writer.as/lalalafindyou

TW // Mention of blood

Aksa tidak pernah tahu kalau melihat seseorang dibalut oleh jas putih khas dokter adalah sesuatu yang amat menggemaskan. Aksa menggigit bibir bawahnya ketat, berusaha sekuat tenaga agar tidak mengembangkan senyum gemas kala melihat bagaimana tubuh mungil Anindia tenggelam dibalik pelukan jas miliknya.

Aksa punya bahu yang lebar, jas yang biasa dia pakai untuk bertugas di rumah sakit biasanya akan sangat pas membalut lekuk tubuhnya yang berotot. Tapi saat Anin memakai benda itu, tubuh wanita itu tampak semakin tergulung oleh panjangnya lengan jas Aksa.

“Kenapa tiba-tiba pengen pakai jas ini?” Aksa bertanya tanpa menolehkan kepalanya ke arah Anin, takut dirinya tidak tahan dan refleks mendaratkan usapan gemas di kepala Anin.

Anin mengangkat pandangan, mata bulatnya mengerjap berkali-kali. Hal itu tertangkap pandangan Aksa melalui kaca dashboard di hadapannya, dan lelaki itu bersumpah kalau pemandangan itu membuatnya mengumpat kencang dalam hati.

“Kangen suasana rumah sakit, kalau begini jadi kesampaian walaupun sedikit,” jawab Anin. Suaranya mencicit layaknya anak burung dalam sangkar, malu sebab takut Aksa akan menganggap keinginannya adalah hal yang aneh.

“Aneh banget ya?” Anin mendesis pelan, kemudian membuang pandangannya ke arah jendela, menghindari kekehan halus Aksa yang diiringi dengan gelengan pelan.

“Ngga aneh, sama sekali ngga aneh. Wajar kamu kangen, kamu dokter. Ditambah, mungkin bawaan pregnancy jadinya begitu.”

Anin mengangguk pelan sebagai balasan. Aksa kembali fokus pada kemudi di genggamannya.

“Tadi saya ketemu Jeandra di depan.” Aksa kembali membuka topik.

Anin diam menunggu kalimat Aksa berlanjut sebab nada suaranya menggantung.

“Mukanya kayak mau mukul saya, tapi dia diem aja.”

Anin tetap diam. Karena sejujurnya dia sendiri tidak punya ide apapun yang bisa dijadikan balasan atas kalimat yang keluar dari bibir Aksara.

“Dia tau soal kehamilan kamu?” tanya Aksa, suaranya terdengar berhati-hati, sebab paham kalau pembahasan seputar kehamilan mungkin amat sensitif bagi Anin.

Anin menggeleng pelan, kepalanya tertunduk dalam. “Belum, Jean belum tau.”

“Jangan bilang kalau kamu ngga berniat kasih tau dia?”

Anin menimbang jawaban di dalam kepalanya sendiri. Dia ragu, namun tetap berusaha menjawab pertanyaan Aksa.

“Saya belum tau, ngasih tau Jean soal kehamilan saya ngga terdengar seperti ide yang bagus. Tapi mau bagaimanapun, ini darah dagingnya Jean.”

Tapi mau bagaimanapun, ini darah dagingnya Jean. Ada denyut sakit yang tidak nyaman menyerbu dada Anin kala kalimat itu lolos dari bibir tipisnya. Anin menelan ludah susah payah, tenggorokannya terasa kering tiap kali pembahasan soal bayinya dan Jean disebut dalam percakapan dengan siapapun.

Aksa tidak memberi tanggapan. Lelaki itu sibuk dengan isi kepalanya sendiri. Hingga bermenit-menit kemudian, hening menjadi penguasa. Suara kendaraan di sekitar mereka menjadi latar satu-satunya, membawa Anin tenggelam menyelami runtut kejadian yang menimpanya beberapa minggu belakangan ini. Refleks, Anin memegang perutnya sendiri dan mengelus di sana dengan kedua mata terpejam.

“Udah sampai, ayo turun.”

Anin tersentak, kepalanya terangkat demi menemukan sebuah bangunan cukup luas yang dia tahu adalah salah satu kedai es krim paling laris di pusat kota. Sontak, Anin tersenyum lebar.

Tanpa menunggu Aksa, Anin bergerak melepas seatbelt miliknya dan turun dari mobil, kakinya berlari-lari kecil sampai Aksara harus sedikit berteriak agar tubuh kecil itu tidak berlari terburu-buru dan berakhir jatuh.

Mereka sampai di dalam bangunan, Anin mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tatapan takjub tak lepas dari kedua netra bulatnya.

I'll have the order for us, two cones of strawberry flavor with choco chips and wafer, one plain cone of vanilla. Am I right?

Anin mengangguk semangat, dan Aksara tidak lagi dapat menahan dirinya untuk mendaratkan tangan kanan di atas kepala cantik di depannya itu dan membuat gerakan mengacak pelan rambut Anindia.

“Oke, tunggu dulu di sini.”

Aksa melangkah menjauh, sedangkan Anin kembali melihat sekeliling interior bangunan. Matanya menangkap beberapa pengunjung yang berlalu-lalang di depan pintu, beberapa lagi sedang asyik bercengkrama dengan sesama, sisanya makan dalam hening. Oh, Anin belum melepas jas putih milik Aksa. Dia masih belum puas mengobati rindu pada benda yang dulu jadi kebanggaannya itu.

Sampai kemudian, Anin tersentak oleh teriakan melengking dari arah timur bangunan. Matanya dengan waspada mengawasi, sebelum kemudian menemukan beberapa orang tengah berkerumun mengelilingi sosok tubuh yang terbaring mengenaskan di lantai.

Seorang wanita, terlihat seumuran dengannya, tengah mengerang penuh kesakitan dengan tubuh terbaring di lantai. Perut wanita itu membuncit, dan dalam sekali pandang, Anin paham kalau wanita itu tengah berbadan dua, sama sepertinya.

Anin sontak bangkit dari tempat duduknya, kemudian berlari menghampiri kerumunan yang semakin ramai. Darah berceceran di lantai, membuat insting dokter yang Anin punya langsung mengambil alih. Dia gulung lengan jas putih Aksara hingga sebatas siku, kemudian berjongkok dan memeriksa denyut nadi wanita di depannya.

Tangan penuh darah wanita itu mencengkram tangan Anin, membuat noda merah pekat ikut menyebar pada permukaan kulit Anin yang bersih.

Wanita itu menggumam kurang jelas, Anin sampai harus berkali-kali menepuk wajah di depannya itu untuk memastikan kalau wanita itu masih siuman.

Ma'am, can you hear me?” Anin bertanya pelan, berusaha tenang agar kepanikan tidak menjalar pada sosok di hadapannya dan membuat segalanya jadi makin kacau.

Sosok itu membuka mata, kemudian dengan tatapan memohon menggenggam tangan Anin dan berusaha bicara. “My water broke just now, please. Saya butuh rumah sakit sekarang.”

Anin mengangguk. Kemudian memberi instruksi kepada salah satu pegawai kedai yang berada tak jauh darinya untuk memanggil bantuan ambulans.

Did you come here by yourself, Ma'am?” Anin kembali bertanya dengan suara tenang.

Wanita itu mengangguk, namun kepanikan menjalar di seluruh pupil matanya.

“Saya butuh kontak salah satu keluarga yang bisa dihubungi, takut terjadi sesuatu baik di perjalanan atau di rumah sakit nanti. Where's your husband?

Kepanikan semakin menjadi, wanita itu menggeleng ribut. Anin mengerutkan keningnya bingung, namun ketika pandangannya turun ke arah paha milik si wanita yang tersingkap, dia bungkam.

Tangis semakin menjadi ketika si wanita sadar kemana arah pandangan Anin.

“Jangan telpon siapa-siapa, please. Let me fight this baby by my self, saya bisa sendiri.”

Anin terpaksa mengangguk. Dia hendak kembali membuka mulutnya untuk mengudarakan kalimat lainnya, namun suara Aksara yang berteriak memanggilnya dengan panik membuat Anin mengurungkan niat.

“Astaga, Anindia.” Aksa terlihat panik, suaranya meninggi.

Lelaki itu lalu menarik tubuh Anin pelan, menjauhi kerumunan.

Wait, Aksa. Ada yang aneh dari badan cewek itu, saya mau liat sebentar.”

Aksa menggeleng tegas. “Orang-orang berdesakan buat liat dia, salah dikit kamu kedorong sana-sini dan akhirnya jatuh. Tunggu di sini, biar saya yang urus.”

Anin menggeleng. “Saya ikut.”

Aksa menggeleng lebih keras. “Stay here.” Kalimatnya tegas, dan anehnya Anin merasa kalau dia tidak dapat memberi bantahan.

Aksa melangkahkan kaki mendekati kerumunan, namun langkahnya tertahan oleh Anin yang meraih tangannya.

“Di pahanya ada memar. Dia ngga mau ditelponin siapapun termasuk suaminya. Selain panggil ambulans, tolong panggil polisi juga. Memarnya bukan karena jatuh, warnanya udah kuning pucat. Bisa jadi itu udah berhari-hari yang lalu dan keliatannya hasil dipukul. Buat pencegahan aja, takutnya kalau dia dibiarin sendiri di rumah sakit, orang yang mukul dia nyari dan bahayain dia sama bayinya.”

Aksa mengangguk paham sebelum kemudian melangkah ke sana.

Anin mengamati dari jauh, matanya memperhatikan bagaimana Aksara memeriksa keadaan wanita itu dengan hati-hati. Ada rasa lega yang menyergap Anin ketika tahu kalau dia masih bisa membantu orang-orang seperti yang biasa dia lakukan. Namun mengingat kalau titelnya bukan lagi “dokter”, Anin kembali membungkam senyumnya.

Pada akhirnya, Anin hanya duduk memperhatikan bagaimana Aksara mengatur keberangkatan wanita tadi ke rumah sakit. Tubuhnya dia dudukkan di salah satu kursi kedai yang kosong. Sampai akhirnya Aksara kembali ke hadapannya dan memasang tatapan penuh khawatir, Anin tidak tahu harus menjawab apa ketika sebuah kalimat tak terduga meluncur dari bibir Aksara.

“Jangan bertindak kayak tadi lagi. Jangan hilang lagi, kamu bikin saya khawatir, Anin.”

Anin benar-benar kehilangan kemampuan untuk bicara.

“Kamu selalu sekhawatir itu kalau menyangkut orang lain, sampai kamu lupa kalau diri kamu sendiri juga butuh dikhawatirkan. Kamu selalu berusaha menjaga orang-orang di sekitar kamu, bahkan yang kamu ngga kenal sekalipun. Kalau begitu terus, siapa yang jaga kamu?”

Kalimat itu meluncur tanpa mendapat respon dari Anin. Pesanan mereka sampai ke meja, hening menguasai. Anin tenggelam dalam lamunan, sedangkan Aksa merutuki diri dalam hati berkali-kali, mengumpati kalimatnya yang terkesan lancang. Tanpa sama sekali mengetahui, kalau sedari tadi, dua mata milik Jeandra mengawasi dari jauh. Kedua tangannya terkepal, namun tidak ada yang bisa lelaki itu lakukan selain menekan egonya dalam-dalam.

-

TW // Self harm , Mention of blood

Suara keran yang terdengar amat jelas dari depan pintu kamar Anin membuat Aksara mengerutkan dahi. Lelaki itu menempelkan telinganya di daun pintu, mencoba menerka-nerka apa yang Anin lakukan di dalam sana sampai suara keran air bisa terdengar sebesar itu. Tangannya spontan meraih ponsel, mencoba menghubungi Anin berkali-kali namun tidak ada jawaban dari sosok mungil itu.

Kalau ditanya soal mengapa bisa Aksa tahu letak kamar Anin, Aksa mengetahui letaknya karena kejadian kemarin. Dia menggendong Anin sampai tempat tidur, meletakkan tubuh kecil di gendongannya itu dengan gerakan panik namun berusaha dia tutupi. Makanya hari ini, Aksa memutuskan untuk kembali mengunjungi Anin demi melihat kondisi wanita itu.

“Anin?” panggilnya sekali lagi.

Nihil, Anin masih tidak memberi respon apapun. Aksa baru hendak mengetuk pintu di hadapannya ketika tubuhnya tersentak, suara teriakan dan tangisan terdengar dari dalam. Itu suara Anin, dia sedang tidak baik-baik saja.

Aksa sontak menendang pintu di hadapannya sekuat tenaga. Melupakan rasa sakit yang menjalar di tungkai kaki dan lengannya karena berusaha mendobrak pintu berbahan jati itu seorang diri. Teriakan Anin menghilang, namun tangisannya belum reda.

Aksa semakin kalap, dia kembali menendang benda di depannya sekuat tenaga, tanpa memikirkan apapun di kepalanya sebab Anin saat ini adalah prioritas. Tak lama kemudian, usahanya membuahkan hasil. Rasa sakit di bahunya tidak dia pedulikan, Aksa langsung menerobos masuk dan pandangannya terarah pada bilik kamar mandi yang sudah mulai menggenangkan air di depan pintu yang terbuka lebar. Aksa berlari tanpa berhati-hati, kakinya bahkan hampir terpeleset jika saja keseimbangannya tidak dia jaga.

“ANINDIA!” Lelaki itu berteriak panik, matanya membola ketika menemukan Anindia terduduk di lantai, dengan darah menggenang di sekitarnya.

God, please...

Aksa langsung menghampiri tubuh itu, napasnya sedikit terasa lega saat menangkap lirikan lemah Anin saat dia berada tepat di depan wanita itu. Setidaknya Anin masih bernapas dan Aksa bisa bernapas sedikit lega.

Let me do this,” ucap Anin dengan suara serak, Aksa bahkan hampir tidak bisa mendengar kalimat itu dengan jelas. Aksa menggeleng, tanpa dia sadari kedua matanya memanas.

What did I do, Aksa? Saya salah apa sampai harus begini?”

Aksa kembali menggeleng, tangannya membawa Anin bangkit dari sana, menggendong tubuh kecil itu hingga keluar dari kamar mandi dan membaringkannya di atas ranjang. “Kamu ngga salah, Anin. Kamu ngga salah apa-apa,” katanya.

“Kenapa kamu bawa saya ke sini? Saya bahkan ngga punya alasan buat hidup lagi.”

Aksa menggeleng sekali lagi, tangannya sibuk menyeka darah yang terus mengucur dari luka di pergelangan tangan Anin. “Kamu punya, ada banyak alasan buat hidup. Kamu punya itu, jangan sekali-sekali berpikir buat bunuh diri kamu sendiri kayak gini.”

“Saya ngga punya, Aksa. Saya udah kehilangan banyak hal, kalau saya tetap hidup, memangnya saya bisa kehilangan apa lagi? Saya—”

Aksa memotong ucapan Anin, mengatakan sesuatu yang membuat kesenyapan menyusup di antara mereka. Lalu setelah kalimat Aksa terselesaikan, tangis Anin kembali pecah dan dia kembali hancur.

“Kamu punya alasan, Anin. Bahkan untuk seribu rasa sakit yang kamu punya, alasan satu ini akan bisa gantiin semua itu.”

Aksa melanjutkan, “Kalau ngga bisa hidup buat diri kamu sendiri, tolong tetap hidup buat bayi kamu. There's someone else living in your belly right now, tolong bertahan seenggaknya buat dia. Saya mohon sama kamu, tolong bertahan buat dia, sekali ini aja.”

TW // Mature content , After sex

Mau tahu apa yang membuat keadaan jauh lebih kacau?

Di pagi berikutnya setelah Jean melampiaskan segala emosi di dalam dadanya dengan menyesap minuman beralkohol tinggi, dia menemukan dirinya terbangun dengan posisi terbaring di atas ranjang.

He was naked, totally naked.

The worst part is that Karin was lying right beside him, she was sleeping peacefully with no clothes on. They were naked and that was insane.

Jean menjambak rambutnya sendiri, rasa pusing menghantam dalam hitungan detik. Astaga, dia sama sekali tidak bisa mengingat apapun soal semalam. Terakhir yang dia ingat, Karin memperhatikannya saat menyesap minuman dari gelas kristal di genggamannya dan hanya itu, sisanya Jean hanya ingat ketika pada akhirnya dia tumbang di atas meja dan Karin memanggilnya beberapa kali.

“Anjing, Laksamana.” Dia mengumpati diri sendiri berkali-kali. Meniduri Karin sama sekali tidak pernah terlintas di pikirannya, bahkan walau hanya sekali. Lelaki itu mengerang frustasi, segalanya kacau balau.

Gerakan resah Jeandra mungkin mengganggu tidur lelap sosok di sampingnya, sampai akhirnya sosok itu ikut membuka mata dan memandang Jean bingung. Karin terjaga dari lelapnya, wajah polos khas bangun tidur itu menyambut Jeandra yang membuka matanya dan menatap wajah itu dengan penuh rasa bersalah.

“Karin, I'm so sorry.

Ucapan Jean kelewat pelan, lelaki itu bahkan terdengar bergetar. Dia terlampau frustasi, resah membelenggu seluruh pikirannya. Ditambah lagi, wajah Anindia menghantuinya dan melemparkannya ke jurang rasa bersalah yang amat dalam.

“Kenapa minta maaf?” tanya Karin masih bingung.

Listen, kalau nanti ada yang terjadi sama kamu, the worst case is that you're gonna be pregnant, we'll get married soon,” ucap Jean dengan nada panik.

Tanpa Jean duga, Karin tertawa. “Kamu kenapa panik banget? Padahal semalem kamu sendiri yang maksa buat having sex,” katanya santai. Jean menegang, kata itu sama sekali tidak pernah berlabuh di otaknya bahkan saat hanya berdua dengan Karin.

“Aku pasti mabuk banget semalem ya?”

Karin mengangguk.

But you know, you did very great.” Karin setengah berbisik, berharap kalau hal itu akan membuat Jean kembali liar dan mengulang kejadian semalam, tapi yang dia dapatkan adalah erangan frustasi yang Jean keluarkan.

“Aku minta maaf karena udah nyentuh kamu tanpa izin, harusnya semalem aku ngga ngajak kamu minum. Maafin aku,” kata Jean.

Lalu pagi itu, hanya ada senyap yang mengungkung. Dua manusia itu tenggelam dalam pikiran masing-masing. Jean hanya sesekali mengingatkan Karin untuk tidak bergerak terlalu banyak, teringat pengalamannya saat dulu pertama kali melakukan itu dengan Anin, Jean ingat wajah Anin hari itu tampak sangat kesakitan. Tapi berbeda dengan Karin, gadis itu tampak santai, bahkan tertawa lepas saat Jean kembali memperingatkannya untuk duduk diam di ranjang.

“Aku ngga apa-apa, Je. Percaya deh,” kata Karin.

Jean mengangguk. Dalam hati merutuki diri sendiri dan memaki berulang kali, mengeluh mengapa dia sama sekali tidak bisa mengingat yang sudah dia lakukan semalam. Tapi satu hal yang dia tahu, kalau setelah ini, segala hal akan berubah. Dia dan Karin harus menikah dan Anin harus segera dibebaskan darinya. Harus, dan hal itu tidak dapat ditunda-tunda lagi, dia tidak bisa membuang lebih banyak waktu.

What did you do?

Itu Jeandra, lelaki itu membawa Karin menjauh dari kerumunan saat semua orang sibuk meminta penjelasan Anin mengenai apa yang barusan terjadi. Tangannya membantu Karin untuk berdiri, Jean tidak berbohong waktu dia meneriakkan nama Karin dengan penuh nada khawatir. Karin masih belum pulih, dia takut kalau luka gadis itu kembali terbuka.

“Bikin dia jauh dari kamu,” jawab Karin dengan senyum sumringah di wajah. Mereka berdua berada di sebuah ruang kosong yang berada di koridor berlawanan arah dengan ruangan Anin, kecil kemungkinan akan ada yang melihat mereka berbincang.

“Ngomong yang jelas, Karinina.” Jean mengeraskan rahang. Senyum Karin membuatnya sadar kalau ada yang tidak beres, Karin baik-baik saja.

Karin berdecak sebal, bola matanya terputar malas. “Aku bantu kamu biar dia benci sama kamu, so that you can do the divorce agreement very soon.”

What did you do, Karinina? jawab yang jelas.”

I took one of her life, the one she couldn't live without.

Karin melanjutkan, “Aku bikin dia kehilangan sesuatu yang paling dia cinta selain kamu, pekerjaan dia.”

Jean menegang. Dia tahu kemana arah pembicaraan mereka, dia paham. Napasnya tertahan. Kalimat yang tadi dia ucapkan pada Anin mengenai Anin yang membuatnya malu sebagai suami dan sebagai pemilik rumah sakit kembali terputar, dia sadar kalau sekali lagi, Anin kembali tersakiti.

“Kenapa harus begini, Karin?” Jean mendesah frustasi. Tangannya menjambak helai surainya hingga berantakan, kepalanya mendadak sakit.

“Kamu kira aku bakal repot-repot main fisik dengan mukulin dia beneran? Yang bener aja, Je. Aku masih lemes buat lakuin itu, kamu juga udah kubilang kalau aku bakal pakai fisik dikit, kan?”

“Tapi ngga gini caranya, Karin.”

“Terus gimana?!” Suara Karin mulai meninggi. Gadis itu tampak jengah, kekesalan mulai memuncak dilihat dari raut wajahnya.

“Nunggu kamu gerak sendiri, gitu? Yang ada, kamu bakal ninggalin aku terus balik lagi ke dia.”

“Ngga akan begitu kalau kamu percaya aku, astaga, Karin.”

Jean hendak kembali mengudarakan kalimatnya, lelaki itu hendak kembali melempar argumen, namun kedua netra Karin tampak berkaca-kaca dan hal itu membuat Jean berhenti.

“Aku cuma punya kamu, Je. Kalau kamu balik lagi ke dia, aku ngga punya siapa-siapa lagi. Aku udah cukup kehilangan orangtuaku tiga tahun lalu, kamu ngga tau aku sehancur apa saat itu. Kalau aku juga harus kehilangan kamu karena Anin, aku ngga yakin aku bisa bertahan hidup.”

Dia kembali menutup mulut rapat-rapat. Karena lagi-lagi, Karinina membuatnya harus menjadi sosok Jeandra yang jahat bagi Anindia.

Anin hancur lebur. Dia bahkan tidak dapat mendefinisikan rasa mana yang paling mendominasi. Marah, kecewa, sedih, atau sesak yang membuatnya kesulitan bernapas.

Dia kehilangan jabatannya di rumah sakit, semua orang membicarakannya seolah Anin adalah kriminal. Namanya sudah tercoreng, bersamaan dengan gosip yang dengan cepat menyebar di antara seluruh penghuni rumah sakit. Katanya, Dokter Anin yang lembut itu ternyata punya tempramen yang buruk. Katanya, Dokter Anin yang biasanya selalu tersenyum itu ternyata punya sisi lain dalam dirinya. Katanya, Dokter Anin tidak punya hati karena melakukan kekerasan pada seorang pasien yang datang padanya untuk menyapa.

Jangan lupakan bagaimana Jeandra membuatnya malu dengan berkata kalau Anin membuat lelaki itu menanggung aib sebagai suami dan sebagai pemilik rumah sakit tempatnya bekerja. Juga bagaimana Jean mencopot jabatannya sebagai dokter di rumah sakit itu di hadapan belasan dokter lain.

Anin bahkan tidak sempat menelisik satu persatu air wajah para dokter di ruangan itu, matanya terlalu terpaku pada Jean yang memasang raut penuh amarah padanya.

Kepalanya semakin terasa berputar, mual yang dia rasakan semakin menjadi. Tubuhnya terasa makin parah, ditambah masalah yang barusan terjadi membuatnya semakin yakin kalau dia sudah hancur, sehancur-hancurnya.

“Anin?”

Anin mengangkat kepalanya, Aksara berdiri tak jauh dari tempatnya duduk. Sontak, kedua matanya kembali berair dan terasa panas ketika menangkap sosok Aksara mendekat ke arahnya. Anin langsung berdiri dari sana, tubuhnya limbung. Aksa dengan cepat berlari dan menangkap Anin, lelaki itu tampak khawatir.

Are you okay?” tanya Aksa yang semakin membuat Anin ingin menangis.

Anin menggeleng, dia sudah tidak sanggup berkata kalau dirinya baik-baik saja. Kalau biasanya dia akan tetap berkata kalau dirinya baik, kali ini Anin tidak mau lagi menahan sakit yang dia rasakan.

Dia terlalu marah, dia terlalu kecewa.

Dan Aksara tampaknya mengerti hal itu. Tanpa Anin minta, Aksa menarik tubuhnya ke dalam sebuah pelukan. Tanpa kata, Aksa memberinya sebuah rengkuhan hangat, membiarkan tubuh Anin yang terlampau lemah bersandar penuh kepadanya.

I lost, Aksara. Saya kalah lagi bahkan setelah tiga kali,” katanya, sebelum kemudian tubuh Anin jatuh sepenuhnya di pelukan Aksa. Anin pingsan, kegelapan menyergapnya sebelum dia sempat melanjutkan keluhnya pada Aksa. Pandangannya menghitam, dia tidak lagi sempat mengadu lebih jauh pada Aksa.

Sedangkan Aksara panik bukan main. Suhu tubuh Anindia terasa panas di kulitnya, wajah Anin terlampau pucat. Dalam hitungan menit, Aksa membopong tubuh mungil di dekapannya untuk memasuki mobil miliknya. Aksa tidak tahu apa yang terjadi, tapi saat matanya menangkap sosok Jeandra dari kejauhan, Aksa memutuskan untuk mengurungkan niatnya membawa Anin ke dalam rumah sakit, meski jarak mereka dengan pintu utama rumah sakit itu terlampau dekat.

Saat matanya menangkap raut panik Jeandra ketika Anin terjatuh tak sadarkan diri, Aksara paham kalau lelaki itu adalah aktor utama dalam tangisan Anindia.

Di sana, Karinina berjalan menuju ke arahnya. Langkahnya angkuh dengan dagu terangkat. Wajahnya masih secantik biasanya, tapi Anin bersumpah kalau wajah itu membuat rasa mual dan gejolak di perutnya terasa makin parah.

Saya tidak pernah tahu kalau seorang wanita bisa melakukan apapun demi yang dia inginkan, apapun. Betul-betul apapun, bahkan dengan cara sekotor menjebak wanita lain.

Waktu pertama kali bertemu Karinina, mata besar dan bulat miliknya membuat saya terpanah. Karin itu cantik, saya mengakui itu. Gadis muda itu punya tubuh yang bagus, wajahnya seperti boneka. Wajar kalau banyak merk produk kecantikan dan pakaian ingin merekrutnya menjadi wajah yang mewakili mereka. Saya pertama kali bertemu Karinina di hari pernikahan saya dan Jeandra, dia duduk di barisan ketiga. Entah bagaimana wajah itu bisa tertangkap oleh mata saya begitu saja, tapi melihat raut sarat luka dan dendam yang gadis itu berikan membuat saya sadar kalau ada yang tidak beres dari hari itu.

Dan tebakan saya ternyata benar.

Sebab saat semua tamu sudah pulang ke tempat masing-masing dan hanya tersisa beberapa orang di venue resepsi, saya menemukan Jeandra memeluk gadis itu kelewat erat di ruang istirahat yang diperuntukkan untuk pengantin, tempat yang harusnya hanya diisi oleh saya dan Jean.

Pemandangan yang saya lihat menjawab semuanya, termasuk pertanyaan seputar mengapa Jeandra memutuskan untuk pergi dari saya secara tiba-tiba tiga tahun lalu.

Karinina jawabannya.

Saya kehilangan Jeandra dan Karinina mendapatkan lelaki itu.

Saya kalah, baik tiga tahun lalu saat Jean mengucapkan kata pisah atau di hari pernikahan saya sendiri. Saya sudah kalah dua kali, dan penyebabnya adalah Karinina.

Maka saat saya mendengar suara langkah nyaring dari ujung koridor dan saya melihat pelakunya adalah Karin, otak saya mengajukan sebuah pertanyaan lantang.

Apa kali ini saya akan kembali kalah?

Kalimat Hema kembali terputar di benak, Karin berencana melakukan sesuatu pada saya. Entah rencana apa, tapi Karin kali ini terlihat amat siap melancarkan rencana yang dia siapkan. Gadis cantik bak boneka hidup itu terlihat amat bersemangat, dan saya bertanya-tanya rencana apa yang ada di balik kepala rupawan itu.

“Halo, Kak Anin.” Suara Karin terdengar manis, saya bahkan tidak bisa menyangka kalau anak semanis itu bisa menjadi alasan utama kehancuran saya.

Karin tersenyum, dan yang bisa saya lakukan hanyalah menerka arti senyum yang dia tunjukkan pada saya. Saya lelah, kepala saya terasa pening luar biasa. Saya tidak yakin bisa memberi perlawanan kalau di menit berikutnya Karin memberi serangan fisik seperti yang Hema katakan, walau sebetulnya saya juga tidak terlalu yakin gadis itu akan sanggup sebab dia belum sepenuhnya pulih.

“Kamu sehat?” tanya saya. Yang kemudian saya sesali sendiri karena masih sempat peduli setelah melihat bibir pucat dan cara berjalannya yang masih sedikit pincang.

Karin tertawa pelan, langkahnya berhenti tepat di depan saya.

“Baik, dan bakal tambah baik karena abis ini, gue bisa dapetin bahagia yang udah lo rampas dari gue,” katanya.

Salah, Karinina. Bahagia itu milik saya, yang kamu rampas dan kamu buat jadi milik kamu. Saya sangat ingin berkata begitu, tapi bibir saya hanya bisa menampilkan seutas senyum dan membuat saya semakin membenci diri sendiri.

Saya hendak membuka suara, tapi kejadian berikutnya sama sekali tidak saya duga.

Dua detik berikutnya, kaki saya bergetar luar biasa. Sebab dalam waktu sekejap, Karin berteriak kencang. Teriakannya tidak bisa saya sela, sebab gadis itu mengikutsertakan isakan yang terdengar pilu dan menyedihkan.

Kemudian, Karin mendudukkan diri di lantai rumah sakit. Otak saya membeku, saya tiba-tiba kehilangan kemampuan berpikir. Lolongan dan isakan keras Karin terus berlanjut, saya bahkan menundukkan badan berniat menolong gadis itu.

“Astaga, Karinina.” Saya panik, kedua tangan saya berusaha menggenggam tangan Karin yang tampak melindungi kepalanya.

“Jangan, Kak Anin. Aku minta maaf udah bikin Jean minta cerai sama kamu, tapi tolong jangan kayak gini, Kak. Kita bisa bicarain baik-baik tanpa kekerasan kayak gini.”

Saya membeku, dengan kedua tangan masih menggenggam tangan milik Karin.

Lalu, saat kerumunan orang-orang mulai mendatangi kami dan mulai berbisik-bisik, saya menyadari keadaan. Kata mereka, Dokter Anin barusan melakukan tindak kekerasan pada salah satu pasien rumah sakit. Kata mereka, Dokter Anin barusan menjambak seorang gadis berwajah pucat yang tengah sakit. Kata mereka, kata mereka, dan kata mereka. Sesak mulai menguasai saya, saya kebingungan.

“Karin!”

Kacau, sebab saat telinga saya mendengar teriakan Jeandra dari arah kerumunan, saya tahu kalau saya kembali kalah. Matanya berkilat penuh kemarahan, saya paham kalau Jean pasti menyalahkan saya karena membuat Karin kesayangannya menangis sampai terduduk di lantai.

“Lo kalau ada masalah sama gue, selesain sama gue. Jangan kayak anak kecil begini, Anindia. Lo bikin gue malu baik sebagai pemilik rumah sakit atau sebagai suami lo.”

Kalimatnya menusuk, saya paham kalau Jean betul-betul marah pada saya.

Apa tadi yang saya bilang soal wanita yang rela melakukan apapun demi mendapat yang dia wanita? Awalnya saya kira kalau seorang wanita tidak akan melakukan itu, sebab saya yakin kalau kami adalah makhluk paling punya hati yang diciptakan Tuhan. Tapi sekarang, saya tarik kembali keyakinan itu.

Karena saat saya masih dilanda sesak dan kebingungan atas apa yang terjadi barusan, saya kehilangan segalanya.

“Dokter Anin, anda bisa diberi sanksi pemecatan karena sudah berperilaku tercela di lingkungan rumah sakit dan merusak martabat serta kehormatan profesi kedokteran.”

Itu kalimat yang saya dengar ketika 10 menit kemudian, saya dibawa ke ruang rapat bersama banyak dokter pimpinan yang biasa saya temui di lain waktu. Saya kehilangan arah, terutama ketika mata saya menangkap sosok Jeandra duduk di kursi utama.

Mau tahu apa yang membuat saya semakin hancur hari ini?

“Saya suaminya dan pemilik rumah sakit, jadi saya punya hak untuk memutuskan apa yang jadi hukuman buat Dokter Anin.”

Iya, Jeandra mengeluarkan saya dari rumah sakit miliknya. Tidak dengan gelar dokter yang saya punya, dia tidak melakukan apapun dengan gelar itu karena tidak punya wewenang lebih untuk hal itu. Tapi saya tidak tahu apa hal itu bisa saya syukuri atau tidak, sebab berhenti bekerja di rumah sakit ini adalah mimpi buruk.

Saya betul-betul kehilangan segala yang saya punya.

Baik Jeandra atau pekerjaan saya, semuanya hilang dalam sekejap. Saya tidak tahu bagaimana Karin sekarang, saya bahkan tidak sempat berpikir. Bagi saya, yang paling membuat frustasi saat ini adalah tatapan dingin nan menusuk yang Jeandra sematkan buat saya.

Hari ini, saya tahu kalau saya kalah. Hari ini, saya tahu kalau lagi-lagi, Karinina membuat saya kalah untuk yang ketiga kalinya.

Ada banyak hal yang menghuni kepala Anindia kala wanita itu sampai di rumah sakit. Sebagian besar adalah Jeandra, entah kapan nama itu akan keluar dari pikiran Anin dan membebaskannya dari rasa sakit. Pening menderanya sejak malam, Anin bahkan tidak sanggup membuka mata saat terjaga dari kantuknya. Rasa mual menyerang, Anin ingat kalau selama dua hari, dia tidak sempat menelan satu sendok nasi pun karena menyibukkan diri dengan dokumen-dokumen perusahaan yang bulan depan akan diperkenalkan kepadanya. Kalau Papa tahu, lelaki itu pasti akan marah. Makanya pagi ini, dia memutuskan untuk langsung mengenakan masker untuk menutup bibirnya yang pucat.

Rasa pening itu semakin menjadi saat di tengah jalan, kemacetan menjebak. Anin menyetir mobilnya sendiri, sopir keluarganya sedang mengambil cuti beberapa hari karena sang istri akan melakukan proses persalinan, dan mencari taksi akan terlalu merepotkan. Tumpukan kendaraan dan suara klakson memekakkan telinga, khas ibukota, serta panas yang menguar memasuki jendela mobil membuat kepalanya seakan berputar ke segala arah, Anin bahkan harus mengeratkan cengkeramannya pada kemudi karena rasa mual terus-terusan mengganggu.

Oh, pendingin udara tidak dia nyalakan. Wangi bunga lavender yang biasanya menjadi penenang di kala resah itu mendadak berubah menjadi bau menyengat yang mengundang perutnya bergejolak lebih parah. Anin merasa aneh, tapi semua keanehan itu dia kesampingkan karena urusan pekerjaan baginya jauh lebih penting.

“Bu Dokter?”

Anin menoleh, ada Hema di sana. Lelaki itu berjalan memasuki lobi rumah sakit dengan beberapa box berwarna putih yang dia jinjing di tangan kanan dan kiri. Anin mengerutkan kening, kedatangan Hema sungguh di luar ekspektasinya.

Well, berhari-hari hanya bergelut dengan dokumen-dokumen perusahaan dan laporan pasien, serta pikiran-pikiran soal Jean tentunya, membuat Anin melupakan orang lain. Hema sama sekali tidak pernah terlintas di benaknya, maka saat lelaki itu menampakkan diri setelah satu minggu tidak terlihat dimanapun.

Hema mendekat ke arahnya, senyum sumringah ia tunjukkan pada Anin sebagai sambutan selamat pagi. Tangannya terangkat, memamerkan kotak berisi makanan yang dia bawa untuk Anin. “Lo udah sarapan?” tanya Hema.

Anin menggeleng pelan.

“Ayo sarapan, gue bawa banyak makanan.”

Hema berjalan mendahului Anin, melangkah menuju ruangan milik Anin yang berada di ujung koridor sebelah kiri. Hema seakan sudah menghafal tempat itu di luar kepala, dia bahkan membiarkan Anin tertinggal di belakang dan berakhir mempercepat langkah untuk menyusul.

“Kamu kenapa ke sini?” Anin bertanya saat tersadar kalau kedatangan Hema terlalu tiba-tiba. Walau sebetulnya Hema memang selalu datang tiba-tiba, tapi mengingat percakapan terakhir mereka yang sedikit dibumbui emosi, Anin sama sekali tidak menyangka kalau lelaki itu masih mau menemuinya.

“Kangen sama lo,” jawab Hema sambil terkekeh pelan.

Anin menipiskan bibirnya menjadi satu garis lurus, candaan Hema sama sekali tidak memengaruhinya. “Saya tanya serius, Hema.”

Hema meringis. “Ngga apa-apa, gue udah lama ngga ketemu lo. Sekalian tadi lewat daerah sini sambil meeting sama orang, yaudah mampir.” Hema menjelaskan sembari kedua tangannya sibuk menyusun kotak karton makanan yang tadi dia bawa di atas meja. Mereka berdua sudah berada di dalam ruangan dua menit lalu, Hema bahkan sudah mendudukkan diri di sofa tamu tanpa meminta repot meminta izin pada si pemilik ruangan.

Anin mengangguk, meski sebetulnya masih ingin mempertanyakan alasan Hema yang terkesan terlalu basa-basi, tapi pening di kepalanya menghalangi, dia bahkan tidak sanggup bicara lebih lama.

“Masker lo ngga dilepas?” tanya Hema lagi. Anin menggeleng pelan, dia terlalu lemas untuk bicara.

“Gimana mau makan, Bu Dokter? Ayo lepas bentar, sumpah gue udah divaksin dua kali, aman kalau deketan sama gue. Plus, gue ngga nyebarin rabies,” lanjut Hema sambil menepuk-nepuk dadanya dengan bangga.

“Saya ngga laper, kamu makan duluan aja. Atau nanti sisain satu box buat saya, nanti saya makan kalau udah selesai semua.”

Hema berdecak, lelaki itu memandang Anin dengan tatapan menghakimi. Tapi sedetik kemudian ketika menyadari wajah lesu Anin, Hema menghela napas.

“Gue tau lo pasti jarang makan akhir-akhir ini, jadi gue bawain makanan buat lo,” katanya dengan nada memohon. “Makan ya? Pipi lo makin tirus, dari mata lo keliatan banget kalau lo lagi ngga sehat,” lanjut Hema.

Anin tersenyum di balik masker yang dia gunakan, lalu menggeleng sekali lagi. “Saya bahkan ngga punya semangat buat hidup, Hema. Makanan ngga ada rasanya di lidah saya,” ucap Anin.

Hema membelalakkan mata, ucapan Anin barusan membuat dadanya serasa dihantam sesuatu dengan keras. Bahkan tanpa sadar, sebuah kalimat meluncur melalui bibir tipisnya. Kalimat yang kemudian membuat Anin mengerutkan kening dan tatapannya pada Hema sontak berubah tajam.

“Karin bahkan bisa makan dan tidur nyenyak tanpa gangguan, pantesan Jean sekhawatir itu dengan bilang lo pasti bakal ngga bisa makan dengan teratur setelah semua yang terjadi.” Hema mengucapkan kalimat itu. Pelan, tapi Anin masih bisa menangkap kalimat itu dengan jelas melalui rungunya.

“Kamu ke sini karena suruhan Jean?” Suara lemah itu berubah dingin dan menusuk dalam sekejap, membuat kepanikan dalam sekejap merayap di mata Hema.

“Ngga, gue salah ngomong tadi.” Hema jelas panik, suaranya yang meninggi membuat Anin bisa menyimpulkan satu hal. Kalau kehadirannya di hadapan Anin pagi ini adalah hasil dari permintaan Jean.

Anin teringat akan sesuatu, tentang Jean dan permintaan lelaki tinggi itu pada Anin untuk tidak bekerja sementara waktu. “Apa ada hubungannya sama yang Jean minta kemaren, Hema?” tanya Anin.

Hema menggeleng, tatapan marah yang sangat jelas berkilat di kedua iris cokelat Anin membuatnya kehilangan kemampuan untuk berbicara.

“Kamu kenal saya dari dulu, Hema. Saya paling ngga suka dibohongi, saya ngga bisa maafin seorang pembohong.”

Pada akhirnya, Hema mengangguk terbata. Di detik yang sama saat matanya menangkap anggukan Hema, Anin merasa kalau kepalanya semakin terasa sakit. Nama Jeandra lagi-lagi menjadi pelaku utama, dan Anin benci pada dirinya sendiri karena tidak mampu mengenyahkan nama itu meski yang mendominasi adalah resah dan denyut luka menganga ketika Jeandra kembali mengeksploitasi benaknya.

“Anin, dengerin gue. Karin mau lakuin sesuatu yang gue sama Jean ngga tau, dan targetnya adalah lo. Karin itu unexpected, gue bahkan belum bisa menebak isi kepalanya meski dua tahun kerja bareng dia, Jean bahkan nyerah dan minta gue buat lindungin lo.”

Anin diam tak memberi jawaban, wanita itu terlalu sibuk mengenyahkan rasa sakit yang menguasai kepala hingga seluruh tubuhnya.

“Jean ngga mau ada hal buruk yang terjadi sama lo, Karin bisa aja main fisik dan itu bakal parah banget. Lo inget ngga? Dia bahkan mau repot-repot kecelakaan pura-pura dan bahayain dirinya sendiri, gue yakin dia ngga akan segan untuk berbuat lebih ke orang lain. Dia—”

“Tujuan dia apa?”

Kalimat Hema tidak terselesaikan, Anin terlebih dahulu memotong dengan pertanyaan. Senyap, Hema terjebak dalam kebingungan.

“Gue—ngga bisa jawab itu sekarang,” katanya.

“Tujuan dia apa, Hema?” ulang Anin sekali lagi.

“Gue ngga bisa kasih tau lo, maafin gue.”

Anin tertawa pelan, suaranya terdengar parau dan hal itu mengundang rasa khawatir bagi Hema. Gelak yang Anin keluarkan terdengar rapuh, Hema bisa menebak itu melalui tatapan Anin yang menyaratkan lelah.

“Jeandra nganggap saya selemah itu ya?”

Hema sontak menggeleng. “Bukan begitu. Sumpah, Anin, gue bahkan bisa menjamin kalau lo adalah wanita terkuat yang pernah gue kenal, tapi masalahnya ngga sesepele itu.”

Anin kembali bersuara, dan kali ini, Hema tidak lagi mampu menjawab.

“Mau masalahnya serunyam apa pun, kalau ada hubungannya sama rumah tangga saya, itu artinya bukan urusan kamu, Hema.”

Hema tidak mampu melawan, argumen yang sudah dia siapkan untuk melawan Anin kembali tertelan dalam.

“Kalau memang Karin mau lakuin sesuatu ke saya dan alasannya karena Jeandra, urusannya bukan sama kamu, tapi langsung sama saya.”

Hema memberanikan diri membuka suara, walaupun terdengar seperti cicitan. “Anin, lo ngga paham—”

“Saya memang ngga paham, saya ngga akan pernah paham kalau kamu dan Jean masih terus sembunyi kayak begini dari saya. Jadi selama kamu dan Jean masih belum punya niat buat meluruskan semuanya dan jelasin ke saya terang-terangan, berhenti bersikap seolah kalian berdua peduli sama saya.”

“Jean peduli sama lo, gue juga peduli sama lo.”

Anin memasang senyum miring, kalimat Hema sungguh terdengar lucu di telinganya. “Kalau kamu dan Jean peduli, dari awal ngga akan ada Karin di antara saya dan Jean, atau ngga akan ada saya di antara Jean dan Karin. Kamu jelas paham maksud saya.”

Anin melanjutkan, kali ini suara paraunya terdengar begitu lemah.

“Jadi, Hema. Saya mohon, berhenti bersikap seolah-olah Jeandra cuma korban. Berhenti bersikap seolah dengan kemarahan saya, Jean adalah orang yang paling tersakiti. Kamu yang paling tau masalah ini, jadi saya mohon, saya udah muak, Hema...”

Kalimat itu menjadi penutup. Anin kemudian melangkah menuju pintu dan keluar dari ruangannya, langkahnya gemetar hebat. Rasa sesak menyerbu dada, panas mengerubungi kedua netra bulat miliknya, memaksa bulir bening turun meski dia tahan sekuat tenaga.

Namun, di tengah kesibukannya menahan rasa sakit yang berkuasa di seluruh tubuh, Anin dibuat tersentak kala suara langkah kaki bergema keras di seluruh koridor. Kepalanya terangkat, dia bahkan tidak lagi punya waktu untuk terkejut kala melihat sosok lain tengah berjalan angkuh di arah berlawanan.

Di sana, Karinina berjalan menuju ke arahnya. Langkahnya angkuh dengan dagu terangkat. Wajahnya masih secantik biasanya, tapi Anin bersumpah kalau wajah itu membuat rasa mual dan gejolak di perutnya terasa makin parah.

Harusnya, saat langkah Karin semakin terdengar jelas di telinga, Anin paham kalau ada yang tidak beres dari langkah itu. Harusnya begitu, tapi ternyata Anin bahkan tidak mampu menggerakkan tubuh sebab pening di kepalanya semakin menjadi-jadi.

Harusnya begitu, sebab dalam hitungan satu menit kemudian, Anin paham kalau Karinina betul-betul mengambil segala yang dia punya.

Anindia melanggar janjinya hari ini. Dia harusnya belum berjaga di rumah sakit dan mengambil shift pagi, kalau Papa tahu, beliau mungkin akan mengomel. Tapi Anin bosan, berada di rumah seharian membuatnya jenuh setengah mati. Ditambah lagi, pesan dari Jean yang memintanya untuk berhenti bekerja sementara waktu menggoyang egonya. Anin tidak tahu maksud dan tujuan Jean, tapi permintaan itu terdengar tidak masuk akal dan membuatnya dianggap lemah entah untuk alasan apa.

Maka pagi ini, Anin bergegas ke rumah sakit tanpa memberitahu siapa-siapa, termasuk satpam penjaga gerbang rumahnya. Dia hanya bilang akan keluar mencari makan, jas putih kebanggaannya sengaja dia lepas terlebih dahulu dan diletakkan di kursi belakang.

Kakinya melangkah memasuki lobi rumah sakit tanpa memikirkan apapun, kepalanya sudah terlampau penuh sejak seminggu yang lalu dia putuskan untuk keluar dari rumahnya dan Jean. Benang-benang kusut bergumpal di kepala, Anin bahkan tidak sanggup mencerna satu persatu masalah yang menumpang tempat di sana dan berakhir membiarkan semua itu menjadi penghuni permanen.

Bahkan, waktu ada seseorang yang menepuk bahunya pelan, Anin tidak memberi respon. Matanya tak memberi tatapan berarti, hanya terarah ke depan tanpa arah.

“Bu Dokter.”

Itu suara Hema, lelaki itu sudah tiga kali memanggil nama Anin dan belum mendapat jawaban sama sekali. Sampai akhirnya, panggilan keempat membuahkan hasil, Anin tersentak menemukan Hema berdiri tepat di belakangnya.

“Hema?”

Hema mengeluarkan cengiran polos, lelaki itu kemudian mengangkat dua box makanan yang dijinjingnya sedari tadi, memamerkan pada Anin yang masih memasang wajah bingung.

“Lo udah sarapan belum?” tanya Hema.

Anin menggeleng. “Nah, pas banget. Ayo ke ruangan lo dulu, gue bawain makanan banyak banget.”

Hema berjalan mendahului Anin, melangkah menuju ruangan yang berada di ujung koridor sebelah kiri milik Anin yang letaknya sudah dia hafal di luar kepala. Anin masih berada dalam pikirannya sendiri, walau detik berikutnya dia mengikuti langkah Hema dalam keadaan kepala yang masih penuh soal Jean.

Aksara Restupati tidak pernah merasa seaneh ini.

Lelaki dengan profesi sebagai dokter bedah itu biasanya selalu merasa dirinya terlalu sibuk untuk hal-hal remeh, waktunya terlalu berharga. Bahkan lima menit menganggur pun biasanya akan dia pakai untuk melakukan sesuatu yang berguna, dia lebih memilih untuk memeriksa laporan perkembangan pasien daripada duduk menyeduh kopi dan bersantai tanpa melakukan apa pun.

Dia terlalu apatis, bahkan untuk dirinya sendiri.

Tapi bertemu dengan Anindia membuatnya merasa aneh, sangat aneh. Wanita itu membuatnya mau berbasa-basi melalui aplikasi percakapan, sesuatu yang sangat dia hindari sebab menurutnya berkomunikasi face to face jauh lebih efektif. Mau tahu sesuatu? Nama Anindia bahkan menjadi satu-satunya kontak yang dia simpan di luar keluarganya. Ada nama Mama, Papa, dan nama adik laki-lakinya di daftar kontak, selama ini hanya tiga kontak itu. Tapi di hari dia bertemu sosok mungil itu, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, ada nama orang lain yang masuk ke dalam daftar kenalannya di ponsel.

Anindia membuatnya merasa aneh, dan lelaki itu ingin membuktikan keanehan yang dia rasakan hari ini.

Astaga, dia bahkan mau-mau saja membuang 15 menit berharganya karena Anindia yang belum menunjukkan wujud di kafe ini. Dia duduk diam menyesap Americano miliknya yang sudah datang 15 menit lalu. Matanya berkali-kali melirik kotak percakapannya dengan Anindia, berharap dalam diam kalau wanita itu akan memberi satu kabar saja padanya.

Di luar hujan lebat, jadi Aksa berusaha maklum. Anin mungkin butuh waktu lebih untuk sampai sebab jalanan yang licin, atau dia tidak bisa menemukan taksi untuk dipesan. Harusnya tadi dia menjemput Anin, tapi keputusan wanita itu tetap nomor satu.

Rasa pahit di lidah membuat Aksa mengerutkan dahi. Ah, sepertinya memesan minuman ini adalah keputusan yang salah, sebab Aksa biasanya hanya akan memesan minuman biasa seperti lemonade atau teh. Baru hendak meletakkan cangkir kopi di tangannya ke atas meja, Aksa dibuat terkesiap ketika suara lonceng yang diletakkan di depan pintu utama berbunyi nyaring, tapi bukan itu yang menjadi fokus utamanya. Melainkan, sosok Anindia yang muncul dari balik pintu dengan sebagian pakaiannya yang basah kuyup.

Aksa mengerutkan kening, panik seketika merambat ke seluruh tubuhnya ketika menyadari kalau tubuh mungil Anindia bergetar hebat. Wajah cantiknya terlihat pucat dan Aksa paham kalau hal itu bukan pertanda baik.

Refleks, Aksa bangkit dari duduknya dan berlari dengan wajah panik yang tidak dapat dia sembunyikan. Lelaki itu menghampiri Anindia yang menatapnya bingung, seakan bertanya lewat tatapan mata mengenai raut khawatir di wajah Aksa yang terlampau kentara.

What happened?” tanya Aksa ketika tubuhnya sudah berada tepat di depan Anin. Tanpa peduli kalau belasan pasang mata ikut menyaksikan bagaimana lelaki itu berlari cepat ke arah Anin yang masih berada di ambang pintu utama kafe, Aksa memindai tubuh Anin dari ujung kaki hingga rambut, memastikan kalau tubuh mungil itu tidak terluka.

Anin masih kelihatan kebingungan. “You look so panic,” katanya.

Sadar kalau reaksinya berlebihan, Aksa berdehem canggung. Tangan kanannya bergerak mengacak rambut frustasi, dalam hati merutuki kebodohannya yang kembali jadi manusia aneh jika berhadapan dengan Anindia.

I'm sorry, I thought that you had an accident. Wait, you didn't get any accident, did you?

Anin mengenggeleng, gelengannya tampak ragu. Aksa pada akhirnya mengajak Anin berjalan ke arah meja yang tadi dia tempati. Lagi-lagi tanpa sadar, Aksa bertingkah di luar kendali.

Tanpa dia sadar, tangannya membantu menarik kursi yang akan ditempati Anin sebelum wanita itu sempat menariknya lebih dulu. Aneh, sebab Aksa belum pernah melakukan hal semacam itu kepada siapa pun kecuali Mamanya. Anindia lagi-lagi membuatnya mempertanyakan diri sendiri.

Ada yang datang dengan kecepatan kilat berlabuh di dalam dadanya, membuat rongga napasnya terasa penuh dan terasa membuncah. Ada yang terasa terisi ketika matanya menangkap sosok Anindia berdiri pertama kali di depan pintu tadi, dan Aksa tidak menampik kalau rasa penuh serta membuncah itu membuatnya sedikit lebih hidup.

“Kamu udah lama nunggu ya?”

Lamunannya buyar ketika suara lembut diiringi getar itu mengalun, Aksa mengangkat kepalanya dan menemukan Anin tengah menggenggam kedua tangannya seerat mungkin. Anin kedinginan.

Not really, saya baru dateng dua menit sebelum kamu,” jawabnya.

Tanpa dia duga, tawa manis keluar dari bibir pucat Anin. Aksa terdiam sejenak, otaknya berusaha keras memproses bagaimana gelak halus itu memasuki rungunya dan sukses membuatnya terpaku.

Please lie better, minuman kamu bahkan hampir habis. Saya telat banget, I'm really sorry. Something unexpected happened, I couldn't drive fast,” jelas Anin. Lalu dia melanjutkan, “Saya telat berapa lama?”

“Ngga terlalu lama, 15 menit.”

“Itu lama, Dokter Aksa. 15 menit bisa dipakai buat check up satu pasien luka ringan kalau di rumah sakit.”

Aksa tersenyum sebagai respon. “Well, let say begitu. Jangan dibahas lagi, kamu mau pesan apa? Bills on me.

“Teh aja, tapi biar saya yang bayar.”

Tak ada bantahan, sebab Aksa bahkan tidak tega melanjutkan perdebatan ketika sadar kalau getar di tubuh Anin akan semakin parah kalau dia malah membawa argumen soal siapa yang akan membayar makanan masing-masing. Melihat itu, Aksa melepaskan jaket yang dia pakai dan menyerahkan benda itu kepada Anin.

“Apa?” tanya Anin.

“Ini, dipakai dulu. You're freezing cold,” jawab Aksa. Merasa kalau Anin tidak kunjung menyambut ulurannya, Aksara meletakkan jaketnya langsung di tangan Anin, memintanya untuk tidak menolak. “Jangan ditolak, kamu bisa sakit kalau kedinginan lebih lama.”

Anin pada akhirnya mau memakai jaket itu di tubuhnya. Walaupun terlihat kebesaran dan membuatnya sedikit tenggelam di dekapan jaket itu, Anin tampak lebih baik dari sebelumnya.

Thanks.

Aksa mengangguk sebagai balasan. “Are you sure you're okay?

Anin menoleh, kepalanya mengangguk pelan. Penuh ragu, sebab dia sendiri tidak dapat memungkiri kalau dingin masih menusuk. Sebagian besar bajunya basah akibat guyuran hujan ketika hendak keluar dari mobil menuju kafe, padahal jaraknya tidak terlalu jauh, namun sepertinya Anin harus menerima kalau kemeja abu-abu tua yang dia pakai sudah tampak sangat mengenaskan karena basah di bagian bawah.

“Saya lari dari parkiran ke sini, jadi wajar kalau masih sempet kena hujan.”

“Kenapa ngga minta sopir taksinya buat drop kamu langsung depan pintu?”

“Saya ngga jadi naik taksi, I drove by myself.”

Aksa mengangguk tanpa bertanya lebih lanjut. Keduanya diam sambil menunggu pesanan Anin datang. Kecanggungan menyelimuti, tapi Aksa bersumpah kalau canggung yang menjebak mereka kali ini jauh lebih baik dari atmosfer mana pun. Dia bisa memaku tatap pada Anindia yang memandang jendela luar dalam hening. Wajah kecil itu terbingkai oleh surai panjang yang dia biarkan tergerai menghalangi sebagian permukaan kulit, dan untuk pertama kalinya dalam sejarah hidup Aksara, dia mengakui kalau wajah dan tatapan lembut seseorang bisa membuatnya kewalahan.

Dalam dua menit setelah membiarkan iris tajamnya menghafal tiap sudut wajah Anindia, Aksara paham kalau dirinya akan terus-terusan menggumamkan kata “cantik” di tiap gerakan kecil yang wanita itu buat, akan terus begitu sampai waktu yang tidak ingin dia tentukan.

Sayang, tatapannya harus buyar ketika suara gemuruh terlampau nyaring dan menggelegar datang secara tiba-tiba. Petir dan kilat datang bersahutan, seperti tidak diberi jeda oleh langit sembari menumpahkan lebih banyak air ke muka bumi. Aksa memandang gelap pekat yang mewarnai awan-awan tebal melalui jendela, yakin kalau hujan akan berlangsung lebih lama dan jauh lebih lebat.

Lalu saat pandangan matanya kembali terarah ke depan, Aksa menemukan Anindia yang menutup kedua telinganya sendiri dengan tangan. Seiring dengan gemuruh dari langit yang terus terdengar, Anin semakin menekan telapak tangannya ke telinga. Tubuhnya terlihat semakin bergetar, tak lagi sempat dia tahan seperti yang sebelumnya.

Maka dalam sekali pandang, Aksa bisa menarik satu kesimpulan; Anindia punya ketakutan akan suara petir. Lalu benaknya mencoba menyambungkan pemandangan itu dengan keterlambatan Anin dan alasan kalau dia menyetir sendiri. Hasilnya masuk akal, Anin tidak bisa mendengar suara petir yang kuat dan wanita itu harus menyetir sendiri. Detik itu, Aksa bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana raut ketakutan dan kepanikan yang menguasai Anin ketika berusaha datang ke sini.

Lalu saat satu lagi suara gemuruh muncul lebih menggelegar, Aksa spontan maju dan membantu Anindia mengeratkan tangkupan di telinganya. “Saya izin bantu tutup telinga kamu, saya ngga bawa earphone buat ngehalangin suara petirnya, this is the very least thing I can do to make it better.” Kalimat itu serupa bisikan, Aksa mencoba menenangkan Anin yang semakin meringkuk di atas meja sempit itu. Tangannya berada di atas tangan Anin, dia tekan sekuat yang dia bisa namun tetap memastikan kalau gerakannya tidak akan menyakiti Anin, berharap kalau yang dia lakukan dapat sedikit meredam suara keras yang datang menyerbu itu.

You're gonna be safe, that's okay...” Aksa mengucapkan kalimat itu berkali-kali. “I'm holding you, don't be scared.” Serta kalimat-kalimat lain yang serupa mantra, yang dia ucapkan seraya berusaha mengeratkan jaket miliknya agar tidak lepas dari tubuh mungil Anin.

Seakan semesta mendukung, saat Aksa menundukkan pandangan pada Anin, si cantik itu mengangkat kepalanya dan membuat iris mereka bertemu dalam satu jalur tatapan. Aksa tidak tahu apa yang ada di dalam mata itu, tapi yang pasti ketika Anindia mengatakan sebuah kalimat dengan suara lirih dan getar di ujung kalimatnya terdengar amat jelas, Aksa menyimpul dirinya sendiri.

Can you hold me tighter, please?” pintanya.

Telak, Aksara kalah telak. Sebab di detik yang sama ketika kalimat itu terudara dan matanya menangkap gurat penuh luka di iris kelam milik Anindia, Aksara mendeklarasikan diri kalau terhitung sejak saat itu, dia mau Anindia.

Untuk pertama kali dalam sejarah hidupnya, Aksara mengakui sesuatu. Kalau sepertinya, dia mau Anindia.

-

Aksara Restupati tidak pernah merasa seaneh ini.

Lelaki dengan profesi sebagai dokter bedah itu biasanya selalu merasa dirinya terlalu sibuk untuk hal-hal remeh, waktunya terlalu berharga. Bahkan lima menit menganggur pun biasanya akan dia pakai untuk melakukan sesuatu yang berguna, dia lebih memilih untuk memeriksa laporan perkembangan pasien daripada duduk menyeduh kopi dan bersantai tanpa melakukan apa pun.

Dia terlalu apatis, bahkan untuk dirinya sendiri.

Tapi bertemu dengan Anindia membuatnya merasa aneh, sangat aneh. Wanita itu membuatnya mau berbasa-basi melalui aplikasi percakapan, sesuatu yang sangat dia hindari sebab menurutnya berkomunikasi face to face jauh lebih efektif. Mau tahu sesuatu? Nama Anindia bahkan menjadi satu-satunya kontak yang dia simpan di luar keluarganya. Ada nama Mama, Papa, dan nama adik laki-lakinya di daftar kontak, selama ini hanya tiga kontak itu. Tapi di hari dia bertemu sosok mungil itu, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, ada nama orang lain yang masuk ke dalam daftar kenalannya di ponsel.

Anindia membuatnya merasa aneh, dan lelaki itu ingin membuktikan keanehan yang dia rasakan hari ini.

Astaga, dia bahkan mau-mau saja membuang 15 menit berharganya karena Anindia yang belum menunjukkan wujud di kafe ini. Dia duduk diam menyesap Americano miliknya yang sudah datang 15 menit lalu. Matanya berkali-kali melirik kotak percakapannya dengan Anindia, berharap dalam diam kalau wanita itu akan memberi satu kabar saja padanya.

Di luar hujan lebat, jadi Aksa berusaha maklum. Anin mungkin butuh waktu lebih untuk sampai sebab jalanan yang licin, atau dia tidak bisa menemukan taksi untuk dipesan. Harusnya tadi dia menjemput Anin, tapi keputusan wanita itu tetap nomor satu.

Rasa pahit di lidah membuat Aksa mengerutkan dahi. Ah, sepertinya memesan minuman ini adalah keputusan yang salah, sebab Aksa biasanya hanya akan memesan minuman biasa seperti lemonade atau teh. Baru hendak meletakkan cangkir kopi di tangannya ke atas meja, Aksa dibuat terkesiap ketika suara lonceng yang diletakkan di depan pintu utama berbunyi nyaring, tapi bukan itu yang menjadi fokus utamanya. Melainkan, sosok Anindia yang muncul dari balik pintu dengan sebagian pakaiannya yang basah kuyup.

Aksa mengerutkan kening, panik seketika merambat ke seluruh tubuhnya ketika menyadari kalau tubuh mungil Anindia bergetar hebat. Wajah cantiknya terlihat pucat dan Aksa paham kalau hal itu bukan pertanda baik.

Refleks, Aksa bangkit dari duduknya dan berlari dengan wajah panik yang tidak dapat dia sembunyikan. Lelaki itu menghampiri Anindia yang menatapnya bingung, seakan bertanya lewat tatapan mata mengenai raut khawatir di wajah Aksa yang terlampau kentara.

What happened?” tanya Aksa ketika tubuhnya sudah berada tepat di depan Anin. Tanpa peduli kalau belasan pasang mata ikut menyaksikan bagaimana lelaki itu berlari cepat ke arah Anin yang masih berada di ambang pintu utama kafe, Aksa memindai tubuh Anin dari ujung kaki hingga rambut, memastikan kalau tubuh mungil itu tidak terluka.

Anin masih kelihatan kebingungan. “You look so panic,” katanya.

Sadar kalau nada reaksinya berlebihan, Aksa berdehem canggung. Tangan kanannya bergerak mengacak rambut frustasi, dalam hati merutuki kebodohannya yang kembali jadi manusia aneh jika berhadapan dengan Anindia.

I'm sorry, I thought that you had an accident. Wait, you didn't get any accident, did you?

Anin mengenggeleng, gelengannya tampak ragu. Aksa pada akhirnya mengajak Anin berjalan ke arah meja yang tadi dia tempati. Lagi-lagi tanpa sadar, Aksa bertingkah di luar kendali.

Tanpa dia sadar, tangannya membantu menarik kursi yang akan ditempati Anin sebelum wanita itu sempat menariknya lebih dulu. Aneh, sebab Aksa belum pernah melakukan hal semacam itu kepada siapa pun kecuali Mamanya. Anindia lagi-lagi membuatnya mempertanyakan diri sendiri.

Ada yang datang dengan kecepatan kilat berlabuh di dalam dadanya, membuat rongga napasnya terasa penuh dan terasa membuncah. Ada yang terasa terisi ketika matanya menangkap sosok Anindia berdiri pertama kali di depan pintu tadi, dan Aksa tidak menampik kalau rasa penuh serta membuncah itu membuatnya sedikit lebih hidup.

“Kamu udah lama nunggu ya?”

Lamunannya buyar ketika suara lembut diiringi getar itu mengalun, Aksa mengangkat kepalanya dan menemukan Anin tengah menggenggam kedua tangannya seerat mungkin. Anin kedinginan.

Not really, saya baru dateng dua menit sebelum kamu,” jawabnya.

Tanpa dia duga, tawa manis keluar dari bibir pucat Anin. Aksa terdiam sejenak, otaknya berusaha keras memproses bagaimana gelak halus itu memasuki rungunya dan sukses membuatnya terpaku.

Please lie better, minuman kamu bahkan hampir habis. Saya telat banget, I'm really sorry. Something unexpected happened, I couldn't drive fast,” jelas Anin. Lalu dia melanjutkan, “Saya telat berapa lama?”

“Ngga terlalu lama, 15 menit.”

“Itu lama, Dokter Aksa. 15 menit bisa dipakai buat check up satu pasien luka ringan kalau di rumah sakit.”

Aksa tersenyum sebagai respon. “Well, let say begitu. Jangan dibahas lagi, kamu mau pesan apa? Bills on me.

“Teh aja, tapi biar saya yang bayar.”

Tak ada bantahan, sebab Aksa bahkan tidak tega melanjutkan perdebatan ketika sadar kalau getar di tubuh Anin akan semakin parah kalau dia malah membawa argumen soal siapa yang akan membayar makanan masing-masing. Melihat itu, Aksa melepaskan jaket yang dia pakai dan menyerahkan benda itu kepada Anin.

“Apa?” tanya Anin.

“Ini, dipakai dulu. You're freezing cold,” jawab Aksa. Merasa kalau Anin tidak kunjung menyambut ulurannya, Aksara meletakkan jaketnya langsung di tangan Anin, memintanya untuk tidak menolak. “Jangan ditolak, kamu bisa sakit kalau kedinginan lebih lama.”

Anin pada akhirnya mau memakai jaket itu di tubuhnya. Walaupun terlihat kebesaran dan membuatnya sedikit tenggelam di dekapan jaket itu, Anin tampak lebih baik dari sebelumnya.

Thanks.

Aksa menganggu sebagai balasan. “Are you sure you're okay?

Anin menoleh, kepalanya mengangguk pelan. Penuh ragu, sebab dia sendiri tidak dapat memungkiri kalau dingin masih menusuk. Sebagian besar bajunya basah akibat guyuran hujan ketika hendak keluar dari mobil menuju kafe, padahal jaraknya tidak terlalu jauh, namun sepertinya Anin harus menerima kalau kemeja abu-abu tua yang dia pakai sudah tampak sangat mengenaskan karena basah di bagian bawah.

“Saya lari dari parkiran ke sini, jadi wajar kalau masih sempet kena hujan.”

“Kenapa ngga minta sopir taksinya buat drop kamu langsung depan pintu?”

“Saya ngga jadi naik taksi, I drove by myself.”

Aksa mengangguk tanpa bertanya lebih lanjut. Keduanya diam sambil menunggu pesanan Anin datang. Kecanggungan menyelimuti, tapi Aksa bersumpah kalau canggung yang menjebak mereka kali ini jauh lebih baik dari atmosfer mana pun. Dia bisa memaku tatap pada Anindia yang memandang jendela luar dalam hening. Wajah kecil itu terbingkai oleh surai panjang yang dia biarkan tergerai menghalangi sebagian permukaan kulit, dan untuk pertama kalinya dalam sejarah hidup Aksara, dia mengakui kalau wajah dan tatapan lembut seseorang bisa membuatnya kewalahan.

Dalam dua menit membiarkan iris tajamnya menghafal tiap sudut wajah Anindia, Aksara paham kalau dirinya akan terus-terusan menggumamkan kata “cantik” di tiap gerakan kecil yang wanita itu buat, akan terus begitu sampai waktu yang tidak ingin dia tentukan.

Sayang, lamunannya buyar ketika suara gemuruh terlampau nyaring dan menggelegar datang secara tiba-tiba. Petir dan kilat datang bersahutan, seperti tidak diberi jeda oleh langit sembari menumpahkan lebih banyak air ke muka bumi. Aksa memandang gelap pekat yang mewarnai awan-awan tebal melalui jendela, yakin kalau hujan akan berlangsung lebih lama dan jauh lebih lebat.

Lalu saat pandangan matanya kembali terarah ke depan, Aksa menemukan Anindia yang menutup kedua telinganya sendiri dengan tangan. Seiring dengan gemuruh dari langit yang terus terdengar, Anin semakin menekan telapak tangannya ke telinga. Tubuhnya terlihat semakin bergetar, tak lagi sempat dia tahan seperti yang sebelumnya.

Maka dalam sekali pandang, Aksa bisa menarik satu kesimpulan; Anindia punya tidak suka suara petir. Lalu benaknya mencoba menyambungkan pemandangan itu dengan keterlambatan Anin dan alasan kalau dia menyetir sendiri. Hasilnya masuk akal, Anin tidak bisa mendengar suara petir yang kuat dan wanita itu harus menyetir sendiri. Detik itu, Aksa bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana raut ketakutan dan kepanikan yang menguasai Anin ketika berusaha datang ke sini.

Lalu saat satu lagi suara gemuruh muncul lebih menggelegar, Aksa spontan maju dan membantu Anindia mengeratkan tangkupan di telinganya. “Saya izin bantu tutup telinga kamu, saya ngga bawa earphone buat ngehalangin suara petirnya, this is the very least thing I can do to make it better.” Kalimat itu serupa bisikan, Aksa mencoba menenangkan Anin yang semakin meringkuk di atas meja sempit itu. Tangannya berada di atas tangan Anin, dia tekan sekuat yang dia bisa namun tetap memastikan kalau gerakannya tidak akan menyakiti Anin, berharap kalau yang dia lakukan dapat sedikit meredam suara keras yang datang menyerbu itu.

You're gonna be safe, that's okay...” Aksa mengucapkan kalimat itu berkali-kali. “*I'm holding you, don't be scared.” Serta kalimat-kalimat lain yang serupa mantra, yang dia ucapkan seraya berusaha mengeratkan jaket miliknya agar tidak lepas dari tubuh mungil Anin.

Seakan semesta mendukung, saat Aksa menundukkan pandangan pada Anin, si cantik itu mengangkat kepalanya dan membuat iris mereka bertemu dalam satu jalur tatapan. Aksa tidak tahu apa yang ada di dalam mata itu, tapi yang pasti ketika Anindia mengatakan sebuah kalimat dengan suara lirih dan getar di ujung kalimatnya terdengar amat jelas, Aksa menyimpul dirinya sendiri.

Can you hold me tighter, please?” pintanya.

Telak, Aksara kalah telak. Sebab di detik yang sama ketika kalimat itu terudara dan matanya menangkap gurat penuh luka di iris kelam milik Anindia, Aksara mendeklarasikan diri kalau terhitung sejak saat itu, dia mau Anindia.

-