writer.as/lalalafindyou

Anin dengan terburu-buru bersiap berlari menuju ruang pimpinan rumah sakit, langkahnya ia percepat sebisa mungkin. Masalah seperti ini sebetulnya jarang terjadi, tapi tidak menutup kemungkinan bisa sewaktu-waktu datang tanpa bisa dia kendalikan.

Menurut Raihan, ada seorang pasien yang datang sore ini, luka di kepalanya menyebabkan sebuah operasi kecil harus dilakukan untuk mengeluarkan serpihan kaca dari sana. Kecelakaan terjadi, lukanya tidak terlalu dalam namun tetap memerlukan prosedur bedah dilakukan.

Anin tidak bertugas hari ini, jadwalnya kosong hingga sore dan tidak mengharuskannya untuk berada di lingkungan ruang UGD. Tapi keberadaan Karin membuatnya harus menetap dan memastikan gadis yang lebih muda darinya itu baik-baik saja atas permintaan Jeandra.

Maka saat dirinya mendengar kabar dari Raihan barusan, kakinya dengan segera berlari menuju ruang direktur rumah sakit, jantungnya berdegup kencang sebab ia bawa berlari dan rasa gelisah menguasainya.

Prosedur anestesi salah diberikan, sampai membuat pasien yang umurnya masih lumayan belia tersadar di tengah operasi yang belum selesai.

Anestesi adalah tindakan untuk membantu pasien tidak merasa sakit selama prosedur medis dilakukan. Anestesi sering juga disebut sebagai bius dan dapat diberikan melalui berbagai cara, mulai dari disuntik, dihirup, hingga dioles. Obat yang digunakan selama proses anestesi akan membuat saraf mati rasa untuk sementara waktu.

Anin paham kalau dokter juga manusia, tapi seharusnya kejadian seperti ini bisa diminimalisir kejadiannya. Dalam keadaan sedarurat apapun, anastesi tetap harus diberikan dengan pertimbangan dosis yang pas agar tidak menyebabkan hal semacam ini terjadi. Pasien terjaga dan harus merasakan sakit yang teramat sebab efek obat bius yang perlahan menguap.

Dalam hatinya, Anin tak henti-henti mengucap nama Tuhan. Memohon pertolongan agar dampak dari kejadian ini tidak terlalu besar. Sebab walaupun keadaan pasien sekarang terpantau stabil, Anin tetap tidak bisa membayangkan makhluk kecil itu menahan sakit di tengan prosedur operasi namun tidak dapat melakukan apapun selain menatap langit-langit ruangan.

Sampai kakinya kemudian sampai di depan ruangan besar tempat meeting biasa dilakukan, Anin mengatur napas sejenak. Tubuhnya tertunduk, berusaha menstabilkan gemuruh dadanya yang tak beraturan.

Lalu saat kakinya hendak melangkah masuk, ia tertahan oleh suara berat seseorang lain di belakangnya. Kepalanya tertoleh, dan menemukan sesosok lelaki dengan jas putih tersampir di pundak. Matanya menatap dingin, seakan menyalahkan Anin atas apa yang ada di pikirannya.

“Jadi ini wajah dokter ngga bertanggungjawab yang bikin anak sekecil itu harus nahan sakit di tengah operasi?”

Suara lantang itu terdengar tidak mengenakkan hati. Anin memandang sosok di depannya dalam diam, napasnya masih memburu.

dr. Aksara Restupati, Sp.B

Nama itu dia lihat pertama kali. Hingga kemudian, lelaki itu melangkah masuk dan mendahuluinya, meninggalkan Anin dengan napas yang masih memburu dan dada yang bergerak naik-turun.

Waktu Hema memasuki ruangan milik Anin, matanya langsung menangkap sosok Jeandra yang baru hendak berdiri dan membenahi jasnya yang tampak kusut. Hema yakin, kalau lelaki itu hendak menuju ruangan Karin seperti yang diberitahu Anin.

“Lo mau kemana?” tanyanya basa-basi.

Jean menoleh, kemudian kembali membenahi jasnya.

“Mau liat Karin. Kata Anin belum boleh, tapi kayanya gue liat sekarang aja.”

Hema memutar mata malas, lalu tangannya bergerak menutup pintu di belakangnya dengan pelan, berusaha sebisa mungkin mengalihkan perhatian Jean.

“Temenin gue ke kantin dulu deh, abis itu baru liat Karin,” tawarnya.

Jean memicingkan mata, menatap heran pada Hema dengan kening berkerut dalam. Pandangannya tampak menghakimi.

“Ngaco, gue kangen Karin.”

Hema berdecak sebal, kemudian kembali menggerakkan tangan untuk meraih anak kunci yang tertancap di pintu, memutar benda itu hingga terkunci rapat dan mencabutnya dari sana.

Sayang, gerakan itu menimbulkan suara yang cukup keras. Hingga Jeandra menyadari kalau Hema mengunci pintu dan berniat melakukan sesuatu.

“Lo ngapain?” tanya Jean curiga.

Hema menggeleng keras, tangannya dengan buru-buru menyembunyikan anak kunci di dalam saku celana, berusaha sekeras mungkin menyembunyikan benda mungil itu dari pandangan Jean yang menghunus ke arahnya.

“Lo disuruh Anin ngapain, Hema?”

Hema menjawab buru-buru, “Ngga ada.”

Jean maju mendekat sampai posisinya tepat di hadapan Hema yang berada di ambang pintu. Postur tubuh mereka yang cukup berbeda membuat Hema tampak terhimpit, Jean mengungkungnya di antara badan lelaki itu dan pintu, membuatnya merasa sedikit terindimidasi.

“Gue tanya sekali lagi, lo disuruh Anin ngapain?”

Hema makin terdesak, namun terus berusaha lepas dari himpitan tubuh kekar Jeandra.

“Sumpah, ngga ada. Gue cuma minta temenin jajan ke kantin rumah sakit bentar doang.”

Argumennya meleset, Jean masih memasang tatapan tidak percaya.

“Lo disuruh Anin nahan gue biar ngga ke ruangan Karin, iya?” tanya Jean pada akhirnya.

Hema menyerah. Lelaki itu berakhir mengangguk pasrah.

“Mundur dulu dong, Bangsat. Lo kaya mau ngelakuin yang ngga-ngga ke gue,” sewotnya sambil mendorong tubuh Jean agar menjauh.

“Jangan ke sana dulu deh, perawat masih ngecek konsidinya Karin. Kalo lo ke sana nanti malah ganggu,” jelas Hema.

“Ngga mau, oke? Gue pengen ketemu Karin.”

“Batu banget si Anjing. Udah di sini aja dulu, bentar lagi kelar.”

Tapi Hema lupa kalau dia sedang bicara dengan salah satu makhluk paling keras kepala yang pernah dia kenal. Jeandra tanpa aba-aba langsung meraih kunci dari saku belakang Hema, lalu bergerak menuju pintu dengan gegabah.

“HEH MAU KEMANA?”

“Liat Karin, apa kurang jelas?”

Hema menggeram kesal.

“Dibilangin pemeriksaannya belom kelar!”

Jean mengangkat bahu acuh sebelum berkata, “Gue tau Karin ngga separah itu kecelakaannya, oke? Jadi jangan tahan gue, toh gue ngga akan marah ke dia.”

Kalimat itu, menjadi titik akhir bagi Hema untuk akhirnya melepaskan Jean. Dia biarkan Jean melangkah keluar ruangan dan meninggalkannya sendirian.

Ah, harusnya sejak tadi dia berusaha lebih keras membantah Anin. Gadis itu pasti kecewa kalau tahu bagaimana sikap Jean saat ini.

“Kak Anin mau laporannya sekarang atau mau saya bikinin kopi dulu?”

Itu suara Raihan, Anin sudah hafal suara itu di luar kepala sebab sudah bertahun-tahun mengenal lelaki yang merupakan salah satu juniornya itu. Anin tersenyum simpul, posisi tubuhnya yang pada awalnya tengah ia dudukkan di sofa putih di ruangan itu langsung ia tegakkan, menyambut Raihan yang berjalan ke arahnya.

“Sekarang aja, saya cuma mau liat sesuatu.”

Raihan mengangguk, kemudian mengambil sebuah map berisi kertas laporan hasil pemeriksaan Karin, tanda tangannya terbubuh di bagian paling bawah, menunjukkan dengan jelas kalau dirinya menjadi dokter yang bertanggungjawab dalam menangani Karinina tadi sore.

Anindia memeriksa satu persatu tulisan berupa angka dan beberapa keterangan itu, memastikan tak ada yang terlewati oleh tajam matanya. Dia ingin memastikan sesuatu, walaupun sebetulnya sudah dapat menyimpulkan satu hal sejak Hema memberitahunya perihal keadaan Karin, Anin tetap harus melakukan hal yang menurutnya benar.

“Waktu dateng ke rumah sakit, dia dalam keadaan pingsan atau gimana?” tanya Anin dengan mata yang masih mengawasi deretan keterangan di kertas. Raihan tampak mengingat sejenak, sebelum menjawab dengan nada tenang.

“Untuk ukuran kecelakaan dengan kerusakan separah itu, harusnya dia pingsan. Well, bukan berarti persentase pasien tetap sadar setelah mengalami kecelakaan berjumlah nihil, tapi kalau saya dengar dari keterangan polisi dan warga, mobilnya hancur di bagian depan.”

Raihan menarik napas panjang sebelum melanjutkan, “Yang artinya, benturan dan tabrakan paling banyak terjadi di area kemudi dan kemungkinan besar pasien akan langsung kehilangan kesadaran.”

Anindia diam sejenak, matanya menelusuri kertas dengan kening berkerut dalam.

“Sederhananya, saya heran gimana bisa dia cuma tutup mata, tapi dengan napas yang kelewat teratur bahkan sempat garuk-garuk telinga.”

Anin tertegun, penjelasan itu membuatnya mengosongkan pikiran. Walau sebetulnya dia yakin tidak akan terlalu kaget dengan pemaparan itu, tapi fakta kalau Karin hanya pura-pura pingsan tetap tidak dapat dicerna oleh akalnya. Tangan kanannya bergerak memijat pelipis, rasa pening tiba-tiba menyerang. Lalu bayangan mengenai Jeandra yang tengah kalut melintasi kepalanya, menghantam kesadarannya soal betapa khawatir lelaki itu ketika mendengar kabar kalau Karin mengalami kecelakaan.

Bagaimana kalau dia tau khawatirnya cuma berujung sia-sia?

Pada akhirnya, Anin segera mengucap pamit pada Raihan. Lelaki itu mengantarnya sampai ke depan pintu. Raut wajahnya memperlihatkan khawatir sejak Anin berubah lebih diam, namun Anin mencoba meyakinkan dengan mengangkat kedua sudut bibir ke atas dan menepuk bahu lelaki itu pelan.

Kepalanya kembali memutar ingatan soal cengkeraman kuat yang Jeandra berikan pada kemudi, juga umpatan yang melayang sebab dia ingin segera sampai ke rumah sakit demi melihat keadaan Karin. Kepalanya memutar semua ingatan itu bak kaset rusak, dengan payah mengulang-ulang adegan yang sama sampai membuat kepalanya semakin pening.

Kemudian saat kakinya ia bawa menuju pintu masuk ruangan ICU tempat Karin berada, tangannya secara perlahan membuka pintu dengan menempelkan kartu tanda pengenal miliknya di sistem keamanan yang terpasang, sebelum kemudian masuk dan kembali menutup pintu dengan pelan.

Napasnya tertahan tanpa aba-aba.

Di sana, Karinina tengah berbaring dengan satu kaki terangkat dan ditopang di atas lutut. Suara tawanya terdengar ke seluruh penjuru. Tangannya memainkan ujung selimut dengan gerakan kecil, sedangkan satu lagi menggenggam ponsel yang tengah memutar sesuatu.

“Kamu keliatan terlalu sehat untuk ukuran orang yang abis kecelakaan sampai bagian depan mobil hancur lebur,” ucap Anin ketika tubuhnya sudah sepenuhnya memasuki ruangan. Karin tampak terkesiap namun gadis itu berusaha mengendalikan air mukanya setenang mungkin.

“Kak Anin ngapain ke sini? Dokter yang tadi mana?”

Anin berjalan mendekat.

“Saya kepala Unit Gawat Darurat, anggap aja ini kunjungan dari saya buat pasien.”

Karin mengetatkan rahang, terlihat kentara menahan rasa kesal karena ucapan Anindia padanya barusan. Sedangkan Anin menyibukkan diri dengan selang oksigen yang dibiarkan terlepas oleh Karin. Bibirnya belum melanjutkan kalimat satupun, namun tangannya tetap bergerak memutar tuas di bagian atas tabung oksigen, menghentikan tekanan angin sejuk yang awalnya terus menerus keluar dari selang itu. Anin kemudian menggantung selang oksigen itu ke sebuah kait khusus yang tertempel di dinding, sebelum memindahkan perhatiannya pada sosok Karinina yang tengah menatapnya tajam.

“Kalau sampai Jean tau soal ini, gue juga ngga akan segan muncul di depan Ibun.”

Anin menghentikan seluruh gerak tubuhnya, ancaman itu menarik perhatiannya. Anin memiringkan kepalanya, matanya menelusuri perban yang melingkari kepala Karin. Berlebihan, sebab tadi Raihan bercerita kalau Karin memintanya untuk membalut kepala gadis itu dengan perban melingkar penuh, padahal lukanya tidak terlalu besar sampai harus diberi treatment semacam itu.

Karin kembali membuka suara, “Gue ngga pernah main-main sama ucapan gue. Kalau sampai Jean tau soal ini, gue bakal muncul di depan Ibun dan bilang semuanya soal hubungan gue dan Jean.”

Anin berdeham singkat, berusaha membersihkan tenggorokannya dari rasa tidak nyaman yang sejak tadi menguasainya. Anin berpikir sejenak mengenai ancaman yang dia dapat dari Karinina. Benaknya berkecamuk dan memikirkan banyak kemungkinan jika saja ancaman Karin benar-benar terjadi.

Lalu detik berikutnya, Anin tersenyum. Senyumnya kelewat tenang sampai Karinina sendiri kehilangan sedikit keberaniannya untuk melanjutkan kecaman. Senyum itu tidak menunjukkan satupun watak keras, tapi entah mengapa Karin langsung terdiam dibuatnya.

“Tanpa saya kasih tau Jean soal kamu yang pura-pura kecelakaan ini pun, kalau kamu mau muncul di depan Ibun sekarang juga, saya bisa bantu telpon Ibun,” ucapnya tenang.

“Jangan main-main, Kak Anin. Kakak tau sendiri pernikahan kalian ngga akan aman kalau gue muncul di depan Ibun.”

Anin kali ini terkekeh pelan, tangannya kemudian bergerak menuju sambungan infus di pergelangan tangan Karin yang tidak terpasang dengan benar. Gerakannya lembut, sama sekali tidak bermaksud menyakiti kulit gadis itu. Bahkan Anindia secara refleks mengelus tempat dimana jarum infus itu tertancap, berusaha menyalurkan rasa nyaman pada Karin seperti yang biasa dia lakukan pada semua pasiennya.

Sampai akhirnya Karin menarik paksa pergelangan tangannya, dan Anin tersentak sadar akan yang dia lakukan. Anin menghela napas sejenak, kepalanya terasa semakin pening. Kakinya ia mundurkan, hingga bisa melihat setitik darah muncul tembus pandang dari selang infus yang transparan.

“Jangan banyak gerak, nanti tangan kamu malah bengkak,” ucapnya pada Karin meskipun tidak mendapat respon yang berarti.

“Keluar.”

Titah itu dia dapat dari gadis di hadapannya, kesannya mutlak tanpa bisa dibantah. Anin lalu memilih untuk menyerah dan melangkah mundur, berniat meninggalkan ruangan besar tempat Karin dirawat. Namun sebelum tubuhnya mencapai pintu keluar, Anin membalikkan badan dan mengatakan sesuatu sebagai penutup akhir kehadirannya.

“Karin, kamu harus tau sesuatu. Faktanya, kalaupun kamu muncul di hadapan Ibun, ngga akan merubah kenyataan kalau saya tetap istrinya Jeandra. Jangan nyusahin diri kamu sendiri, mau gimanapun usaha kamu, Ibun bakal tetap ada di pihak saya.”

Genggamannya di gagang pintu mengerat seiring kalimatnya yang belum selesai.

“Kalau kamu muncul di depan Ibun, yang bakal hancur bukan saya, tapi Jeandra. Jadi tolong pikirkan baik-baik ancaman kamu. Kalau mau liat Jean hancur, silakan kamu bikin dia dilihat sebagai orang jahat sama Ibun. Semuanya terserah kamu.”

“Satu lagi, beliau bukan Ibu kamu. Jadi tolong berhenti manggil beliau Ibun.”

“Gue boleh liat Karin sekarang?”

Suara Jeandra menggaung ke seluruh ruangan kala lelaki itu masuk ke dalam ruangan Anin. Wajahnya penuh harap, seakan amat ingin diberi kata “Iya” sebagai jawaban. Matanya terlihat lelah, tapi suara lelaki itu menyiratkan keinginan yang membumbung tinggi hingga Anindia terpaku dibuatnya.

“Jangan dulu, Karin masih harus diperiksa secara intensif. Masih ada beberapa tes yang mesti dijalanin.”

Kening Jeandra terlipat, menunjukkan kebingungan yang kentara.

“Benturan pasca kecelakaan kemungkinan besar bakal bikin dia punya luka memar di bagian dalam tubuh, jadi harus ada beberapa tes dan rontgen buat mastiin keadaannya secara keseluruhan.”

Perlahan, bahu Jean merosot. Kakinya kemudian ia bawa mendekat ke arah Anin yang tengah duduk di sofa ruangannya. Sampai akhirnya, lelaki itu ikut duduk di sana dan kepalanya ia sandarkan ke kepala sofa, matanya memejam erat dengan kedua tangan merenyam helai rambutnya.

Refleks, Anin memajukan tubuh, tangannya kemudian berusaha melepas cengkeraman jemari besar Jean dari surainya. Hingga saat jari itu terlepas dari sana, Anin membawa sepuluh ruas itu ke dalam genggaman eratnya, mencoba agar Jean merasa tenang dan membagi rasa risaunya pada Anin.

“Jangan nyakitin diri sendiri,” ucapnya singkat.

Tangannya lalu melepas genggaman, beralih mendorong sebuah kotak makanan ke arah Jean.

“Makan dulu, kamu belum makan apa-apa dari tadi siang.”

Jean mengangguk pelan.

Lelaki itu mulai membuka kotak makanan dan menyendok satu persatu yang dia lihat. Hingga saat beberapa sendok terakhir hendak dia lakukan, perhatian Jean tersita oleh Anin yang meminta izin padanya untuk keluar.

“Aku mau ketemu dokter lain dulu. Makanannya diabisin, oke? Nanti aku balik ke sini lagi.”

Jean mengangguk sekali lagi, dan membuat Anin menegakkan tubuhnya dan melangkah menuju pintu keluar. Namun, saat hendak menjangkau gagang pintu, Anindia terhenti oleh satu pertanyaan Jeandra.

“Gue beneran belum boleh liat Karin?”

Anin membalikkan tubuhnya, menunjukkan kekehan singkat sebelum menggeleng pelan.

“Karin masih harus dirawat intensif, oke? Nanti kalau dia udah siuman, baru boleh dibesuk. Kalau kamu besuk sekarang, nanti yang ada malah pengobatannya keganggu. Kamu mau Karin makin lama sembuhnya?”

Jeandra menggeleng keras.

“Nanti dulu, oke? Besok pagi kamu baru bisa besuk.”

Kalau kamu liat dia sekarang, aku ngga tau bakal sebesar apa rasa kecewa yang kamu punya. Jadi, tahan dulu ya, Jeandra.

“Kak Anin mau laporannya sekarang atau mau saya bikini kopi dulu?”

Itu suara Raihan, Anin sudah hafal suara itu di luar kepala sebab sudah bertahun-tahun mengenal lelaki yang merupakan salah satu juniornya itu. Anin tersenyum simpul, posisi tubuhnya yang pada awalnya tengah ia dudukkan di sofa putih di ruangan itu langsung ia tegakkan, menyambut Raihan yang berjalan ke arahnya.

“Sekarang aja, saya cuma mau liat sesuatu.”

Raihan mengangguk, kemudian mengambil sebuah map berisi kertas laporan hasil pemeriksaan Karin, tanda tangannya terbubuh di bagian paling bawah, menunjukkan dengan jelas kalau dirinya menjadi dokter yang bertanggungjawab dalam menangani Karinina tadi sore.

Anindia memeriksa satu persatu tulisan berupa angka dan beberapa keterangan itu, memastikan tak ada yang terlewati oleh tajam matanya. Dia ingin memastikan sesuatu, walaupun sebetulnya sudah dapat menyimpulkan satu hal sejak Hema memberitahunya perihal keadaan Karin, Anin tetap harus melakukan hal yang menurutnya benar.

“Waktu dateng ke rumah sakit, dia dalam keadaan pingsan atau gimana?” tanya Anin dengan mata yang masih mengawasi deretan keterangan di kertas. Raihan tampak mengingat sejenak, sebelum menjawab dengan nada tenang.

“Untuk ukuran kecelakaan dengan kerusakan separah itu, harusnya dia pingsan. Well, bukan berarti persentase pasien tetap sadar setelah mengalami kecelakaan berjumlah nihil, tapi kalau saya dengar dari keterangan polisi dan warga, mobilnya hancur di bagian depan.”

Raihan menarik napas panjang sebelum melanjutkan, “Yang artinya, benturan dan tabrakan paling banyak terjadi di area kemudi dan kemungkinan besar pasien akan langsung kehilangan kesadaran.”

Anindia diam sejenak, matanya menelusuri kertas dengan kening berkerut dalam.

“Sederhananya, saya heran gimana bisa dia cuma tutup mata, tapi dengan napas yang kelewat teratur bahkan sempat garuk-garuk telinga.”

Anin tertegun, penjelasan itu membuatnya mengosongkan pikiran. Walau sebetulnya dia yakin tidak akan terlalu kaget dengan pemaparan itu, tapi fakta kalau Karin hanya pura-pura pingsan tetap tidak dapat dicerna oleh akalnya. Tangan kanannya bergerak memijat pelipis, rasa pening tiba-tiba menyerang. Lalu bayangan mengenai Jeandra yang tengah kalut melintasi kepalanya, menghantam kesadarannya soal betapa khawatir lelaki itu ketika mendengar kabar kalau Karin mengalami kecelakaan.

Bagaimana kalau dia tau khawatirnya cuma berujung sia-sia?

Pada akhirnya, Anin segera mengucap pamit pada Raihan. Lelaki itu mengantarnya sampai ke depan pintu. Raut wajahnya memperlihatkan khawatir sejak Anin berubah lebih diam, namun Anin mencoba meyakinkan dengan mengangkat kedua sudut bibir ke atas dan menepuk bahu lelaki itu pelan.

Kepalanya kembali memutar ingatan soal cengkeraman kuat yang Jeandra berikan pada kemudi, juga umpatan yang melayang sebab dia ingin segera sampai ke rumah sakit demi melihat keadaan Karin. Kepalanya memutar semua ingatan itu bak kaset rusak, dengan payah mengulang-ulang adegan yang sama sampai membuat kepalanya semakin pening.

Kemudian saat kakinya ia bawa menuju pintu masuk ruangan ICU tempat Karin berada, tangannya secara perlahan membuka pintu dengan menempelkan kartu tanda pengenal miliknya di sistem keamanan yang terpasang, sebelum kemudian masuk dan kembali menutup pintu dengan pelan.

Napasnya tertahan tanpa aba-aba.

Di sana, Karinina tengah berbaring dengan satu kaki terangkat dan ditopang di atas lutut. Suara tawanya terdengar ke seluruh penjuru. Tangannya memainkan ujung selimut dengan gerakan kecil, sedangkan satu lagi menggenggam ponsel yang tengah memutar sesuatu.

“Kamu keliatan terlalu sehat untuk ukuran orang yang abis kecelakaan sampai bagian depan mobil hancur lebur,” ucap Anin ketika tubuhnya sudah sepenuhnya memasuki ruangan.

Karin tampak terkesiap namun gadis itu berusaha mengendalikan air mukanya setenang mungkin.

“Kak Anin ngapain ke sini? Dokter yang tadi mana?”

Anin berjalan mendekat.

“Saya kepala Unit Gawat Darurat, anggap aja ini kunjungan dari saya buat pasien.”

Karin mengetatkan rahang, terlihat kentara menahan rasa kesal karena ucapan Anindia padanya barusan. Sedangkan Anin menyibukkan diri dengan selang oksigen yang dibiarkan terlepas oleh Karin. Bibirnya belum melanjutkan kalimat satupun, namun tangannya tetap bergerak memutar tuas di bagian atas tabung oksigen, menghentikan tekanan angin sejuk yang awalnya terus menerus keluar dari selang itu. Anin kemudian menggantung selang oksigen itu ke sebuah kait khusus yang tertempel di dinding, sebelum memindahkan perhatiannya pada sosok Karinina yang tengah menatapnya tajam.

“Kalau sampai Jean tau soal ini, gue juga ngga akan segan muncul di depan Ibun.”

Anin menghentikan seluruh gerak tubuhnya, ancaman itu menarik perhatiannya. Anin memiringkan kepalanya, matanya menelusuri perban yang melingkari kepala Karin. Berlebihan, sebab tadi Raihan bercerita kalau Karin memintanya untuk membalut kepala gadis itu dengan perban melingkar penuh, padahal lukanya tidak terlalu besar sampai harus diberi treatment semacam itu.

Karin kembali membuka suara, “Gue ngga pernah main-main sama ucapan gue. Kalau sampai Jean tau soal ini, gue bakal muncul di depan Ibun dan bilang semuanya soal hubungan gue dan Jean.”

Anin berdeham singkat, berusaha membersihkan tenggorokannya dari rasa tidak nyaman yang sejak tadi menguasainya. Anin berpikir sejenak mengenai ancaman yang dia dapat dari Karinina. Benaknya berkecamuk dan memikirkan banyak kemungkinan jika saja ancaman Karin benar-benar terjadi.

Lalu detik berikutnya, Anin tersenyum. Senyumnya kelewat tenang sampai Karinina sendiri kehilangan sedikit keberaniannya untuk melanjutkan kecaman. Senyum itu tidak menunjukkan satupun watak keras, tapi entah mengapa Karin langsung terdiam dibuatnya.

“Tanpa saya kasih tau Jean soal kamu yang pura-pura kecelakaan ini pun, kalau kamu mau muncul di depan Ibun sekarang juga, saya bisa bantu telpon Ibun,” ucapnya tenang.

“Jangan main-main, Kak Anin. Kakak tau sendiri pernikahan kalian ngga akan aman kalau aku muncul di depan Ibun.”

Anin kali ini terkekeh pelan, tangannya kemudian bergerak menuju sambungan infus di pergelangan tangan Karin yang tidak terpasang dengan benar. Gerakannya lembut, sama sekali tidak bermaksud menyakiti kulit gadis itu. Bahkan Anindia secara refleks mengelus tempat dimana jarum infus itu tertancap, berusaha menyalurkan rasa nyaman pada Karin seperti yang biasa dia lakukan pada semua pasiennya.

Sampai akhirnya Karin menarik paksa pergelangan tangannya, dan Anin tersentak sadar akan yang dia lakukan. Anin menghela napas sejenak, kepalanya terasa semakin pening. Kakinya ia mundurkan, hingga bisa melihat setitik darah muncul tembus pandang dari selang infus yang transparan.

“Jangan banyak gerak, nanti tangan kamu malah bengkak,” ucapnya pada Karin meskipun tidak mendapat respon yang berarti.

“Keluar.”

Titah itu dia dapat dari gadis di hadapannya, kesannya mutlak tanpa bisa dibantah. Anin lalu memilih untuk menyerah dan melangkah mundur, berniat meninggalkan ruangan besar tempat Karin dirawat. Namun sebelum tubuhnya mencapai pintu keluar, Anin membalikkan badan dan mengatakan sesuatu sebagai penutup akhir kehadirannya.

“Karin, kamu harus tau sesuatu. Faktanya, kalaupun kamu muncul di hadapan Ibun, ngga akan merubah kenyataan kalau saya tetap istrinya Jeandra. Jangan nyusahin diri kamu sendiri, mau gimanapun usaha kamu, Ibun bakal tetap ada di pihak saya.”

Genggamannya di gagang pintu mengerat seiring kalimatnya yang belum selesai.

“Kalau kamu muncul di depan Ibun, yang bakal hancur bukan saya, tapi Jeandra. Jadi tolong pikirkan baik-baik ancaman kamu. Kalau mau liat Jean hancur, silakan kamu bikin dia dilihat sebagai orang jahat sama Ibun. Semuanya terserah kamu.”

“Satu lagi, beliau bukan Ibu kamu. Jadi tolong berhenti manggil beliau Ibun.”

-

Harusnya, Anin tahu sejak awal kalau dirinya tidak perlu merasa sedikit senang atas kehadirannya dan Jean di tempat ini. Harusnya, Anin bersikap seperti biasa. Dia hanya menemani Jean karena lelaki itu tak punya pilihan lain, harusnya dia menanamkan itu sejak pertama kali datang kemari.

Sebab kala dia tengah berdiri memerhatikan punggung tegap Jean yang tengah berbincang dengan salah satu pekerja, Anin menangkap sebuah rasa panik yang membumbung tinggi kala Jean memutar tubuh.

Di detik itu, Anin tahu dengan jelas dan pasti, kalau Karinina pasti menjadi alasan di balik raut khawatir itu.

“Kita ke rumah sakit sekarang, Karin kecelakaan.”

Langkah lelaki itu terburu-buru, bahkan tak lagi menunggu Anin yang jauh tertinggal di belakangnya. Maka di kala dia menyadarkan diri, Anin menghembuskan napas pelan. Ia berusaha menyamarkan getar yang secara tiba-tiba merambat, membuatnya merasa tidak nyaman secara seketika.

Lalu di dalam hati, Anin tergelak sendiri kala kembali memutar kalimat yang seseorang katakan padanya.

“Anindia, kalau cuma mewariskan penderitaan, mau setulus apapun kamu mencinta, ngga akan ada gunanya.”

Sebab sekarang, Anin kelewat paham, kalau hanya ada Karinina, dan tak akan pernah ada kata Anindia di kepala Jeandra.

“Lama banget.”

Suara Jeandra menggaung ke telinga Anin kala dia akhirnya berdiri di hadapan lelaki tinggi itu. Wajah Jean tampak sedikit pucat, kentara kalau sosok itu tengah menahan gelisah.

Anin dalam diam memerhatikan raut wajah dengan kedua alis tertekuk itu, matanya menyusuri kelam hitam iris milik Jean yang menatap lurus pada dirinya. Ada sebuah sensasi asing yang terkecap di dalam dadanya kala pandangan mereka bertemu dalam satu arus, seperti secara tidak langsung membuat mereka bicara lewat sana.

Harusnya ada lebih banyak rasa yang Anin dapatkan lewat iris mereka yang bertubrukan. Harusnya, ada lebih banyak rasa baru yang dia sambut lewat kedua legam yang menyelam itu.

Harusnya, ada begitu banyak hal yang bisa Anin selami lewat tatapan netra yang memaku padanya itu.

Harusnya begitu, tapi Jeandra adalah Jeandra.

Lelaki itu segera memutus tatapan mereka dengan mengarahkan netra ke arah lain. Seakan enggan membiarkan Anin menerjemahkan satu saja bahasa matanya, membatasi raut dan binar lembut itu menyelam dalam dirinya dan menyimpulkan sesuatu. Bibirnya terkatup rapat tanpa komentar, tapi sebetulnya ada banyak gulungan benang kusut yang tak kunjung terurai di kepalanya, tertumpuk begitu saja hingga kelewat berantakan.

“Nyari minum dulu bentar,” ucap Anin akhirnya, memutus keheningan yang tercipta di antara mereka.

Di tengah terik matahari siang itu, Jeandra memilih sebuah tenda tunggal yang biasanya digunakan para pekerja untuk mengistirahatkan diri. Sebetulnya, ada sebuah wisma khusus buruh yang dibangun dan bisa dipakai untuk mereka berbincang, tapi entah kenapa Jean memilih untuk mengajaknya duduk di bawah sana.

Jean mengambil kursi plastik berwarna biru untuk dia duduki, kemudian melempar kode pada Anin agar ikut duduk di hadapannya. Anindia menurut, ia dudukkan dirinya di atas kursi, kemudian tangannya bergerak menyerahkan sebotol minuman dingin berperisa anggur.

“Mogu-Mogu?” Jean bertanya dengan kedua alis tertekuk.

“Kamu keliatan pucat, kupikir mungkin butuh sesuatu yang manis buat distraksi.”

Sebuah seringai muncul di ujung bibir Jean, yang kemudian mengundang kedua mata Anin mengerjap tak mengerti.

“Gue bukan anak kecil.”

Tapi ucapan itu berbanding terbalik dengan gerakan tangannya yang mulai memutar tutup botol yang semula tersegel rapat, hingga akhirnya terbuka dan berakhir menandaskan satu tegukan penuh.

Cairan berwarna ungu lembut itu memasuki kerongkongan Jeandra perlahan, setenggak demi setenggak ia habiskan sampai bersisa setengah dari bagian minuman. Aneh, sebab ini pertama kalinya bagi Jeandra meminum benda ini.

Rasanya seperti kembali jadi dirinya kala berada di masa remaja tanggung. Menggenggam botol minuman berbagai rasa seperti ini, hanya demi menghilangkan rasa haus. Napasnya yang tadi pendek dan tajam perlahan memanjang, napas tegang yang tadinya menguasai perlahan berubah menjadi santai dan sedikit tenang. Lalu tanpa dia sadari bahunya ikut melemas sedikit demi sedikit. Tegang tak lagi merambati kedua lengannya.

Sedangkan Anindia menonton hal itu dalam diam.

Thanks,” ucap Jean setelah sadar kalau dirinya diperhatikan oleh sosok di hadapannya.

Anin mengangguk pelan.

Matanya kemudian mengarah ke seberang mereka. Barisan papan dan seng tua berkarat serta beberapa batang besi tertancap di bagian paling ujung lahan. Area ini luas, mungkin hampir setara tiga ribu meter di jarak pandang mata. Tempat yang mereka duduki berada di area paling ujung, tepat di sisi kanan pemukiman semi permanen milih warga. Beberapa benda yang menancap di tanah itu mengingatkan Anin soal tujuannya menemani Jeandra ke sini, hingga kepalanya kembali ia tolehkan pada Jean yang tengah menunduk.

“Kukira bakal banyak yang keluar rumah dan langsung unjuk rasa di depan sini,” tukas Anin.

Jean menggeleng sebelum menjawab, “Ini lagi jam istirahat. Mereka mungkin ngerasa aman karena buruh sibuk makan dan tidur. Mereka bakal keluar rumah dan duduk di depan sana kalau alat beratnya dioperasiin lagi.” Jean menunjuk ke arah benda-benda yang membatasi antara area proyek dengan pemukiman itu.

Mendengar penjelasan singkat itu, Anin mengangguk paham.

“Lo ngerti?”

Anin mengangguk lagi. “Papa sama Mama tuh orang bisnis, jadi ngga terlalu susah buat paham hal-hal begini.”

Jean tidak menanggapi, lelaki itu justru kian menunduk dalam.

“Masih gugup?” Anin bertanya lagi.

“Lumayan.”

Lalu, tanpa Jeandra duga, Anindia bergerak lebih dekat ke arahnya. Wajah mereka cukup dekat hingga Jean bisa melihat dengan jelas raut wajah gadis itu dalam jarak ini. Kemudian, dalam kebingungannya, Jeandra menyadari satu hal.

Anindia punya mata yang teduh.

Mirip punya Ibun.

“Kalau gugup, aku biasanya tepuk-tepuk pelan dada kiriku. Terus dalam hati bilang sama jantungku buat tenang sebentar. Aku ngga tau ini berhasil atau ngga di kamu, tapi kalau aku, ini bentuk self control paling ampuh kalau lagi ngerasa ngga nyaman.”

Di sana, Anindia meraih tangan kanan milik Jean, membawa tangan itu ke arah dada kiri Jeandra dan membuat gerakan menepuk berulang-ulang.

Hingga tanpa sadar, tangan Jean masih bergerak menepuk dadanya sendiri walau Anin sudah melepas tangannya dari sana.

Mata Jean terpejam singkat, lalu kembali terbuka dan napasnya ia hembuskan pelan.

“Mumpung warga lagi ngga rusuh, coba kamu ajak negosiasi dulu. Aku bakal ikut dari belakang,” kata Anin sambil membenahi barang-barangnya.

Gadis itu berdiri dan merapikan rok yang dia pakai, sebab tampak sedikit kusut di bagian ujung. Ia menunggu Jean untuk ikut bangkit, namun yang ada, lelaki itu malah mengeluarkan sebuah kalimat yang membuat Anin tertegun dan menelan seluruh hal yang dia simpan di kepalanya.

“Anindia, jangan baik sama gue. Jangan selalu jadi orang baik, karena kadang ada beberapa orang yang pantas buat lo perlakukan buruk, dan gue adalah salah satunya.”

Waktu pertama kali menginjakkan kakinya di halaman rumah Ageeta, Tama langsung memantapkan tatapan pada sosok yang tengah duduk di pagar pembatas balkon. Ageeta tengah duduk di sana, dengan baju tidur satin berlengan panjang miliknya. Gadis itu tampak tidak punya petunjuk apapun soal kehadiran Tama, napasnya tampak teratur dengan tatapan menuju jalanan kosong di depan.

Damn, what does he get in his entire life that this angel belongs to him?

Begitu pikirnya dalam hati.

Wajah tanpa riasan itu membuat degup jantungnya yang sedari tadi berdetak kencang perlahan menemukan tenang. Satu titik hitam di hidung mungilnya membuat Tama kembali merasa hidup.

Tama mengeluarkan ponsel, mengetikkan beberapa kata hingga ia bisa melihat Ageeta bergerak memeriksa ponsel miliknya.

Beberapa menit berbincang lewat kotak percakapan, Tama memutuskan untuk menghubungi gadis itu lewat sambungan telepon. Yang seketika, membuat Ageeta menundukkan pandangan dan iris mereka bertemu. Mata itu menyelam dalam, seakan mengatur diri agar jatuh makin jauh ke dalam warna hitam legam milik Tama yang mengunci.

Detik itu, senyum yang sedari tadi Tama tahan perlahan mengembang. Cukup kecil hingga tak bisa kentara dan tersembunyi temaramnya malam.

“Kamu ngapain?”

Suara Ageeta menggema di telepon. Suara itu mengalun ke telinganya, dan Tama bersumpah kalau dirinya amat haus dan rakus akan semua hal perkara Ageeta Meraki.

“I'm home, I miss you.”

Tama menatap ke sekeliling, matanya nyalang berkobar tampak amat emosi. Tangannya mengepal, hingga urat-urat hijau timbul ke permukaan. Lalu, lelaki itu berkata seraya menggertakkan gigi.

“Jangan ditagihin update mulu, kampret.”

Saat kakinya sampai ke hadapan Pajero Sport putih milik Jeandra, Anin langsung menuju kursi penumpang. Tangannya sibuk membenahi masker yang terpasang di wajah, kemudian bergerak membuka bungkus masker lain yang dia bawa untuk Jean.

“Mana masker gue?” tanya Jean kala Anin sudah sepenuhnya duduk di samping kursi kemudi.

Anindia menjulurkan tangan, memberi masker kepada Jean yang mulai menghidupkan mesin mobil dan melaju. Sejenak hening, hanya ada suara radio yang memutar lagu pop barat yang menggaung ke seluruh penjuru.

Anin membawa kepalanya ke jendela, memerhatikan satu persatu objek yang bisa dia tangkap dengan mata dan tidak bersuara. Hingga kemudian matanya melirik ke arah dashboard mobil Jean yang tampak kosong sebelum berkata sesuatu.

“Besok kutaro stok masker di sini, ya? Biar kamu ngga repot harus beli.”

Diam-diam, Jeandra mengangguk tanpa sepatah katapun. Tangannya sibuk mengcengkram kemudi, wajahnya tanpa ekspresi. Namun perlahan, matanya mengintip ke arah Anindia yang tengah repot membenahi sepatu hak tinggi miliknya.

“Lo kenapa make high heels?”

Anin masih terpaku pada sepatunya. “Aku belum sempet beli flat shoes. Ngga apa-apa sih, udah terlatih kok lari di koridor rumah sakit sambil pake heels.”

Jeandra menggeleng heran, “Jangan ngada-ngada deh, lo bisa jatuh.”

Anin terkekeh pelan. Tubuhnya ia tegakkan dan memutar ke arah Jean, menunjukkan tawa simpul kemudian menggeleng.

“Kubilang aku ngga sempet, Jean.”

Lalu secara tiba-tiba, sebuah kalimat keluar dari bibir lelaki itu, membuat dirinya dan bahkan Anin mematung singkat sebelum kembali berada dalam mode hening.

Katanya, “Nanti abis dari sini kita mampir ke mall, beli flat shoes buat lo. Kaki lo bisa lecet kalo terus-terusan pake heels sambil lari-lari bawa pasien.”