisi gelas makin erat, berusaha menyamarkan getaran yang sedari tadi dia rasakan.

Kalau bisa, Jeandra. Kalau bisa bukan kamu orangnya, saya juga maunya begitu. Tapi harus kamu, dari awal memang harus kamu.

Waktu kedua kakinya memijak di lantai rumah sakit, Anindia kembali mempertanyakan sesuatu pada dirinya.

Bahwa yang terjadi di antara dirinya dan Jeandra adalah hasil dari takdir yang diundi, teracak dan berputar berkali-kali hingga akhirnya menjatuhkan namanya dan Jeandra dalam satu wadah. Harusnya begitu, kedua nama yang teracak itu ditempatkan dalam satu takdir yang sama, bersua dalam kisah yang penuh gembira.

Tapi tampaknya, tuas pengacak tak sengaja terputar kembali. Hingga satu gulungan nama yang tak diundang terjatuh ke dalam wadah mereka, dan membuat segala hal berubah. Takdirnya, yang ia harapkan hanya akan tercetak satu di wadah bersama Jeandra, ternyata harus tercampur oleh satu nama tak diundang.

Atau malah sebaliknya?

Atau malah sebetulnya, nama Karinina dan Jeandra sebetulnya berada di dalam satu wadah dan dirinyalah nama yang terjatuh tanpa diundang itu.

Anindia kembali gamang.

Tepat dua hari setelah pernikahannya, hari yang seharusnya masih dia pakai bersama Jeandra atas nama cuti pernikahan, ia abaikan hadirnya. Kakinya kembali memijak lantai rumah sakit, melangkah ragu dengan jas putih tersampir di kedua pundak. Tangannya menggenggam kartu nama bertali merah di kanan, sedangkan yang satu lagi tengah sibuk meremat ujung blus yang dia gunakan, mencoba mengalihkan rasa gelisah sebab tatapan yang dia terima.

“Loh, Dokter Anin bukannya masih ada waktu tiga hari lagi cutinya?”

Fuck, pertanyaan itu lagi.

Anindia memaksakan senyum, matanya menatap teduh pada sosok dokter peserta koas yang menemukannya tengah berjalan mengendap memasuki lobi utama lantai dasar.

“Saya masuk duluan, banyak laporan belum selesai.”

Setelahnya, kata pamit menjadi yang paling cepat dia ucapkan. Kakinya ia bawa menuju ruangan, tangannya memutar gagang pintu dengan tergesa setelah sempat panik menekan tombol-tombol sandi. Saat tubuhnya sudah sepenuhnya masuk, punggungnya tersandar di pintu.

Maka di detik itulah, kala matanya menangkap goresan tinta kelewat tebal di sebuah tanda pengenal kayu yang terpajang kokoh di meja kebesarannya, Anindia menjatuhkan diri.

dr. Catradewi R. Anindia, Sp.EM.

Nama itu, nama yang dia junjung setinggi langit, terasa tak memiliki harga kala mengingat rumah tangga yang dia dan Jeandra bina. Nama itu, nama yang membesarkannya sejak bertahun-tahun lalu, seakan tengah melontarkan ejekan frontal di depan wajahnya, menyinggung soal pernikahan yang dia impikan dan kenyataan yang tersuguh di depan mata.

Tapi saat bulir bening hendak jatuh dari kedua iris cokelatnya, suara sirine di sudut ruangan membuatnya mengurungkan tangis. Kakinya dengan sigap bangkit, dan semua ratap mengenai takdir yang tadi tersuguh kembali menguap.

Anindia, yang bermenit-menit sebelumnya sempat menjadi sosok lemah nan kehilangan arah, kembali melangkah menjadi sosok dirinya yang biasa.

Berlari keluar ruangan dan menghampiri sosok tubuh yang teronggok penuh luka. Stetoskopnya terpasang di telinga, tangannya mulai beraksi seakan hafal di luar kepala.

“Pendarahan mayor di kepala depan, kemungkinan terbentur kemudi waktu terjadi kecelakaan. Saturasi oksigen 80%, Dokter.”

Pesan itu membuatnya kembali membuang wajah Jeandra di kepalanya. Kakinya ikut berlari, mencoba membuka jalan bagi ranjang pasien yang tengah di dorong. Hingga dalam jarak dekat menemukan pintu Unit Gawat Darurat terbuka lebar.

Saat itu, tak ada lagi bayangan Jeandra yang muncul. Sebab sekarang, Anindia tengah kembali menjadi dirinya, dan tak ada celah bagi Jeandra untuk membuatnya terdistraksi pada keadaan dimana semua orang, menatapnya penuh harap dan bertumpu pada perannya.

Tak ada lagi Jeandra, tak ada lagi pikiran soal Karinina. Yang ada, hanya Anindia yang mulai melakukan pekerjaannya saat pintu tertutup dan lampu merah di luar ruangan menyala.

Waktu kedua kakinya memijak di lantai rumah sakit, Anindia kembali mempertanyakan sesuatu pada dirinya.

Bahwa yang terjadi di antara dirinya dan Jeandra adalah hasil dari takdir yang diundi, teracak dan berputar berkali-kali hingga akhirnya menjatuhkan namanya dan Jeandra dalam satu wadah. Harusnya begitu, kedua nama yang teracak itu ditempatkan dalam satu takdir yang sama, bersua dalam kisah yang penuh gembira.

Tapi tampaknya, tuas pengacak tak sengaja terputar kembali. Hingga satu gulungan nama yang tak diundang terjatuh ke dalam wadah mereka, dan membuat segala hal berubah. Takdirnya, yang ia harapkan hanya akan tercetak satu di wadah bersama Jeandra, ternyata harus tercampur oleh satu nama tak diundang.

Atau malah sebaliknya?

Atau malah sebetulnya, nama Karinina dan Jeandra sebetulnya berada di dalam satu wadah dan dirinyalah nama yang terjatuh tanpa diundang itu.

Anindia kembali gamang.

Tepat dua hari setelah pernikahannya, hari yang seharusnya masih dia pakai bersama Jeandra atas nama cuti pernikahan, ia abaikan hadirnya. Kakinya kembali memijak lantai rumah sakit, melangkah ragu dengan jas putih tersampir di kedua pundak. Tangannya menggenggam kartu nama bertali merah di kanan, sedangkan yang satu lagi tengah sibuk meremat ujung blus yang dia gunakan, mencoba mengalihkan rasa gelisah sebab tatapan yang dia terima.

“Loh, Dokter Anin bukannya masih ada waktu tiga hari lagi cutinya?”

Fuck, pertanyaan itu lagi.

Anindia memaksakan senyum, matanya menatap teduh pada sosok dokter peserta koas yang menemukannya tengah berjalan mengendap memasuki lobi utama lantai dasar.

“Saya masuk duluan, banyak laporan belum selesai.”

Setelahnya, kata pamit menjadi yang paling cepat dia ucapkan. Kakinya ia bawa menuju ruangan, tangannya memutar gagang pintu dengan tergesa setelah sempat panik menekan tombol-tombol sandi. Saat tubuhnya sudah sepenuhnya masuk, punggungnya tersandar di pintu.

Maka di detik itulah, kala matanya menangkap goresan tinta kelewat tebal di sebuah tanda pengenal kayu yang terpajang kokoh di meja kebesarannya, Anindia menjatuhkan diri.

dr. Catradewi R. Anindia, Sp.EM.

Nama itu, nama yang dia junjung setinggi langit, terasa tak memiliki harga kala mengingat rumah tangga yang dia dan Jeandra bina. Nama itu, nama yang membesarkannya sejak bertahun-tahun lalu, seakan tengah melontarkan ejekan frontal di depan wajahnya, menyinggung soal pernikahan yang dia impikan dan kenyataan yang tersuguh di depan mata.

Tapi saat bulir bening hendak jatuh dari kedua iris cokelatnya, suara sirine di sudut ruangan membuatnya mengurungkan tangis. Kakinya dengan sigap bangkit, dan semua ratap mengenai takdir yang tadi tersuguh kembali menguap.

Anindia, yang bermenit-menit sebelumnya sempat menjadi sosok lemah nan kehilangan arah, kembali melangkah menjadi sosok dirinya yang biasa.

Berlari keluar ruangan dan menghampiri sosok tubuh yang teronggok penuh luka. Stetoskopnya terpasang di telinga, tangannya mulai beraksi seakan hafal di luar kepala.

“Pendarahan mayor di kepala depan, kemungkinan terbentur kemudi waktu terjadi kecelakaan. Saturasi oksigen 80%, Dokter.”

Pesan itu membuatnya kembali membuang wajah Jeandra di kepalanya. Kakinya ikut berlari, mencoba membuka jalan bagi ranjang pasien yang tengah di dorong. Hingga dalam jarak dekat menemukan pintu Unit Gawat Darurat terbuka lebar.

Saat itu, tak ada lagi bayangan Jeandra yang muncul. Sebab sekarang, Anindia tengah kembali menjadi dirinya, dan tak ada celah bagi Jeandra untuk membuatnya terdistraksi pada keadaan dimana semua orang, menatapnya penuh harap dan bertumpu pada perannya.

Tak ada lagi Jeandra, tak ada lagi pikiran soal Karinina. Yang ada, hanya Anindia yang mulai melakukan pekerjaannya saat pintu tertutup dan lampu merah di luar ruangan menyala.

Apa yang lebih menyakitkan daripada kenyataan kalau kami menikah atas dasar perjodohan?

Nyatanya, di detik saya menyelam ke dalam iris hitam legam milik lelaki yang tengah berdiri di atas altar itu, ada kilat rasa benci yang saya temukan di sana. Rasa gugup yang menguasai saya sebelum membawa kaki masuk ke dalam ruangan suci, seketika berganti menjadi sesak yang tak terkendali, membuat saya hampir menjatuhkan diri.

Tahu apa yang paling membuat saya serasa ingin mati?

Nyatanya, saat janji kami terikrar di depan ratusan manusia, tak ada kecup mesra yang saya terima. Nyatanya, Jeandra maju dan membawa dirinya untuk merengkuh saya, sembari membisikkan kalimat yang menjadi racun bagi nurani.

Katanya, “Anindia, gaun yang kamu pakai, bunga yang kamu genggam, dan lantai yang kamu pijak, adalah pernikahan impian Karinina. Kamu memang saya nikahi, di atas kertas dan di hadapan kalimat Tuhan yang tertuang di atas kanvas. Tapi bagi saya, bahagia hanya berarti Karinina, bukannya Anindia.”

Ini hari pertama konsultasinya kepada psikiater. Sesuai dengan rencana dan tujuan Tama bertolak ke Milan; ingin menyembuhkan diri.

Kala deru mesin mobil berhenti, Tama tersentak kecil menyadari kalau dirinya sudah sampai di tempat tujuan. Matanya mengerjap pelan, menengadah mengarah pada bangunan menjulang tinggi di hadapannya, tampak kokoh dan asing.

Tangannya bergerak membuka pintu mobil, sejurus kemudian berdiri di samping kendaraan beroda empat itu dengan tubuh tegap dan hela napas pelan.

Udara Milan terasa berbeda.

Lebih lembab, dan masih terasa amat asing.

Denting ponsel mengalihkan perhatiannya dari hela napas yang tadi ia coba nikmati, sebuah pesan masuk dari sosok psikiater yang pagi ini akan dia temui. Lelaki itu memintanya langsung masuk ke dalam gedung, mencari ruangan bernomor 10 dan menemui lelaki itu sesegera mungkin.

Kakinya melangkah memasuki pintu besar yang terbuka lebar untuknya. Kedatangannya disambut dengan anggukan oleh kedua sekuriti yang berjaga di dua sisi pintu yang lebar. Langkahnya ia coba mantapkan, meskipun sejujurnya masih amat ragu dan rapuh. Matanya mengedar, menyusuri interior gedung besar ini dengan seksama. Gaya Eropa lama amat kental, dipenuhi aksen putih yang membuat segala hal terkesan dingin.

Sampai kemudian, matanya menangkap angka 10 di salah satu name badge yang tergantung di depan pintu ruangan paling ujung. Tama meyakinkan diri untuk mendekat, menghembuskan sekali lagi udara melewati mulut dan memutar gagang pintu dengan pelan setelah mengetuk sebanyak tiga kali.

Di dalam sana, lelaki berkulit pucat menyambutnya. Duduk di kursi kebesarannya dengan papan nama Zackary Lee tergeletak seakan bangga mengembang nama itu bersamaan dengan serentetan gelar yang Tama tidak bisa pahami.

“Baskara Naratama?”

Suara Dr. Zack menggema di seluruh ruangan, Tama mengangguk sebagai jawaban. Ia dipersilakan duduk di hadapan meja kerja Dr. Zack, dan menunggu lelaki paruh baya itu dalam diam.

So, how's everything?

Tama tersenyum simpul.

Lelaki ini masih punya tone suara yang sama bahkan setelah bertahun-tahun lamanya.

“Seperti yang terlihat, I'm fine. Well, I mean, I'm physically fine.

Dr. Zack terkekeh kecil. Matanya mengamati Tama dengan tatapan lembut. Yang tanpa sadar membuat Tama dapat secara perlahan menghilangkan ketegangan yang sedari tadi merayapinya.

“Kamu ngga banyak berubah, ya? Cuma bertambah tinggi dan makin mirip Papa kamu.”

Di sana, di detik itu, Tama tercekat.

Do you mind to not talk anything about him?” Pintanya pelan, kepalanya tertunduk, tangannya mengepal.

Dr. Zack berdeham pelan, kepalanya mengangguk.

I'm sorry, Baskara.”

Tama kembali menyela.

“One more thing. Just call me Tama, please?*”

Sekali lagi, lelaki di hadapannya menganggukkan kepala.

Bertahun-tahun berlalu dan lelaki ini masih secepat itu untuk mengerti soal keadaan Tama. Bertahun-tahun berlalu, lelaki paruh baya ini masih punya raut wajah lembut yang sama. Bertahun-tahum berlalu, dan lelaki ini masih punya sorot mata yang sama, yang selalu membuat Tama mempertanyakan alasan kenapa bukan sosok ini yang menjadi ayahnya.

Years passed since we met, I didn't expect we'll meet again today,” kata Dr. Zack sambil tertawa kecil.

Kemudian, dia melanjutkan dengan nada suara amat tenang.

“Terakhir kita ketemu, kamu masih jadi pacarnya Thalia. I thought that I would be your father in law back then. Tapi ternyata ngga berjalan mulus ya?”

Lelaki itu kembali tertawa. Tawanya halus, Tama mungkin bisa ikut tertawa. Jika saja nama itu tidak keluar dari bibirnya. Jika saja satu nama itu tidak menjadi bahan perbincangan, Tama mungkin bisa ikut hanyut dalam tawa soal cerita lama di masa lalu yang lelaki itu ceritakan.

“Dokter, bisa langsung mulai konsultasinya?”

Dr. Zack berhenti tertawa.

What's with that 'Dokter', young man? Where's the old nickname?

Tama menatap lurus sebelum menjawab.

I'm no longer your daughter's lover. Jadi, Dokter will be the most suitable one.

“Ah, padahal panggilan 'Ayah' kaya dulu ngga kalah keren.”

Dan Tama bersumpah, ini pertama kali dia ingin keluar dari sebuah percakapan dengan seseorang. Lelaki ini, membuatnya mengepalkan tangan hingga urat di sana tercetak jelas.

-

Lee Haechan pernah sekali dinasehati oleh Sang Raja, well sebut saja ayahnya. Katanya, ketika pesta kerajaan dilaksanakan, pilihlah gadis yang mengenakan perhiasan dengan mata berupa mutiara hitam untuk diajak sebagai teman dansa.

“Mutiara hitam itu yang paling langka, yang paling sulit ditemukan. Jadi bisa dipastikan, kalau seorang gadis memakainya, dia berasal dari keluarga terpandang, berduit, dan orangtuanya berkuasa. Mengerti, Lee Haechan?”

Harusnya si raja tua itu tidak perlu memperjelas sifat tamak dalam dirinya di depan Haechan.

Tapi sebetulnya, Haechan diam-diam menyetujui gagasan itu dalam hati. Sebab gadis-gadis dari keluarga kaya biasanya lebih beradab, mereka sopan, dan ya, Haechan bisa mendapat keuntungan dari mereka.

Tunggu, sebelum kalian menyerang, ini hanya pendapat dan pandangan pribadinya, oke. Tapi serius, mendapatkan teman dansa di pesta kerajaan bisa berarti dua hal bagi seorang penerus tahta sepertinya. Pertama, sebatas bisa berkenalan dan menambah wawasannya mengenai suatu hal yang ia dapat dari perbincangan di kala dansa. Kedua dan kalau beruntung, bisa mendapatkan calon permaisuri dan sekalian sebuah keuntungan.

Memperluas wilayah kerajaan sebelum dirinya naik tahta, misal.

Maka malam ini, saat terompet dan iringan alat musik lain bergema di seluruh lantai dansa yang sudah diberi dekorasi sedemikian rupa, Haechan mulai menjelajahkan iris cokelat tuanya untuk mencari satu persatu gadis tujuannya. Ruangan luas ini dipenuhi pita dan pernak-pernik pesta, warna keemasan dan cukup menyakitkan mata. Kalau saja Sang Raja tidak mengancam akan membuang seluruh koleksi seri komik di kamarnya, Haechan mungkin akan memilih untuk meninggalkan ruangan.

Di dalam sini, ada banyak sekali orang. Mulai dari yang sering dia lihat sebagai jajaran menteri kerajaan, atau yang sama sekali asing di matanya. Mereka semua berpakaian bagus, berkilau, dan tampak mahal. Berpoles riasan dari yang anggun hingga terlalu mencolok, dari yang gagah hingga yang terlalu berlebihan karena sampai memakai baju besi. Haechan meringis melihat yang satu itu.

Matanya menatap kerumunan orang di berbagai tempat, melihat satu persatu dari mereka yang berperawakan gadis. Menilik pada sosok-sosok bergaun panjang itu dengan penilaian dalam hati.

Dia, si calon raja di tahta berikutnya, harus bisa mendapatkan calon permaisuri malam ini juga.

Oh, yang satu itu memakai terlalu banyak perona pipi.

Yang ini bukan tipeku, dia tertawa sambil memukul orang di sampingnya. Lewatkan.

Yang satu ini punya mata yang cantik, tapi tunggu dulu. Kenapa dia mencukur alisnya?

Yang ini cantik, tapi dia lebih tinggi dariku. Lewatkan.

Oke, begini. Mari kita perjelas sesuatu.

Kerajaan tengah mengadakan pesta tahunan sebagai tanda menyambut hari ulang tahun si raja. Biar Haechan beritahu sesuatu, dia memanggil sang raja sebagai Lelaki Gendut yang Sering Menyusahkan Pelayan. Tolong, rahasiakan yang satu itu.

Haechan muak, sebetulnya. Sebab dari tahun ke tahun, pria tua itu terlihat sama bugarnya. Tidak ada tanda-tanda kalau sang ayah akan tumbang karena penyakit ganas seperti kanker atau darah tinggi.

Atau setidaknya nyeri di lutut.

Demi Tuhan, Haechan terkadang mengharapkan hal semacam itu terjadi.

Dia menyayangi ayahnya, sungguh. Tapi begini, bukankah lebih baik kalau pria tua bangka (well, umur ayahnya sudah menginjak angka enam di depan. Tua, bukan?) itu beristirahat dan menghabiskan masa tuanya di rumah singgah bersama sang ibu? Mereka hanya perlu menyesap teh hijau di pagi hari, bermain golf walaupun Haechan tahu kalau ayahnya payah dalam hal itu, atau memberi makan kuda-kuda poni peliharaan kerajaan di waktu senggang. Sedangkan urusan kerajaan, biar dirinya yang mengurus.

Tapi tunggu, jangan berburuk sangka dulu.

Lee Haechan tidak menginginkan tahta untuk berbuat sesuatu yang keji. Dia alergi dengan hal semacam itu.

Lalu, sebetulnya apa?

Bung, dia hanya ingin membangun klub sepak bola!

Hanya itu.

Haechan sangat ingin mendirikan klub sepak bola kerajaan dengan dirinya sebagai kapten tim sejak lama, bahkan sejak umurnya 10 tahun. Tapi ayahnya itu melarangnya dengan keras. Alasannya?

“Kau tidak akan fokus mengurus tahta kalau melakukan hal konyol itu.”

Kalian dengar?

Hal konyol. Si Tuan Lee itu menyebut hal yang paling Haechan puja sebagai hal konyol.

Heol, menyebalkan.

Baiklah, sampai dimana kita tadi?

Oh, soal pesta dengan terompet yang memekakkan telinga. Ya begitulah, sesuai petuah suci sang raja, Haechan yang malam ini mengenakan pakaiam yang dirancang khusus oleh perancang dari Italia, menjajakkan matanya menelusuri satu persatu gadis yang hadir.

Sayang, mereka semua terlihat sama.

Bergaun panjang warna-warni dengan rambut digelung dan tertata rapi.

Sebentar, lihat! Ada satu di sudut sana yang mengenakan mutiara hitam! Rambutnya juga dibiarkan terurai. Mari cari tahu apakah yang satu ini akan mendapatkan keberuntungan dari Tuhan dan terpilih menjadi calon permaisurinya?

Kakinya ia bawa untuk melangkah ke sudut ruangan besar itu, secara hati-hati meneliti penampakan si gadis mutiara hitam dengan iris cokelat tuanya yang tajam. Gadis itu sebetulnya tampak familiar, perawakannya seperti sudah Haechan lihat setiap hari. Tubuhnya membelakangi Haechan, sehingga dia hanya mampu melihat untaian mutiara hitam sebagai aksen yang dia pakai di kedua telinga. Rambutnya tersingkap, cukup untuk membuatnya bisa melihat kedua antingnya yang cukup panjang dengan jelas.

Itu anting yang cukup kuno. Katanya dalam hati, sedikit mencibir.

Kakinya semakin dekat, hanya lima langkah dan dia sudah bisa menjangkau gadis itu dengan kedua tangan.

Dari jarak sedekat ini, Haechan merasa kalau gadis itu semakin terasa tidak asing baginya. Rasanya, dia sudah pernah melihat anting dan gaun merah mawar yang dikenakan gadis itu.

Kemudian, saat di detik yang sama Haechan kembali melangkahkan kaki, gadis itu menoleh ke arahnya dan tersenyum. Haechan harus menahan napas kala melihat wajah itu, wajah yang memang setiap hari dia lihat, bukan hanya berpredikat familiar, namun sepertinya dia akan mendapat hadiah berupa jeweran karena tidak mengenali wajah itu.

Di sana, lima langkah di depannya, ibunya tengah berdiri dengan senyum sumringah menatap pada Haechan.

Baiklah, ternyata sedari tadi kosa kata yang tepat bukanlah gadis, tapi wanita.

Lupakan.

Haechan membalas senyum itu, kemudian dengan canggung memutar tubuhnya ke arah berlawanan. Setidaknya dia benar tentang satu hal, gaun itu pernah dia lihat. Mungkin lima hari sebelum pesta ini, atau mungkin tiga.

Kembali ke lantai dansa, sepertinya malam ini dia harus bekerja cukup keras dalam menentukan gadis pilihan. Lupakan petuah soal mutiara hitam, ayahnya memang tidak bisa diandalkan dalam hal memilih jodoh. Kalian tahu? Terakhir kali ayahnya mengusulkan perjodohan, yang Haechan lihat adalah gadis bermata lebar yang ternyata sudah delapan tahun memiliki kekasih. Oh, jangan lupakan insiden ayahnya yang menjodohkan dia dengan seorang peramal berusia kepala tiga hanya karena ingin mendapat ramalan hidup secara gratis tiap hari.

Luar biasa.

“Kau belum menemukan pasangan dansa?”

Itu suara ibunya. Haechan menoleh pada wanita itu, lalu langsung memasang wajah mengadu seperti seekor anak anjing.

“Bisakah kita lewatkan saja pesta dansanya dan langsung berlanjut ke pemotongan kue? Demi Tuhan, Ibu, gadis-gadis ini tidak menarik mata.”

Ibunya menggeleng pelan lalu tertawa.

“Kau terlalu pemilih, sedari tadi kuperhatikan ada banyak yang berusaha menarik perhatianmu.”

Oh ya, benar. Lee Haechan dan pesonanya tidak bisa ditolak. Tapi gagasan itu sama sekali tidak terasa membantu, pada akhirnya wanita itu berlalu meninggalkan Haechan yang masih menggerutu.

Sampai sepuluh menit berlalu, Haechan masih belum mendapatkan satu gadis pun untuk diajaknya berdansa. Kabar buruknya, lima menit lagi dansa akan dimulai. Kabar lebih buruknya lagi, Pangeran Lee Haechan alias dirinya harus menjadi pertunjukan utama di lantai dansa.

Siapa pun yang menciptakan pesta dansa kerajaan, Haechan berdoa makananmu dimasuki lalat. Menyebalkan.

Kemudian, sebuah lampu menyala terang benderang muncul di atas kepalanya. Ide brilian muncul di otak cerdasnya. Matanya mengedar, kemudian sebuah senyum tengil muncul kala ia menangkap sosok si Penasehat Raja yang tengah berdiri berdampingan dengan ayahnya.

Kakinya melangkah cepat, mendekat ke arah lelaki paruh baya itu dan membisikkan sesuatu.

“Paman Kyuhyun, bisa tolong umumkan sesuatu? Katakan pada mereka, kalau merasa dirinya belum menikah, tidak berbatang, dan tidak memiliki jakun, tolong berkumpul membentuk barisan di sisi kiri ruangan.”

Paman Kyuhyun, si Penasehat Raja, mendelik tajam sebelum berkata.

“Kau bisa dengan sederhana menyebutnya 'gadis', Lee Haechan.”

Haechan terkekeh singkat sebelum menepuk bahu Paman Kyuhyun dan membuat lelaki itu hampir berteriak menyebut Haechan kurang ajar. Ia beranjak pergi dengan semangat, melangkah menuju sisi kiri ruangan pesta yang cukup kosong tanpa pernak-pernik seperti meja dan air mancur.

Dua menit berikutnya, pengeras suara berbunyi. Pengumuman yang sebelumnya Haechan minta sudah bergema di seluruh ruangan istana. Tapi dirinya mendelik kala mendengar kata 'gadis' di sana. Sungguh, Paman Kyuhyun membosankan dan tidak kreatif.

Lalu tanpa menunggu lama, para gadis berbondong-bondong menuju sisi kiri ruangan, terlihat bersemangat dan antusias kala menemukan Sang Pangeran tengah berdiri mengawasi di sudut ruangan.

Mereka membentuk dua barisan panjang sesuai perintah dari pengeras suara. Ada sekitar seratus gadis di sini, dan Haechan tidak bercanda kala dia bilang mereka semua terlihat seragam. Bergaun panjang dan berambut. Satu-satunya yang membedakan hanya warna dan model gaun mereka yang terlihat rumit.

Baik, sekarang waktunya menebar pesona seorang pangeran.

“Terima kasih sudah berkumpul di sini, aku ingin menyampaikan sesuatu.”

Suaranya terdengar lantang, Haechan kagum pada dirinya sendiri.

Mungkin mulai sekarang dia harus lebih sering berbicara dengan tekanan dan nada seperti ini, ini menarik.

“Aku ingin mengajak satu di antara kalian untuk dijadikan teman dansaku malam ini. Well, masih ada lima menit untuk memilih.”

Kemudian, riuh dan pekik rendah terdengar. Gadis-gadis itu tampak lebih bersemangat.

Sudah dia bilang, pesona Lee Haechan tidak bisa ditolak.

Matanya menilai satu persatu, kembali melontarkan komentar dalam hati kala melihat wajah-wajah mereka yang berbaris.

Hampir seluruhnya memasang senyum anggun, berusaha menarik perhatiannya dengan sikap anggun dan lengkungan ranum ke atas yang dibuat seindah mungkin. Hampir seluruhnya menegapkan tubuh selayak batu, memasang posisi terbaik agar Sang Pangeran mempertimbangkan mereka sebagai pasangan dansa di pesta akbar ini.

Hampir seluruhnya, kecuali satu orang.

Satu orang yang tampak berdiri malas di barisan paling ujung. Bergaun hijau zambrud dengan model paling sederhana di antara gadis lain. Berperhiasan paling minim di antara gadis lain. Yang paling penting, gadis di ujung barisan itu menjadi satu-satunya yang tidak memasang senyum, pun tak memaku tatap pada presensi Lee Haechan yang menjadi pusat atensi.

Mata Haechan menajam, detik berikutnya tanpa ragu mengucapkan titahnya sebagai yang berkuasa.

“Kau, yang di ujung barisan. Ya, kau yang berdiri paling lesu seakan hampir menjadi santapan salamander di kolam istana, aku mau kau menjadi pasangan dansaku.”

Semua gadis menoleh ke ujung barisan, penasaran tentang siapa sosok hampir dimakan salamander di kolam istana itu, sehingga si Putera Mahkota memilihnya tanpa ragu.

Yang menjadi pusat perhatian mengerjapkan matanya, gadis itu tampak terkejut karena mendapat atensi dari barisan dan si yang berkuasa, Lee Haechan.

“Aku?” tanyanya sambil menunjuk diri sendiri.

“Ya, kau. Yang mengenakan gaun hijau zambrud, kemari. Dansa akan segera dimulai.”

Haechan kira, gadis itu akan secara malu-malu mengangguk.

Tapi ternyata, gadis itu malah mendelik ke arahnya sebelum berkata sesuatu yang menohok.

“Aku tidak mau. Pergi cari pasangan dansa lain, dasar maniak sepak bola.”

Tunggu, kenapa panggilan itu malah terasa menantang.

Haechan baru ingin membuka mulutnya guna berdebat dengan gadis itu, namun kalimatnya tertelan sebab terompet sudah kembali dibunyikan, tanda kalau dansa akan dimulai.

Haechan menoleh dan mencibir.

“Terlambat, Nona. Kemari, kita harus berdansa.”

Gadis itu tampak tidak punya pilihan lain. Semua mata memandangnya dengan iri karena tidak mendapat kesempatan untuk berdansa dengan Sang Pangeran.

Pada akhirnya, gadis itu melangkah ke arahnya, dengan wajah tertekuk sebal dan kaki menghentak.

Menarik.

Senyum Haechan kembali muncul, berniat mengejek gadis itu dengan sumringah tengilnya yang khas.

Pengeras suara kembali terdengar mengumumkan sesuatu, mengundang semua tamu undangan untuk memenuhi lantai dansa. Tentu, bagian tengah ruangan dikhususkan untuk keluarga kerajaan, sudah ada Sang Raja dan Sang Ratu yang bersiap, mereka bergandengan tangan mesra.

Sedangkan Haechan dan gadis pilihannya baru sampai di lingkaran tengah, mereka menjadi pusat perhatian. Mungkin mengherankan melihat si Putera Mahkota itu menghadiri pesta dansa, sebab tahun-tahun sebelumnya Haechan selalu mangkir dengan bersembunyi di kandang kuda yang luas.

Mereka berdiri di sana, berdampingan dengan ayah dan ibu Haechan yang tampak berbinar melihat putera tertua mereka menggandeng seorang gadis ke lantai dansa.

Tangan Haechan berada di pinggang gadis itu, mengurungnya dengan kedua tangan dan menundukkan kepala, sebab gadis di hadapannya tergolong cukup mungil.

Musik dimulai, Haechan mengambil langkap pertamanya dengan menuntun gadis itu untuk mundur.

“Kau... Siapa namamu?” tanya Haechan.

Gadis itu menghela napas malas.

“Bisakah kau diam? Aku malas mendengar suaramu.”

Sekali lagi, ini menarik.

Gerakan mereka teratur, beriringan dengan alunan musik lembut yang terputar. Jangan remehkan Haechan soal dansa, dia yang terbaik dalam hal ini. Gadis di dekapannya pun tampak bisa menyelaraskan gerakan, meskipun tampak enggan bergerak ke sana ke mari menuruti langkah yang Haechan buat.

Wajah ini, wajah yang berada di hadapannya, tampak tidak terlalu asing.

“Bukankah kau adalah puterinya hakim kerajaan?”

Gadis itu mendongak menatap Haechan. “Kukira kau tidak cukup peduli soal itu, tapi kau benar,” balasnya.

Woah, kukira Paman Siwon berbohong saat berkata puterinya seperti bulldog.”

Ya! Bajingan tengik!”

Haechan terkekeh. “Serius, Ayahmu bilang sendiri kalau anaknya berbeda dari gadis lain. Kau galak dan sulit ditaklukan.”

Gadis itu menajamkan matanya.

“Tidakkah kau sadar kalau seorang pangeran sepertimu tidak pantas menilai orang dengan cara menyebalkan begitu?”

Haechan membalas tak kalah sewot.

“Tidakkah kau sadar kalau gadis sepertimu tidak pantas bicara dengan nada tinggi pada pangeran sepertiku? Ngomong-ngomong, kau pendek sekali.”

Detik berikutnya, Haechan mengaduh kesakitan sebab gadis itu menginjak kakinya sekuat tenaga.

“Gadis bar-bar!” teriaknya sebelum kembali menarik gadis itu ke dalam dansa.

“Kau tahu? Kau tampak salah tempat di tengah keramaian pesta ini,” ucap Haechan.

Gadis itu berdeham singkat.

“Aku tahu, aku juga sedang menyusun rencana kabur tapi ajakan dansa sialanmu ini menghancurkan segalanya.”

Dia melanjutkan, “Maksudku, paksaan. Kau memaksa, dasar pecundang.”

Haechan terkekeh pelan.

“Memangnya kau mau melakukan apa jika berhasil kabur?”

“Aku mau melanjutkan pekerjaan yang belum selesai, semuanya terbengkalai karena Ayah memaksa untuk datang ke sini.”

Kemudian, gerakan halus ke kiri membawa mereka semakin keluar dari lingkaran pusat. Gadis itu sengaja menggerakkan langkah mereka ke arah sana, Haechan dibuat bingung.

“Nona, kurasa kita semakin jauh dari pusat lantai dansa.”

Gadis itu mendongak dan tertawa.

Sejenak, Haechan terpanah.

“Bisakah kau melangkah lebih ke kiri lagi? Aku harus berbicara pada seseorang. Tak apa, kita masih bisa terus berdansa.”

Haechan mengangguk, tangannya menggenggam erat pinggul gadis itu, menjaganya kala mereka kembali membawa langkah bergeser ke kiri, sembari tetap berusaha mengikuti alunan nada.

“Bisakah kau membantuku? Tolong setelah ini tutupi aku dengan tubuhmu.”

Tanpa sadar, Haechan mengangguk pelan.

Hingga saat mereka sudah berada hampir di dekat meja panjang yang digunakan untuk menyajikan berbagai jenis makanan, Haechan melihat gadis di dekapannya menunduk. Membuatnya berhenti bergerak dan terdiam cukup lama.

Gadis itu, dengan senyum sumringah, menyibak kain penutup meja panjang di hadapannya dalam sekali gerakan. Kemudian yang lebih mengejutkan lagi, sebuah kepala mungil keluar dari sana dan menatap gadis itu dengan senyum.

“Nona, sudah selesai?” tanya sosok mungil di bawah meja itu.

Gadis itu berbisik, “Sudah, sekarang makanlah dengan lahap dan jangan lupa pesanku tadi.”

Lee Haechan yang menyaksikan itu menganga.

Gadis itu kembali berdiri tegap, menghadap Haechan yang masih bereaksi dalam diam.

“Kau barusan berbicara dengan anak pelayan?” tanya Haechan pelan, setengah berbisik.

Karena satu hal yang harus kalian mengerti, berbicara pada pelayan istana merupakan sebuah larangan keras, dan Haechan belum pernah melihat seorangpun di lingkungan istana melanggar aturan itu.

Tapi gadis itu dengan santai mengangguk, seakan perbuatannya bukanlah hal yang melanggar hukum.

“Aku bertemu dengannya sebelum pesta dimulai, dia mengajakku bermain kelereng di halaman belakang istana. Aku bosan setengah mati, lalu kami berteman.”

Gadis itu menjelaskan dengan seksama, matanya melirik ke bawah meja, berharap bocah itu bisa memakan makanan yang dia selundupkan ke bawah meja dengan lahap. Oh iya, tadi dia menyembunyikan beberapa potongan besar kue, buah, dan daging panggang ke dalam satu piring.

Haechan masih mencoba mencerna yang dia dengar, gadis ini sungguh ajaib.

Kemudian, lagu berhenti. Lalu tergantikan dengan lagu lainnya memiliki tempo berbeda. Aturannya adalah; saat lagu berganti, maka pasangan harus pula berganti.

Haechan belum sempat mengatakan apa pun kala gadis itu melangkah menjauh darinya, sebelum kemudian hilang dari pandangan dan membuatnya mendesah frustasi.

Aku bahkan belum tahu namanya.

Meskipun sudah ada Bibi Hyoyeon di sisinya sebagai pasangan ganti, Haechan masih mencoba mencari gadis itu di tengah ramainya lantai dansa.

Gadis itu unik, dan Haechan tertarik.

Namun, hingga lagu terakhir terputar, gadis itu tidak pernah kembali ke pelukannya, dan Lee Haechan menggeram kesal sebab untuk pertama kali, seorang gadis membuatnya begitu putus asa.

Sampai akhirnya, Haechan memutuskan untuk menemui si anak pelayan di bawah meja kala pesta berakhir. Persetan dengan aturan, Haechan butuh bertanya.

“Hei, aku punya pertanyaan,” katanya dalam bisik kepada anak di bawah meja itu.

Anak itu mengangguk antusias.

“Kau tahu kemana perginya Nona yang tadi memberimu makanan?”

Anak itu mengangguk, “Nona bilang dia akan pulang ke rumah saat pesta berakhir.”

“Satu lagi. Dia bilang dia punya pesan padamu, apa itu?”

Anak itu tersenyum simpul, senyumnya membuat Haechan merasa janggal. Tepat, sebab kala anak itu membuka mulut, Haechan sudah memantapkan hati akan mencari gadis itu hingga ke pelosok kerajaan.

“Kata Nona, aku tidak boleh menjadi lelaki sombong dan tidak tahu aturan sepertimu. Aku tidak boleh menopang dagu dan menjilat pantat Raja hanya demi klub sepak bola. Kata Nona, aku harus jadi lelaki hebat, bukan pecundang sepertimu, Pangeran.”

Oh sial, itu menohok.

Haechan harus menemukan gadis itu. Bahkan jika harus membuatnya memaksa Paman Siwon menggeret puterinya itu ke hadapan Haechan.

Sebab dia, harus menunjukkan pada puteri si Paman Siwon kalau dirinya bukan Pecundang Maniak Sepak Bola seperti yang gadis itu sebut.

Haechan juga bisa bermain kelereng, asal dia tahu.

-

Tama pernah ditanya, begini kira-kira:

“Who loves the most between you two?”

Tama mengerti, dan sebetulnya bisa menjawab langsung tanpa berpikir. Tapi lelaki itu memilih untuk diam sejenak sebelum menjawab.

“It's her.”

Lalu, pertanyaan lainnya datang bersamaan dengan kerutan di dahi.

“I was expecting you yourself would be the answer.”

Kemudian, Tama melanjutkan.

“It's her. She loves me all the way she could do. She loves me most of the time, with no excuse. She loves me in the purest way, in the loveliest way. Among us, she loves the most.”

Pertanyaan lain datang.

“What about you?”

Tama kembali terdiam sebelum mengutarakan kalimatnya.

“I just love her.”

Dia melanjutkan, matanya menerawang.

“I just love the very least thing about her. I just love the most unimportant story she tells me in the middle of the night. I just love to see her laughing for the cheapest joke she finds. I just love to hear about her daily routines as if she's never told me those things. I just love her for being the worse version of her self. I just love her for being the most breakout and broken soul of her self.”

“I just love her. I just always love her.”

Ageeta langsung menempelkan ponselnya kala benda persegi itu berdering, nama Tama tertera di sana dan membuat senyum terpatri di wajahnya.

“Sayaaaang?” ucap Ageeta kala telepon tersambung.

“Bentar, aku masang handsfree dulu.”

Terdengar suara Tama melanjutkan, “Oke, udah. Gimana? Mau cerita apa lagi tadi?”

“Bentar aku mikir dulu, lupa mau cerita apa. Eh, kamu udah ketemu mau makan apa?”

“Udah, ini lagi di restoran pasta. Kamu udah makan?”

“Udah, Sayang. Lupa ya tadi aku bilang dibawain martabak sama Jevian.”

Makan nasi, Gee.”

Di tempatnya, Ageeta meringis sebab keewat paham bahwa Tama amat sangat protektif terhadap pola makannya.

“Hehe, belom. Males banget.”

“Makan.”

“Iya, nanti.”

“Makan nasi, bukan mie instan.”

“Iyaa.”

“Udah inget ceritanya?”

“Oh itu, tadi siang aku nemu kucing lucu.”

“Nemu dimana?”

“Depan gerbang kompleks, kotor sih pas aku ketemunya. Tapi pas aku mandiin, ternyata lucu banget, bersih. Bulunya warna putih, tapi di ekornya ada warna item dikit.”

“Kamu pasti ngga inget sih, tapi aku ada alergi ringan sama bulu kucing. Aku awalnya ragu mau ambil, tapi pas kuliat di bagian perutnya ada luka jadi ngga tega. Yaampun, Sayang, kamu kalo liat lukanya pasti kasian juga deh. Itu kaya bener-bener kebuka, aku sampe ngeri liatnya. Haikal sempet protes pas aku bawa pulang, katanya takut banyak kuman. Halah padahal dia sendiri sering banget masuk rumah terus kakinya kotor abis main futsal sama anak-anak kompleks. Aku ancem pake PS dia, terus dia nurut deh.”

“Terus ya kucingnya-”

Ucapan Ageeta terhenti, Tama memotong kalimatnya dengan suara setenang air. Membuat darahnya berdesir tanpa rencana.

Slow down, Baby, slow down... Napas dulu, jangan ngebut ngomongnya, I'm all ears.”

”.......”

“Sekarang lanjut, pelan-pelan.”

“Bentar aku nge-blank.

“Terus kucingnya kenapa?”

“Oiya, terus kucingnya aku kasih nama!”

“Oh ya? Siapa?”

“Rara!”

Di ujung telepon, Tama menahan napasnya sebab sesak tanpa diduga memaksa masuk ke dalam dada.

“Gee...”

“Hehe, aku lagi kangen Kinara soalnya. Kucingku matanya cantik, kaya matanya Rara.”

“Besok aku minta tolong Jevian sama Yudhis buat nemenin kamu ke Rara, mau?”

“Ummm, ngga usah. Nanti aku sendiri aja, ngga enak sama mereka. Aku nyusahin mereka terus.”

All right, terserah kamu. Tapi hati-hati.”

“Pasti.”

“Oiya, Sayang. Aku tadi liat-liat Instagram, banyak tutorial bikin keramik lucu gitu. Jadi pengen belajar deh.”

“Belajar aja.”

“Tapi susah ngga ya? Aku takut nanti jelek.”

“Kan baru mulai, ngga mungkin langsung bagus.”

“Iya ya? Nanti deh aku belajar. Sekalian pengen belajar ngelukis juga, nanti minta tolong temennya Ekal yang pendek buat ngajarin. Wah, ternyata serem begitu anaknya berbakat seni!”

“Aku juga mau dekor halaman belakang deh kayanya. Semua tanaman yang di balkon mau kutaro di sana aja, sama nanti mau bikin ayunan biar bisa nyantai di situ. Eh tapi ribet ngga sih? Eh tapi ngga apa-apa deh, aku udah ngga tahan liat di situ gersang banget pemandangannya. Oiya, aku juga-”

Kemudian, Ageeta menyadari sesuatu.

“Kamu risih ngga denger aku ngomong banyak-banyak kaya gini?”

Kalau dirinya sudah berbicara terlalu banyak, kalau dirinya sudah tanpa sadar bercerita tanpa jeda dan membiarkan Tama menjadi pihak pendengar sepenuhnya. Kemudian, suara berat nan menenangkan itu kembali terdengar di ujung telepon.

“Ngga, ngga sama sekali.”

“Cerita aja, I love to hear everything about you.”

Kalimatnya membuat Ageeta kembali bergetar, menyadari bahwa Baskara Naratama sudah membuatnya jatuh, sejatuh-jatuhnya.

-

Ageeta langsung menempelkan ponselnya kala benda persegi itu berdering, nama Tama tertera di sana dan membuat senyum terpatri di wajahnya.

“Sayaaaang?” ucap Ageeta kala telepon tersambung.

“Bentar, aku masang handsfree dulu.”

Terdengar suara Tama melanjutkan, “Oke, udah. Gimana? Mau cerita apa lagi tadi?”

“Bentar aku mikir dulu, lupa mau cerita apa. Eh, kamu udah ketemu mau makan apa?”

“Udah, ini lagi di restoran pasta. Kamu udah makan?”

“Udah, Sayang. Lupa ya tadi aku bilang dibawain martabak sama Jevian.”

Makan nasi, Gee.”

Di tempatnya, Ageeta meringis sebab keewat paham bahwa Tama amat sangat protektif terhadap pola makannya.

“Hehe, belom. Males banget.”

“Makan.”

“Iya, nanti.”

“Makan nasi, bukan mie instan.”

“Iyaa.”

“Udah inget ceritanya?”

“Oh itu, tadi siang aku nemu kucing lucu.”

“Nemu dimana?”

“Depan gerbang kompleks, kotor sih pas aku ketemunya. Tapi pas aku mandiin, ternyata lucu banget, bersih. Bulunya warna putih, tapi di ekornya ada warna item dikit.”

“Kamu pasti ngga inget sih, tapi aku ada alergi ringan sama bulu kucing. Aku awalnya ragu mau ambil, tapi pas kuliat di bagian perutnya ada luka jadi ngga tega. Yaampun, Sayang, kamu kalo liat lukanya pasti kasian juga deh. Itu kaya bener-bener kebuka, aku sampe ngeri liatnya. Haikal sempet protes pas aku bawa pulang, katanya takut banyak kuman. Halah padahal dia sendiri sering banget masuk rumah terus kakinya kotor abis main futsal sama anak-anak kompleks. Aku ancem pake PS dia, terus dia nurut deh.”

“Terus ya kucingnya-”

Ucapan Ageeta terhenti, Tama memotong kalimatnya dengan suara setenang air. Membuat darahnya berdesir tanpa rencana.

Slow down, Baby, slow down... Napas dulu, jangan ngebut ngomongnya, I'm all ears.”

”.......”

“Sekarang lanjut, pelan-pelan.”

“Bentar aku nge-blank.

“Terus kucingnya kenapa?”

“Oiya, terus kucingnya aku kasih nama!”

“Oh ya? Siapa?”

“Rara!”

Di ujung telepon, Tama menahan napasnya sebab sesak tanpa diduga memaksa masuk ke dalam dada.

“Gee...”

“Hehe, aku lagi kangen Kinara soalnya. Kucingku matanya cantik, kaya matanya Rara.”

“Besok aku minta tolong Jevian sama Yudhis buat nemenin kamu ke Rara, mau?”

“Ummm, ngga usah. Nanti aku sendiri aja, ngga enak sama mereka. Aku nyusahin mereka terus.”

All right, terserah kamu. Tapi hati-hati.”

“Pasti.”

“Oiya, Sayang. Aku tadi liat-liat Instagram, banyak tutorial bikin keramik lucu gitu. Jadi pengen belajar deh.”

“Belajar aja.”

“Tapi susah ngga ya? Aku takut nanti jelek.”

“Kan baru mulai, ngga mungkin langsung bagus.”

“Iya ya? Nanti deh aku belajar. Sekalian pengen belajar ngelukis juga, nanti minta tolong temennya Ekal yang pendek buat ngajarin. Wah, ternyata serem begitu anaknya berbakat seni!”

“Aku juga mau dekor halaman belakang deh kayanya. Semua tanaman yang di balkon mau kutaro di sana aja, sama nanti mau bikin ayunan biar bisa nyantai di situ. Eh tapi ribet ngga sih? Eh tapi ngga apa-apa deh, aku udah ngga tahan liat di situ gersang banget pemandangannya. Oiya, aku juga-”

Kemudian, Ageeta menyadari sesuatu.

“Kamu risih ngga denger aku ngomong banyak-banyak kaya gini?”

Kalau dirinya sudah berbicara terlalu banyak, kalau dirinya sudah tanpa sadar bercerita tanpa jeda dan membiarkan Tama menjadi pihak pendengar sepenuhnya. Kemudian, suara berat nan menenangkan itu kembali terdengar di ujung telepon.

“Ngga, ngga sama sekali.”

“Cerita aja, I love to hear everything about you.”

Kalimatnya membuat Ageeta kembali bergetar, menyadari bahwa Baskara Naratama sudah membuatnya jatuh, sejatuh-jatuhnya.

-

Trigger Warning : Mentions of blood, death, sexual harrashment, and traumatic event. Please be wise, the whole story will be so intense

Seumur hidup, Rakshana Yudhistira tidak pernah tahu kalau mengkhawatirkan seseorang bisa jadi separah ini.

Tadinya, Yudhis berniat untuk memenuhi janji temu yang sudah ia rencanakan dengan salah satu dosen MPK di kampusnya untuk membahas masalah ujian akhir, sesuai dengan posisi Yudhis sebagai ketua angkatan. Tapi saat membaca pesan dari Adara, gadis yang hampir empat hari ini berada dalam pengawasannya, tanpa berpikir dua kali dirinya langsung angkat kaki dari kampus dan menancap gas menuju apartemen lamanya, tempat gadis itu tinggal untuk sementara waktu.

Degup jantungnya berpacu kencang kala bayangan kejadian yang dia lihat menimpa Dara melewati benak.

Yudhis menahan napas, matanya melirik-lirik cemas ke arah ponsel, berharap Tama segera membalas pesan yang ia tinggalkan karena demi Tuhan, Yudhis sendiri tidak berani membayangkan bila nanti hanya dirinya yang membantu Dara sendiri.

Kala mobilnya berhenti tepat di depan gedung apartemen lamanya, Yudhis tidak butuh waktu lama untuk langsung berlari menuju lift dan menekan angka lima di sana. Keringat membasahi sekitar wajahnya, hasil dari berlari untuk mengejar waktu.

Menunggu bunyi denting tanda pintu terbuka terasa amat menyiksa, berkali-kali dirinya mengecek monitor kecil di sisi pintu lift demi memastikan bahwa benda kotak itu benar-benar membawanya naik ke lantai lima. Rasa gelisahnya bertambah parah saat menemukan bahwa Tama sama sekali tidak merespon ucapannya mengenai Dara, ponselnya kelewat hening tanpa pemberitahuan pesan dari siapa pun.

Apa Tama mungkin sudah tidak bisa menaruh rasa percaya pada dirinya? Apa mungkin lelaki itu sudah kepalang benci pada sosok Adara?

Rasanya, Yudhis tidak pernah dibuat sekhawatir ini oleh orang lain.

Pernah sekali, oleh Ageeta. Tepat saat Ageeta hampir menjadi korban pembunuhan di kampus akibat ulah mendiang Kinara.

Lucunya, orang yang saat ini dia khawatirkan faktanya menjadi sebab utama kekhawatiran lamanya saat itu.

Lucunya lagi, Yudhis tidak pernah menyangka kalau kekhawatiran yang ditimbulkan Adara akan melampaui rasa khawatirnya pada Ageeta.

Lucu sekali, sebab Yudhis sempat menjadi pembenci nomer satu Adara setelah kejadian kecelakaan yang melibatkan Ageeta dan mendiang Kinara.

Saat akhirnya bunyi denting dari pintu lift terdengar, Yudhis serta-merta keluar dan kembali berlari menuju unitnya.

Sayang, sebab sepertinya Yudhistira sedikit terlambat.

Pintu apartemen yang ia yakini hanya diketahui oleh dirinya dan Adara kini sudah terbuka lebar, menandakan bahwa ada orang lain yang berhasil masuk, entah dengan cara merusak kode keamanannya atau dengan cara lain.

Kemudian, saat kakinya ia bawa memasuki apartemen, yang Yudhis lihat adalah sosok Baskara Naratama tengah berdiri menjulang.

Yang dia temukan adalah Tama, dengan kedua tangan terkepal, tengah melayangkan hantaman dan pukulan keras ke wajah lelaki paruh baya dalam sekali lihat, Yudhis tahu bahwa itu adalah lelaki yang biasa Tama panggil 'Papa'.

Di sisi lain, yang Yudhis temukan adalah Adara yang sudah berada dalam posisi duduk lemas. Dahinya mengucurkan darah, dan rambutnya kusut masai. Yudhis yakin hal itu adalah hasil perbuatan sang papa.

Yudhis tidak pernah tahu kalau pemandangan itu menjadi hal paling sederhana yang bisa memicu amarahnya memuncak. Dia maju selangkah, mempersiapkan diri untuk ikut memberi pukulan pada lelaki paruh baya di depannya, namun terhenti saat sebuah kalimat meluncur dari bibir Tama.

Lelaki itu menangis dalam untaian katanya yang tersampai.

Both of you, do not even deserve a single world to live in

Tidak ada teriakan dalam kalimatnya, namun Yudhis tahu kalau Tama mengucapkan hal itu dalam kesakitan yang amat sangat.

Kemudian, satu lagi pukulan Tama layangkan pada sang papa, membuat lelaki itu tersungkur di lantai dalam posisi berlutut. Yudhis terperangah sampai ia mendengar lelaki itu memulai cerita dengan suara yang kentara penuh rasa sakit.

She deserves everything I did to her, Bas. Kamu mau tau? Mamanya Dara bohong soal Dara yang punya DID, dan Mamanya Dara bohong soal status Dara sebagai anak kandung Papa.”

Oh tidak, Yudhis tidak ingin mendengar hal yang sama sekali lagi. Cukup saat dia berkunjung ke kantor ayahnya dan tidak sengaja mendengar dan melihat langsung percakapan penuh amarah antara ayah dan anak itu. Cukup sekali sampai akhirnya Yudhis bertekad untuk membantu Adara melindungi dirinya.

Cukup sekali saat dirinya menemukan langsung saat Adara dipaksa melayani seorang lelaki tua di ruang meeting dalam keadaan menangis kencang. Cukup sekali, dan Yudhis rasa dia tidak akan sanggup mendengar hal lain lagi.

This little whore deserves everything to pay what her mom did, Baskara,” lelaki paruh baya itu masih berusaha bicara walaupun tahu kalau Tama mungkin akan kembali menerjangnya dengan pukulan lain.

“Kamu tau, Bas? I protect her in all cost dan bikin kamu merasa dianaktirikan bertahun-tahun, I take care of her selama bertahun-tahun sampai akhirnya Papa tau semua kebohongan yang dibuat Mamanya.”

“Kamu mau tau yang lebih parah? Mama Adara, yang sekarang sudah Papa buat mati dengan tangan sendiri, adalah orang yang bikin Mama kamu diperkosa lebih dari setahun lalu. She hired people to rape her, to break her into peaces karena tau kalau Papa menjanjikan 30% saham ke kamu.”

“Dan satu tahun belakangan setelah tau semuanya, I make them pay it off dengan cara bikin Dara jadi umpan buat investor.”

She killed your friend, right? Anak ini bahkan hampir bunuh Ageeta, kan?*”

Tama angkat bicara, “Kalian berdua sama-sama gila.”

Satu tendangan melayang ke arah lelaki itu.

Namun, yang barusan mendapatkan tendangan seakan tidak menyerah. Lelaki itu kembali melanjutkan ceritanya.

They said, she's pretty.

They said, she's so damn good on their bed.

They said, she looks so hot when she's crying, begging for them to stop.

Those men said, this little whore is the best seducer they have ever met.

They said–”

Kala Yudhistira tengah lengah mendengarkan kalimat demi kalimat, suara pecahan kaca mengagetkan dirinya lebih dari apa pun.

Detik berikutnya, lelaki di depannya sudah terkapar dengan darah memenuhi lantai.

Adara, dengan kedua tangan bergetar dan langkah terseok, melayangkan sebuah guci berukuran cukup besar ke arah sang papa. Memukul tepat di bagian kepala, hingga membuat lelaki itu kehilangan kesadaran.

Tepat setelahnya, suara berisik lain masuk ke dalam unit apartemen milik Yudhis, membuat semua orang menoleh tanpa terkecuali.

Di sana, Jevian berdiri di iringi beberapa petugas kepolisian, tangannya menenteng ponsel yang menunjukkan nama Johnny tertera di layar.

Everything's done, Baskara. You don't have to suffer these two maniac anymore, we've done,*” ucap Johnny melalui sambungan telepon.

Dan sore itu, yang Yudhis tahu adalah dirinya dan Tama dibawa ke kantor polisi dengan posisi sebagai saksi dan Adara sebagai tersangka pembunuhan sang papa.

Lelaki itu meninggal di tempat.

Dan dari raut wajah Tama, Yudhis cukup paham kalau temannya itu punya banyak emosi yang ingin dia luapkan.

Tama... sepertinya harus menghadapi rasa sakit sekali lagi, dan kali ini, akan terasa lebih parah dan lebih mengejutkan dari sebelumnya.