writer.as/lalalafindyou

Aksara Restupati tidak pernah merasa seaneh ini.

Lelaki dengan profesi sebagai dokter bedah itu biasanya selalu merasa dirinya terlalu sibuk untuk hal-hal remeh, waktunya terlalu berharga. Bahkan lima menit menganggur pun biasanya akan dia pakai untuk melakukan sesuatu yang berguna, dia lebih memilih untuk memeriksa laporan perkembangan pasien daripada duduk menyeduh kopi dan bersantai tanpa melakukan apa pun.

Dia terlalu apatis, bahkan untuk dirinya sendiri.

Tapi bertemu dengan Anindia membuatnya merasa aneh, sangat aneh. Wanita itu membuatnya mau berbasa-basi melalui aplikasi percakapan, sesuatu yang sangat dia hindari sebab menurutnya berkomunikasi face to face jauh lebih efektif. Mau tahu sesuatu? Nama Anindia bahkan menjadi satu-satunya kontak yang dia simpan di luar keluarganya. Ada nama Mama, Papa, dan nama adik laki-lakinya di daftar kontak, selama ini hanya tiga kontak itu. Tapi di hari dia bertemu sosok mungil itu, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, ada nama orang lain yang masuk ke dalam daftar kenalannya di ponsel.

Anindia membuatnya merasa aneh, dan lelaki itu ingin membuktikan keanehan yang dia rasakan hari ini.

Astaga, dia bahkan mau-mau saja membuang 15 menit berharganya karena Anindia yang belum menunjukkan wujud di kafe ini. Dia duduk diam menyesap Americano miliknya yang sudah datang 15 menit lalu. Matanya berkali-kali melirik kotak percakapannya dengan Anindia, berharap dalam diam kalau wanita itu akan memberi satu kabar saja padanya.

Di luar hujan lebat, jadi Aksa berusaha maklum. Anin mungkin butuh waktu lebih untuk sampai sebab jalanan yang licin, atau dia tidak bisa menemukan taksi untuk dipesan. Harusnya tadi dia menjemput Anin, tapi keputusan wanita itu tetap nomor satu.

Rasa pahit di lidah membuat Aksa mengerutkan dahi. Ah, sepertinya memesan minuman ini adalah keputusan yang salah, sebab Aksa biasanya hanya akan memesan minuman biasa seperti lemonade atau teh. Baru hendak meletakkan cangkir kopi di tangannya ke atas meja, Aksa dibuat terkesiap ketika suara lonceng yang diletakkan di depan pintu utama berbunyi nyaring, tapi bukan itu yang menjadi fokus utamanya. Melainkan, sosok Anindia yang muncul dari balik pintu dengan sebagian pakaiannya yang basah kuyup.

Aksa mengerutkan kening, panik seketika merambat ke seluruh tubuhnya ketika menyadari kalau tubuh mungil Anindia bergetar hebat. Wajah cantiknya terlihat pucat dan itu Aksa paham kalau hal itu bukan pertanda baik.

Refleks, Aksa bangkit dari duduknya dan berlari dengan wajah panik yang tidak dapat dia sembunyikan. Lelaki itu menghampiri Anindia yang menatapnya bingung, seakan bertanya lewat tatapan mata mengenai raut khawatir di wajah Aksa yang terlampau kentara.

What happened?” tanya Aksa ketika tubuhnya sudah berada tepat di depan Anin. Tanpa peduli kalau belasan pasang mata ikut menyaksikan bagaimana lelaki itu berlari cepat ke arah Anin yang masih berada di ambang pintu utama kafe, Aksa memindai tubuh Anin dari ujung kaki hingga rambut, memastikan kalau tubuh mungil itu tidak terluka.

Anin masih kelihatan kebingungan. “You look so panic,” katanya.

Sadar kalau nada reaksinya berlebihan, Aksa berdehem canggung. Tangan kanannya bergerak mengacak rambut frustasi, dalam hati merutuki kebodohannya yang kembali jadi manusia aneh jika berhadapan dengan Anindia.

I'm sorry, I thought that you had an accident. Wait, you didn't get any accident, did you?

Anin mengangguk, anggukannya tampak ragu. Aksa pada akhirnya mengajak Anin berjalan ke arah meja yang tadi dia tempati. Lagi-lagi tanpa sadar, Aksa bertingkah di luar kendali.

Tanpa dia sadar, tangannya membantu menarik kursi yang akan ditempati Anin sebelum wanita itu sempat menariknya lebih dulu. Aneh, sebab Aksa belum pernah melakukan hal semacam itu kepada siapa pun kecuali Mamanya. Anindia lagi-lagi membuatnya mempertanyakan diri sendiri.

Ada yang dengan kecepatan kilat berlabuh di dalam dadanya, membuat rongga napasnya terasa penuh dan terasa membuncah. Ada yang terasa terisi ketika matanya menangkap sosok Anindia berdiri pertama kali di depan pintu tadi, dan Aksa tidak menampik kalau rasa penuh serta membuncah itu membuatnya sedikit lebih hidup.

“Kamu udah lama nunggu ya?”

Lamunannya buyar ketika suara lembut diiringi getar itu mengalun, Aksa mengangkat kepalanya dan menemukan Anin tengah menggenggam kedua tangannya seerat mungkin. Anin kedinginan.

Not really, saya baru dateng dua menit sebelum kamu,” jawabnya.

Tanpa dia duga, tawa manis keluar dari bibir pucat Anin. Aksa terdiam sejenak, otaknya berusaha keras memproses bagaimana gelak halus itu memasuki rungunya dan sukses membuatnya terpaku.

Please lie better, minuman kamu bahkan hampir habis. Saya telat banget, I'm really sorry. Something unexpected happened, I couldn't drive fast,” jelas Anin. Lalu dia melanjutkan, “Saya telat berapa lama?”

“Ngga terlalu lama, 15 menit.”

“Itu lama, Dokter Aksa. 15 menit bisa dipakai buat check up satu pasien luka ringan kalau di rumah sakit.”

Aksa tersenyum sebagai respon. “Well, let say begitu. Jangan dibahas lagi, kamu mau pesan apa? Bills on me.

“Teh aja, tapi biar saya yang bayar.”

Tak ada bantahan, sebab Aksa bahkan tidak tega melanjutkan perdebatan ketika sadar kalau getar di tubuh Anin akan semakin parah kalau dia malah membawa argumen soal siapa yang akan membayar makanan masing-masing. Melihat itu, Aksa melepaskan jaket yang dia pakai dan menyerahkan benda itu kepada Anin.

“Apa?” tanya Anin.

“Ini, dipakai dulu. You're freezing cold,” jawab Aksa. Merasa kalau Anin tidak kunjung menyambut ulurannya, Aksara meletakkan jaketnya langsung di tangan Anin, memintanya untuk tidak menolak. “Jangan ditolak, kamu bisa sakit kalau kedinginan lebih lama.”

Anin pada akhirnya mau memakai jaket itu di tubuhnya. Walaupun terlihat kebesaran dan membuatnya sedikit tenggelam di dekapan jaket itu, Anin tampak lebih baik dari sebelumnya.

Thanks.

Aksa menganggu sebagai balasan. “Are you sure you're okay?

Anin menoleh, kepalanya mengangguk pelan. Penuh ragu, sebab dia sendiri tidak dapat memungkiri kalau dingin masih menusuk. Sebagian besar bajunya basah akibat guyuran hujan ketika hendak keluar dari mobil menuju kafe, padahal jaraknya tidak terlalu jauh, namun sepertinya Anin harus menerima kalau kemeja abu-abu tua yang dia pakai sudah tampak sangat mengenaskan karena basah di bagian bawah.

“Saya lari dari parkiran ke sini, jadi wajar kalau masih sempet kena hujan.”

“Kenapa ngga minta sopir taksinya buat drop kamu langsung depan pintu?”

“Saya ngga jadi naik taksi, I drove by myself.”

Aksa mengangguk tanpa bertanya lebih lanjut. Keduanya diam sambil menunggu pesanan Anin datang. Kecanggungan menyelimuti, tapi Aksa bersumpah kalau canggung yang menjebak mereka kali ini jauh lebih baik dari atmosfer mana pun. Dia bisa memaku tatap pada Anindia yang memandang jendela luar dalam hening. Wajah kecil itu terbingkai oleh surai panjang yang dia biarkan tergerai menghalangi sebagian permukaan kulit, dan untuk pertama kalinya dalam sejarah hidup Aksara, dia mengakui kalau wajah dan tatapan lembut seseorang bisa membuatnya kewalahan.

Dalam dua menit membiarkan iris tajamnya menghafal tiap sudut wajah Anindia, Aksara paham kalau dirinya akan terus-terusan menggumamkan kata “cantik” di tiap gerakan kecil yang wanita itu buat, akan terus begitu sampai waktu yang tidak ingin dia tentukan.

Sayang, lamunannya buyar ketika suara gemuruh terlampau nyaring dan menggelegar datang secara tiba-tiba. Petir dan kilat datang bersahutan, seperti tidak diberi jeda oleh langit sembari menumpahkan lebih banyak air ke muka bumi. Aksa memandang gelap pekat yang mewarnai awan-awan tebal melalui jendela, yakin kalau hujan akan berlangsung lebih lama dan jauh lebih lebat.

Lalu saat pandangan matanya kembali terarah ke depan, Aksa menemukan Anindia yang menutup kedua telinganya sendiri dengan tangan. Seiring dengan gemuruh dari langit yang terus terdengar, Anin semakin menekan telapak tangannya ke telinga. Tubuhnya terlihat semakin bergetar, tak lagi sempat dia tahan seperti yang sebelumnya.

Maka dalam sekali pandang, Aksa bisa menarik satu kesimpulan; Anindia punya tidak suka suara petir. Lalu benaknya mencoba menyambungkan pemandangan itu dengan keterlambatan Anin dan alasan kalau dia menyetir sendiri. Hasilnya masuk akal, Anin tidak bisa mendengar suara petir yang kuat dan wanita itu harus menyetir sendiri. Detik itu, Aksa bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana raut ketakutan dan kepanikan yang menguasai Anin ketika berusaha datang ke sini.

Lalu saat satu lagi suara gemuruh muncul lebih menggelegar, Aksa spontan maju dan membantu Anindia mengeratkan tangkupan di telinganya. “Saya izin bantu tutup telinga kamu, saya ngga bawa earphone buat ngehalangin suara petirnya, this is the very least thing I can do to make it better.” Kalimat itu serupa bisikan, Aksa mencoba menenangkan Anin yang semakin meringkuk di atas meja sempit itu. Tangannya berada di atas tangan Anin, dia tekan sekuat yang dia bisa namun tetap memastikan kalau gerakannya tidak akan menyakiti Anin, berharap kalau yang dia lakukan dapat sedikit meredam suara keras yang datang menyerbu itu.

You're gonna be safe, that's okay...” Aksa mengucapkan kalimat itu berkali-kali. “*I'm holding you, don't be scared.” Serta kalimat-kalimat lain yang serupa mantra, yang dia ucapkan seraya berusaha mengeratkan jaket miliknya agar tidak lepas dari tubuh mungil Anin.

Seakan semesta mendukung, saat Aksa menundukkan pandangan pada Anin, si cantik itu mengangkat kepalanya dan membuat iris mereka bertemu dalam satu jalur tatapan. Aksa tidak tahu apa yang ada di dalam mata itu, tapi yang pasti ketika Anindia mengatakan sebuah kalimat dengan suara lirih dan getar di ujung kalimatnya terdengar amat jelas, Aksa menyimpul dirinya sendiri.

Can you hold me tighter, please?” pintanya.

Telak, Aksara kalah telak. Sebab di detik yang sama ketika kalimat itu terudara dan matanya menangkap gurat penuh luka di iris kelam milik Anindia, Aksara mendeklarasikan diri kalau terhitung sejak saat itu, dia mau Anindia.

-

Halo, cantiknya Baskara.

Geegee, kalau buka ini tolong jangan teriak dulu. Ditahan, jangan teriak. Kasian Ekal telinganya pengang, kamar kalian itu dinding pembatasnya ngga kedap suara.

Geegee, yang bakal cemberut kalau ada yang nyebut namanya pakai huruf J, terima kasih.

Setahun ini banyak yang kita ​jalani dengan beban di pundak. Kamu ingat di awal tahun kita putus selama dua minggu? Buatku, itu dua minggu paling penuh siksaan sepengalamanku menghirup napas. Kamu ingat waktu kubilang badan kamu kuambil di tengah mobil ringsek di hari Kinara pulang ke pangkuan Tuhan? Buatku, itu 30 menit paling penuh rasa bersalah yang pernah kutanggung.

Kalau kamu ngga ingat, syukurlah, syukurlah, dan syukurlah. Jangan diingat ya, Sayang. Tolong inget hal-hal baik aja.

Kalaupun kamu ingat, kuharap kamu paham kalau seumur hidupku, dua hal itu adalah yang paling sering kuadu dalam satu kalimat dengan kata sesal seumur hidupku di dunia. Kalaupun kamu ingat, kuharap kalau nanti ada yang lebih buruk terjadi, posisiku bakal tetap sama. Selalu jadi yang pertama narik kamu buat dipeluk dan bilang kalau kamu bakal baik-baik aja.

Geegee, yang akhir-akhir ini sering banget mutar Peaches karya Justin Bieber sampai bikin aku ikut hafal. Kalau kamu sadar, aku nyanyiin semua bait lagu termasuk tiap bait dengan kata shit, tapi ngga dengan kata bitch. Ngga tau, cuma otakku melarang kata itu buat terucap di depan kamu. Sesederhana itu, tapi kupastikan hal-hal sekecil itu ngga luput dari perhatianku.

Ageeta, terima kasih.

Karena aku bahkan ngga tau bakal jadi apa si Baskara ini kalau ngga ketemu kamu. Karena aku bahkan ngga tau bakal sehancur apa cerita hidupku kalau ngga ada kamu.

Ageeta, kalau nanti di tahun-tahun berikutnya masih ada kesempatan buat kita, kuharap rumah dengan sunroom dan bunga lilac bakal jadi bukti yang cukup untuk nunjukkin semua yang kususun buat kita. Kalau nanti di tahun-tahun berikutnya masih ada waktu buat kita, kuharap aku bakal terus bisa nulis surat ini ke kamu tiap tahunnya.

Ageeta Meraki, cantiknya Baskara, terima kasih

“Muka kamu kenapa?” Itu suara Papa, seluruh tubuh Anindia menegang kala suara berat itu menyapanya saat baru hendak mendudukkan diri di mobil.

Dia baru saja menangis, kemungkinan sisa sembab masih menjejak di wajah padahal Anin sudah memastikan dia mencuci muka dan menutup bengkak di bawah matanya dengan benar. Dia bahkan dengan sengaja menggunakan masker dan menunduk, tak ingin Papa menyadari raut murung sama sekali tak bisa lepas dari sana.

“Anindia, liat Papa.”

Ini buruk, sebab suara lelaki setengah baya itu mulai mengeras. Anin dengan ragu menolehkan kepalanya ke arah Papa, rahang lelaki itu mengetat ketika menangkap betapa kacau wajah mungil di hadapannya ini.

Rasanya, segenap hatinya ikut hancur ketika melihat iris bulat milik Anin mengarah padanya sendu. Rasanya, semesta menghantamkan seluruh isi dunia ke arahnya kala memandang bagaimana binar di manik kembar itu menghilang entah kemana alamatnya.

Tanpa kata, Papa melepas sabuk pengaman yang sebelumnya terpasang rapi. Lelaki itu maju lalu merangkum Anin dalam dekapan. Membiarkan tubuh kecil di dalam pelukannya itu perlahan luruh, melepas getar hebat yang kemudian berkuasa di seluruh badan.

Tidak, tidak akan ada kata “Kenapa?” yang dia lemparkan. Tidak akan ada.

Sebab bahkan tanpa Anindia beritahu pun, nama Jeandra sudah terpaku terlampau kuat di benak. Bahkan saat suara tangis serak milik Anin memenuhi seluruh mobil, lelaki setengah abad itu hanya mengeratkan peluk dan menggerakkan tangan menuju surai lembut sang puteri, mengelus di sana seolah memintanya menumpahkan segala kesah.

Saat Anindia hanya mampu berkata lewat tangis lirih, dia paham kalau ada yang luruh dari sosok mungil yang paling dia jaga itu. Saat bibir tipis yang dulu selalu dia jawil gemas itu hanya bisa mengadu lewat erangan menyakitkan, dia paham kalau hari itu, Anindia telah runtuh.

“Halo—”

“Je, aku tadi baru mau nelpon Aksa. Matiin dulu ya? Nanti kuhubungin lagi kalau udah ngobrol sama dia.

“Anin, denger dulu.”

“Nanti kutanya dulu soal keadaan Karin yang sebenernya gimana, biar kamu bisa pulang—

“Aksa bakal jawab sama kayak yang aku bilang tadi, Sayang. Aku tadi ketemu Aksa dan dia jelasin itu.”

“Kamu salah orang, kan? Mungkin yang tadi jelasin ke kamu itu anak baru, wajar kalau mereka salah ngasih informasi, mereka masih baru. Udah dulu ya, aku mau nelpon Aksa dulu biar kamu bisa pulang.

“Aku ngga akan pulang.”

“Kamu... apa?”

“Aku ngga bisa pulang, someone is fighting for her life inside, she needs me.

“Je...”

“Anindia, kamu dokter. Harusnya urusan begini kamu lebih paham daripada aku. Tapi kenapa yang kali ini ngga?”

“Karena ini Karin!”

“Oke, tahan. You don't have to raise your voice, Baby, relax.

“Karin bisa aja bohong lagi. Kalau dia ternyata cuma pura-pura kecelakaan lagi, aku bener-bener ngga habis pikir.”

“Wow-wow, hold on. Karin beneran kecelakaan, oke?”

“Darimana kamu yakin?”

“Kubilang tadi, Aksara yang kasih tau. Jadi percuma kalau kamu telpon dia sekarang, jawabannya bakal persis.”

“Jeandra, ini Karin. Dia bisa lakuin banyak hal.”

“Kamu ini sebenernya kenapa?”

“Aku cuma takut...”

“Ngga perlu takut, Karin bener-bener kecelakaan. Udah dulu ya?”

“Je, tolong pastiin dulu. Karin itu manipulatif, dia bisa aja—”

“Cukup, you're being too much.”

“Je—”

“Udah, end of convo. Gotta be there for her.

“Bisa ngga sekali aja kamu dahuluin aku daripada dia?”

“Anindia, udah.”

“Sekali aja, bisa ngga?”

“Aku ngga mau debat soal ini, oke? Udah ya.”

“You just never choose me over her, that sucks.”

“Anin—”

“What did that little whore do to you?”

“ANINDIA.”

“Denger, Karin lagi sekarat di dalam dan bisa-bisanya kamu ngomong begini? Nyawa dia hampir melayang, aku ngga tau kamu kenapa sampai bisa mikir begitu. End of this, don't talk to me, sampai kamu sadar kesalahan kamu hari ini apa.”

Jeandra sudah memastikan kalau dirinya benar-benar aman dari jangkauan Aksara. Lelaki berdarah Kanada itu kemungkinan besar tidak akan menyadari kehadirannya yang tengah menyembunyikan diri di salah satu bilik toilet yang terletak di ujung koridor rumah sakit. Napasnya memburu, tapi dia tahan sebisa mungkin. Segala hal akan kacau kalau sampai Aksara menemukannya berada di tempat ini, amat kacau sampai Jean sendiri enggan menerka-nerka bayangannya di kepala.

Di tengah kegelisahannya yang sedang sibuk menyembunyikan diri dengan apik, wajah bingung milik Anindia tiba-tiba menerobos pikiran. Raut cemas dan penuh rasa penasaran di wajah cantik itu masih bisa Jean ingat dengan jelas, membuat rasa bersalah seketika menyeruak ke dalam dada, membawa rasa tidak nyaman ke sekujur tubuh tegapnya.

Jean meringis, merutuki ketidakberdayaannya. Sebab bahkan di situasi paling genting sekalipun, Anin bahkan tidak pernah pergi dari celah otaknya. Anindia terlalu mendominasi, sampai Jeandra kebingungan sebab posisi itu benar-benar tak terbantahkan.

Mungkin setelah urusan dengan Karin selesai, Jean harus segera pulang dan membawa tubuh mungil Anin ke dalam rengkuhannya. Semoga.

Sudah hampir lima menit, Jean pada akhirnya memutuskan untuk keluar dari bilik toilet. Udara mulai menipis dan dia butuh menghirup angin segar dari luar. Posisi tubuhnya membelakangi pintu masuk, sehingga ketika tubuh tingginya memutar dan menghadap ke depan, lelaki itu dibuat terpaku, diam di tempat tanpa perlawanan.

Di sana, tak jauh di tempatnya hendak keluar, lelaki bernama Aksara Restupati tengah berdiri dengan kedua tangan menyilang di depan dada. Kedua mata rusa milik Aksa menyorot dingin, seakan siap membelah Jean menjadi beberapa bagian dalam sekejap mata.

Trying to hide, huh?” Aksa tertawa mengejek. Langkah tegapnya membawa kedua kaki jenjang itu maju mendekat ke arah Jean yang mematung, meski dengan perbedaan tinggi yang ada, Aksa tetap maju tanpa ragu. Mata coklat jernih itu memaku figur Jean dari dekat, mencoba mencari fitur mana yang berubah dari sosok itu setelah tiga tahun berlalu.

“Orang sesibuk lo ngga akan ada urusan di sini kalau bukan perkara penting,” sindirnya.

It's none of your business, excuse me.” Jean mencoba melangkah menjauh, tapi tubuhnya tertahan saat nama Karinina terlontar lantang begitu saja dari bibir tipis Aksara, membuat suaranya menggema di seluruh dinding toilet yang sepi.

“Kondisinya cukup stabil walaupun masih belum sadar, hasil benturan cukup keras di area kepala. Patah tulang bahu dan kaki kanan terkilir, juga ada beberapa luka di tubuh akibat terkena serpihan kaca. Luckily, pecahan kacanya ngga sampai menancap di area vital, she's 80% safe.

Mendengar itu, ada sebagian dari diri Jean yang seakan luruh. Bahunya sedikit merosot tanpa dia sadari. Napasnya jadi sedikit lebih teratur. Karin sudah melewati masa kritis, setidaknya itu kabar baik. Tapi mengingat dari mana sumber informasi itu didapat, Jean memicingkan mata.

“Gue rasa informasi itu ngga seharusnya dibawakan oleh lo, betul?”

Aksa terkekeh pelan. “As I guess, you're still super arrogant. Memang, harusnya bukan gue yang kasih tau hal itu. But still, gue dokter di sini dan gue tau persis perkembangan pasien, so why not?

Thanks, now let me leave.

Aksa mengangkat bahu acuh, kemudian menggeser tubuhnya sehingga Jean dapat melewati jalur kosong itu dan membawa dirinya menuju pintu.

That girl was so lucky,” ucap Aksa sebelum Jean sempat meraih gagang pintu toilet. Jean mengerutkan dahi, tubuhnya kembali memutar menghadap Aksa.

“Maksudnya?”

That girl was so lucky, dua orang laki-laki langsung lari kesetanan buat nyamperin dia sewaktu sampai di sini.”

Aksa melanjutkan, “Or should I call her your girl instead of that girl?

Jean mendengus sebal, merasa jengah dengan kalimat-kalimat Aksa yang menurutnya membuang waktu. “Berhenti ikut campur dalam urusan gue dan Karin. Lo bukan siapa-siapa.”

“Memang, tapi kayaknya masa lalu ngga izinin gue buat diem aja.”

Aksa melanjutkan, “Kenapa?”

“Apanya yang kenapa?”

“Kenapa lo selalu menghindar setiap ketemu gue?”

Telak, pertanyaan itu membuat Jean bungkam.

“Kita ketemu dua kali, tiga hari lalu di pom bensin dan hari ini. Lo bahkan sembunyi di sini demi ngga ketemu gue.”

“Gue ngga sembunyi.”

Then what?

Jean mendengus, “Told you, it's none of your business.

“Lo tau? Gue mungkin bakal diem aja kalau semuanya selesai di lo dan Karin. But your stupid ass brought Anindia inside and I don't think she deserves this.

Jean memicing tidak suka kala mendengar nama Anin disebut. Entah, tapi dia merasa kalau nada bicara Aksa melembut saat menyebut nama itu.

“Ini ngga ada hubungannya sama Anin, stop messing everything up.”

“Oh ya? Kalau memang benar begitu, gue kira lo ngga akan capek-capek sembunyi dari gue. Lo tau gue kenal Anin, jangan berusaha mengelak.”

Listen, Doc, gue di sini sebagai keluarga pasien dan gue rasa, ngga etis untuk seorang dokter bicara soal masalah pribadi pasien kayak gini. You're being too much, Aksara.”

Aksa tampak tidak terganggu, lelaki itu malah maju dan mendekati wastafel yang berada tak jauh dari sana, membuka keran air dan mencuci kedua tangannya dengan santai.

Well, technically, I'm not her doctor. Gue cuma tau informasi seputar perkembangan dia, dokter yang asli masih di dalam buat ngejahit beberapa luka. So yeah, I can do anything.

Cukup sudah, Jean sudah berada di puncak rasa muak. Lelaki tinggi itu memutar gagang pintu dengan kasar, dan melangkah keluar. Meninggalkan Aksara seorang diri di dalam sana dengan kekehan halus. Tangannya masih sibuk dengan air dan sabun cair yang dia gosokkan ke telapak tangan sambil sesekali melihat ke arah pintu.

You don't deserve any of them, Jeandra. Baik itu Anindia atau Karinina, you don't even deserve them.”

Jeandra sudah memastikan kalau dirinya benar-benar aman dari jangkauan Aksara. Lelaki berdarah Kanada itu kemungkinan besar tidak akan menyadari kehadirannya yang tengah menyembunyikan diri di salah satu bilik toilet yang terletak di ujung koridor rumah sakit. Napasnya memburu, tapi dia tahan sebisa mungkin. Segala hal akan kacau kalau sampai Aksara menemukannya berada di tempat ini, amat kacau sampai Jean sendiri enggan menerka-nerka bayangannya di kepala.

Di tengah kegelisahannya yang sedang sibuk menyembunyikan diri dengan apik, wajah bingung milik Anindia tiba-tiba menerobos pikiran. Raut cemas dan penuh rasa penasaran di wajah cantik itu masih bisa Jean ingat dengan jelas, membuat rasa bersalah seketika menyeruak ke dalam dada, membawa rasa tidak nyaman ke sekujur tubuh tegapnya.

Jean meringis, merutuki ketidakberdayaannya. Sebab bahkan di situasi paling genting sekalipun, Anin bahkan tidak pernah pergi dari celah otaknya. Anindia terlalu mendominasi, sampai Jeandra kebingungan sebab posisi itu benar-benar tak terbantahkan.

Mungkin setelah urusan dengan Karin selesai, Jean harus segera pulang dan membawa tubuh mungil Anin ke dalam rengkuhannya. Semoga.

Sudah hampir lima menit, Jean pada akhirnya memutuskan untuk keluar dari bilik toilet. Udara mulai menipis dan dia butuh menghirup angin segar dari luar. Posisi tubuhnya membelakangi pintu masuk, sehingga ketika tubuh tingginya memutar dan menghadap ke depan, lelaki itu dibuat terpaku, diam di tempat tanpa perlawanan.

Di sana, tak jauh di tempatnya hendak keluar, lelaki bernama Aksara Restupati tengah berdiri dengan kedua tangan menyilang di depan dada. Kedua mata rusa milik Aksa menyorot dingin, seakan siap membelah Jean menjadi beberapa bagian dalam sekejap mata.

Trying to hide, huh?” Aksa tertawa mengejek. Langkah tegapnya membawa kedua kaki jenjang itu maju mendekat ke arah Jean yang mematung, meski dengan perbedaan tinggi yang ada, Aksa tetap maju tanpa ragu. Mata coklat jernih itu memaku figur Jean dari dekat, mencoba mencari fitur mana yang berubah dari sosok itu setelah tiga tahun berlalu.

“Orang sesibuk lo ngga akan ada urusan di sini kalau bukan perkara penting,” sindirnya.

It's none of your business, excuse me.” Jean mencoba melangkah menjauh, tapi tubuhnya tertahan saat nama Karinina terlontar lantang begitu saja dari bibir tipis Aksara, membuat suaranya menggema di seluruh dinding toilet yang sepi.

“Kondisinya cukup stabil walaupun masih belum sadar, hasil benturan cukup keras di area kepala. Patah tulang bahu dan kaki kanan terkilir, juga ada beberapa luka di tubuh akibat terkena serpihan kaca. Luckily, pecahan kacanya ngga sampai menancap di area vital, she's 80% safe.

Mendengar itu, ada sebagian dari diri Jean yang seakan luruh. Bahunya sedikit merosot tanpa dia sadari. Napasnya jadi sedikit lebih teratur. Karin sudah melewati masa kritis, setidaknya itu kabar baik. Tapi mengingat dari mana sumber informasi itu didapat, Jean memicingkan mata.

“Gue rasa informasi itu ngga seharusnya dibawakan oleh lo, betul?”

Aksa terkekeh pelan. “As I guess, you're still super arrogant. Memang, harusnya bukan gue yang kasih tau hal itu. But still, gue dokter di sini dan gue tau persis perkembangan pasien, so why not?

Thanks, now let me leave.

Aksa mengangkat bahu acuh, kemudian menggeser tubuhnya sehingga Jean dapat melewati jalur kosong itu dan membawa dirinya menuju pintu.

That girl was so lucky,” ucap Aksa sebelum Jean sempat meraih gagang pintu toilet. Jean mengerutkan dahi, tubuhnya kembali memutar menghadap Aksa.

“Maksudnya?”

That girl was so lucky, dua orang laki-laki langsung lari kesetanan buat nyamperin dia sewaktu sampai di sini.”

Aksa melanjutkan, “*Or should I call her your girl instead of that girl?*”

Jean mendengus sebal, merasa jengah dengan kalimat-kalimat Aksa yang menurutnya membuang waktu. “Berhenti ikut campur dalam urusan gue dan Karin. Lo bukan siapa-siapa.”

“Memang, tapi kayaknya masa lalu ngga izinin gue buat diem aja.”

Aksa melanjutkan, “Kenapa?”

“Apanya yang kenapa?”

“Kenapa lo selalu menghindar setiap ketemu gue?”

Telak, pertanyaan itu membuat Jean bungkam.

“Kita ketemu dua kali, tiga hari lalu di pom bensin dan hari ini. Lo bahkan sembunyi di sini demi ngga ketemu gue.”

“Gue ngga sembunyi.”

Then what?

Jean mendengus, “Told you, it's none of your business.

“Lo tau? Gue mungkin bakal diem aja kalau semuanya selesai di lo dan Karin. But your stupid ass brought Anindia inside and I don't think she deserves this.

Jean memicing tidak suka kala mendengar nama Anin disebut. Entah, tapi dia merasa kalau nada bicara Aksa melembut saat menyebut nama itu.

“Ini ngga ada hubungannya sama Anin, stop messing everything up.”

“Oh ya? Kalau memang benar begitu, gue kira lo ngga akan capek-capek sembunyi dari gue. Lo tau gue kenal Anin, jangan berusaha mengelak.”

Listen, Doc, gue di sini sebagai keluarga pasien dan gue rasa, ngga etis untuk seorang dokter bicara soal masalah pribadi pasien kayak gini. You're being too much, Aksara.”

Aksa tampak tidak terganggu, lelaki itu malah maju dan mendekati wastafel yang berada tak jauh dari sana, membuka keran air dan mencuci kedua tangannya dengan santai.

Well, technically, I'm not her doctor. Gue cuma tau informasi seputar perkembangan dia, dokter yang asli masih di dalam buat ngejahit beberapa luka. So yeah, I can do anything.

Cukup sudah, Jean sudah berada di puncak rasa muak. Lelaki tinggi itu memutar gagang pintu dengan kasar, dan melangkah keluar. Meninggalkan Aksara seorang diri di dalam sana dengan kekehan halus. Tangannya masih sibuk dengan air dan sabun cair yang dia gosokkan ke telapak tangan sambil sesekali melihat ke arah pintu.

You don't deserve any of them, Jeandra. Baik itu Anindia atau Karinina, you don't even deserve them.”

Jeandra sudah memastikan kalau dirinya benar-benar aman dari jangkauan Aksara. Lelaki berdarah Kanada itu kemungkinan besar tidak akan menyadari kehadirannya yang tengah menyembunyikan diri di salah satu bilik toilet yang terletak di ujung koridor rumah sakit. Napasnya memburu, tapi dia tahan sebisa mungkin. Segala hal akan kacau kalau sampai Aksara menemukannya berada di tempat ini, amat kacau sampai Jean sendiri enggan menerka-nerka bayangannya di kepala.

Di tengah kegelisahannya yang sedang sibuk menyembunyikan diri dengan apik, wajah bingung milik Anindia tiba-tiba menerobos pikiran. Raut cemas dan penuh rasa penasaran di wajah cantik itu masih bisa Jean ingat dengan jelas, membuat rasa bersalah seketika menyeruak ke dalam dada, membawa rasa tidak nyaman ke sekujur tubuh tegapnya.

Jean meringis, merutuki ketidakberdayaannya. Sebab bahkan di situasi paling genting sekalipun, Anin bahkan tidak pernah pergi dari celah otaknya. Anindia terlalu mendominasi, sampai Jeandra kebingungan sebab posisi itu benar-benar tak terbantahkan.

Mungkin setelah urusan dengan Karin selesai, Jean harus segera pulang dan membawa tubuh mungil Anin ke dalam rengkuhannya. Semoga.

Sudah hampir lima menit, Jean pada akhirnya memutuskan untuk keluar dari bilik toilet. Udara mulai menipis dan dia butuh menghirup angin segar dari luar. Posisi tubuhnya membelakangi pintu masuk, sehingga ketika tubuh tingginya memutar dan menghadap ke depan, lelaki itu dibuat terpaku, diam di tempat tanpa perlawanan.

Di sana, tak jauh di tempatnya hendak keluar, lelaki bernama Aksara Restupati tengah berdiri dengan kedua tangan menyilang di depan dada. Kedua mata rusa milik Aksa menyorot dingin, seakan siap membelah Jean menjadi beberapa bagian dalam sekejap mata.

Trying to hide, huh?” Aksa tertawa mengejek. Langkah tegapnya membawa kedua kaki jenjang itu maju mendekat ke arah Jean yang mematung, meski dengan perbedaan tinggi yang ada, Aksa tetap maju tanpa ragu. Mata coklat jernih itu memaku figur Jean dari dekat, mencoba mencari fitur mana yang berubah dari sosok itu setelah tiga tahun berlalu.

“Orang sesibuk lo ngga akan ada urusan di sini kalau bukan perkara penting,” sindirnya.

It's none of your business, excuse me.” Jean mencoba melangkah menjauh, tapi tubuhnya tertahan saat nama Karinina terlontar lantang begitu saja dari bibir tipis Aksara, membuat suaranya menggema di seluruh dinding toilet yang sepi.

“Kondisinya cukup stabil walaupun masih belum sadar, hasil benturan cukup keras di area kepala. Patah tulang bahu dan kaki kanan terkilir, juga ada beberapa luka di tubuh akibat terkena serpihan kaca. Luckily, pecahan kacanya ngga sampai menancap di area vital, she's 80% safe.

Mendengar itu, ada sebagian dari diri Jean yang seakan luruh. Bahunya sedikit merosot tanpa dia sadari. Napasnya jadi sedikit lebih teratur. Karin sudah melewati masa kritis, setidaknya itu kabar baik. Tapi mengingat dari mana sumber informasi itu didapat, Jean memicingkan mata.

“Gue rasa informasi itu ngga seharusnya dibawakan oleh lo, betul?”

Aksa terkekeh pelan. “As I guess, you're still super arrogant. Memang, harusnya bukan gue yang kasih tau hal itu. But still, gue dokter di sini dan gue tau persis perkembangan pasien, so why not?

Thanks, now let me leave.

Aksa mengangkat bahu acuh, kemudian menggeser tubuhnya sehingga Jean dapat melewati jalur kosong itu dan membawa dirinya menuju pintu.

That girl was so lucky,” ucap Aksa sebelum Jean sempat meraih gagang pintu toilet. Jean mengerutkan dahi, tubuhnya kembali memutar menghadap Aksa.

“Maksudnya?”

That girl was so lucky, dua orang laki-laki langsung lari kesetanan buat nyamperin dia sewaktu sampai di sini.”

Aksa melanjutkan, “*Or should I call her your girl instead of that girl?*”

Jean mendengus sebal, merasa jengah dengan kalimat-kalimat Aksa yang menurutnya membuang waktu. “Berhenti ikut campur dalam urusan gue dan Karin. Lo bukan siapa-siapa.”

“Memang, tapi kayaknya masa lalu ngga izinin gue buat diem aja.”

Aksa melanjutkan, “Kenapa?”

“Apanya yang kenapa?”

“Kenapa lo selalu menghindar setiap ketemu gue?”

Telak, pertanyaan itu membuat Jean bungkam.

“Kita ketemu dua kali, tiga hari lalu di pom bensin dan hari ini. Lo bahkan sembunyi di sini demi ngga ketemu gue.”

“Gue ngga sembunyi.”

Then what?

Jean mendengus, “Told you, it's none of your business.

“Lo tau? Gue mungkin bakal diem aja kalau semuanya selesai di lo dan Karin. But your stupid ass brought Anindia inside and I don't think she deserves this.

Jean memicing tidak suka kala mendengar nama Anin disebut. Entah, tapi dia merasa kalau nada bicara Aksa melembut saat menyebut nama itu.

“Ini ngga ada hubungannya sama Anin, stop messing everything up.”

“Oh ya? Kalau memang benar begitu, gue kira lo ngga akan capek-capek sembunyi dari gue. Lo tau gue kenal Anin, jangan berusaha mengelak.”

Listen, Doc, gue di sini sebagai keluarga pasien dan gue rasa, ngga etis untuk seorang dokter bicara soal masalah pribadi pasien kayak gini. You're being too much, Aksara.”

Aksa tampak tidak terganggu, lelaki itu malah maju dan mendekati wastafel yang berada tak jauh dari sana, membuka keran air dan mencuci kedua tangannya dengan santai.

Well, technically, I'm not her doctor. Gue cuma tau informasi seputar perkembangan dia, dokter yang asli masih di dalam buat ngejahit beberapa luka. So yeah, I can do anything.

Cukup sudah, Jean sudah berada di puncak rasa muak. Lelaki tinggi itu memutar gagang pintu dengan kasar, dan melangkah keluar. Meninggalkan Aksara seorang diri di dalam sana dengan kekehan halus. Tangannya masih sibuk dengan air dan sabun cair yang dia gosokkan ke telapak tangan sambil sesekali melihat ke arah pintu.

You don't deserve any of them, Jeandra. Baik itu Anindia atau Karinina, you don't even deserve them.”

Jeandra sudah memastikan kalau dirinya benar-benar aman dari jangkauan Aksara. Lelaki berdarah Kanada itu kemungkinan besar tidak akan menyadari kehadirannya yang tengah menyembunyikan diri di salah satu bilik toilet yang terletak di ujung koridor rumah sakit. Napasnya memburu, tapi dia tahan sebisa mungkin. Segala hal akan kacau kalau sampai Aksara menemukannya berada di tempat ini, amat kacau sampai Jean sendiri enggan menerka-nerka bayangannya di kepala.

Di tengah kegelisahannya yang sedang sibuk menyembunyikan diri dengan apik, wajah bingung milik Anindia tiba-tiba menerobos pikiran. Raut cemas dan penuh rasa penasaran di wajah cantik itu masih bisa Jean ingat dengan jelas, membuat rasa bersalah seketika menyeruak ke dalam dada, membawa rasa tidak nyaman ke sekujur tubuh tegapnya.

Jean meringis, merutuki ketidakberdayaannya. Sebab bahkan di situasi paling genting sekalipun, Anin bahkan tidak pernah pergi dari celah otaknya. Anindia terlalu mendominasi, sampai Jeandra kebingungan sebab posisi itu benar-benar tak terbantahkan.

Mungkin setelah urusan dengan Karin selesai, Jean harus segera pulang dan membawa tubuh mungil Anin ke dalam rengkuhannya. Semoga.

Sudah hampir lima menit, Jean pada akhirnya memutuskan untuk keluar dari bilik toilet. Udara mulai menipis dan dia butuh menghirup angin segar dari luar. Posisi tubuhnya membelakangi pintu masuk, sehingga ketika tubuh tingginya memutar dan menghadap ke depan, lelaki itu dibuat terpaku, diam di tempat tanpa perlawanan.

Di sana, tak jauh di tempatnya hendak keluar, lelaki bernama Aksara Restupati tengah berdiri dengan kedua tangan menyilang di depan dada. Kedua mata rusa milik Aksa menyorot dingin, seakan siap membelah Jean menjadi beberapa bagian dalam sekejap mata.

Trying to hide, huh?” Aksa tertawa mengejek. Langkah tegapnya membawa kedua kaki jenjang itu maju mendekat ke arah Jean yang mematung, meski dengan perbedaan tinggi yang ada, Aksa tetap maju tanpa ragu. Mata coklat jernih itu memaku figur Jean dari dekat, mencoba mencari fitur mana yang berubah dari sosok itu setelah tiga tahun berlalu.

“Orang sesibuk lo ngga akan ada urusan di sini kalau bukan perkara penting,” sindirnya.

It's none of your business, excuse me.” Jean mencoba melangkah menjauh, tapi tubuhnya tertahan saat nama Karinina terlontar lantang begitu saja dari bibir tipis Aksara, membuat suaranya menggema di seluruh dinding toilet yang sepi.

“Kondisinya cukup stabil walaupun masih belum sadar, hasil benturan cukup keras di area kepala. Patah tulang bahu dan kaki kanan terkilir, juga ada beberapa luka di tubuh akibat terkena serpihan kaca. Luckily, pecahan kacanya ngga sampai menancap di area vital, she's 80% safe.

Mendengar itu, ada sebagian dari diri Jean yang seakan luruh. Bahunya sedikit merosot tanpa dia sadari. Napasnya jadi sedikit lebih teratur. Karin sudah melewati masa kritis, setidaknya itu kabar baik. Tapi mengingat dari mana sumber informasi itu didapat, Jean memicingkan mata.

“Gue rasa informasi itu ngga seharusnya dibawakan oleh lo, betul?”

Aksa terkekeh pelan. “As I guess, you're still super arrogant. Memang, harusnya bukan gue yang kasih tau hal itu. But still, gue dokter di sini dan gue tau persis perkembangan pasien, so why not?

Thanks, now let me leave.

Aksa mengangkat bahu acuh, kemudian menggeser tubuhnya sehingga Jean dapat melewati jalur kosong itu dan membawa dirinya menuju pintu.

That girl was so lucky,” ucap Aksa sebelum Jean sempat meraih gagang pintu toilet. Jean mengerutkan dahi, tubuhnya kembali memutar menghadap Aksa.

“Maksudnya?”

That girl was so lucky, dua orang laki-laki langsung lari kesetanan buat nyamperin dia sewaktu sampai di sini.”

Aksa melanjutkan, “*Or should I call her your girl instead of that girl?*”

Jean mendengus sebal, merasa jengah dengan kalimat-kalimat Aksa yang menurutnya membuang waktu. “Berhenti ikut campur dalam urusan gue dan Karin. Lo bukan siapa-siapa.”

“Memang, tapi kayaknya masa lalu ngga izinin gue buat diem aja.”

Aksa melanjutkan, “Kenapa?”

“Apanya yang kenapa?”

“Kenapa lo selalu menghindar setiap ketemu gue?”

Telak, pertanyaan itu membuat Jean bungkam.

“Kita ketemu dua kali, tiga hari lalu di pom bensin dan hari ini. Lo bahkan sembunyi di sini demi ngga ketemu gue.”

“Gue ngga sembunyi.”

Then what?

Jean mendengus, “Told you, it's none of your business.

“Lo tau? Gue mungkin bakal diem aja kalau semuanya selesai di lo dan Karin. But your stupid ass brought Anindia inside and I don't think she deserves this.

Jean memicing tidak suka kala mendengar nama Anin disebut. Entah, tapi dia merasa kalau nada bicara Aksa melembut saat menyebut nama itu.

“Ini ngga ada hubungannya sama Anin, stop messing everything up.”

“Oh ya? Kalau memang benar begitu, gue kira lo ngga akan capek-capek sembunyi dari gue. Lo tau gue kenal Anin, jangan berusaha mengelak.”

Listen, Doc, gue di sini sebagai keluarga pasien dan gue rasa, ngga etis untuk seorang dokter bicara soal masalah pribadi pasien kayak gini. You're being too much, Aksara.”

Aksa tampak tidak terganggu, lelaki itu malah maju dan mendekati wastafel yang berada tak jauh dari sana, membuka keran air dan mencuci kedua tangannya dengan santai.

Well, technically, I'm not her doctor. Gue cuma tau informasi seputar perkembangan dia, dokter yang asli masih di dalam buat ngejahit beberapa luka. So yeah, I can do anything.

Cukup sudah, Jean sudah berada di puncak rasa muak. Lelaki tinggi itu memutar gagang pintu dengan kasar, dan melangkah keluar. Meninggalkan Aksara seorang diri di dalam sana dengan kekehan halus. Tangannya masih sibuk dengan air dan sabun cair yang dia gosokkan ke telapak tangan sambil sesekali melihat ke arah pintu.

You don't deserve any of them, Jeandra. Baik itu Anindia atau Karinina, you don't even deserve them.”

Jeandra sudah memastikan kalau dirinya benar-benar aman dari jangkauan Aksara. Lelaki berdarah Kanada itu kemungkinan besar tidak akan menyadari kehadirannya yang tengah menyembunyikan diri di salah satu bilik toilet yang terletak di ujung koridor rumah sakit. Napasnya memburu, tapi dia tahan sebisa mungkin. Segala hal akan kacau kalau sampai Aksara menemukannya berada di tempat ini, amat kacau sampai Jean sendiri enggan menerka-nerka bayangannya di kepala.

Di tengah kegelisahannya yang sedang sibuk menyembunyikan diri dengan apik, wajah bingung milik Anindia tiba-tiba menerobos pikiran. Raut cemas dan penuh rasa penasaran di wajah cantik itu masih bisa Jean ingat dengan jelas, membuat rasa bersalah seketika menyeruak ke dalam dada, membawa rasa tidak nyaman ke sekujur tubuh tegapnya.

Jean meringis, merutuki ketidakberdayaannya. Sebab bahkan di situasi paling genting sekalipun, Anin bahkan tidak pernah pergi dari celah otaknya. Anindia terlalu mendominasi, sampai Jeandra kebingungan sebab posisi itu benar-benar tak terbantahkan.

Mungkin setelah urusan dengan Karin selesai, Jean harus segera pulang dan membawa tubuh mungil Anin ke dalam rengkuhannya. Semoga.

Sudah hampir lima menit, Jean pada akhirnya memutuskan untuk keluar dari bilik toilet. Udara mulai menipis dan dia butuh menghirup angin segar dari luar. Posisi tubuhnya membelakangi pintu masuk, sehingga ketika tubuh tingginya memutar dan menghadap ke depan, lelaki itu dibuat terpaku, diam di tempat tanpa perlawanan.

Di sana, tak jauh di tempatnya hendak keluar, lelaki bernama Aksara Restupati tengah berdiri dengan kedua tangan menyilang di depan dada. Kedua mata rusa milik Aksa menyorot dingin, seakan siap membelah Jean menjadi beberapa bagian dalam sekejap mata.

Trying to hide, huh?” Aksa tertawa mengejek. Langkah tegapnya membawa kedua kaki jenjang itu maju mendekat ke arah Jean yang mematung, meski dengan perbedaan tinggi yang ada, Aksa tetap maju tanpa ragu. Mata coklat jernih itu memaku figur Jean dari dekat, mencoba mencari fitur mana yang berubah dari sosok itu setelah tiga tahun berlalu.

“Orang sesibuk lo ngga akan ada urusan di sini kalau bukan perkara penting,” sindirnya.

It's none of your business, excuse me.” Jean mencoba melangkah menjauh, tapi tubuhnya tertahan saat nama Karinina terlontar lantang begitu saja dari bibir tipis Aksara, membuat suaranya menggema di seluruh dinding toilet yang sepi.

“Kondisinya cukup stabil walaupun masih belum sadar, hasil benturan cukup keras di area kepala. Patah tulang bahu dan kaki kanan terkilir, juga ada beberapa luka di tubuh akibat terkena serpihan kaca. Luckily, pecahan kacanya ngga sampai menancap di area vital, she's 80% safe.

Mendengar itu, ada sebagian dari diri Jean yang seakan luruh. Bahunya sedikit merosot tanpa dia sadari. Napasnya jadi sedikit lebih teratur. Karin sudah melewati masa kritis, setidaknya itu kabar baik. Tapi mengingat dari mana sumber informasi itu didapat, Jean memicingkan mata.

“Gue rasa informasi itu ngga seharusnya dibawakan oleh lo, betul?”

Aksa terkekeh pelan. “As I guess, you're still super arrogant. Memang, harusnya bukan gue yang kasih tau hal itu. But still, gue dokter di sini dan gue tau persis perkembangan pasien, so why not?

Thanks, now let me leave.

Aksa mengangkat bahu acuh, kemudian menggeser tubuhnya sehingga Jean dapat melewati jalur kosong itu dan membawa dirinya menuju pintu.

That girl was so lucky,” ucap Aksa sebelum Jean sempat meraih gagang pintu toilet. Jean mengerutkan dahi, tubuhnya kembali memutar menghadap Aksa.

“Maksudnya?”

That girl was so lucky, dua orang laki-laki langsung lari kesetanan buat nyamperin dia sewaktu sampai di sini.”

Aksa melanjutkan, “*Or should I call her your girl instead of that girl?*”

Jean mendengus sebal, merasa jengah dengan kalimat-kalimat Aksa yang menurutnya membuang waktu. “Berhenti ikut campur dalam urusan gue dan Karin. Lo bukan siapa-siapa.”

“Memang, tapi kayaknya masa lalu ngga izinin gue buat diem aja.”

Aksa melanjutkan, “Kenapa?”

“Apanya yang kenapa?”

“Kenapa lo selalu menghindar setiap ketemu gue?”

Telak, pertanyaan itu membuat Jean bungkam.

“Kita ketemu dua kali, tiga hari lalu di pom bensin dan hari ini. Lo bahkan sembunyi di sini demi ngga ketemu gue.”

“Gue ngga sembunyi.”

Then what?

Jean mendengus, “Told you, it's none of your business.

“Lo tau? Gue mungkin bakal diem aja kalau semuanya selesai di lo dan Karin. But your stupid ass brought Anindia inside and I don't think she deserves this.

Jean memicing tidak suka kala mendengar nama Anin disebut. Entah, tapi dia merasa kalau nada bicara Aksa melembut saat menyebut nama itu.

“Ini ngga ada hubungannya sama Anin, stop messing everything up.

“Oh ya? Kalau memang benar begitu, gue kira lo ngga akan capek-capek sembunyi dari gue. Lo tau gue kenal Anin, jangan berusaha mengelak.”

Listen, Doc, gue di sini sebagai keluarga pasien dan gue rasa, ngga etis untuk seorang dokter bicara soal masalah pribadi pasien kayak gini. You're being too much, Aksara.”

Aksa tampak tidak terganggu, lelaki itu malah maju dan mendekati wastafel yang berada tak jauh dari sana, membuka keran air dan mencuci kedua tangannya dengan santai.

Well, technically, I'm not her doctor. Gue cuma tau informasi seputar perkembangan dia, dokter yang asli masih di dalam buat ngejahit beberapa luka. So yeah, I can do anything.

Cukup sudah, Jean sudah berada di puncak rasa muak. Lelaki tinggi itu memutar gagang pintu dengan kasar, dan melangkah keluar. Meninggalkan Aksara seorang diri di dalam sana dengan kekehan halus. Tangannya masih sibuk dengan air dan sabun cair yang dia gosokkan ke telapak tangan sambil sesekali melihat ke arah pintu.

You don't deserve any of them, Jeandra. Baik itu Anindia atau Karinina, you don't even deserve them.”

Halo, ini Anindia.

Harusnya pagi ini saya sudah bertolak ke rumah sakit, berjaga di ruangan dan menunggu lampu emergency di dekat pintu keluar-masuk berubah warna menjadi merah sebagai tanda kalau tugas saya dimulai. Tapi ternyata setelah semalam untuk pertama kalinya Jeandra membawakan sesuatu yang tidak pernah saya duga, saya bahkan tidak sanggup berjalan.

Katanya, tidak apa-apa kalau sekali kesempatan saya absen dari rutinitas itu. Saya menurut, karena sejujurnya saya memang butuh istirahat dari rumah sakit dan tetek bengeknya.

Mengingat rumah sakit dan pekerjaan, saya terpikir sesuatu. Saya ini dokter, saya sudah lihat banyak kisah lebih dari sebagian orang. Saya ini dokter, saya sudah sering melihat banyak jenis wajah cemas, yang betul-betul cemas sampai memucat atau yang hanya sekedar penasaran soal keadaan pasien.

Ada banyak yang sudah saya lihat, mereka semua kekal dalam ingatan di kepala. Kadang membuat saya tersiksa, sebab saya jadi lebih peka dan sensitif pada keadaan sampai kadang harus pura-pura tidak peduli. Hasilnya tidak selalu bagus, saya kadang harus ikut terbebani kala mengingat raut-raut cemas yang saya tangkap melalui mata.

Saya menulis ini sewaktu mendengar ponsel milik suami saya berdering, bunyinya memekakkan telinga. Sungguhan masuk ke dalam rungu saya saat sebetulnya hening tengah menyelimuti di antara dekapan saya dan Jean.

Saya mulai menulis ini sewaktu nama Hema terlantun dari bibir tipis Jean, bibir yang semalam membuat saya melayang sampai ke bumbungan teratas bumi. Jemari saya mulai mengetik satu persatu kata ini ketika melihat air muka Jeandra berubah panik.

Sepanik waktu dulu dia mendengar saya terluka.

Saya kurang paham apa yang terjadi, tapi setelah Jean bangkit dan meninggalkan saya sendirian di dalam kamar, saya sadar situasinya mulai berbeda.

Tolong, jangan lagi. Pikir saya sendiri.

Jean bergerak cepat mengambil kemeja kusut berwarna hitam yang tergeletak lunglai di ujung tempat tidur, lelaki itu bahkan sama sekali tidak punya waktu untuk sekedar melirik atau mengucap kata pamit pada saya. Sama sekali. Sampai akhirnya saya mendengar suara pintu tertutup rapat, cukup menggelegar sampai saya terlonjak, padahal saya sudah menebak sedari awal kalau bantingan pintu itu akan menghasilkan suara keras.

Saya hanya paham sampai sana, otak saya menolak untuk menebak lebih lanjut.

Padahal baru beberapa menit lalu kehangatan mengungkung saya. Padahal baru beberapa menit lalu Jeandra bilang enggan bangkit dari sana karena saya masih belum mampu berjalan. Padahal, bahkan tak sampai satu menit lalu lelaki itu bilang akan tetap berada di rumah sampai sore.

Saya menolak paham, tidak mau berpikiran menyimpang soal alasan suami saya terburu-buru meninggalkan kamar.

Saya... takut kalau alasannya adalah Karin.

Saya terlalu takut.

Saya ini penakut, terutama soal Jean dan semua hal tentang lelaki itu. Saya masih berusaha mengurung prasangka kalau saya ditinggal karena urusan pekerjaan. Saya masih berkeras diri kalau Jean akan menghubungi saya segera, memberi pesan dan menjelaskan kenapa dia pergi terburu-buru.

Kami baru saja memulai, kan?

Iya, kami baru memulai beberapa hari lalu. Jean tidak mungkin membuat saya kacau lagi, kan?

Tapi sepertinya, ketakutan saya terjadi lagi. Ponsel saya bergetar dan nama Hema muncul di sana. Saya ragu untuk membuka, tapi sepertinya saya harus. Sebab nama Hema terus-terusan muncul di layar, seakan memaksa saya untuk mengintip ke dalam.

Hema Anin, gue tau lo ngga suka denger ini. Tapi Jean lagi nyusul Karin, taksinya ketabrak truk pengangkut barang dan sekarang kondisinya kritis.

Tolong, jangan lagi. Saya menggumamkan itu berkali-kali tapi tidak ada yang terjadi. Pesan itu masih di sana, isinya juga masih sama.

Saya sudah bilang sebelumnya, kan? Saya ini dokter, saya sudah lihat banyak raut khawatir dari orang-orang yang menunggu kabar dari sosok yang disebut pasien. Saya ini dokter, dan sebagai dokter, saya tahu kalau raut cemas Jeandra memang betul-betul datang dari bagian terdalam di diri lelaki itu.

Saya ini dokter dan saya paham dalam sekali tatap, kalau suami saya betulan khawatir pada sosok lain di luar sana.

Kadang, inilah yang membuat saya benci pada fakta kalau setelah jadi dokter, saya menjadi lebih peka terhadap situasi. Saya benci pada fakta kalau otak saya paham jika Jean sedang khawatir.

Saya benci fakta kalau pada akhirnya, saya ditinggalkan karena sosok yang sama.

Detik itu, saya memutuskan untuk berhenti menulis surat ini.