writer.as/lalalafindyou

TW // Mature content

Dalam sejarah hidupnya, Anindia tidak pernah dilanda rasa gugup sebesar ini. Bahkan saat ujian paling menakutkan yang dia hadapi sewaktu masih menjadi mahasiswa kedokteran pun, masih bisa dia hadapi dengan baik. Menghembuskan napas berulang-ulang sambil meyakinkan diri kalau dirinya akan baik-baik saja, menjadi cara paling ampuh yang selama ini selalu dia terapkan setiap kali rasa gugup menyerangnya.

Tapi kali ini, gugup dan tegang menguasainya secara brutal. Terlalu terang-terangan dan bertubi-tubi, sampai bernapas pun rasanya amat sulit.

Jeandra dan wajah rupawan miliknya berjarak terlampau dekat dengan wajah mungilnya, Anin bahkan sulit membedakan mana hangat yang berasal dari napas miliknya dan milik Jean yang berhembus saling menyahut. Mungkin jika dihitung, hanya ada jarak selebar dua jari terbentang yang menghalangi ujung hidung mereka untuk menyatu. Terlalu dekat hingga Anin pada akhirnya memutuskan untuk menahan napas.

Tapi Jeandra dengan suara berat nan seraknya malah membuat semua pertahanan yang dia bangun hancur seketika hanya melalui bisikan pelan tepat di depan wajahnya.

Breath, Love. Breath like you fucking need it.

Sial, suara berat itu membuat seluruh tubuhnya meremang.

Anin paham betul jika Jeandra sedang dikuasai alkohol. Wajah yang sedikit memerah dan ujung telinganya yang ikut memerah, cukup membuktikan kalau lelaki dengan tubuh lebih besar darinya itu baru saja menenggak minuman keras.

How many glass of wine did you get just now?” tanya Anin sambil berusaha membantu Jean duduk dengan benar. Lelaki itu tengah dalam posisi duduk berlutut di sisi ranjang, kedua lengan kekarnya melingkari pinggang kecil Anin yang terduduk di atas ranjang hingga gadis itu kesulitan bergerak.

“Lima? Tujuh? Aku lupa,” jawab Jean dengan senyum kecil mengiring.

“Kamu ada meeting sama pihak Pemkot besok, Je. Kalau kayak begini yang ada besok bakal telat bangun.”

Jeandra terkekeh ringan, lelaki itu malah membawa kepalanya ke arah perut Anin, mengusalkan diri di sana dengan bibir mengeluarkan rengekan layaknya anak kecil.

“Ada kamu yang bakal bangunin. Wait, can we stay in this position for a while, please? It feels good,” ucap Jean dengan kedua tangan yang semakin mengeratkan dekapan pada perut Anin. Perlahan, Anin kemudian membawa tangannya ke arah helai surai Jean yang tampak lembut. Anin selalu ingin menyentuh helai itu seperti yang dulu sering dia lakukan, dan menempatkan tangan di sana seperti sekarang membuat perasaannya membuncah, seperti siap meledak kapan saja.

Surai hitam legam milik Jeandra menjadi tempat bagi Anin meletakkan ruas jemarinya, mengelus pelan di sana dan dalam hati berharap kalau gerakannya bisa mengantar rasa nyaman pada lelaki yang tengah berlutut di hadapannya ini.

Are you okay?

Suara halus Anin membuat Jean mengangkat wajah dan memaku tatap pada gadis itu. Mata jernihnya penuh khawatir, Jeandra bahkan bertaruh kalau mata itu punya tatapan paling teduh yang pernah dia lihat. Menyelam ke dalam tatapan itu membuat Jeandra perlahan luruh, bahunya bergetar dan kepalanya menggeleng pelan.

Dia... lagi ngga baik-baik aja, Anin bergumam dalam hati, mengartikan gelengan pelan Jeandra dalam pikirannya sendiri.

Can you do it again?” pinta Jean.

Do what?

This.” Permintaan itu datang bersamaan dengan tangan kanan Jean yang menuntun tangan Anin ke arah rambutnya. Meletakkan pelan tangan Anin di sana dan membawanya naik turun perlahan, membuat elusan pelan yang membawa Anin tertegun. Tanpa diminta lagi, Anin meneruskan elusannya di sana, berusaha menenangkan napas cepat Jean yang memburu sampai pada akhirnya lelaki itu mulai bernapas teratur.

Lelaki ini tampak kacau, dan Anin diam-diam berharap dirinya tahu alasan di balik kekacauan yang terjadi.

“Anin?”

“Ya?”

Jean menatap mata jernih di hadapannya dengan tatapan sayu. Pandangannya menyapu tiap sudut wajah Anin dengan hati-hati, seakan tengah mengingat detail wajah mungil nan cantik itu di dalam kepala untuk dia simpan. Sebab bahkan dalam keadaannya yang tidak sepenuhnya sadar pun, Jeandra mengaku lemah jika harus berurusan dengan figur mungil di dekapannya ini.

Jeandra kalah telak, bahkan setelah bertahun-tahun.

Anindia selalu jadi pemenang, baik dulu saat dirinya masih menjadi alasan terbesar bagi Jean untuk mengulum senyum hangat, saat Jean dengan terang-terangan meninggalkan gadis itu dalam kehancuran, atau bahkan sekarang saat hanya tersisa mereka berdua di dalam ruangan berwarna putih gading itu.

Anindia selalu jadi pemenang, dan Jeandra mengaku kalau pecundang sepertinya akan selalu kalah telak jika dihadapkan dengan sosok di pelukannya ini.

Maka saat dia sadar kalau dirinya sudah terlanjur jatuh ke dalam kepekatan yang tak berujung selama bertahun-tahun, dan malam ini Anin membuatnya kembali menemukan jalan pulang, Jean membuang kewarasannya jauh-jauh. Kepalanya menyingkirkan semua ragu dan berusaha mengenyahkan semua beban yang dia punya.

Malam ini hanya ada Anindia dan lelaki itu hanya ingin mengingat sosok Anin bahkan jika esok hari dia harus bangun dalam penyesalan.

Maka saat benaknya hanya terisi oleh Anin, Jean tanpa ragu memajukan tubuh dan mengungkung Anin di antara dua lengan berototnya, membuat tubuh kecil itu terkurung dan membatasi ruang geraknya. Jean tahu jika gerakannya mengantar Anin pada keterkejutan, terlihat jelas dari tubuh Anin yang tersentak kecil kala punggung sempitnya menyentuh permukaan tempat tidur yang halus terhampar. Kepanikan dengan cepat merambat di seluruh tubuh dan Anin tampak gagal mengendalikan rasa itu.

You're so tiny,” bisik Jean tepat di samping telinga Anin. Tubuh Anin meremang, suara berat yang selalu bisa membuatnya lemah itu kini menggaung tepat di rungunya dan membuat kemampuan bicara yang biasa dia punya hilang entah kemana arahnya.

Jean mengangkat tangan untuk dia sampirkan ke helai rambut di depan kening Anin, merapikan helai demi helai milik gadis itu lalu dalam satu gerakan mendaratkan sebuah kecupan di dahi sempit Anin. Kecupan yang lama dan membuat Jean sadar kalau sesak serta-merta menyerbu dadanya.

Sudah berapa lama dirinya kehilangan kesempatan untuk memberi kecupan di sana?

Matanya terpejam, begitu pula Anindia yang dalam sekejap memejamkan mata dan berusaha sekuat tenaga agar bulir bening tidak turun dari sana. Kecupan yang dia dapat di dahinya membuat Anin mati-matian menahan letupan yang seakan ingin meledak di dalam sana, seakan jika Jeandra melakukan sesuatu lebih, Anin bisa saja hancur berkeping-keping.

Sudah berapa lama dia menanggung rasa penasaran soal bagaimana diberi perlakuan seperti ini lagi oleh Jeandra?

Tapi tampaknya, Laksamana Jeandra memang berniat membuat Anin meledak menjadi butiran debu malam ini ketika ranum milik lelaki itu perlahan mencari tempat lain untuk berlabuh.

Bibirnya, sekarang menjadi tempat peraduan bagi Jean di detik tepat setelah Anin menarik satu napas dengan susah payah. Payah, Anin akui dia memang payah jika harus berurusan dengan Jeandra. Labium tebal itu menaut milik Anin dengan gerakan halus, membelai perlahan seakan meminta izin untuk membawa Anin ke suatu tempat yang belum pernah dia kunjungi seumur hidup. Jean memberikan lumatan halus di permukaan bibir tipis yang sejak dulu membuatnya berhasil membuatnya menjauh dari semua sakit yang dia punya. Dia raih bibir atas gadis itu dengan penuh hati-hati, seperti memperlakukan sebuah kaca yang akan pecah jika dia salah bergerak sedikit saja.

Saat di detik itu Jean mulai menyapa lipatan ranumnya dengan lidah, Anin mengosongkan kepala. Suara decapan yang saling bersahutan membuat jantungnya bergemuruh, bukti kalau Jeandra sukses membuatnya hampir melampaui ambang batas kewarasan yang dia punya.

Wanna see the heaven with me?” tanya Jean saat dirinya melepas tautan mereka. Bahkan benang saliva yang belum terputus dalam jarak dekat kedua ranum itu menjadi bukti kalau pagutan mereka terpaut cukup dalam.

Jejak basah yang tertinggal di dagu Anindia menyita perhatian, dan Jeandra bersumpah kalau Anin dengan napas terengah dan wajah yang memerah adalah pemandangan yang paling dia rindukan setelah sekian lama.

Heaven?

Jean mengangguk sebelum kembali membawa Anin ke dalam pagutan dalam, bibir mereka bertautan dan Jean mulai mengetuk permukaan labium itu dengan lidah dan Anin menyambut dengan membuka mulutnya, membiarkan benda lunak itu menginvasi ke dalam sana tanpa aba-aba. Lidah Jean mengabsen satu persatu di dalam, menyapa dan mengecap tanpa permisi, membuat Anin nyaris kehilangan kemampuan untuk menarik napas dengan benar.

“Anindia...”

Anin terengah, napasnya berantakan. Matanya terbuka kala mendengar Jean memanggil dan membalas tatapan yang terpaku padanya itu, seolah Anin adalah pusat dari segala yang Jean punya, seolah Anin adalah satu-satunya objek yang bisa dia jangkau dalam pandangan. Tak membalas panggilan Jean, gadis itu malah sibuk mencari cara untuk bisa menyembunyikan rona merah yang menjalar ke seluruh pipinya, sungguh tidak ingin Jean melihatnya melemah karena tautan ranum mereka yang barusan terjadi.

“Kutanya sekali lagi, wanna see the heaven with me?” Pertanyaan itu kembali datang bersamaan dengan jemari Jean yang menggapai wajah Anin, membuat gadis itu harus memaku tatap pada sosok yang tengah mengungkungnya itu walau wajahnya terasa terbakar. Jean meneliti tiap sudut wajah Anin dengan ujung telunjuknya, membiarkan sidik jarinya membentuk pola acak di permukaan halus itu dan mengagumi paras sempurna itu dari jarak kurang dari sejengkal.

Fuck, she’s so damn pretty and I swear she’s the prettiest thing has even happened to me, kalimat itu terujar dalam pikirannya sendiri, Jean bahkan tak mampu mengudarakan kata demi kata itu secara nyata.

Sedangkan dalam dunia kecil yang dia susun di kepala, Anin tengah berperang dengan suara batin sendiri. Diam-diam, ada sebuah rasa ragu yang memenuhi kepala cantik itu, mengingat sikap manis Jeandra akhir-akhir ini terlampau terjadi terlalu sering. Sejak kejadian dimana Jean menciumnya di mobil, sikap kasar yang biasa lelaki itu tunjukkan sama sekali tak berbekas. Entah kemana perginya semua kalimat sarkas dan Jean yang abai padanya itu, Anin akui dia cukup bodoh karena tidak sempat mencaritahu.

Bukan, bukan tidak sempat. Tapi Anin tidak ingin tahu, dia tidak ingin mencari-cari alasan sendiri dan berakhir menemukan sesuatu yang mengecewakan. Maka selama hampir dua minggu perubahan Jeandra, Anin bungkam. Ia tepis pertanyaan seputar kenapa dan apa yang terjadi hingga Jean kembali seperti dulu, sebab dia terlalu takut untuk bertanya. Takut kalau jawaban yang dia dapat hanya akan membawa Jean kembali pada sikapnya kemarin-kemarin.

Ragu yang dia tancapkan dalam diri kala pertanyaan terlempar dari belah ranum Jean membuat Anin tertahan, kepalanya hampir mengangguk kala pertanyaan itu terudara dua kali. Tapi ragu tetap meninggalkan ragu, gadis itu punya ratusan alasan untuk menolak sebab jika kepalanya terangkat naik dan turun tanda menerima, Anin paham kalau semua yang terjadi di antara mereka berdua akan berubah sepenuhnya. Entah dalam artian baik atau buruk, tapi yang jelas Anin yakin kalau menerima tawaran itu akan mengundang sesuatu terjadi.

Maka di detik ketika Jean baru hendak membuka bibirnya dan mengatakan kalimat lain lagi, Anin mencoba peruntungannya sendiri. Gadis itu secara tiba-tiba menarik Jean lebih dekat ke arahnya dengan menautkan lengan ke leher lelaki di atasnya itu, lalu menautkan bibir mereka kembali.

If once she hears other’s name instead of hers, she’ll definitely stop.

Itu rencananya.

Jika saat pagutan yang dia berikan membawa Jean menyebut nama orang lain, maka Anin akan berhenti, berhenti total dan membuang harapannya jauh-jauh. Lumatan dari bibir tipis itu terkesan polos nan pemula, amat tergesa-gesa tanpa pola tertentu namun berhasil membuat Jean mengerang dalam. Lelaki itu kemudian mengambil alih tautan, kembali menguasai bibir bawah Anin dan menghisap dengan kuat. Anin terasa manis dan Jean sepertinya sudah terlanjur menemukan candu dari sana.

Lalu saat nama miliknya terdengar di sela erangan berat nan dalam milik Jean, Anin meyakinkan dirinya untuk maju selangkah lebih lanjut. Namanya kembali terdengar di tengah pagutan mereka, bahkan tanpa jeda dierangkan oleh Jean hanya karena sebuah ciuman. Maka untuk itu, Anin memberanikan diri meletakkan genggaman halus di rambut Jean, memberi tanda pada lelaki itu untuk memperdalam pagutan mereka.

Take me to the heaven, Laksamana. I beg you.

Dalam sekejap, mata Jean berkabut. Saat suara halus dan dayu itu memasuki rungunya, Jean membuang jauh-jauh semua rasa takut dan khawatir yang tadinya membuncah di seluruh tubuh. Hanya ada Anindia dan ciuman mereka yang semakin dalam, sampai kemudian Jean bergerak ke arah leher terbuka gadis itu, memberikan hisapan dan gigitan pelan. Jejak merah membekas, Jean memandang puas ke tanda yang dia berikan sebelum kembali mendaratkan kecupan dan memeta kulit lembut itu dengan lidahnya.

Tangan Jean bergerak ke arah lain, menuju pinggang ramping Anin dan mengelus bagian itu agar Anin merasa aman. Jemarinya mendarat di sana dengan lembut, berusaha mengantarkan rasa nyaman sebab dia bisa merasakan Anin yang sedikit tersentak kala hisapan di bagian lehernya yang sensitif. Lalu ketika dalam satu gerakan Jean membawa tangannya menuju area lain yang seumur hidup hanya pernah dilihat olehnya sendiri dan memberi usapan halus di area itu, Anin kembali tersentak. Tubuhnya seakan disengat oleh jutaan volt listrik dalam satu waktu, membuat seluruh tubuhnya lemas dan pikirannya melayang tanpa bisa menemukan jalan untuk sekedar menyapa kata cukup.

Ketika dalam satu hentakan tanpa kentara Jean menggunakan tangannya dengan ahli untuk menurunkan tali yang tersampir lemas di bahu Anin dan bergerak mengecup lalu memberi tanda lain di bahu telanjang Anin, Jean tahu kalau dirinya tidak akan berhenti kecuali jika gadis itu yang meminta. Ketika satu-satunya yang menghampiri pikiran adalah bagaimana cara agar dirinya bisa membuat Anin meletakkan rasa percaya padanya, Jeandra mencoba menyentuh di bawah sana dengan satu gerakan, matanya mengawasi perubahan wajah Anin yang tampak menahan erangan dengan menggigit bibir sekuat tenaga.

Tangan Jean yang bebas mengarah ke lipatan ranum Anin yang tergigit, mengetuk pelan di antara labium tipis itu dan membuat gigitan yang Anin sematkan pada dirinya sendiri seketika terlepas. Lalu detik berikutnya, kecupan basah kembali Jean alamatkan di situ, berlanjut dengan gigitan dan sesapan penuh kabut gairah yang memenuhi. Rasanya basah, penuh, dan sesak. Tapi baik Anindia maupun Jean bahkan tak punya keinginan barang secuil bahkan hanya untuk berhenti sekejap. Dua orang itu terlalu mabuk, terlalu jatuh dalam lubang yang mereka gali sendiri, terlampau jauh jika harus kembali ke dasar.

Bermenit-menit berikutnya, kemeja putih polos milik Jean sudah terjatuh ke lantai. Kedua netra gelap itu semakin berkabut kala menemukan bahwa di bawah kungkungannya, Anin sudah sepenuhnya bersih. Napas yang terengah dan rambutnya menyebar di atas bantal serupa hamparan bunga membuat Jean semakin kehilangan kewarasan. Anindia terlalu cantik, terlalu menghanyutkan dan terlalu indah sampai rasanya Jean ingin menyimpan semua itu sendiri.

Love, look at you…” bisikan itu diiringi napas berat Jean di telinganya. “You're so fucking gorgeous.

Anin tidak tahu bagaimana harus merespon selain berusaha merapatkan kedua pahanya, tapi gerakan itu ditahan dengan sigap oleh satu tangan Jean. Ini buruk, sebab di detik selanjutnya Anin memekik dan kedua tangannya sontak mencengkram erat lengan kekar Jean sebagai tumpuan.

Sebab jemari panjang itu kini tengah menyapa bagian paling panas dari dirinya, menyentuh lembut seakan Anin bisa saja hancur jika diperlakukan lebih dari itu. Kepalanya terangkat ke atas, kedua matanya terpejam erat menahan euforia yang dia dapatkan di bawah sana. Jean bermain di sana dengan tempo pelan namun hentakannya berhasil membuat Anin yakin kalau seluruh sel tubuhnya sudah berserakan dimana-mana.

Malam itu, ketika purnama sudah menunjukkan diri tanpa malu di tengah langit, hanya dentang senyap dari suara jeam dinding kecil yang menjadi saksi ketika Jeandra berhasil memiliki Anindia sepenuhnya, menghentak dengan pola acak ddan kecepatan yang semakin menggila. Membawa Anin semakin vokal mengerang dan membuatnya semakin erat mencengkram bahu Jean sebagai pegangan. Saat kemudian puncak mereka menyapa, dua orang itu baru menghentikan friksi yang mereka ciptakan sendiri. Tubuh Jean jatuh memeluk Anin di bawahnya, mendekap tubuh mungil yang bergetar itu dan mengelus punggungnya.

Thank you, Baby. Thank you so much,” ucap Jean.

Malam itu, untuk pertama kalinya Anindia menyapa puncak yang orang-orang bilang adalah surga dunia. Jeandra membawanya terbang, mengambil sesuatu paling berharga yang dia junjung tinggi-tinggi seumur hidup dan memeluknya hingga getar di seluruh tubuhnya mereda. Saat mata keduanya terpejam dan kantuk mulai menjemput, baik Anin maupun Jean sama-sama lupa kalau esok hari, sesuatu mungkin saja bisa terjadi. Entah baik atau buruk, tapi yang jelas memeluk Anin dan memastikan tubuh mungil itu tetap berada dalam dekapannya hingga pagi menghampiri adalah satu-satunya yang mengerumuni kepala Jean.

“Je, kamu kenal Aksara?”

Jeandra terdiam sejenak, otaknya berusaha mencerna nama yang keluar dari bibir tipis Anin.

“Aksara?” ulangnya.

“Dokter Aksara, kalau ngga salah nama lengkapnya Aksara Restupati.”

Jean mengernyit dalam. Nama itu berputar-putar di kepalanya berulang kali, terdengar tidak asing tapi amat sulit untuk diingat.

“Kamu tau dia darimana?”

“Kamu inget kemaren aku cerita soal pasien yang dipindahin sama keluarganya gara-gara dokter yang operasi salah kasih dosis obat bius?”

Jean mengangguk, dia ingat cerita itu saat Anin memberitahunya sembari mereka berbaring saling mendekap di atas tempat tidur dua hari lalu. Atensinya tetap terarah pada jalan raya di depan, tapi telinganya menunggu Anindia melanjutkan kalimat.

“Dia dokter di rumah sakit baru tempat pasien itu dirawat sekarang. Kita beberapa kali ketemu karena itu, jadi aku kenal.”

Jean masih belum bisa mengingat seutas nama itu.

“Kenapa nanyain dia?”

“Katanya dia kenal kamu, dia tadi nanyain nama kamu.”

Keningnya makin berkerut dalam. Kebingungan sontak melanda, tapi Jean berusaha menutupi hal itu dengan dehaman singkat. Detik berikutnya, ponsel miliknya berbunyi. Benda itu tergeletak di ruang kecil samping kemudi, hingga dia masih bisa melihat dengan jelas notifikasi pesan yang masuk di layar.

Nama Hema muncul di sana, dan isi pesan yang lelaki itu sampaikan padanya, membuat Jeandra tersentak kecil. Nama itu, nama yang sedari tadi ditanyakan oleh Anin, juga tersebut di pesan milik Hema, membuatnya dalam sekejap mengingat siapa dan apa peran dari pemilik nama itu dalam hidupnya.

Saat itu juga, Jean berharap kalau setelah ini tidak akan ada kekacauan yang terjadi.

“Anindia!”

Anin langsung mengangkat kepalanya tatkala suara lantang yang amat familiar terdengar di rungunya. Senyum mengembang, kedua sudut bibirnya terangkat secara spontan tanpa ia pinta. Di sana, Jeandra keluar dari mobil hitam miliknya dengan langkah terburu-buru, bahkan tanpa hati-hati berlari ke arah Anin tanpa mempertimbangkan jika di sekitarnya tengah ramai oleh kendaraan lain.

“Kamu ngebut?” tanya Anin saat sadar kalau peluh menetes cukup banyak di dahi Jean. Napas lelaki yang lebih tinggi darinya itu berantakan, amat kentara jika dia mengejar waktu demi sampai ke sini.

“Iya, takut kamu ada apa-apa. You okay?

Anin mengangguk pelan.

“Masuk mobilku dulu, I have to call the repairmen. 10 menit lagi kita pulang.”

Tanpa bantahan, Anin kemudian melangkah menuju mobil Jean, tubuhnya masuk ke dalam sana dan meninggalkan Jeandra yang sekarang sibuk membuka ponsel. Tangan lelaki itu mengotak-atik layar, kelihatan sebal karena montir yang dia hubungi merespon cukup lama. Sampai dua menit kemudian, dia mulai berbicara lancar dengan seseorang di seberang sana.

Jean menjelaskan bagian kerusakan pada mobil milik Anin, mendeskripsikan kalau ada sebuah paku berukuran cukup besar yang menancap lurus di salah satu ban belakang mobil. Tak lupa menyebutkan alamat lengkap tempat mereka menunggu, hingga akhirnya menutup sambungan telepon setelah mengucap terima kasih.

Tapi saat hendak menghampiri sosok Anin yang tengah menunggu di dalam mobil, Jeandra terhenti karena sebuah mobil lain menyita perhatiannya.

Bukan, bukan mobilnya.

Lebih tepatnya, seseorang di balik kemudi yang memerhatikan dirinya. Atau mungkin, memerhatikan Anin yang wujudnya terlihat sebab kaca jendela diturunkan hingga habis oleh gadis itu.

Wajahnya tidak terlalu jelas, ditambah Jean punya sedikit kesulitan dalam melihat objek jauh. Maka memastikan wajah itu jadi cukup sulit.

“Jean, udah?”

Suara halus milik gadis mungil di seberangnya membuat Jean tersentak. Dia kemudian mengangguk dan melangkah menuju Anin, namun sesekali tetap melirik ke arah mobil yang terparkir cukup jauh dari tempatnya berdiri itu.

“Kamu kenal orang itu ngga?”

Anin mengerutkan dahi kala pertanyaan itu terlempar padanya.

“Mana?”

“Itu, yang mobil hitam di situ.”

Sayang, kaca mobil di sana sudah tertutup rapat. Jean mengerjap bingung, lalu menggeleng pelan ke arah Anin.

“Ngga jadi, aku salah liat kayanya. Ayo pulang, mobil kamu nanti diderek dari sini, besok pagi udah selesai.”

Pagi itu, kepala Jeandra penuh oleh wajah samar yang dia lihat beberapa menit lalu. Rasanya tidak asing, tapi dia tidak tahu pasti. Wajah itu seperti sudah beberapa kali dia lihat, bahkan dalam beberapa waktu belakangan. Tapi sepertinya, ingatan miliknya terlalu dangkal sampai mengingat hal sesepele itu pun terasa amat sulit.

“Anindia!”

Anin langsung mengangkat kepalanya tatkala suara lantang yang amat familiar terdengar di rungunya. Senyum mengembang, kedua sudut bibirnya terangkat secara spontan tanpa ia pinta. Di sana, Jeandra keluar dari mobil hitam miliknya dengan langkah terburu-buru, bahkan tanpa hati-hati berlari ke arah Anin tanpa mempertimbangkan jika di sekitarnya tengah ramai oleh kendaraan lain.

“Kamu ngebut?” tanya Anin saat sadar kalau peluh menetes cukup banyak di dahi Jean. Napas lelaki yang lebih tinggi darinya itu berantakan, amat kentara jika dia mengejar waktu demi sampai ke sini.

“Iya, takut kamu ada apa-apa. You okay?

Anin mengangguk pelan.

“Masuk mobilku dulu, I have to call the repairmen. 10 menit lagi kita pulang.”

Tanpa bantahan, Anin kemudian melangkah menuju mobil Jean, tubuhnya masuk ke dalam sana dan meninggalkan Jeandra yang sekarang sibuk membuka ponsel. Tangan lelaki itu mengotak-atik layar, kelihatan sebal karena montir yang dia hubungi merespon cukup lama. Sampai dua menit kemudian, dia mulai berbicara lancar dengan seseorang di seberang sana.

Jean menjelaskan bagian kerusakan pada mobil milik Anin, mendeskripsikan kalau ada sebuah paku berukuran cukup besar yang menancap lurus di salah satu ban belakang mobil. Tak lupa menyebutkan alamat lengkap tempat mereka menunggu, hingga akhirnya menutup sambungan telepon setelah mengucap terima kasih.

Tapi saat hendak menghampiri sosok Anin yang tengah menunggu di dalam mobil, Jeandra terhenti karena sebuah mobil lain menyita perhatiannya.

Bukan, bukan mobilnya.

Lebih tepatnya, seseorang di balik kemudi yang memerhatikan dirinya. Atau mungkin, memerhatikan Anin yang wujudnya terlihat sebab kaca jendela diturunkan hingga habis oleh gadis itu.

Wajahnya tidak terlalu jelas, ditambah Jean punya sedikit kesulitan dalam melihat objek jauh. Maka memastikan wajah itu jadi cukup sulit.

“Jean, udah?”

Suara halus milik gadis mungil di seberangnya membuat Jean tersentak. Dia kemudian mengangguk dan melangkah menuju Anin, namun sesekali tetap melirik ke arah mobil yang terparkir cukup jauh dari tempatnya berdiri itu.

“Kamu kenal orang itu ngga?”

Anin mengerutkan dahi kala pertanyaan itu terlempar padanya.

“Mana?”

“Itu, yang mobil hitam di situ.”

Sayang, kaca mobil di sana sudah tertutup rapat. Jean mengerjap bingung, lalu menggeleng pelan ke arah Anin.

“Ngga jadi, aku salah liat kayanya. Ayo pulang, mobil kamu nanti diderek dari sini, besok pagi udah selesai.”

Pagi itu, kepala Jeandra penuh oleh wajah samar yang dia lihat beberapa menit lalu. Rasanya tidak asing, tapi dia tidak tahu pasti. Wajah itu seperti sudah beberapa kali dia lihat, bahkan dalam beberapa waktu belakangan. Tapi sepertinya, ingatan miliknya terlalu dangkal sampai mengingat hal sesepele itu pun terasa amat sulit.

“Lagi ngapain?”

Itu suara Jeandra, berat nan serak menggaung di telinga Anin kala dirinya tengah berdiri di hadapan lemari pendingin yang terbuka lebar. Anin menoleh sejenak, matanya menangkap gerakan tangan lelaki itu menyugar rambutnya yang sedikit berantakan, mengarahkan surai tebal nan halus itu ke belakang sebelum kemudian melangkah mendekat.

Sejenak, Anindia terpanah. Jeandra di pagi hari ternyata jauh lebih membahayakan jantung daripada yang pernah dia kira.

“Anin?” Tegur Jean sekali lagi, hingga akhirnya membuat gadis itu tersadar dari sesatnya selama beberapa detik itu. Anin kembali membawa pandangan ke arah lemari pendingin di hadapannya, berusaha menyembunyikan rona merah muda yang perlahan merambati wajah.

“Nyari mayonnaise,” jawabnya. Jeandra mengangguk paham. Lalu dalam diam, lelaki itu melangkah semakin dekat, dan dalam satu gerakan merangkum surai miliki Anindia ke dalam genggaman tangannya.

Gerakan Anin berhenti total.

I told you, rambut kamu bagusnya diiket aja.”

Anin kehilangan kemampuan mengolah kalimat seketika, sebab detik berikutnya, Jeandra membuat gerakan pelan dan membentuk rambutnya ke dalam satu ikatan sederhana dengan sebuah kuncir hitam yang dia ambil dari kamar. Napasnya tertahan, Anindia bahkan tidak mengerti mengapa tubuhnya bereaksi semacam ini hanya untuk gerakan sesederhana itu.

Lalu detik berikutnya, saat napasnya masih tercekat dan lidahnya masih belum menemukan kemampuan untuk mengobral kata, Anindia kembali dikejutkan dengan tangan Jeandra yang melingkar di pinggangnya.

Jean merengkuhnya, sampai tubuh mungil miliknya terangkum sepenuhnya dan Anin merasa tenggelam dalam dekapan bahu lebar milik Jean. Pelukan itu datang terlalu tiba-tiba, Anin bahkan gagal memikirkan soal mengapa perubahan sikap Jeandra tidak membuatnya heran.

Kemudian saat rengkuhannya semakin erat dan Anin semakin tidak dapat mengontrol pasokan oksigen yang masuk ke paru-parunya, bisikan pelan Jean masuk ke telinga kanannya. Halus, namun penuh penekanan sebab suara berat nan serak itu berjarak terlampau dekat dengan sumber rungunya.

Breath, Baby.

Anin tidak pernah tahu kalau Jeandra di pagi hari, akan sangat merepotkan hati.

Kata orang, sebuah pelukan bisa berarti jalan pulang yang paling menenangkan. Anindia selalu percaya ungkapan itu, ada satu hal tentang kalimat itu yang membuatnya senantiasa percaya.

Sejak dia kecil, pelukan jadi bahasa tersirat yang diberikan papa tiap Anin merasa rapuh.

Makanya, ungkapan itu selalu berlaku buat Anin bahkan hingga dirinya sudah sedewasa ini. Dalam beberapa momen hidupnya, gadis itu bahkan mengingat pelukan sebagai kejadian khusus yang membekas di kepala, mulai dari pelukan hangat yang orangtuanya berikan ketika dia masih anak-anak, sampai pelukan tanda perpisahan yang dia terima dari beberapa sosok penting di hidupnya.

Did you change your perfume?

Anin tersentak kala suara Jean memasuki rungunya. Lelaki itu kini tengah merengkuh tubuh mungil milik Anin dengan erat, membuat tubuhnya tenggelam dalam balutan tubuh besar itu dengan posisi tangan melingkari pinggangnya.

Jeandra memeluknya, dengan erat.

Seerat dulu.

Anin mengangguk dalam pelukan mereka, kepalanya bergerak naik dan turun secara perlahan di tengah rengkuhan Jean yang kian erat.

It's vanilla, isn't it?” Tanya Jean lagi, lalu dalam sekejap, lelaki itu membuat gerakan yang membuat Anin menegang. Hanya gerakan sederhana, namun berhasil membuat Anin menahan napas selama beberapa detik. Di sana, dekat dengan lehernya, Anin bisa merasakan hela napas hangat milik Jean menerpa kulitnya secara langsung.

Kemudian tanpa komando, lelaki itu mengubur wajahnya di antara leher dan helai surai milik Anin yang terhampar, menghirup aroma shower gel dan shampo beraroma madu yang bercampur dengan vanila yang melekat di sana.

As if he lives his life by only take a breath from her scent.

I thought that vanilla would be great, does it smell good?” Anin akhirnya menemukan keberanian untuk membuka mulut.

Di tengah detak jantungnya yang mulai menggila, Anin dapat merasakan anggukan pelan dari Jean. Demi Tuhan, berada dalam posisi direngkuh oleh Jean membuat seluruh tubuhnya melemah, sebab Anin bahkan tidak punya kuasa untuk menggeser tangan kanan lelaki itu dari punggung kecilnya, Anin bahkan tidak bisa menghentikan gerakan tangan Jean yang mengelus lembut helai rambutnya perlahan.

Anin tidak punya kuasa, sama sekali. Sebab dalam hati, ada satu bagian dimana dia terus-terusan berkata kalau ini adalah hal yang benar. Bagian yang berulang kali memaksa otaknya untuk berhenti memberontak dan tetap diam dalam rengkuhan yang tak bisa dipungkiri terasa amat hangat itu.

Sebab jauh di dalam sana, Anin merasa kalau pelukan yang dia dapatkan saat ini adalah sebuah kepulangan. Entah untuk dirinya atau untuk Jeandra, tapi yang jelas, saat pelukan mereka semakin terasa kuat, Anin meyakinkan dirinya kalau dia betul-betul butuh hal ini.

Anindia... akhirnya menemukan jalan pulang.

-

Content Warning // Kissing scene

Anindia tidak pernah tahu kenapa dia tidak menolak saat Jean menarik paksa tangannya sejak keluar dari kamar. Anin bisa saja melawan, mengatakan tidak lalu pergi dan mengurus pertemuannya pagi ini, tapi segala tentang Jeandra membuatnya tidak punya kuasa untuk menggeleng.

Lelaki itu selalu punya satu hal yang membuat Anin tidak bisa menolak, bahkan setelah bertahun-tahun sejak terakhir kali mereka berbincang mengenai suatu hal di tempat yang Jean sebutkan, lelaki itu masih saja berhasil membuat Anin mengangguk setuju. Bahkan hari ini, saat sebetulnya Anin enggan mengingat apapun soal tempat itu.

Tempat yang dulu sering mereka datangi hanya untuk melepas lelah, atau hanya untuk saling menatap dalam diam tanpa sepatah kata. Satu tempat di sana yang menjadi area favorit mereka, entah untuk saling berbagi cerita atau sekedar untuk saling bertanya kabar lalu tenggelam dalam lamunan.

Anin enggan mengingat satupun hal soal tempat itu. Kepalanya berteriak mengatakan tidak, secara gamblang meminta kakinya melangkah mundur, dengan keras berkata kalau mengunjungi tempat yang sama dengan orang yang sama hanya akan membuatnya lebih hancur dari yang ada.

Tapi hatinya berkata silakan.

Maka saat satu kalimat utuh milik Jean menjadi satu-satunya pembuka di antara keheningan yang melanda, Anindia tahu pasti kalau semua isi kepalanya akan terbukti benar. Sebab saat Jean mengudarakan kalimatnya, ada rasa sesak yang perlahan membuat Anin menggenggam jemarinya sendiri dengan erat, berusaha bertahan agar kedua kakinya tidak terjatuh di tengah jalan mereka menuju mobil.

“Warunk Upnormal, sounds familiar, doesn't it?. Gue yakin lo paham kenapa gue bawa lo ke sana.”

Telak, tanpa ampun, tanpa bisa dia lawan.

Sebab sebetulnya Jeandra benar, Anin paham kenapa Jean membawanya ke sana. Sebab Jeandra menebak dengan tepat, kalau Anin tidak akan pernah lupa dan tidak akan pernah bisa, apapun soal tempat itu akan selalu membawa ingatan soal mereka berdua bahkan ketika dia sendiri tidak ingin.

Getar di kedua tangannya yang tadi dia anggap hanya sebuah kebetulan sebab Anin sama sekali belum menelan sesuap makanan pun, kini nyata dan tak terelakkan hadir sebagai bukti kalau Anin ketakutan. Sebagian besar dari dirinya menyatakan enggan dan meminta otaknya untuk menolak ajakan Jean. Tapi bagian paling kecil di dalam sana mengatakan iya, mengizinkan Anin untuk berjalan patuh mengikuti arah langkah Jean yang gegabah.

“Setelah ini pilihan ada di tangan lo, mau mundur atau tetap lanjut. Gue bakal sangat bersyukur kalo lo milih buat mundur dengan sendirinya.”

Suasana yang canggung membuat Anin kesulitan mengatur napasnya, bahkan untuk sekedar membuka mulut dan bersuara pun rasanya amat sulit. Nama tempat itu terbayang di benaknya, terngiang-ngiang berkali-kali bagai potongan klip rusak yang di tempatkan di otaknya tanpa mau keluar.

Tenggorokannya terasa sedikit kering, lalu tanpa sadar kedua tangannya saling menggenggam erat. Menunggu kalimat lain dari Jean mengenai alasannya menarik Anin pergi ke tempat itu membuat gadis ini kehilangan percaya diri. Rasanya, Anin bisa saja melarikan diri dari tarikan paksa Jean yang perlahan membuat sedikit rasa kebas mulai merambati pergelangan tangan kanannya. Tapi Anin yakin kalaupun dia memutuskan untuk menarik paksa tangannya agar Jean berhenti memaksa, lelaki itu tak akan membiarkannya melangkah menjauh bahkan untuk satu jengkal.

“Biar semuanya jelas, lo sama gue, apapun soal kita harus jelas hari ini tanpa ada yang ketinggalan lagi.”

Detik itu, Anindia menegang. Bahkan tanpa dia sadari, tubuhnya sudah berada di dalam mobil, bersisian dengan Jean yang mulai mengemudi. Entah mana yang memenuhi kepalanya, rasa takut atau panik yang membuncah hingga ke ubun-ubun. Takut akan hal yang tidak dia harapkan terjadi jikalau mereka sampai di tempat itu. Lalu panik entah karena apa, yang jelas Anin bisa mendengar suara detak jantungnya sendiri menggema gila-gilaan di dalam sana.

Bagaimana kalau Jean mengucapkan perpisahan? Bagaimana kalau tujuan mereka ke sana adalah untuk mengakhiri semuanya? Bagaimana kalau yang terjadi kali ini bukan seperti yang dulu-dulu? Dimana tempat itu akan selalu jadi persinggahan di kala mereka melepas penat, dan bagaimana kalau kali ini yang akan dia lepas bukannya penat melainkan ikatan mereka? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepalanya, enggan meninggalkan celah otaknya barang sedetik.

Karena jauh di dalam otaknya, Anin rasa dia akan makin hancur kalau kata itu betul-betul terucap di antara mereka.

Lalu matanya memandang raut wajah Jean yang tampak menahan banyak hal, rahang lelaki itu mengeras hingga urat-urat lehernya tampak ke permukaan. Permukaan bawah telapak tangannya tampak memerah, kemungkinan besar karena menekan kemudi terlalu erat. Kedua tangannya menggenggam kemudi dengan sepenuh tenaga, dalam sekejap Anin paham kalau Jean tengah dikuasai kemarahan.

Lalu entah dengan keberanian dari mana, Anin mengulurkan tangan kanannya dan menyentuh tangan Jean yang menggenggam roda kemudi dengan erat. Ibu jarinya bergerak mengelus permukaan kulit Jean dengan pelan dan penuh kelembutan, berusaha berhati-hati agar gerakan yang dia buat tidak menyakiti lelaki di sampingnya itu.

Anin sudah siap dengan segala kemungkinan yang terjadi. Dia sudah siap jika Jean merenggut tangannya dengan penuh tenaga. Dia meyakinkan diri sendiri kalau tidak masalah jika setelah ini Jean akan menghempaskan tangannya karena risih dengan gerakan yang dia buat secara tiba-tiba. Anin meyakinkan dirinya kalau setelah ini kemarahan Jean semakin memuncak, dia siap untuk menahan rasa sakit yang kemungkinan timbul. Anindia—

“Kamu lagi-lagi bikin aku makin benci sama diri sendiri, Anin…”

Anin tertegun.

Aku.

Kamu.

Yang lebih mengejutkan, suara Jeandra terdengar bergetar.

Lelaki itu… terdengar menyedihkan.

Anin masih mempertahankan tangannya yang mengelus permukaan tangan Jean, kemudian berhenti kala menyadari kalau genggaman Jean perlahan melemah di sana. Kepala gadis ini terangkat, mengarah pada Jean yang ternyata tengah menggigit bibir bawahnya. Ketat dan tampak menyakitkan, hingga membuatnya kembali melakukan sesuatu yang di luar kendalinya.

“Jangan digigit, kamu pernah ngga bisa makan berhari-hari karena kebiasaan gigit bibir sampai berdarah,” katanya pelan. Sampai kemudian dia tersadar akan kata-katanya sendiri, bahwa hal semacam itu pernah dia katakan dulu, sebelum semua hal antara dia dan Jean berubah drastis.

“Kita bisa berenti dulu ngga? Tenangin dulu diri kamu, nanti baru jalan lagi.” Suara gadis ini ikut bergetar, terdengar tengah menahan agar tangisnya tidak merebak keluar sekuat tenaga. Netranya sibuk mencari-cari tempat yang pas untuk mereka berhenti sejenak, kepalanya ia tolehkan ke samping. Sengaja agar Jean tidak menyadari kalau wajahnya kentara menahan tangis, hingga tanpa dia sadari, Jeandra sejak tadi memberi atensi padanya. Menatapnya dalam hening dengan kedua tangan yang masih mengemudi.

“Jeandra, berenti dulu.”

Detik berikutnya tanpa Anin duga, Jean menekan pedal rem secara tiba-tiba dan membuatnya terguncang. Mobil berhenti di pinggir jalan yang cukup sepi, dengan napas Anin yang masih tersengal dan sisa keterkejutannya yang masih ada. Lalu dalam satu gerakan, Anin merasakan kepalanya ditarik dengan cepat, dan yang terjadi selanjutnya membuat Anindia kehilangan kalimatnya.

He kissed her passionately, with all emotions he drops between their lips.

Saat Jeandra mulai menggerakkan belah bibirnya dan menyambut Anin ke dalam kecupan dalam, Anin mengosongkan kepalanya dan memejamkan mata. Saat Jeandra mulai menghisap ranum bawahnya dengan perlahan dan hati-hati, Anin tidak bisa berbohong kalau dia merindukan lelaki ini.

Gerakan bibir mereka pelan dan terkesan hati-hati. Tanpa melibatkan nafsu, sebab Anin tahu lelaki di hadapannya ini betul-betul meraih bibirnya dengan segenap emosi.

Ada rasa sedih yang terselip di tiap hisapan dan lumatan yang Jeandra berikan di bibirnya, dan Anin sadar akan itu. Sebab setelah bertahun-tahun mengenal lelaki ini, Anin kelewat paham kalau kecupan yang dia terima adalah salah satu bentuk cerita dari Jean di kala kata tak lagi dapat dia ucapkan. Karena setelah dulu menghabiskan waktu cukup lama berada di samping lelaki ini, Anin kelewat hafal kalau Jean berusaha menyampaikan sesuatu padanya lewat sapuan lidahnya di permukaan bibir Anin.

Jarak di antara mereka terhitung nihil, hanya dipisahkan oleh sekat di antara kursi dan selebihnya, tangan Jean berada di helai surai milik Anin, menggenggamnya lembut dan membuat gerakan halus di sana. Sedangkan tangan satunya ia daratkan di pipi Anin, menyeka bulir bening hangat yang entah sejak kapan runtuh dari ujung mata cantik itu.

“Jangan nangis,” kata Jean. Tapi sayang, bulir hangat itu runtuh makin banyak dan membuat Jean memundurkan kepalanya. Pandangan Anin terasa kabur saat dia membuka mata dan menemukan Jean yang menatapnya sendu.

Dahi mereka kemudian menyatu, beradu dalam satu jarak tipis dengan napas yang bersahutan. Tangan Jean masih setia berada di wajah Anin, mengelus lembut permukaan pipinya seperti meminta Anin berhenti menangis melalui gerakan pelan itu.

“Tiga tahun lalu waktu kita putus, apa pernah sekali aja kamu lupa soal kita?”

Pertanyaan itu datang dari bibir Jean, membuat Anin memantapkan pandangan pada wajah di depannya sebelum menggeleng pelan.

“Harusnya kamu lupa, harusnya waktu kuminta buat lupa soal kita, kamu lupain apapun soal kita tanpa ragu.”

Sekali lagi, Anindia menggeleng pelan.

“Harusnya setelah tiga tahun ngga ketemu, kamu benci dan anggap aku orang jahat, Anin. Harusnya begitu, harusnya kamu hidup bahagia dan pergi sejauh yang kamu bisa. Bukannya malah datang lagi dan bikin perjodohan kita terjadi.”

“Kalau kaya gini, aku bisa nyakitin kamu lebih dari yang pernah kulakuin. And I hate myself for hurting you so bad.

“Bahkan setelah yang kulakuin sama kamu, you still hold my hands, tell me to be calm and make me feel even worse.

Saat itu, setelah mengutarakan kalimatnya, Jeandra memutar kemudi dan mengarahkan mobilnya kembali ke rumah. Tanpa kata, tanpa kalimat apapun. Saat itu, Anin bahkan tidak dapat menjelaskan bagaimana sesak memenuhi dadanya hingga kepulangan mereka.

-

Suara derit pintu membuat Anindia menolehkan kepala seketika, dirinya yang sedari tadi menopang dagu dengan kedua tangan langsung bangkit demi melihat sosok Hema yang tengah bergerak menutup pintu di belakang tubuhnya.

Tangan lelaki itu penuh dengan kantong plastik yang Anin yakin berisi makanan dan dua cup kopi sesuai dengan pesan Hema padanya. Anin mengembangkan senyum, menyambut Hema yang berjalan ke arahnya dengan gerakan menyodorkan plastik itu padanya.

“Gue ngga tau lo sukanya apa, tapi tadi gue mesen grilled salmon. Ngga apa-apa, kan?” tanya Hema di ujung kalimatnya.

Anin tersenyum simpul dan mengangguk sebelum berkata, “Ngga apa-apa banget, malah saya makasih banyak kamu udah mau repot bawa makanan.”

Hema meletakkan plastik berisi makanan itu di atas meja, disertai cup kopi miliknya dan Anin.

“Lo lagi ngerjain apa?”

Anin menoleh, kemudian tatapannya beralih melirik tumpukan dokumen di atas mejanya, cukup berantakan dan menari perhatian, maka wajar kalau Hema langsung bertanya perihal itu.

“Laporan akhir bulan, kemaren waktu ambil cuti pernikahan saya tinggal berhari-hari jadi numpuk begini.”

Hema mengangguk, dia kemudian memaku tatap pada Anin cukup lama. Memerhatikan bagaimana jemari mungil milik gadis itu bergerak lincah memeriksa lembar demi lembar kertas di hadapannya.

“Makan dulu, lo dari siang ngga makan, kan?”

Anin kembali mengangkat kepala, sejenak menimbang-nimbang usulan Hema untuk memulai makan malamnya. Lalu detik berikutnya, gadis itu mengangguk pelan. Tangannya mulai bergerak meraih plastik makanan di meja dan membuka satu persatu kotak karton tipis yang menjadi wadah. Hema menyimak dalam diam, berusaha menahan diri untuk tidak maju dan spontan membantu Anin yang tampak kesusahan membuka ikatan kencang di bagian atas plastik.

Raut wajah Anin tampak lelah, Hema menangkap itu sejak pertama kali melangkahkan kaki ke dalam ruangan bernuansa putih kapas ini.

Dunia udah sejahat apa sama lo, Nin?

Begitu kira-kira yang muncul di benak Hema. Melihat Anindia dengan raut wajah lelah membuat Hema tanpa sadar mengelus dada kirinya tidak nyaman, ada rasa nyeri yang timbul di sana saat menyaksikan bagaimana senyum kecil akhirnya muncul di ujung bibir Anin kala plastik berhasil ia buka.

Senyum itu, senyum yang dulu selalu Hema lihat terpatri di kedua sudut bibir Anin, sekarang sudah amat langka kehadirannya.

Kemudian saat nama Jeandra terlintas di kepalanya, Hema menggenggam tangannya sendiri kelewat erat. Dalam diam menyumpah-serapahi Jeandra melalui kepalan tangannya yang kian mengeras.

“Hema?” Hema pada akhirnya tersadar dari pikirannya sendiri.

“Iya?”

Beberapa wadah makanan ternyata sudah tersusun rapi di atas meja, Anin menyusun kotak demi kotak karton serapi mungkin, bahkan sendok dan sumpit sudah tertata sedemikian rupa di sana.

Lo ternyata masih serapi dulu, ya? Pikir Hema lagi-lagi dalam kepalanya sendiri.

Anin memberi sinyal pada Hema untuk duduk di hadapannya, gadis itu lalu menyerahkan sendok dan sumpit pada Hema, bermaksud agar dia ikut menikmati makan malam bersama Anin.

“Saya ngga akan bisa abisin sebanyak ini. Kamu ikut makan, ya?”

Hema mengangguk pelan sebelum akhirnya mendudukkan diri di sana dan mulai meraih satu grilled salmon yang tadi dia bawa. Mereka makan dalam diam, Anin hanya beberapa kali berkomentar soal rasa salmon yang menyapa lidahnya. Wajahnya tampak kagum, hal itu mengundang Hema untuk tersenyum singkat dan menawarkan beberapa potong ikan lagi pada Anin.

Sampai akhirnya, Hema membuka mulutnya dan mengudarakan kalimat yang membuat gerakan Anin terhenti total. Kunyahannya ia tahan dan napasnya seketika terasa sulit untuk di atur.

“Gue sebenernya bawain grilled salmon karena inget dulu Jean sering banget bawain lo itu. Makanya pas tadi ke restonya, gue langsung pesen itu.”

Tidak ada reaksi dari Anin, gadis itu malah melanjutkan kunyahannya lamat dan menatap Hema.

“Saya... ngga inget apa-apa soal itu.”

Hema tertawa pelan, ada ringisan di ujung bibirnya. Lelaki itu kemudian meminta Anin untuk melanjutkan makannya yang tertunda.

Sampai kapan lo bakal pura-pura lupa soal kalian yang dulu?

-

Saya kira, waktu rasa sesak menyerbu dada saya, memukul bagian itu adalah hal yang paling tepat untuk dilakukan. Ketika saya larikan kepalan tangan kanan menuju dada sebelah kiri tempat jantung berada, pukulan pelan mulai saya layangkan di sana.

Pelan, yang kemudian berubah jadi brutal seiring rasa sesak yang tak kunjung hilang.

Rasanya, semua beban dan rasa sakit yang saya coba sembunyikan seharian ini dalam sekejap berebut untuk keluar, seperti menyerobot tanpa ampun untuk memberi diri ini pelajaran bertubi-tubi.

Erangan bahkan keluar dari bibir saya, kedua mata saya terpejam menahan sakit. Terakhir kali saya seperti ini, itu adalah tiga tahun lalu saat mama dan papa berpisah. Rasa sakitnya sama, terlalu nyata dan persis seperti yang tiga tahun lalu saya rasakan.

“Mama dan Papa ngga bisa sama-sama lagi.”

Hari itu rasanya dunia saya runtuh.

Itu hari pertama saya menerima gelar sebagai dokter spesialis, dan semua bangga yang menumpuk dan saya tahan sepanjang siang hanya agar bisa saya pamerkan di depan mama dan papa, seketika layu dan gugur, berganti dengan linglung dan bingung yang menguasai.

Seingat saya, di hari yang sama juga, ada sosok lain yang menyumbang rasa sakit pada saya. Dalam ingatan, laki-laki itu berdiri di hadapan saya, tingginya menjulang sampai saya harus menaikkan kepala agar bisa bertatapan langsung.

Hari itu, saat jantung saya sudah serasa diremas akibat kabar berpisahnya mama dan papa, lelaki itu ikut menyumbang rasa sakit lain dengan sebuah kalimat.

“Setelah hari ini, lupain semua rencana yang kita pernah punya. Setelah hari ini, lupain semua rasa yang pernah kamu tumpuk buat aku. Setelah hari ini, kata kita ngga akan berlaku lagi. Setelah hari ini, besok, atau kapanpun, tolong jangan ingat kalau kita pernah punya janji buat selalu sama-sama, Anindia. Jangan pernah ingat.”

Benar saja, setelah hari itu bahkan sampai hari ini, saya berusaha lupa soal apa yang kami punya tiga tahun lalu.

Walaupun saya ingat, saya pura-pura lupa, saya bersikap seakan tiga tahun lalu, saya dan dia tidak pernah sekalipun terlibat satu hal.

Hari itu, bahkan sampai hari ini, ternyata sosok itu tetap menjadi penyumbang rasa sakit paling besar yang pernah saya punya.

-

“Jangan sekarang, Jeandra.”

“Lucu, lo bahkan nyempetin diri buat angkat telepon walaupun dari tadi bilang jangan sekarang.”

“Terserah, kenapa?”

“Berenti minta Hema buat ngehalangin gue liat Karin.”

“Cuma itu?”

“Cuma itu? Ini perkara Karin yang lagi ada di ruang rawat rumah sakit dan lo bilang itu pakai embel-embel cuma?”

“Kamu sendiri tau Karin keadaannya ngga separah itu.”

“Lo dokternya, harusnya lo lebih tau keadaan Karin. Dia abis kecelakaan parah dan lo masih bisa naro curiga ke dia?”

“Justru karena aku dokternya, aku bisa bilang Karin baik-baik aja. Bahkan terlalu baik buat ukuran orang yang kecelakaan sampai bagian depan mobilnya hancur lebur.”

“Jaga bicara lo.”

“Kamu. Kamu yang jaga pacar kamu.”

“Jangan main-main sama gue, Anindia. Gue bisa pindahin Karin ke rumah sakit yang lebih bagus sekarang juga.”

“Oh? Bagus, silakan urus administrasinya sekarang juga, silakan pindahin dia dan silakan tanya dokter di sana soal keadaan dia. Aku kira kalau dokternya waras, bahkan buat bilang Karin perlu dapat dua jahitan di kepala pun bakal terlalu berlebihan.”

“Kamu sendiri tau kalau Karin baik-baik aja, berenti pura-pura bodoh.”

“Kalau lo paham dengan pasti kalau gue tau keadaan Karin, kenapa lo mesti repot buat nahan gue?”

”.......”

“Jawab.”

“Lupain itu, anggap aku ngga pernah lakuin itu.”

“Jawab yang bener, Anindia.”

“Anin.”

“Jawab.”

“Karena kukira awalnya kamu ngga tau apa-apa. Kukira kamu beranggapan kalau Karin bener-bener kecelakaan. Kukira kamu sekhawatir itu karena getar tangan kamu nunjukkin itu. Kukira kamu bakal kecewa kalau tau Karin ternyata ngga bener-bener sakit. Kukira kamu bakal ngerasa kecewa kamu sia-sia kalau tau Karin cuma pura-pura.”

“Aku kira begitu. Tapi aku lupa kalau yang aku hadapi ini kamu.”

“Lain kali, jangan terlalu peduli.”

“Lain kali, mau Karin bohong atau ngga, jangan terlalu peduli.”

“Gue kira dari awal kita berdua udah jelas, ngga ada aspek apapun yang mengharuskan lo jadi sekecewa ini sama gue. Ngga ada apapun dari kita yang mengharuskan lo jadi sepeduli ini sama gue.”

“Jean.”

“Apa lagi?”

“Aku ini... sebetulnya apa?”

“Orang yang dateng ke hidup gue dan ngerusak rencana yang gue susun sama Karin bertahun-tahun.”

“Pernikahan se-nggak punya arti itu di mata kamu?”

“Kalau orangnya Karin, pernikahan bakal berarti segalanya buat gue.”

“Tapi lo bukan Karin, dan ngga akan pernah bisa gantiin Karin.”

-