Dokter Itu, Namanya Anindia – Bagian Dua
TW // Mention of blood
Aksa tidak pernah tahu kalau melihat seseorang dibalut oleh jas putih khas dokter adalah sesuatu yang amat menggemaskan. Aksa menggigit bibir bawahnya ketat, berusaha sekuat tenaga agar tidak mengembangkan senyum gemas kala melihat bagaimana tubuh mungil Anindia tenggelam dibalik pelukan jas miliknya.
Aksa punya bahu yang lebar, jas yang biasa dia pakai untuk bertugas di rumah sakit biasanya akan sangat pas membalut lekuk tubuhnya yang berotot. Tapi saat Anin memakai benda itu, tubuh wanita itu tampak semakin tergulung oleh panjangnya lengan jas Aksa.
“Kenapa tiba-tiba pengen pakai jas ini?” Aksa bertanya tanpa menolehkan kepalanya ke arah Anin, takut dirinya tidak tahan dan refleks mendaratkan usapan gemas di kepala Anin.
Anin mengangkat pandangan, mata bulatnya mengerjap berkali-kali. Hal itu tertangkap pandangan Aksa melalui kaca dashboard di hadapannya, dan lelaki itu bersumpah kalau pemandangan itu membuatnya mengumpat kencang dalam hati.
“Kangen suasana rumah sakit, kalau begini jadi kesampaian walaupun sedikit,” jawab Anin. Suaranya mencicit layaknya anak burung dalam sangkar, malu sebab takut Aksa akan menganggap keinginannya adalah hal yang aneh.
“Aneh banget ya?” Anin mendesis pelan, kemudian membuang pandangannya ke arah jendela, menghindari kekehan halus Aksa yang diiringi dengan gelengan pelan.
“Ngga aneh, sama sekali ngga aneh. Wajar kamu kangen, kamu dokter. Ditambah, mungkin bawaan pregnancy jadinya begitu.”
Anin mengangguk pelan sebagai balasan. Aksa kembali fokus pada kemudi di genggamannya.
“Tadi saya ketemu Jeandra di depan.” Aksa kembali membuka topik.
Anin diam menunggu kalimat Aksa berlanjut sebab nada suaranya menggantung.
“Mukanya kayak mau mukul saya, tapi dia diem aja.”
Anin tetap diam. Karena sejujurnya dia sendiri tidak punya ide apapun yang bisa dijadikan balasan atas kalimat yang keluar dari bibir Aksara.
“Dia tau soal kehamilan kamu?” tanya Aksa, suaranya terdengar berhati-hati, sebab paham kalau pembahasan seputar kehamilan mungkin amat sensitif bagi Anin.
Anin menggeleng pelan, kepalanya tertunduk dalam. “Belum, Jean belum tau.”
“Jangan bilang kalau kamu ngga berniat kasih tau dia?”
Anin menimbang jawaban di dalam kepalanya sendiri. Dia ragu, namun tetap berusaha menjawab pertanyaan Aksa.
“Saya belum tau, ngasih tau Jean soal kehamilan saya ngga terdengar seperti ide yang bagus. Tapi mau bagaimanapun, ini darah dagingnya Jean.”
Tapi mau bagaimanapun, ini darah dagingnya Jean. Ada denyut sakit yang tidak nyaman menyerbu dada Anin kala kalimat itu lolos dari bibir tipisnya. Anin menelan ludah susah payah, tenggorokannya terasa kering tiap kali pembahasan soal bayinya dan Jean disebut dalam percakapan dengan siapapun.
Aksa tidak memberi tanggapan. Lelaki itu sibuk dengan isi kepalanya sendiri. Hingga bermenit-menit kemudian, hening menjadi penguasa. Suara kendaraan di sekitar mereka menjadi latar satu-satunya, membawa Anin tenggelam menyelami runtut kejadian yang menimpanya beberapa minggu belakangan ini. Refleks, Anin memegang perutnya sendiri dan mengelus di sana dengan kedua mata terpejam.
“Udah sampai, ayo turun.”
Anin tersentak, kepalanya terangkat demi menemukan sebuah bangunan cukup luas yang dia tahu adalah salah satu kedai es krim paling laris di pusat kota. Sontak, Anin tersenyum lebar.
Tanpa menunggu Aksa, Anin bergerak melepas seatbelt miliknya dan turun dari mobil, kakinya berlari-lari kecil sampai Aksara harus sedikit berteriak agar tubuh kecil itu tidak berlari terburu-buru dan berakhir jatuh.
Mereka sampai di dalam bangunan, Anin mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tatapan takjub tak lepas dari kedua netra bulatnya.
“I'll have the order for us, two cones of strawberry flavor with choco chips and wafer, one plain cone of vanilla. Am I right?“
Anin mengangguk semangat, dan Aksara tidak lagi dapat menahan dirinya untuk mendaratkan tangan kanan di atas kepala cantik di depannya itu dan membuat gerakan mengacak pelan rambut Anindia.
“Oke, tunggu dulu di sini.”
Aksa melangkah menjauh, sedangkan Anin kembali melihat sekeliling interior bangunan. Matanya menangkap beberapa pengunjung yang berlalu-lalang di depan pintu, beberapa lagi sedang asyik bercengkrama dengan sesama, sisanya makan dalam hening. Oh, Anin belum melepas jas putih milik Aksa. Dia masih belum puas mengobati rindu pada benda yang dulu jadi kebanggaannya itu.
Sampai kemudian, Anin tersentak oleh teriakan melengking dari arah timur bangunan. Matanya dengan waspada mengawasi, sebelum kemudian menemukan beberapa orang tengah berkerumun mengelilingi sosok tubuh yang terbaring mengenaskan di lantai.
Seorang wanita, terlihat seumuran dengannya, tengah mengerang penuh kesakitan dengan tubuh terbaring di lantai. Perut wanita itu membuncit, dan dalam sekali pandang, Anin paham kalau wanita itu tengah berbadan dua, sama sepertinya.
Anin sontak bangkit dari tempat duduknya, kemudian berlari menghampiri kerumunan yang semakin ramai. Darah berceceran di lantai, membuat insting dokter yang Anin punya langsung mengambil alih. Dia gulung lengan jas putih Aksara hingga sebatas siku, kemudian berjongkok dan memeriksa denyut nadi wanita di depannya.
Tangan penuh darah wanita itu mencengkram tangan Anin, membuat noda merah pekat ikut menyebar pada permukaan kulit Anin yang bersih.
Wanita itu menggumam kurang jelas, Anin sampai harus berkali-kali menepuk wajah di depannya itu untuk memastikan kalau wanita itu masih siuman.
“Ma'am, can you hear me?” Anin bertanya pelan, berusaha tenang agar kepanikan tidak menjalar pada sosok di hadapannya dan membuat segalanya jadi makin kacau.
Sosok itu membuka mata, kemudian dengan tatapan memohon menggenggam tangan Anin dan berusaha bicara. “My water broke just now, please. Saya butuh rumah sakit sekarang.”
Anin mengangguk. Kemudian memberi instruksi kepada salah satu pegawai kedai yang berada tak jauh darinya untuk memanggil bantuan ambulans.
“Did you come here by yourself, Ma'am?” Anin kembali bertanya dengan suara tenang.
Wanita itu mengangguk, namun kepanikan menjalar di seluruh pupil matanya.
“Saya butuh kontak salah satu keluarga yang bisa dihubungi, takut terjadi sesuatu baik di perjalanan atau di rumah sakit nanti. Where's your husband?“
Kepanikan semakin menjadi, wanita itu menggeleng ribut. Anin mengerutkan keningnya bingung, namun ketika pandangannya turun ke arah paha milik si wanita yang tersingkap, dia bungkam.
Tangis semakin menjadi ketika si wanita sadar kemana arah pandangan Anin.
“Jangan telpon siapa-siapa, please. Let me fight this baby by my self, saya bisa sendiri.”
Anin terpaksa mengangguk. Dia hendak kembali membuka mulutnya untuk mengudarakan kalimat lainnya, namun suara Aksara yang berteriak memanggilnya dengan panik membuat Anin mengurungkan niat.
“Astaga, Anindia.” Aksa terlihat panik, suaranya meninggi.
Lelaki itu lalu menarik tubuh Anin pelan, menjauhi kerumunan.
“Wait, Aksa. Ada yang aneh dari badan cewek itu, saya mau liat sebentar.”
Aksa menggeleng tegas. “Orang-orang berdesakan buat liat dia, salah dikit kamu kedorong sana-sini dan akhirnya jatuh. Tunggu di sini, biar saya yang urus.”
Anin menggeleng. “Saya ikut.”
Aksa menggeleng lebih keras. “Stay here.” Kalimatnya tegas, dan anehnya Anin merasa kalau dia tidak dapat memberi bantahan.
Aksa melangkahkan kaki mendekati kerumunan, namun langkahnya tertahan oleh Anin yang meraih tangannya.
“Di pahanya ada memar. Dia ngga mau ditelponin siapapun termasuk suaminya. Selain panggil ambulans, tolong panggil polisi juga. Memarnya bukan karena jatuh, warnanya udah kuning pucat. Bisa jadi itu udah berhari-hari yang lalu dan keliatannya hasil dipukul. Buat pencegahan aja, takutnya kalau dia dibiarin sendiri di rumah sakit, orang yang mukul dia nyari dan bahayain dia sama bayinya.”
Aksa mengangguk paham sebelum kemudian melangkah ke sana.
Anin mengamati dari jauh, matanya memperhatikan bagaimana Aksara memeriksa keadaan wanita itu dengan hati-hati. Ada rasa lega yang menyergap Anin ketika tahu kalau dia masih bisa membantu orang-orang seperti yang biasa dia lakukan. Namun mengingat kalau titelnya bukan lagi “dokter”, Anin kembali membungkam senyumnya.
Pada akhirnya, Anin hanya duduk memperhatikan bagaimana Aksara mengatur keberangkatan wanita tadi ke rumah sakit. Tubuhnya dia dudukkan di salah satu kursi kedai yang kosong. Sampai akhirnya Aksara kembali ke hadapannya dan memasang tatapan penuh khawatir, Anin tidak tahu harus menjawab apa ketika sebuah kalimat tak terduga meluncur dari bibir Aksara.
“Jangan bertindak kayak tadi lagi. Jangan hilang lagi, kamu bikin saya khawatir, Anin.”
Anin benar-benar kehilangan kemampuan untuk bicara.
“Kamu selalu sekhawatir itu kalau menyangkut orang lain, sampai kamu lupa kalau diri kamu sendiri juga butuh dikhawatirkan. Kamu selalu berusaha menjaga orang-orang di sekitar kamu, bahkan yang kamu ngga kenal sekalipun. Kalau begitu terus, siapa yang jaga kamu?”
Kalimat itu meluncur tanpa mendapat respon dari Anin. Pesanan mereka sampai ke meja, hening menguasai. Anin tenggelam dalam lamunan, sedangkan Aksa merutuki diri dalam hati berkali-kali, mengumpati kalimatnya yang terkesan lancang. Tanpa sama sekali mengetahui, kalau sedari tadi, dua mata milik Jeandra mengawasi dari jauh. Kedua tangannya terkepal, namun tidak ada yang bisa lelaki itu lakukan selain menekan egonya dalam-dalam.
-