Lee Haechan pernah sekali dinasehati oleh Sang Raja, well sebut saja ayahnya. Katanya, ketika pesta kerajaan dilaksanakan, pilihlah gadis yang mengenakan perhiasan dengan mata berupa mutiara hitam untuk diajak sebagai teman dansa.
“Mutiara hitam itu yang paling langka, yang paling sulit ditemukan. Jadi bisa dipastikan, kalau seorang gadis memakainya, dia berasal dari keluarga terpandang, berduit, dan orangtuanya berkuasa. Mengerti, Lee Haechan?”
Harusnya si raja tua itu tidak perlu memperjelas sifat tamak dalam dirinya di depan Haechan.
Tapi sebetulnya, Haechan diam-diam menyetujui gagasan itu dalam hati. Sebab gadis-gadis dari keluarga kaya biasanya lebih beradab, mereka sopan, dan ya, Haechan bisa mendapat keuntungan dari mereka.
Tunggu, sebelum kalian menyerang, ini hanya pendapat dan pandangan pribadinya, oke. Tapi serius, mendapatkan teman dansa di pesta kerajaan bisa berarti dua hal bagi seorang penerus tahta sepertinya. Pertama, sebatas bisa berkenalan dan menambah wawasannya mengenai suatu hal yang ia dapat dari perbincangan di kala dansa. Kedua dan kalau beruntung, bisa mendapatkan calon permaisuri dan sekalian sebuah keuntungan.
Memperluas wilayah kerajaan sebelum dirinya naik tahta, misal.
Maka malam ini, saat terompet dan iringan alat musik lain bergema di seluruh lantai dansa yang sudah diberi dekorasi sedemikian rupa, Haechan mulai menjelajahkan iris cokelat tuanya untuk mencari satu persatu gadis tujuannya. Ruangan luas ini dipenuhi pita dan pernak-pernik pesta, warna keemasan dan cukup menyakitkan mata. Kalau saja Sang Raja tidak mengancam akan membuang seluruh koleksi seri komik di kamarnya, Haechan mungkin akan memilih untuk meninggalkan ruangan.
Di dalam sini, ada banyak sekali orang. Mulai dari yang sering dia lihat sebagai jajaran menteri kerajaan, atau yang sama sekali asing di matanya. Mereka semua berpakaian bagus, berkilau, dan tampak mahal. Berpoles riasan dari yang anggun hingga terlalu mencolok, dari yang gagah hingga yang terlalu berlebihan karena sampai memakai baju besi. Haechan meringis melihat yang satu itu.
Matanya menatap kerumunan orang di berbagai tempat, melihat satu persatu dari mereka yang berperawakan gadis. Menilik pada sosok-sosok bergaun panjang itu dengan penilaian dalam hati.
Dia, si calon raja di tahta berikutnya, harus bisa mendapatkan calon permaisuri malam ini juga.
Oh, yang satu itu memakai terlalu banyak perona pipi.
Yang ini bukan tipeku, dia tertawa sambil memukul orang di sampingnya. Lewatkan.
Yang satu ini punya mata yang cantik, tapi tunggu dulu. Kenapa dia mencukur alisnya?
Yang ini cantik, tapi dia lebih tinggi dariku. Lewatkan.
Oke, begini. Mari kita perjelas sesuatu.
Kerajaan tengah mengadakan pesta tahunan sebagai tanda menyambut hari ulang tahun si raja. Biar Haechan beritahu sesuatu, dia memanggil sang raja sebagai Lelaki Gendut yang Sering Menyusahkan Pelayan. Tolong, rahasiakan yang satu itu.
Haechan muak, sebetulnya. Sebab dari tahun ke tahun, pria tua itu terlihat sama bugarnya. Tidak ada tanda-tanda kalau sang ayah akan tumbang karena penyakit ganas seperti kanker atau darah tinggi.
Atau setidaknya nyeri di lutut.
Demi Tuhan, Haechan terkadang mengharapkan hal semacam itu terjadi.
Dia menyayangi ayahnya, sungguh. Tapi begini, bukankah lebih baik kalau pria tua bangka (well, umur ayahnya sudah menginjak angka enam di depan. Tua, bukan?) itu beristirahat dan menghabiskan masa tuanya di rumah singgah bersama sang ibu? Mereka hanya perlu menyesap teh hijau di pagi hari, bermain golf walaupun Haechan tahu kalau ayahnya payah dalam hal itu, atau memberi makan kuda-kuda poni peliharaan kerajaan di waktu senggang. Sedangkan urusan kerajaan, biar dirinya yang mengurus.
Tapi tunggu, jangan berburuk sangka dulu.
Lee Haechan tidak menginginkan tahta untuk berbuat sesuatu yang keji. Dia alergi dengan hal semacam itu.
Lalu, sebetulnya apa?
Bung, dia hanya ingin membangun klub sepak bola!
Hanya itu.
Haechan sangat ingin mendirikan klub sepak bola kerajaan dengan dirinya sebagai kapten tim sejak lama, bahkan sejak umurnya 10 tahun. Tapi ayahnya itu melarangnya dengan keras. Alasannya?
“Kau tidak akan fokus mengurus tahta kalau melakukan hal konyol itu.”
Kalian dengar?
Hal konyol. Si Tuan Lee itu menyebut hal yang paling Haechan puja sebagai hal konyol.
Heol, menyebalkan.
Baiklah, sampai dimana kita tadi?
Oh, soal pesta dengan terompet yang memekakkan telinga. Ya begitulah, sesuai petuah suci sang raja, Haechan yang malam ini mengenakan pakaiam yang dirancang khusus oleh perancang dari Italia, menjajakkan matanya menelusuri satu persatu gadis yang hadir.
Sayang, mereka semua terlihat sama.
Bergaun panjang warna-warni dengan rambut digelung dan tertata rapi.
Sebentar, lihat! Ada satu di sudut sana yang mengenakan mutiara hitam! Rambutnya juga dibiarkan terurai. Mari cari tahu apakah yang satu ini akan mendapatkan keberuntungan dari Tuhan dan terpilih menjadi calon permaisurinya?
Kakinya ia bawa untuk melangkah ke sudut ruangan besar itu, secara hati-hati meneliti penampakan si gadis mutiara hitam dengan iris cokelat tuanya yang tajam. Gadis itu sebetulnya tampak familiar, perawakannya seperti sudah Haechan lihat setiap hari. Tubuhnya membelakangi Haechan, sehingga dia hanya mampu melihat untaian mutiara hitam sebagai aksen yang dia pakai di kedua telinga. Rambutnya tersingkap, cukup untuk membuatnya bisa melihat kedua antingnya yang cukup panjang dengan jelas.
Itu anting yang cukup kuno. Katanya dalam hati, sedikit mencibir.
Kakinya semakin dekat, hanya lima langkah dan dia sudah bisa menjangkau gadis itu dengan kedua tangan.
Dari jarak sedekat ini, Haechan merasa kalau gadis itu semakin terasa tidak asing baginya. Rasanya, dia sudah pernah melihat anting dan gaun merah mawar yang dikenakan gadis itu.
Kemudian, saat di detik yang sama Haechan kembali melangkahkan kaki, gadis itu menoleh ke arahnya dan tersenyum. Haechan harus menahan napas kala melihat wajah itu, wajah yang memang setiap hari dia lihat, bukan hanya berpredikat familiar, namun sepertinya dia akan mendapat hadiah berupa jeweran karena tidak mengenali wajah itu.
Di sana, lima langkah di depannya, ibunya tengah berdiri dengan senyum sumringah menatap pada Haechan.
Baiklah, ternyata sedari tadi kosa kata yang tepat bukanlah gadis, tapi wanita.
Lupakan.
Haechan membalas senyum itu, kemudian dengan canggung memutar tubuhnya ke arah berlawanan. Setidaknya dia benar tentang satu hal, gaun itu pernah dia lihat. Mungkin lima hari sebelum pesta ini, atau mungkin tiga.
Kembali ke lantai dansa, sepertinya malam ini dia harus bekerja cukup keras dalam menentukan gadis pilihan. Lupakan petuah soal mutiara hitam, ayahnya memang tidak bisa diandalkan dalam hal memilih jodoh. Kalian tahu? Terakhir kali ayahnya mengusulkan perjodohan, yang Haechan lihat adalah gadis bermata lebar yang ternyata sudah delapan tahun memiliki kekasih. Oh, jangan lupakan insiden ayahnya yang menjodohkan dia dengan seorang peramal berusia kepala tiga hanya karena ingin mendapat ramalan hidup secara gratis tiap hari.
Luar biasa.
“Kau belum menemukan pasangan dansa?”
Itu suara ibunya. Haechan menoleh pada wanita itu, lalu langsung memasang wajah mengadu seperti seekor anak anjing.
“Bisakah kita lewatkan saja pesta dansanya dan langsung berlanjut ke pemotongan kue? Demi Tuhan, Ibu, gadis-gadis ini tidak menarik mata.”
Ibunya menggeleng pelan lalu tertawa.
“Kau terlalu pemilih, sedari tadi kuperhatikan ada banyak yang berusaha menarik perhatianmu.”
Oh ya, benar. Lee Haechan dan pesonanya tidak bisa ditolak. Tapi gagasan itu sama sekali tidak terasa membantu, pada akhirnya wanita itu berlalu meninggalkan Haechan yang masih menggerutu.
Sampai sepuluh menit berlalu, Haechan masih belum mendapatkan satu gadis pun untuk diajaknya berdansa. Kabar buruknya, lima menit lagi dansa akan dimulai. Kabar lebih buruknya lagi, Pangeran Lee Haechan alias dirinya harus menjadi pertunjukan utama di lantai dansa.
Siapa pun yang menciptakan pesta dansa kerajaan, Haechan berdoa makananmu dimasuki lalat. Menyebalkan.
Kemudian, sebuah lampu menyala terang benderang muncul di atas kepalanya. Ide brilian muncul di otak cerdasnya. Matanya mengedar, kemudian sebuah senyum tengil muncul kala ia menangkap sosok si Penasehat Raja yang tengah berdiri berdampingan dengan ayahnya.
Kakinya melangkah cepat, mendekat ke arah lelaki paruh baya itu dan membisikkan sesuatu.
“Paman Kyuhyun, bisa tolong umumkan sesuatu? Katakan pada mereka, kalau merasa dirinya belum menikah, tidak berbatang, dan tidak memiliki jakun, tolong berkumpul membentuk barisan di sisi kiri ruangan.”
Paman Kyuhyun, si Penasehat Raja, mendelik tajam sebelum berkata.
“Kau bisa dengan sederhana menyebutnya 'gadis', Lee Haechan.”
Haechan terkekeh singkat sebelum menepuk bahu Paman Kyuhyun dan membuat lelaki itu hampir berteriak menyebut Haechan kurang ajar. Ia beranjak pergi dengan semangat, melangkah menuju sisi kiri ruangan pesta yang cukup kosong tanpa pernak-pernik seperti meja dan air mancur.
Dua menit berikutnya, pengeras suara berbunyi. Pengumuman yang sebelumnya Haechan minta sudah bergema di seluruh ruangan istana. Tapi dirinya mendelik kala mendengar kata 'gadis' di sana. Sungguh, Paman Kyuhyun membosankan dan tidak kreatif.
Lalu tanpa menunggu lama, para gadis berbondong-bondong menuju sisi kiri ruangan, terlihat bersemangat dan antusias kala menemukan Sang Pangeran tengah berdiri mengawasi di sudut ruangan.
Mereka membentuk dua barisan panjang sesuai perintah dari pengeras suara. Ada sekitar seratus gadis di sini, dan Haechan tidak bercanda kala dia bilang mereka semua terlihat seragam. Bergaun panjang dan berambut. Satu-satunya yang membedakan hanya warna dan model gaun mereka yang terlihat rumit.
Baik, sekarang waktunya menebar pesona seorang pangeran.
“Terima kasih sudah berkumpul di sini, aku ingin menyampaikan sesuatu.”
Suaranya terdengar lantang, Haechan kagum pada dirinya sendiri.
Mungkin mulai sekarang dia harus lebih sering berbicara dengan tekanan dan nada seperti ini, ini menarik.
“Aku ingin mengajak satu di antara kalian untuk dijadikan teman dansaku malam ini. Well, masih ada lima menit untuk memilih.”
Kemudian, riuh dan pekik rendah terdengar. Gadis-gadis itu tampak lebih bersemangat.
Sudah dia bilang, pesona Lee Haechan tidak bisa ditolak.
Matanya menilai satu persatu, kembali melontarkan komentar dalam hati kala melihat wajah-wajah mereka yang berbaris.
Hampir seluruhnya memasang senyum anggun, berusaha menarik perhatiannya dengan sikap anggun dan lengkungan ranum ke atas yang dibuat seindah mungkin. Hampir seluruhnya menegapkan tubuh selayak batu, memasang posisi terbaik agar Sang Pangeran mempertimbangkan mereka sebagai pasangan dansa di pesta akbar ini.
Hampir seluruhnya, kecuali satu orang.
Satu orang yang tampak berdiri malas di barisan paling ujung. Bergaun hijau zambrud dengan model paling sederhana di antara gadis lain. Berperhiasan paling minim di antara gadis lain. Yang paling penting, gadis di ujung barisan itu menjadi satu-satunya yang tidak memasang senyum, pun tak memaku tatap pada presensi Lee Haechan yang menjadi pusat atensi.
Mata Haechan menajam, detik berikutnya tanpa ragu mengucapkan titahnya sebagai yang berkuasa.
“Kau, yang di ujung barisan. Ya, kau yang berdiri paling lesu seakan hampir menjadi santapan salamander di kolam istana, aku mau kau menjadi pasangan dansaku.”
Semua gadis menoleh ke ujung barisan, penasaran tentang siapa sosok hampir dimakan salamander di kolam istana itu, sehingga si Putera Mahkota memilihnya tanpa ragu.
Yang menjadi pusat perhatian mengerjapkan matanya, gadis itu tampak terkejut karena mendapat atensi dari barisan dan si yang berkuasa, Lee Haechan.
“Aku?” tanyanya sambil menunjuk diri sendiri.
“Ya, kau. Yang mengenakan gaun hijau zambrud, kemari. Dansa akan segera dimulai.”
Haechan kira, gadis itu akan secara malu-malu mengangguk.
Tapi ternyata, gadis itu malah mendelik ke arahnya sebelum berkata sesuatu yang menohok.
“Aku tidak mau. Pergi cari pasangan dansa lain, dasar maniak sepak bola.”
Tunggu, kenapa panggilan itu malah terasa menantang.
Haechan baru ingin membuka mulutnya guna berdebat dengan gadis itu, namun kalimatnya tertelan sebab terompet sudah kembali dibunyikan, tanda kalau dansa akan dimulai.
Haechan menoleh dan mencibir.
“Terlambat, Nona. Kemari, kita harus berdansa.”
Gadis itu tampak tidak punya pilihan lain. Semua mata memandangnya dengan iri karena tidak mendapat kesempatan untuk berdansa dengan Sang Pangeran.
Pada akhirnya, gadis itu melangkah ke arahnya, dengan wajah tertekuk sebal dan kaki menghentak.
Menarik.
Senyum Haechan kembali muncul, berniat mengejek gadis itu dengan sumringah tengilnya yang khas.
Pengeras suara kembali terdengar mengumumkan sesuatu, mengundang semua tamu undangan untuk memenuhi lantai dansa. Tentu, bagian tengah ruangan dikhususkan untuk keluarga kerajaan, sudah ada Sang Raja dan Sang Ratu yang bersiap, mereka bergandengan tangan mesra.
Sedangkan Haechan dan gadis pilihannya baru sampai di lingkaran tengah, mereka menjadi pusat perhatian. Mungkin mengherankan melihat si Putera Mahkota itu menghadiri pesta dansa, sebab tahun-tahun sebelumnya Haechan selalu mangkir dengan bersembunyi di kandang kuda yang luas.
Mereka berdiri di sana, berdampingan dengan ayah dan ibu Haechan yang tampak berbinar melihat putera tertua mereka menggandeng seorang gadis ke lantai dansa.
Tangan Haechan berada di pinggang gadis itu, mengurungnya dengan kedua tangan dan menundukkan kepala, sebab gadis di hadapannya tergolong cukup mungil.
Musik dimulai, Haechan mengambil langkap pertamanya dengan menuntun gadis itu untuk mundur.
“Kau... Siapa namamu?” tanya Haechan.
Gadis itu menghela napas malas.
“Bisakah kau diam? Aku malas mendengar suaramu.”
Sekali lagi, ini menarik.
Gerakan mereka teratur, beriringan dengan alunan musik lembut yang terputar. Jangan remehkan Haechan soal dansa, dia yang terbaik dalam hal ini. Gadis di dekapannya pun tampak bisa menyelaraskan gerakan, meskipun tampak enggan bergerak ke sana ke mari menuruti langkah yang Haechan buat.
Wajah ini, wajah yang berada di hadapannya, tampak tidak terlalu asing.
“Bukankah kau adalah puterinya hakim kerajaan?”
Gadis itu mendongak menatap Haechan. “Kukira kau tidak cukup peduli soal itu, tapi kau benar,” balasnya.
“Woah, kukira Paman Siwon berbohong saat berkata puterinya seperti bulldog.”
“Ya! Bajingan tengik!”
Haechan terkekeh. “Serius, Ayahmu bilang sendiri kalau anaknya berbeda dari gadis lain. Kau galak dan sulit ditaklukan.”
Gadis itu menajamkan matanya.
“Tidakkah kau sadar kalau seorang pangeran sepertimu tidak pantas menilai orang dengan cara menyebalkan begitu?”
Haechan membalas tak kalah sewot.
“Tidakkah kau sadar kalau gadis sepertimu tidak pantas bicara dengan nada tinggi pada pangeran sepertiku? Ngomong-ngomong, kau pendek sekali.”
Detik berikutnya, Haechan mengaduh kesakitan sebab gadis itu menginjak kakinya sekuat tenaga.
“Gadis bar-bar!” teriaknya sebelum kembali menarik gadis itu ke dalam dansa.
“Kau tahu? Kau tampak salah tempat di tengah keramaian pesta ini,” ucap Haechan.
Gadis itu berdeham singkat.
“Aku tahu, aku juga sedang menyusun rencana kabur tapi ajakan dansa sialanmu ini menghancurkan segalanya.”
Dia melanjutkan, “Maksudku, paksaan. Kau memaksa, dasar pecundang.”
Haechan terkekeh pelan.
“Memangnya kau mau melakukan apa jika berhasil kabur?”
“Aku mau melanjutkan pekerjaan yang belum selesai, semuanya terbengkalai karena Ayah memaksa untuk datang ke sini.”
Kemudian, gerakan halus ke kiri membawa mereka semakin keluar dari lingkaran pusat. Gadis itu sengaja menggerakkan langkah mereka ke arah sana, Haechan dibuat bingung.
“Nona, kurasa kita semakin jauh dari pusat lantai dansa.”
Gadis itu mendongak dan tertawa.
Sejenak, Haechan terpanah.
“Bisakah kau melangkah lebih ke kiri lagi? Aku harus berbicara pada seseorang. Tak apa, kita masih bisa terus berdansa.”
Haechan mengangguk, tangannya menggenggam erat pinggul gadis itu, menjaganya kala mereka kembali membawa langkah bergeser ke kiri, sembari tetap berusaha mengikuti alunan nada.
“Bisakah kau membantuku? Tolong setelah ini tutupi aku dengan tubuhmu.”
Tanpa sadar, Haechan mengangguk pelan.
Hingga saat mereka sudah berada hampir di dekat meja panjang yang digunakan untuk menyajikan berbagai jenis makanan, Haechan melihat gadis di dekapannya menunduk. Membuatnya berhenti bergerak dan terdiam cukup lama.
Gadis itu, dengan senyum sumringah, menyibak kain penutup meja panjang di hadapannya dalam sekali gerakan. Kemudian yang lebih mengejutkan lagi, sebuah kepala mungil keluar dari sana dan menatap gadis itu dengan senyum.
“Nona, sudah selesai?” tanya sosok mungil di bawah meja itu.
Gadis itu berbisik, “Sudah, sekarang makanlah dengan lahap dan jangan lupa pesanku tadi.”
Lee Haechan yang menyaksikan itu menganga.
Gadis itu kembali berdiri tegap, menghadap Haechan yang masih bereaksi dalam diam.
“Kau barusan berbicara dengan anak pelayan?” tanya Haechan pelan, setengah berbisik.
Karena satu hal yang harus kalian mengerti, berbicara pada pelayan istana merupakan sebuah larangan keras, dan Haechan belum pernah melihat seorangpun di lingkungan istana melanggar aturan itu.
Tapi gadis itu dengan santai mengangguk, seakan perbuatannya bukanlah hal yang melanggar hukum.
“Aku bertemu dengannya sebelum pesta dimulai, dia mengajakku bermain kelereng di halaman belakang istana. Aku bosan setengah mati, lalu kami berteman.”
Gadis itu menjelaskan dengan seksama, matanya melirik ke bawah meja, berharap bocah itu bisa memakan makanan yang dia selundupkan ke bawah meja dengan lahap. Oh iya, tadi dia menyembunyikan beberapa potongan besar kue, buah, dan daging panggang ke dalam satu piring.
Haechan masih mencoba mencerna yang dia dengar, gadis ini sungguh ajaib.
Kemudian, lagu berhenti. Lalu tergantikan dengan lagu lainnya memiliki tempo berbeda. Aturannya adalah; saat lagu berganti, maka pasangan harus pula berganti.
Haechan belum sempat mengatakan apa pun kala gadis itu melangkah menjauh darinya, sebelum kemudian hilang dari pandangan dan membuatnya mendesah frustasi.
Aku bahkan belum tahu namanya.
Meskipun sudah ada Bibi Hyoyeon di sisinya sebagai pasangan ganti, Haechan masih mencoba mencari gadis itu di tengah ramainya lantai dansa.
Gadis itu unik, dan Haechan tertarik.
Namun, hingga lagu terakhir terputar, gadis itu tidak pernah kembali ke pelukannya, dan Lee Haechan menggeram kesal sebab untuk pertama kali, seorang gadis membuatnya begitu putus asa.
Sampai akhirnya, Haechan memutuskan untuk menemui si anak pelayan di bawah meja kala pesta berakhir. Persetan dengan aturan, Haechan butuh bertanya.
“Hei, aku punya pertanyaan,” katanya dalam bisik kepada anak di bawah meja itu.
Anak itu mengangguk antusias.
“Kau tahu kemana perginya Nona yang tadi memberimu makanan?”
Anak itu mengangguk, “Nona bilang dia akan pulang ke rumah saat pesta berakhir.”
“Satu lagi. Dia bilang dia punya pesan padamu, apa itu?”
Anak itu tersenyum simpul, senyumnya membuat Haechan merasa janggal. Tepat, sebab kala anak itu membuka mulut, Haechan sudah memantapkan hati akan mencari gadis itu hingga ke pelosok kerajaan.
“Kata Nona, aku tidak boleh menjadi lelaki sombong dan tidak tahu aturan sepertimu. Aku tidak boleh menopang dagu dan menjilat pantat Raja hanya demi klub sepak bola. Kata Nona, aku harus jadi lelaki hebat, bukan pecundang sepertimu, Pangeran.”
Oh sial, itu menohok.
Haechan harus menemukan gadis itu. Bahkan jika harus membuatnya memaksa Paman Siwon menggeret puterinya itu ke hadapan Haechan.
Sebab dia, harus menunjukkan pada puteri si Paman Siwon kalau dirinya bukan Pecundang Maniak Sepak Bola seperti yang gadis itu sebut.
Haechan juga bisa bermain kelereng, asal dia tahu.
-