Take Me to Heaven
TW // Mature content
Dalam sejarah hidupnya, Anindia tidak pernah dilanda rasa gugup sebesar ini. Bahkan saat ujian paling menakutkan yang dia hadapi sewaktu masih menjadi mahasiswa kedokteran pun, masih bisa dia hadapi dengan baik. Menghembuskan napas berulang-ulang sambil meyakinkan diri kalau dirinya akan baik-baik saja, menjadi cara paling ampuh yang selama ini selalu dia terapkan setiap kali rasa gugup menyerangnya.
Tapi kali ini, gugup dan tegang menguasainya secara brutal. Terlalu terang-terangan dan bertubi-tubi, sampai bernapas pun rasanya amat sulit.
Jeandra dan wajah rupawan miliknya berjarak terlampau dekat dengan wajah mungilnya, Anin bahkan sulit membedakan mana hangat yang berasal dari napas miliknya dan milik Jean yang berhembus saling menyahut. Mungkin jika dihitung, hanya ada jarak selebar dua jari terbentang yang menghalangi ujung hidung mereka untuk menyatu. Terlalu dekat hingga Anin pada akhirnya memutuskan untuk menahan napas.
Tapi Jeandra dengan suara berat nan seraknya malah membuat semua pertahanan yang dia bangun hancur seketika hanya melalui bisikan pelan tepat di depan wajahnya.
“Breath, Love. Breath like you fucking need it.“
Sial, suara berat itu membuat seluruh tubuhnya meremang.
Anin paham betul jika Jeandra sedang dikuasai alkohol. Wajah yang sedikit memerah dan ujung telinganya yang ikut memerah, cukup membuktikan kalau lelaki dengan tubuh lebih besar darinya itu baru saja menenggak minuman keras.
“How many glass of wine did you get just now?” tanya Anin sambil berusaha membantu Jean duduk dengan benar. Lelaki itu tengah dalam posisi duduk berlutut di sisi ranjang, kedua lengan kekarnya melingkari pinggang kecil Anin yang terduduk di atas ranjang hingga gadis itu kesulitan bergerak.
“Lima? Tujuh? Aku lupa,” jawab Jean dengan senyum kecil mengiring.
“Kamu ada meeting sama pihak Pemkot besok, Je. Kalau kayak begini yang ada besok bakal telat bangun.”
Jeandra terkekeh ringan, lelaki itu malah membawa kepalanya ke arah perut Anin, mengusalkan diri di sana dengan bibir mengeluarkan rengekan layaknya anak kecil.
“Ada kamu yang bakal bangunin. Wait, can we stay in this position for a while, please? It feels good,” ucap Jean dengan kedua tangan yang semakin mengeratkan dekapan pada perut Anin. Perlahan, Anin kemudian membawa tangannya ke arah helai surai Jean yang tampak lembut. Anin selalu ingin menyentuh helai itu seperti yang dulu sering dia lakukan, dan menempatkan tangan di sana seperti sekarang membuat perasaannya membuncah, seperti siap meledak kapan saja.
Surai hitam legam milik Jeandra menjadi tempat bagi Anin meletakkan ruas jemarinya, mengelus pelan di sana dan dalam hati berharap kalau gerakannya bisa mengantar rasa nyaman pada lelaki yang tengah berlutut di hadapannya ini.
“Are you okay?“
Suara halus Anin membuat Jean mengangkat wajah dan memaku tatap pada gadis itu. Mata jernihnya penuh khawatir, Jeandra bahkan bertaruh kalau mata itu punya tatapan paling teduh yang pernah dia lihat. Menyelam ke dalam tatapan itu membuat Jeandra perlahan luruh, bahunya bergetar dan kepalanya menggeleng pelan.
Dia... lagi ngga baik-baik aja, Anin bergumam dalam hati, mengartikan gelengan pelan Jeandra dalam pikirannya sendiri.
“Can you do it again?” pinta Jean.
“Do what?“
“This.” Permintaan itu datang bersamaan dengan tangan kanan Jean yang menuntun tangan Anin ke arah rambutnya. Meletakkan pelan tangan Anin di sana dan membawanya naik turun perlahan, membuat elusan pelan yang membawa Anin tertegun. Tanpa diminta lagi, Anin meneruskan elusannya di sana, berusaha menenangkan napas cepat Jean yang memburu sampai pada akhirnya lelaki itu mulai bernapas teratur.
Lelaki ini tampak kacau, dan Anin diam-diam berharap dirinya tahu alasan di balik kekacauan yang terjadi.
“Anin?”
“Ya?”
Jean menatap mata jernih di hadapannya dengan tatapan sayu. Pandangannya menyapu tiap sudut wajah Anin dengan hati-hati, seakan tengah mengingat detail wajah mungil nan cantik itu di dalam kepala untuk dia simpan. Sebab bahkan dalam keadaannya yang tidak sepenuhnya sadar pun, Jeandra mengaku lemah jika harus berurusan dengan figur mungil di dekapannya ini.
Jeandra kalah telak, bahkan setelah bertahun-tahun.
Anindia selalu jadi pemenang, baik dulu saat dirinya masih menjadi alasan terbesar bagi Jean untuk mengulum senyum hangat, saat Jean dengan terang-terangan meninggalkan gadis itu dalam kehancuran, atau bahkan sekarang saat hanya tersisa mereka berdua di dalam ruangan berwarna putih gading itu.
Anindia selalu jadi pemenang, dan Jeandra mengaku kalau pecundang sepertinya akan selalu kalah telak jika dihadapkan dengan sosok di pelukannya ini.
Maka saat dia sadar kalau dirinya sudah terlanjur jatuh ke dalam kepekatan yang tak berujung selama bertahun-tahun, dan malam ini Anin membuatnya kembali menemukan jalan pulang, Jean membuang kewarasannya jauh-jauh. Kepalanya menyingkirkan semua ragu dan berusaha mengenyahkan semua beban yang dia punya.
Malam ini hanya ada Anindia dan lelaki itu hanya ingin mengingat sosok Anin bahkan jika esok hari dia harus bangun dalam penyesalan.
Maka saat benaknya hanya terisi oleh Anin, Jean tanpa ragu memajukan tubuh dan mengungkung Anin di antara dua lengan berototnya, membuat tubuh kecil itu terkurung dan membatasi ruang geraknya. Jean tahu jika gerakannya mengantar Anin pada keterkejutan, terlihat jelas dari tubuh Anin yang tersentak kecil kala punggung sempitnya menyentuh permukaan tempat tidur yang halus terhampar. Kepanikan dengan cepat merambat di seluruh tubuh dan Anin tampak gagal mengendalikan rasa itu.
“You're so tiny,” bisik Jean tepat di samping telinga Anin. Tubuh Anin meremang, suara berat yang selalu bisa membuatnya lemah itu kini menggaung tepat di rungunya dan membuat kemampuan bicara yang biasa dia punya hilang entah kemana arahnya.
Jean mengangkat tangan untuk dia sampirkan ke helai rambut di depan kening Anin, merapikan helai demi helai milik gadis itu lalu dalam satu gerakan mendaratkan sebuah kecupan di dahi sempit Anin. Kecupan yang lama dan membuat Jean sadar kalau sesak serta-merta menyerbu dadanya.
Sudah berapa lama dirinya kehilangan kesempatan untuk memberi kecupan di sana?
Matanya terpejam, begitu pula Anindia yang dalam sekejap memejamkan mata dan berusaha sekuat tenaga agar bulir bening tidak turun dari sana. Kecupan yang dia dapat di dahinya membuat Anin mati-matian menahan letupan yang seakan ingin meledak di dalam sana, seakan jika Jeandra melakukan sesuatu lebih, Anin bisa saja hancur berkeping-keping.
Sudah berapa lama dia menanggung rasa penasaran soal bagaimana diberi perlakuan seperti ini lagi oleh Jeandra?
Tapi tampaknya, Laksamana Jeandra memang berniat membuat Anin meledak menjadi butiran debu malam ini ketika ranum milik lelaki itu perlahan mencari tempat lain untuk berlabuh.
Bibirnya, sekarang menjadi tempat peraduan bagi Jean di detik tepat setelah Anin menarik satu napas dengan susah payah. Payah, Anin akui dia memang payah jika harus berurusan dengan Jeandra. Labium tebal itu menaut milik Anin dengan gerakan halus, membelai perlahan seakan meminta izin untuk membawa Anin ke suatu tempat yang belum pernah dia kunjungi seumur hidup. Jean memberikan lumatan halus di permukaan bibir tipis yang sejak dulu membuatnya berhasil membuatnya menjauh dari semua sakit yang dia punya. Dia raih bibir atas gadis itu dengan penuh hati-hati, seperti memperlakukan sebuah kaca yang akan pecah jika dia salah bergerak sedikit saja.
Saat di detik itu Jean mulai menyapa lipatan ranumnya dengan lidah, Anin mengosongkan kepala. Suara decapan yang saling bersahutan membuat jantungnya bergemuruh, bukti kalau Jeandra sukses membuatnya hampir melampaui ambang batas kewarasan yang dia punya.
“Wanna see the heaven with me?” tanya Jean saat dirinya melepas tautan mereka. Bahkan benang saliva yang belum terputus dalam jarak dekat kedua ranum itu menjadi bukti kalau pagutan mereka terpaut cukup dalam.
Jejak basah yang tertinggal di dagu Anindia menyita perhatian, dan Jeandra bersumpah kalau Anin dengan napas terengah dan wajah yang memerah adalah pemandangan yang paling dia rindukan setelah sekian lama.
“Heaven?“
Jean mengangguk sebelum kembali membawa Anin ke dalam pagutan dalam, bibir mereka bertautan dan Jean mulai mengetuk permukaan labium itu dengan lidah dan Anin menyambut dengan membuka mulutnya, membiarkan benda lunak itu menginvasi ke dalam sana tanpa aba-aba. Lidah Jean mengabsen satu persatu di dalam, menyapa dan mengecap tanpa permisi, membuat Anin nyaris kehilangan kemampuan untuk menarik napas dengan benar.
“Anindia...”
Anin terengah, napasnya berantakan. Matanya terbuka kala mendengar Jean memanggil dan membalas tatapan yang terpaku padanya itu, seolah Anin adalah pusat dari segala yang Jean punya, seolah Anin adalah satu-satunya objek yang bisa dia jangkau dalam pandangan. Tak membalas panggilan Jean, gadis itu malah sibuk mencari cara untuk bisa menyembunyikan rona merah yang menjalar ke seluruh pipinya, sungguh tidak ingin Jean melihatnya melemah karena tautan ranum mereka yang barusan terjadi.
“Kutanya sekali lagi, wanna see the heaven with me?” Pertanyaan itu kembali datang bersamaan dengan jemari Jean yang menggapai wajah Anin, membuat gadis itu harus memaku tatap pada sosok yang tengah mengungkungnya itu walau wajahnya terasa terbakar. Jean meneliti tiap sudut wajah Anin dengan ujung telunjuknya, membiarkan sidik jarinya membentuk pola acak di permukaan halus itu dan mengagumi paras sempurna itu dari jarak kurang dari sejengkal.
Fuck, she’s so damn pretty and I swear she’s the prettiest thing has even happened to me, kalimat itu terujar dalam pikirannya sendiri, Jean bahkan tak mampu mengudarakan kata demi kata itu secara nyata.
Sedangkan dalam dunia kecil yang dia susun di kepala, Anin tengah berperang dengan suara batin sendiri. Diam-diam, ada sebuah rasa ragu yang memenuhi kepala cantik itu, mengingat sikap manis Jeandra akhir-akhir ini terlampau terjadi terlalu sering. Sejak kejadian dimana Jean menciumnya di mobil, sikap kasar yang biasa lelaki itu tunjukkan sama sekali tak berbekas. Entah kemana perginya semua kalimat sarkas dan Jean yang abai padanya itu, Anin akui dia cukup bodoh karena tidak sempat mencaritahu.
Bukan, bukan tidak sempat. Tapi Anin tidak ingin tahu, dia tidak ingin mencari-cari alasan sendiri dan berakhir menemukan sesuatu yang mengecewakan. Maka selama hampir dua minggu perubahan Jeandra, Anin bungkam. Ia tepis pertanyaan seputar kenapa dan apa yang terjadi hingga Jean kembali seperti dulu, sebab dia terlalu takut untuk bertanya. Takut kalau jawaban yang dia dapat hanya akan membawa Jean kembali pada sikapnya kemarin-kemarin.
Ragu yang dia tancapkan dalam diri kala pertanyaan terlempar dari belah ranum Jean membuat Anin tertahan, kepalanya hampir mengangguk kala pertanyaan itu terudara dua kali. Tapi ragu tetap meninggalkan ragu, gadis itu punya ratusan alasan untuk menolak sebab jika kepalanya terangkat naik dan turun tanda menerima, Anin paham kalau semua yang terjadi di antara mereka berdua akan berubah sepenuhnya. Entah dalam artian baik atau buruk, tapi yang jelas Anin yakin kalau menerima tawaran itu akan mengundang sesuatu terjadi.
Maka di detik ketika Jean baru hendak membuka bibirnya dan mengatakan kalimat lain lagi, Anin mencoba peruntungannya sendiri. Gadis itu secara tiba-tiba menarik Jean lebih dekat ke arahnya dengan menautkan lengan ke leher lelaki di atasnya itu, lalu menautkan bibir mereka kembali.
If once she hears other’s name instead of hers, she’ll definitely stop.
Itu rencananya.
Jika saat pagutan yang dia berikan membawa Jean menyebut nama orang lain, maka Anin akan berhenti, berhenti total dan membuang harapannya jauh-jauh. Lumatan dari bibir tipis itu terkesan polos nan pemula, amat tergesa-gesa tanpa pola tertentu namun berhasil membuat Jean mengerang dalam. Lelaki itu kemudian mengambil alih tautan, kembali menguasai bibir bawah Anin dan menghisap dengan kuat. Anin terasa manis dan Jean sepertinya sudah terlanjur menemukan candu dari sana.
Lalu saat nama miliknya terdengar di sela erangan berat nan dalam milik Jean, Anin meyakinkan dirinya untuk maju selangkah lebih lanjut. Namanya kembali terdengar di tengah pagutan mereka, bahkan tanpa jeda dierangkan oleh Jean hanya karena sebuah ciuman. Maka untuk itu, Anin memberanikan diri meletakkan genggaman halus di rambut Jean, memberi tanda pada lelaki itu untuk memperdalam pagutan mereka.
“Take me to the heaven, Laksamana. I beg you.”
Dalam sekejap, mata Jean berkabut. Saat suara halus dan dayu itu memasuki rungunya, Jean membuang jauh-jauh semua rasa takut dan khawatir yang tadinya membuncah di seluruh tubuh. Hanya ada Anindia dan ciuman mereka yang semakin dalam, sampai kemudian Jean bergerak ke arah leher terbuka gadis itu, memberikan hisapan dan gigitan pelan. Jejak merah membekas, Jean memandang puas ke tanda yang dia berikan sebelum kembali mendaratkan kecupan dan memeta kulit lembut itu dengan lidahnya.
Tangan Jean bergerak ke arah lain, menuju pinggang ramping Anin dan mengelus bagian itu agar Anin merasa aman. Jemarinya mendarat di sana dengan lembut, berusaha mengantarkan rasa nyaman sebab dia bisa merasakan Anin yang sedikit tersentak kala hisapan di bagian lehernya yang sensitif. Lalu ketika dalam satu gerakan Jean membawa tangannya menuju area lain yang seumur hidup hanya pernah dilihat olehnya sendiri dan memberi usapan halus di area itu, Anin kembali tersentak. Tubuhnya seakan disengat oleh jutaan volt listrik dalam satu waktu, membuat seluruh tubuhnya lemas dan pikirannya melayang tanpa bisa menemukan jalan untuk sekedar menyapa kata cukup.
Ketika dalam satu hentakan tanpa kentara Jean menggunakan tangannya dengan ahli untuk menurunkan tali yang tersampir lemas di bahu Anin dan bergerak mengecup lalu memberi tanda lain di bahu telanjang Anin, Jean tahu kalau dirinya tidak akan berhenti kecuali jika gadis itu yang meminta. Ketika satu-satunya yang menghampiri pikiran adalah bagaimana cara agar dirinya bisa membuat Anin meletakkan rasa percaya padanya, Jeandra mencoba menyentuh di bawah sana dengan satu gerakan, matanya mengawasi perubahan wajah Anin yang tampak menahan erangan dengan menggigit bibir sekuat tenaga.
Tangan Jean yang bebas mengarah ke lipatan ranum Anin yang tergigit, mengetuk pelan di antara labium tipis itu dan membuat gigitan yang Anin sematkan pada dirinya sendiri seketika terlepas. Lalu detik berikutnya, kecupan basah kembali Jean alamatkan di situ, berlanjut dengan gigitan dan sesapan penuh kabut gairah yang memenuhi. Rasanya basah, penuh, dan sesak. Tapi baik Anindia maupun Jean bahkan tak punya keinginan barang secuil bahkan hanya untuk berhenti sekejap. Dua orang itu terlalu mabuk, terlalu jatuh dalam lubang yang mereka gali sendiri, terlampau jauh jika harus kembali ke dasar.
Bermenit-menit berikutnya, kemeja putih polos milik Jean sudah terjatuh ke lantai. Kedua netra gelap itu semakin berkabut kala menemukan bahwa di bawah kungkungannya, Anin sudah sepenuhnya bersih. Napas yang terengah dan rambutnya menyebar di atas bantal serupa hamparan bunga membuat Jean semakin kehilangan kewarasan. Anindia terlalu cantik, terlalu menghanyutkan dan terlalu indah sampai rasanya Jean ingin menyimpan semua itu sendiri.
“Love, look at you…” bisikan itu diiringi napas berat Jean di telinganya. “You're so fucking gorgeous.“
Anin tidak tahu bagaimana harus merespon selain berusaha merapatkan kedua pahanya, tapi gerakan itu ditahan dengan sigap oleh satu tangan Jean. Ini buruk, sebab di detik selanjutnya Anin memekik dan kedua tangannya sontak mencengkram erat lengan kekar Jean sebagai tumpuan.
Sebab jemari panjang itu kini tengah menyapa bagian paling panas dari dirinya, menyentuh lembut seakan Anin bisa saja hancur jika diperlakukan lebih dari itu. Kepalanya terangkat ke atas, kedua matanya terpejam erat menahan euforia yang dia dapatkan di bawah sana. Jean bermain di sana dengan tempo pelan namun hentakannya berhasil membuat Anin yakin kalau seluruh sel tubuhnya sudah berserakan dimana-mana.
Malam itu, ketika purnama sudah menunjukkan diri tanpa malu di tengah langit, hanya dentang senyap dari suara jeam dinding kecil yang menjadi saksi ketika Jeandra berhasil memiliki Anindia sepenuhnya, menghentak dengan pola acak ddan kecepatan yang semakin menggila. Membawa Anin semakin vokal mengerang dan membuatnya semakin erat mencengkram bahu Jean sebagai pegangan. Saat kemudian puncak mereka menyapa, dua orang itu baru menghentikan friksi yang mereka ciptakan sendiri. Tubuh Jean jatuh memeluk Anin di bawahnya, mendekap tubuh mungil yang bergetar itu dan mengelus punggungnya.
“Thank you, Baby. Thank you so much,” ucap Jean.
Malam itu, untuk pertama kalinya Anindia menyapa puncak yang orang-orang bilang adalah surga dunia. Jeandra membawanya terbang, mengambil sesuatu paling berharga yang dia junjung tinggi-tinggi seumur hidup dan memeluknya hingga getar di seluruh tubuhnya mereda. Saat mata keduanya terpejam dan kantuk mulai menjemput, baik Anin maupun Jean sama-sama lupa kalau esok hari, sesuatu mungkin saja bisa terjadi. Entah baik atau buruk, tapi yang jelas memeluk Anin dan memastikan tubuh mungil itu tetap berada dalam dekapannya hingga pagi menghampiri adalah satu-satunya yang mengerumuni kepala Jean.