writer.as/lalalafindyou

Kalau bisa diibaratkan, saya akan menyebut bayangan yang terpantul di kaca saat ini adalah mayat hidup.

Tangan saya menggenggam botol kaca bening, botol kedua yang saya tenggak isinya hingga tak bersisa. Rasanya kosong, saya kebingungan. Saya kira satu-satunya cara agar kekosongan yang menguasai dada adalah dengan membuat diri saya kehilangan kesadaran.

Saya kira kalau saya berada di ambang kesadaran yang mulai menipis, wajah Anindia bisa lenyap dan berhenti membuat saya harus memukul dada berkali-kali karena sesak yang tak kunjung pergi.

Tapi ternyata saya salah. Anindia masih di sana, di kepala saya. Anindia ada dimana-mana. Di sudut ruangan sambil tersenyum ke arah saya dengan kedua tangan membawa sepiring makanan, di depan saya sambil mengomel karena dasi saya yang berantakan, di sofa ruangan saya sambil membaca jurnal kedokteran yang selalu dia bawa.

Dia ada dimana-mana, terutama di setiap sudut sel otak saya yang bertugas memunculkan khayalan.

Saya terlalu sibuk dengan usaha melupakan Anin, sampai-sampai saat saya sadar kalau ada Karinina yang tengah menunggu di rumah, saya hanya memejamkan mata dan berlalu tidak peduli.

Anindia menyita seluruh perhatian saya, seluruhnya tanpa sisa. Dan kali ini, saya kembali tidak dapat menemukan kalimat yang tepat untuk menyimpul tulisan ini.

Yang saya pahami hanya satu, yaitu saya yang mulai kehilangan diri sendiri sejak kehilangan Anindia. Bahwa saya ternyata selemah ini kalau urusannya adalah Anindia. Kalau ternyata, Anindia yang pergi betul-betul berhasil membuat saya kehilangan arah.

Ini hari Selasa, tolong ingatkan saya kalau ini adalah Selasa pertama yang saya jalani tanpa melihat Anindia sejak pernikahan kami.

Saya merasa hilang.

Sejak tadi sore ketika terakhir kali saya melihat tubuh mungil milik Anin memasuki mobil milik Papanya, saya mulai merasa ada yang hilang dari diri saya. Rasanya, kedua tangan dan kaki saya tidak bisa berhenti bergetar. Saya tidak punya kemampuan untuk menggenggam tangan sendiri dengan benar, atau berdiri terlalu lama sebab tumpuan pada kaki saya seakan melemah.

Saya pernah berjanji untuk tidak menangis karena saya laki-laki. Ibun tertawa kencang saat saya mengatakan hal itu, tapi janji itu saya pegang hingga detik ini.

Namun ketika menyadari sepenuhnya kalau Anindia tidak lagi dapat saya raih dengan kedua tangan, saya melanggar janji itu. Saya menangis, entah apa namanya itu, tapi yang pasti saya menemukan jejak basah dan bekas sesak yang masih terasa di dada bagian kiri.

Kepala saya mulai memikirkan banyak skenario dengan harapan kalau saya bisa memiliki Anindia lagi. Tapi kemudian, ingatan soal Ibun yang menangis kencang dan berteriak histeris membuat saya kembali menggeleng keras. Saya...tidak bisa mendapatkan Anindia jika taruhannya adalah Ibun.

Saya masih bisa hidup tanpa Anindia walau harus merangkak, tapi saya tidak bisa hidup kalau Ibun yang pergi. Wanita itu memegang posisi terlalu penting dalam hidup saya, jadi kalau saya harus memilih satu antara mendapatkan Anin lagi atau terus melindungi Ibun sampai akhir, Ibun-lah yang jadi pemenang.

Semuanya terasa benar namun juga tidak benar di saat yang bersamaan. Seperti yang saya lakukan sudah terasa tepat, tapi sakit yang saya dapat seakan memperingatkan kalau ada yang salah dari yang saya coba usahakan agar melekat.

Melepaskan Anin terasa melegakan namun juga menyakitkan di saat yang bersamaan. Getar yang saya rasakan di seluruh tubuh belum kunjung hilang, keringat dingin juga datang serta-merta dan membuat saya merasa semakin sakit.

Entah apa inti dari catatan ini, saya bahkan tidak dapat menemukan kata yang tepat untuk dipakai sebagai penyimpul dari semua kalimat. Ini adalah Selasa, hari pertama catatan saya dibuat. Tolong ingatkan saya, kalau di hari ini, saya kehilangan bagian berharga dari diri saya demi menyelamatkan bagian dari diri saya yang lain. Tolong ingatkan saya.

Saya tidak pernah benar-benar siap melepas Anindia, itu yang saya yakin. Bahkan di saat bibir saya berucap kalau melepas Anindia adalah jalan terbaik yang bisa saya ambil. Tapi nyatanya sesak yang menghujam dada bagian kiri saya menjadi bukti, kalau mendapati Anindia tidak lagi berada di samping saya adalah mimpi buruk yang selalu ingin saya hindari.

Saya masih ingin melihat Anindia di tiap bangun tidur, saya masih ingin melihat bagaimana si cantik itu mengomel hanya karena saya menaruh handuk tidak pada tempatnya, saya masih ingin Anindia.

Saya belum pernah merasa seputus asa ini karena perempuan, dan Anindia berhasil membuat saya hampir gila. Anindia, Anindia, dan Anindia. Nama itu membuat saya ingin melepas sebentar kepala saya dan mengeluarkan satu persatu nama miliknya agar setidaknya, kepala saya dapat terasa sedikit lebih ringan.

Tapi saya tidak bisa. Karena nyatanya, satu kali saya melupakan nama Anindia di kepala, saya berakhir kebingungan dan merasa kehilangan arah. Selalu begitu, walau sebetulnya saya sudah mati-matian melarang pikiran saya untuk membawa nama dan wajah Anin ke dalam sel-sel terkecil di otak saya. Tapi Anin tidak pernah benar-benar pergi, selalu bersarang di kepala saya sampai terasa penuh.

Makanya, saat Hema memberi saran untuk kembali memikirkan keputusan melepas Anindia dan menahannya sampai saya bisa berpikir dengan benar, saya membuat Anindia kerepotan karena saya.

Semata hanya tidak ingin Anin meninggalkan saya terlalu cepat. Dua hari lalu saya meminta Anin untuk memasak, tapi kemudian langsung pergi ke kantor tanpa mengatakan apapun. Sengaja, sebab saya kehabisan akal dalam berusaha membuat Anin bicara lagi pada saya. Bibirnya terlihat pucat dan Anin terlihat selalu kelelahan, jadi satu-satunya cara memintanya makan tanpa harus berakhir terjebak dalam adu argumen adalah dengan meminta Anin memasak. Anin itu tidak suka membuang-buang makanan, jadi saya yakin kalau dia akan makan hasil masakannya walau hanya sedikit.

Kejadian itu hanya satu dari beberapa cara yang saya lakukan agar bisa menahan Anin sedikit lebih lama. Saya belum siap kalau harus benar-benar ditinggalkan oleh sosok itu. Saya kira, siasat saya berhasil.

Tapi kemudian, saya kembali berubah pikiran.

Sebab hari ini ketika saya baru menginjakkan kaki di rumah, saya mendengar suara tangis. Tanpa perlu menebak lebih lama, saya langsung bisa mengetahui kalau suara tangis yang terdengar ditahan sekuat tenaga walau gagal itu adalah milik Anindia. Kaki saya melangkah menuju pintu kamar yang Anin huni, daun pintu tidak tertutup sempurna hingga saya bisa menyaksikan bagaimana Anin tengah duduk di tepi ranjang dengan satu tangan membekap mulut sendiri, berusaha agar tangisannya tidak terdengar hingga keluar.

Anindia menangis, sesuatu yang amat jarang saya temukan. Dan kali ini, saya yakin kalau sayalah penyebabnya. Anindia, Anindia saya, menangis dengan satu tangan memukul dada dengan harapan kalau pukulan brutalnya akan membantu menghilangkan rasa sakit yang hadir di sana.

Saya bersumpah, kalau detik itu saya amat ingin menghajar diri sendiri.

Padahal saya tahu kalau saya terlampau sering menyakiti sosok mungil yang kehadirannya teramat berharga bagi saya itu, padahal saya tahu kalau saya adalah alasan utama dari kekacauan yang terjadi. Tapi melihat Anindia menangis dengan mata saya sendiri, rasanya seperti ditusuk oleh ribuan pedang tak kasat mata. Sakit, saya bahkan hampir kehilangan keseimbangan dan hampir tersungkur di lantai. Anin tidak pernah menangis di depan saya, dan melihat tangisan itu tepat di depan mata sendiri terasa seperti hukuman.

Saya melangkah maju dan berakhir duduk berlutut di hadapan tubuh kecil yang meringkuk penuh rasa sakit itu. Mata saya memanas, namun saya tekan kuat-kuat rasa sesak yang merajam. Anin mengangkat pandangan dan membuat tatapan kami bersatu, mata sembab miliknya bisa saya lihat dengan jelas.

Detik itu, Anindia kembali menangis di depan saya. Tangisannya tak lagi dia tahan, lepas tanpa jeda dan membuat saya semakin dikuasai rasa bersalah yang terlampau besar. Kedua tangan mungil Anin mencengkram pinggiran tempat tidur, isakan yang tadi dia tahan kini memenuhi ruang kamar yang hanya berisi kami berdua.

Detik itu, semua saran Hema, keinginan saya untuk menahan Anin lebih lama, atau semua yang berhubungan dengan ego saya dalam sekejap runtuh. Saya...tidak bisa membiarkan Anin menderita lebih dari ini.

Maka saat tangisnya semakin kencang terdengar, saya raih satu tangan mungil milik Anin dan membawanya ke dalam rangkuman tangan saya. Saya menahan napas, berusaha agar suara saya tetap terdengar jelas meski sebetulnya tenggorokan tercekat seakan berisi batu-batu besar yang menghalangi.

Let's do the divorce like you want, I won't let you suffer more than this.

Itu kalimat terakhir yang saya katakan sebelum kemudian keluar dari kamar dan menghubungi seorang pengacara yang saya kenal dengan baik. Let's do the divorce, kalimat itu berhasil saya katakan dengan jelas dan berhasil membuat tangisan Anindia berhenti seketika.

Mungkin ini waktunya, saya berkali-kali meyakinkan diri sendiri. Melepaskan Anindia berarti memberinya ruang untuk bernapas dengan benar dan menjauhkan Anin dari kata hancur.

Hari ini, saya mengaku kalah. Dari ego, dari masa lalu, dari semua mimpi soal bangun tidur dengan Anindia di samping saya, dari harapan soal membawa saya dan dia yang dulu ke masa depan, dari semua yang berhubungan dengan Anindia. Saya kalah, kalah telak.

Ingat ketika terakhir kali saya bilang bahwa saya tidak ingin lagi jatuh untuk Jeandra? Itu dua minggu yang lalu. Waktu berlalu begitu cepat untuk orang-orang, tapi menjadi selambat siput bagi saya.

Di pagi hari ketika saya pada akhirnya memberanikan diri membahas kata cerai pada Jeandra, lelaki itu tidak dapat saya temukan dimana pun. Di kamar kami, yang sekarang dia tempati bersama Karin, hari itu yang saya temukan hanya sosok Karin yang masih tertidur nyenyak tanpa gangguan. Di dapur, di ruang minuman, di garasi besar di sayap kiri rumah tempat Jean menyimpan semua koleksi mobil dan motor miliknya, bahkan di kantor. Saya tidak dapat menemukan dia dimana pun selama dua hari.

Panggilan saya diabaikan, pesan yang saya kirim tak kunjung dibaca. Saya kebingungan selama dua hari, tapi tidak bisa pergi kemana pun karena kondisi saya yang tidak memungkinkan untuk berkendara. Punggung saya terasa amat pegal, saya bahkan kelelahan hanya karena berjalan dari kamar menuju dapur.

Jadi selama dua hari di dua minggu yang lalu, saya hanya menunggu kedatangan Jeandra. Sampai akhirnya, sosok yang saya cari-cari itu muncul dan saya menahan diri untuk tidak terlihat bernapas lega karena melihat Jean yang tampak baik-baik saja.

Sayangnya, Jean menolak diajak bicara.

Lelaki itu jadi lebih pendiam daripada biasanya. Matanya jadi lebih dingin dari terakhir kali kami terlibat argumen. Bibirnya terkunci rapat-rapat, bahkan bicara satu kata pada saya pun, Jeandra bersikap seolah saya tidak terlihat oleh mata.

Saya bingung, dan hari ini ketika sudah hari ke-14 dimana Jeandra berlagak seperti saya tidak pernah hadir di rumah itu, saya berada di ambang batas kesabaran yang saya miliki.

Hari ini, saya yakin kalau Jean sedang duduk di halaman belakang rumah. Sebuah kebiasaan yang sama sekali belum hilang darinya bahkan setelah bertahun-tahun sampai saya hafal di luar kepala. Dengan irama jantung yang berantakan, saya meyakinkan diri sendiri untuk berdiri di hadapan Jean dan mengatakan semua yang sudah saya simpan berhari-hari di kepala.

Cerai.

Kata itu berkali-kali memutari kepala, terasa amat memuakkan dan membuat saya hampir berteriak. Di samping fakta kalau saya bahkan tidak bisa menjamin apa-apa mengenai posisi saya di hati Jean, kata itu juga semakin sering mampir di pikiran karena saya yang sudah terlalu lelah.

Untuk memahami sesuatu, manusia setidaknya membutuhkan satu atau dua petunjuk. Memahami Jeandra mungkin akan lebih mudah jika saya punya satu saja petunjuk untuk dipecahkan, tapi sayangnya saya tidak punya. Jeandra dan semua masalahnya terlalu abu-abu bahkan hitam sepenuhnya. Saya sama sekali tidak dapat menemukan satu pun cara yang benar untuk mengerti soal lelaki yang berjanji di hadapan Tuhan akan menjaga saya itu.

Jadi, saya memutuskan untuk menyerah dan berhenti mencoba.

Kalau Jeandra menolak untuk dipahami, saya juga berhak menolak untuk memahami. Kalau Jeandra menolak menjelaskan pada saya, maka saya juga berhak menentukan kejelasan sendiri.

Maka di sinilah saya hari ini, berdiri di depan pintu utama yang menghubungkan halaman belakang rumah kami yang luas dan area ruang makan. Saya menarik napas pelan, berusaha menenangkan detak jantung yang seakan tengah memprovokasi saya bahwa hari ini adalah waktunya, waktu untuk berhenti dan kembali berdiri dengan dua kaki sendiri lagi.

Saya sudah siap dengan semua kalimat yang sudah saya susun sedemikian rupa, tangan saya meraih gagang pintu dan memutar benda itu ke bawah. Satu langkah diambil, saya bisa merasakan kalau seluruh tubuh terasa dingin dan bergetar hebat tapi saya menolak untuk tumbang.

Ketika pintu sudah setengah terbuka, mata saya menangkap sosok Jeandra yang tengah duduk membelakangi saya. Tubuh kekar itu tengah duduk di sebuah ayunan yang sudah berada di pojok kanan halaman sejak pertama kali rumah ini di bangun.

Tapi Jeandra tidak sedang sendirian.

Dia lagi rewel akhir-akhir ini, cuma mau diem kalau kamu elus kayak gini.”

Itu suara Karin, yang saat ini tengah berada dalam rangkuman tangan Jean yang memeluk tubuh mungil itu dengan erat. Sejenak, saya merasa kehilangan kekuatan pada tumpuan kaki saya. Napas saya tersengal, dan seakan bisa merasakan yang tengah saya rasakan, sosok di dalam perut saya langsung memberi reaksi layaknya gelisah. Ada sesuatu yang terasa mengganjal dari perut bagian bawah hingga dada bagian kiri saya, yang saya yakini kalau hal itu berasal dari si kecil di dalam sana.

Dari tempat saya berdiri, saya bisa menyaksikan bagaimana tangan Jean kemudian bergerak mengelus perut rata Karin dengan gerakan teramat pelan. Gerakannya teramat hati-hati, Jean bahkan menyempatkan diri untuk membungkuk dan menghadiahkan sebuah kecupan ringan di perut Karin.

Saya kontan mengelus perut sendiri, menempatkan tangan kanan saya dengan pelan di bagian janin saya berada. Anehnya, kali ini tak ada air mata yang keluar dari pelupuk mata saya. Walaupun rasa panas secara brutal menyerang dua pupil kembar milik saya, tapi saya tidak dapat meneteskan satu bulir bening pun.

Rasanya seperti saya sudah cukup menangis, rasanya seperti saya sudah tidak sanggup menangis dengan alasan yang sama lagi. Rasanya, bahkan seluruh tubuh saya sudah menolak berkompromi dengan hati yang saat ini meminta saya menyerah dan kembali lemah.

“Kalau orangtuaku masih ada ya, mereka pasti sama senengnya kayak kita. Ya walaupun aku yakin kalau bakal dimarahin dulu karena hamil sebelum nikah, tapi gak apa-apa. Papaku baik, meskipun marah tapi ngga akan tega apalagi mau punya cucu. Terus Mamaku, Mama pasti udah heboh nyari baju-baju bayi buat persiapan.” Suara Karin terdengar halus, kekehan kecil kemudian hadir setelah kalimatnya terudara. Jean ikut tertawa pelan, lalu kembali merangkul Karin dengan erat.

Saya tidak dapat melihat wajah mereka, tapi satu hal yang saya yakini, kalau Karin saat ini tengah memejamkan mata menikmati elusan ringan dan rangkulan dari Jean.

“Terakhir kali aku ketemu mereka itu tiga tahun lalu, aku inget banget mereka pamit mau makan malam buat anniversary mereka yang ke 26 tahun. Tapi ngga sampai satu jam kemudian, aku malah nerima kabar kalau mereka kecelakaan.” Suara Karin terdengar bergetar, saya dapat menebak dengan jelas walaupun jarak terbentang cukup jauh dari dua orang yang tengah saling mendekap itu.

“Kamu capek ngga, sih, denger ceritaku soal kecelakaan itu?” Karin bertanya dan dijawab gelengan pelan oleh Jean.

“Mau kamu cerita sampai suara kamu habis juga aku ngga akan bosen dengernya,” jawab Jean yang kemudian membuat Karin tertawa sekali lagi.

Saya menjadi penonton dari semua pelukan dan percakapan itu dalam diam. Jean juga pernah mengatakan hal yang sama pada saya dulu, katanya semua cerita yang saya bagi tak akan pernah terdengar membosankan. Sama persis, tak ada yang ditambah atau dikurangi dari kalimat yang dia katakan.

Detik itu, saya paham kalau posisi saya benar-benar sudah tergantikan. Detik itu, saya paham kalau eksistensi saya benar-benar sudah tak lagi punya arti dalam hidup Jean. Harusnya saya paham hal itu sejak lama, tapi saya terlalu percaya diri kalau setidaknya masih ada satu tempat kecil di hidup Jean untuk saya. Saya terlalu yakin kalau saya masih bisa mengembalikan semua yang kami punya dulu.

Ingat ketika dulu saya pernah berkata kalau Jeandra itu milik saya?

Tolong lupakan yang satu itu, sebab hari ini saya mengaku kalah. Saya kalah telak, karena Jeandra bukan lagi untuk saya. Jeandra bukan lagi orang yang sama dan saya tidak dapat menyerahkan diri untuk rasa sakit lebih lama lagi.

“Aku kangen Mama sama Papa,” ucap Karin yang masih bisa saya dengar.

Kalimat itu membuat saya semakin menekan ego yang sempat mencuat. Karin cuma punya Jean, anak itu sama kesepiannya dengan saya. Karin bahkan jauh lebih kesepian daripada saya sendiri, dan fakta itu membuat saya semakin berlapang dada mengaku kalah.

Karin hanya punya Jean sebagai sandaran, sedangkan saya masih punya Papa dan masih bisa bertemu Mama sesekali. Anak itu butuh Jean lebih daripada saya, Karin lebih butuh bahagia daripada saya.

Saya masih bisa berdiri dengan kaki sendiri dan mencari kebahagiaan lain di luar sana. Walau saya sebetulnya ragu jika bahagia yang dimaksud di sini adalah dengan menemukan orang lain untuk saya jadikan sandaran, tapi yang jelas yang saya tahu, Jeandra dan Karinina sama-sama membutuhkan diri mereka masing-masing untuk bahagia, tanpa saya di antaranya.

Saya pernah mengira kalau takdir yang tergaris untuk hidup saya adalah bersama Jeandra. Buktinya, bahkan setelah berpisah selama tiga tahun tanpa komunikasi apapun, Jeandra tetap kembali pada saya. Bahwa yang terjadi di antara saya dan Jeandra adalah hasil dari takdir yang diundi, teracak dan berputar berkali-kali hingga akhirnya menjatuhkan nama Anindia dan Jeandra dalam satu wadah.

Tapi tampaknya, tuas pengacak tanpa sengaja terputar kembali. Hingga satu gulungan nama yang tak diundang terjatuh ke dalam wadah yang kami tempati, dan membuat segala hal berubah. Takdir yang saya harapkan hanya akan tercetak satu di wadah bersama Jeandra, ternyata harus tercampur oleh satu nama lainnya, nama Karinina.

Atau malah sebaliknya?

Atau malah sebetulnya, nama Karinina dan Jeandra sebetulnya berada di dalam satu wadah dan nama sayalah yang terjatuh tanpa diundang itu.

Kalau dulu, saya akan merasa gamang saat menjawab pertanyaan di atas, hari ini tidak akan terjadi lagi. Karena saya rasa, saya sudah menemukan jawaban yang tepat dan dapat menjawab dalam satu tarikan napas.

Bahwa sepertinya, takdir saya dan Jeandra memang betul-betul tidak pernah direncanakan untuk bersatu dalam satu wadah hingga akhir. Bahwa sepertinya, nama Karinina memang sudah terlebih dahulu ditautkan dengan nama Jean dan sayalah yang menjadi pengganggu di antara dua insan itu.

Bahwa sepertinya, saya kali ini benar-benar kalah telak tanpa bisa melawan, tanpa bisa meminta bantuan. Saya pada akhirnya benar-benar menyerahkan Jeandra dan mengangkat tangan kemudian mundur perlahan.

Bahwa sepertinya dari awal kami bertemu, Jeandra memang tidak pernah bisa menjadi milik saya, tidak akan pernah bisa.

-

Halo, ini Ageeta.

Oke, itu formal banget anjrit geli gue bacanya.

Jujur gue gak tau mau mulai dari mana, soalnya yang beginian itu bukan keahlian gue. Tapi gak-apa, mari mencoba pelan-pelan. Kita mulai dari cerita hidup gue yang biasa aja dan dan gak berkesan ini.

Gue adalah anak sulung dari dua bersaudara. Adik gue laki-laki, umur 18 tahun dan sekarang udah jadi mahasiswa semester dua di kampusnya. Si tengil itu namanya Haikal, Galiandra Haikal. Anaknya songong, kalau ketemu dia di McD gak apa-apa kalau mau lo tabok ubun-ubunnya.

Singkat cerita, gue dan Haikal adalah yatim piatu. Kita gak punya orang tua, mereka meninggal di sebuah tragedi kecelakaan waktu gue masih berumur 16 tahun dan Haikal masih 12 tahun. Sejak Ayah sama Bunda gak ada, gue mengambil peran sebagai orangtua tunggalnya Haikal. Anak itu jadi tanggung jawab gue sepenuhnya, baik moril maupun materil.

Gue gak pernah terang-terangan mengeluh soal betapa capeknya jadi kakak sekaligus orangtua tunggal buat Haikal, sebab gue tahu kalau hal itu cuma bakal bikin dia sedih dan gue benci liat dia sedih. Mukanya jelek kalau murung, sumpah gue gak bohong.

Gue selalu menyimpan keluh kesah gue sendiri, gue telan semua capek yang gue rasain seorang diri. Gue gak mau Haikal menganggap dirinya sendiri beban buat gue, dia punya banyak impian dan memikirkan soal gue serta semua keluhan gak penting gue kemungkinan besar bakal bikin dia merasa gak pantas memperjuangkan mimpinya.

Selama bertahun-tahun, gue cuma hidup sama Haikal. Om dan Tante baik dari Ayah atau Bunda sebenarnya sering berkunjung dan bertanya perihal gue dan Haikal, tapi gue pribadi merasa kalau gue mampu dan gue bisa. Makanya, kalau mereka menawarkan bantuan baik uang atau apapun, gue biasanya menolak. Atau kalau memang mereka memaksa, semua uangnya gue masukin ke tabungan yang khusus gue buka buat masa depannya Haikal.

Hidup sama Haikal membuat gue terbiasa sama kehadirannya. Gue terbiasa bangun cuma dengan pemandangan Haikal pakai bokser buluk bergambar Iron Man dan singlet yang udah robek di bagian ketek kanan. Gue udah terbiasa sarapan, makan siang, dan makan malam cuma sama dia. Gue udah terbiasa hidup berdampingan dengan Haikal tanpa adanya orang lain.

Jadi, sewaktu Tama meminta gue untuk melanjutkan hubungan yang udah kami jalani selama kurang lebih tiga tahun, gue ragu.

Gue takut kalau gue bakal mengacau. Gue takut dia gak bisa menerima gue versi sepenuhnya. Tama mungkin udah melihat gue dalam versi pacarnya, tapi membuat dia melihat gue dalam versi seorang istri, gue rasanya belum siap.

Gue masih sering bangun terlambat, gue kadang masih lupa masukin garam ke masakan yang gue bikin, gue kadang ketiduran di dalam bath up pas mandi, gue agak ngorok—TOLONG GARISBAWAHI KATA “AGAK”— kalau tidur, dan lain-lain.

Gue gak yakin kalau gue siap untuk membiarkan dia melihat sisi gue yang itu. Oke, gue paham kalau yang namanya pernikahan, hal-hal semacam itu adalah konsekuensi yang harus diterima sama pasangan. Gue juga paham kalau hal-hal semacam itu sebetulnya manusiawi dan gue juga yakin, kalau Tama gak akan langsung ngeeenggg ninggalin gue dan minta cerai cuma karena gue salah masukin bumbu di makanan dia. Tapi tetap aja, gue belum siap.

Tiga kali dia melamar gue dengan tujuan yang sama, tiga kali itulah gue tolak dia.

Gue takut. Gue takut sama banyak hal, termasuk sama fakta kalau yang melamar gue ini adalah seorang Baskara Naratama. Maksud gue, coba lo nilai sendiri. Tama punya segalanya, baik tampang maupun uang. Dia baik, Tama terlalu baik. Gue takut kalau terjebak dalam pernikahan sama gue, dia bakal dipandang sebelah mata sama orang-orang. Gue gak punya apa-apa, gue cuma modal kalimat “Cinta Kasihku, aku sayang banget sama kamu.” atau kalimat-kalimat alay lainnya sedangkan dia, gue bahkan yakin dia bisa gusur satu Jakarta cuma buat gue.

Kami gak sebanding, dan itu yang gue takut. Gue takut semua yang dia kasih ke gue bakal berakhir sia-sia dan pada akhirnya, gak ada yang bisa gue lakukan karena gue yang serba kekurangan.

Gue sayang dia, gue selalu pengen bangun di samping dia tiap pagi, gue selalu pengen jadi satu-satunya orang yang bikin dia senyum. Tapi kalau mewujudkan itu semua sama aja dengan mengorbankan masa depan yang dia punya, gue rasa gue gak akan keberatan buat bilang “gak” sekali lagi ketika dia melamar gue.

CW // Harsh words , Family conflict

Halo, ini Tama.

Sebagian dari kalian mungkin udah paham sama jalan cerita hidup gue yang rumit ini, sebagian lagi mungkin belum. Untuk itu, izinkan gue menceritakan sedikit soal hidup gue, sebelum nanti ke depannya, kalian jadi saksi bagaimana hidup gue perlahan berubah dari sesuatu yang rusak menjadi sesuatu yang meriah penuh sorak.

So, here we go.

Waktu umur gue 17 tahun, orangtua gue bercerai dan memutuskan untuk gak sama-sama lagi. Cinta yang mereka bilang bakal selamanya ada di dalam rumah nyatanya lenyap gak bersisa. Yang mereka bilang bakal selalu sama-sama baik dalam suka atau duka, nyatanya cuma omong kosong belaka. Keluarga yang gue kira bakal selalu jadi tempat bersandar, ternyata harus berakhir hancur bahkan tanpa timbang rasa.

Gue kacau.

Hidup gue berantakan sejak saat itu. Papa nikah lagi dan suatu hari, beliau datang ke gue dengan membawa sebuah fakta pahit yang harus gue telan secara paksa sampai dada gue sesak bukan main.

“Ini adik kamu, adik kandung kamu.” Itu kata Papa di hari gue pertama kali tahu kalau ada sosok lain yang membawa darah Papa di dunia ini. Bukan adik tiri, bukan anak bawaan istri barunya, atau anak yang dia adopsi dari panti asuhan manapun. Adik kandung, murni anak hasil hubungan Papa yang ternyata terjalin belasan tahun lamanya sama wanita simpanannya yang sekarang adalah istrinya.

Yang artinya, Mama gue udah diselingkuhi selama belasan tahun, tepatnya 16 tahun. Bahkan sejak tahun pertama pernikahan orangtua gue, Papa ternyata udah gak lagi menaruh hatinya di rumah. Bahkan sejak satu tahun pertama hidup gue sebagai anak mereka, Papa ternyata gak lagi memandang Mama dengan rasa yang sama.

Sejak saat itu, gue benci Papa. Benci banget sampai rasanya gue bisa aja membanting semua barang yang gue lihat di depan mata dan melempar semua benda itu ke arah dia. Gue mual tiap kali menatap mata yang sialannya, terlalu mirip dengan mata gue. Gue marah tiap kali melihat kaca dan menemukan wajah gue yang terlampau mirip sama dia, bahkan waktu gue mencoba tersenyum, gue benci itu karena senyum yang gue punya sama persis dengan punya Papa.

Maka sejak saat itu, gue memutuskan untuk gak pernah menunjukkan senyum gue lagi, sama siapapun dan dalam keadaan apapun.

Seakan dunia belum cukup menghukum gue, di hari lain ketika umur gue tepat menginjak 21 tahun, gue harus menemukan Mama terkapar dengan darah di seluruh badan. Yang lebih parah, dokter dan polisi bilang Mama diperkosa. Sampai akhirnya berbulan-bulan setelah itu, Mama mengandung. Gue gak tahu harus sekacau apa lagi hidup yang gue jalani karena bahkan setelah ditimpa berbagai jenis omong kosong yang diciptakan dunia, gue dipertemukan dengan adik kandung gue dan harus terjebak dengan obsesinya yang gila.

Anak itu punya perasaan yang gak seharusnya ke gue, dan setelah berkali-kali mencoba menjelaskan hal itu ke Papa, laki-laki sialan itu gak percaya dan malah menawarkan sebuah perjanjian ke gue.

Katanya, gue harus jadi penjaganya Adara—nama adik gue—dan Papa bakal menjamin kalau 30% saham perusahaan yang saat ini beliau pimpin bakal jadi milik gue. Gue menolak tentunya, bahkan tanpa berpikir dua kali. Gue gak mau terjebak di antara Papa dan Adara, gak akan pernah mau. Lagipula, menurut gue saham sebanyak itu gak akan berguna buat hidup gue yang gak punya tujuan.

Tapi satu minggu kemudian, saat gue lagi di perpustakaan fakultas dan lagi gabut-gabutnya jadi mahasiswa, seseorang muncul di hadapan gue dan bikin keputusan gue berubah total.

Iya, kalau kalian menebak itu Ageeta Meraki, 100 buat kalian.

Ageeta muncul di hadapan gue sebagai cewek yang gue cap aneh—tapi lucu—karena nyari buku cerita anak-anak di deretan buku khusus referensi teknik geologi. Gue gak pernah tahu bagaimana rasanya jatuh di pandangan pertama, menurut gue itu bullshit yang diciptakan orang-orang untuk melebih-lebihkan cinta.

Tapi waktu mata gue manatap langsung ke netra bulat milik Ageeta, gue menarik kata-kata gue. Gue jatuh cinta, tepat di pandangan pertama.

Ageeta Meraki bikin gue melanggar kalimat yang gue katakan sendiri. Ageeta Meraki bikin gue diam-diam mengulum senyum sampai pipi gue pegal karena tingkah dia yang lucu. Ageeta bikin percaya kalau gue masih bisa memperbaiki hidup yang terlanjur berantakan. Ageeta bikin gue secara impulsif datang ke Papa dan mengiyakan perjanjian yang sebelumnya gue sebut konyol.

Cuma buat satu tujuan, yaitu bikin dia senyum dan memenuhi semua yang dia jadikan mimpi. Gue mungkin gak punya tujuan hidup, tapi sejak ada Ageeta, mimpi dan semua hal yang berkaitan dengan dia mulai jadi tujuan gue.

Ageeta bikin gue yakin, kalau bahkan hidup yang gue anggap terlampau hancur pun masih bisa dibenahi. Ageeta dan semua hal soal dia bikin gue menemukan hidup yang selama ini hilang. Gue mungkin terdengar berlebihan, tapi sejujurnya menurut gue, gak akan pernah ada kata “cukup” buat Ageeta, gak akan pernah.

Maka di sinilah gue, jadi satu di antara banyak orang yang terkadang jadi konyol karena rasa sayang yang gue punya ke satu cewek. Kalian mungkin udah bisa menebak kalau cerita ini akan dipenuhi oleh bagaimana gue berjuang buat meyakinkan Ageeta sebelum kami melangkah ke jenjang yang lebih serius.

Iya, gue udah ngelamar dia.

Tiga kali dan semuanya ditolak.

Kalau kalian pikir, seorang Ageeta akan langsung menjawab “iya” ketika gue lamar, maka kalian salah. Gue dibuat ketar-ketir sebanyak tiga kali karena dia yang selalu overthinking dan masih punya banyak pertimbangan buat menerima gue.

Gue bisa aja mementingkan ego sebagai laki-laki dan bersikap sok superior dengan bilang ke dia kayak gini; Ada banyak cewek yang ngantri di belakang kamu dan mau kulamar saat ini juga. Oke, ini kedengerannya terlalu narsis tapi gue berani sumpah kalau dua hari lalu, salah satu suster yang merawat Mama sempat flirting ke gue dan menunjukkan gestur tertarik.

Tapi masalahnya, ngomong begitu ke dia cuma bakal bikin gue dikasih silent treatment selama berhari-hari. Masalahnya lagi, gue gak mau orang lain dan cuma mau dia.

Jadi, tiga kali ditolak gak akan bikin gue menyerah. Gue bakal mencoba lagi, lagi, dan lagi. Sampai gue mendapat anggukan dari dia, gue gak akan mundur. Jadi dalam cerita ini, kalian mungkin bakal melihat bagaimana pada akhirnya, gue lah yang jadi bucin tolol buat Ageeta.

Sekian,

Tama.

“Mau makan dulu atau langsung pulang?”

Suara Aksara menginterupsi lamunan Anin, membuat kepalanya terangkat dan matanya mengalihkan padangan dari sesuatu di depan sana. Anin berpikir sejenak sebelum menjawab. “Makan dulu aja, tapi kalau kamu buru-buru mending langsung pulang,” jawabnya.

“Makan dulu, oke? Mau makan apa?” Aksa bertanya sembari mengarahkan tangannya pada tas yang dibawa Anin, kemudian mengambil alih benda itu dari tangan Anin.

“Saya aja yang bawa,” katanya. Anin tidak melawan, sebab paham kalau mendebat Aksara perkara hal-hal seperti ini akan berbuah sia-sia.

“Pengen nasi goreng seafood.” Anin mencetuskan ide itu, kepalanya tiba-tiba membayangkan makanan yang tadi dia sebut. Aksa mengangguk, lalu tanpa sadar menggenggam tangan kanan Anin dan menuntun tubuh mungil itu untuk duduk di sebuah kursi kosong yang letaknya di ujung ruangan.

Ngomong-ngomong soal dirinya, Anin baru saja menyelesaikan jadwal check up pertamanya selama masa kehamilan. Dokter kandungan yang juga merupakan teman baik Aksara itu mengatakan kalau Anin butuh lebih banyak istirahat walau tidak ditemukan masalah pada bayinya. Setelah keluar dari ruangan, Aksa membawanya ke sebuah tempat makan yang berada di seberang rumah sakit, maka di sinilah Anin berada.

“Tunggu di sini, saya pesan dulu makanannya.” Aksa kembali bersuara dan Anin hadiahi anggukan patuh.

Anin menunggu dengan sabar, kepalanya menoleh ke segala arah. Memperhatikan interior bangunan bergaya modern ini dengan seksama, melihat dengan detail bagaimana cat berwarna putih bersih yang menjadi warna dasar dinding dihiasi oleh berbagai jenis ornamen menarik nan memanjakan mata.

Matanya mengarah ke sisi kiri ruangan, sebelum kemudian berhenti pada satu titik.

Di sana, di sebuah meja di dekat jendela, Anin melihat sosok yang cukup dia kenal tengah duduk dan menyesap secangkir minuman. Anin yakin kalau minuman itu adalah kopi hitam favorit sosok itu, yang Anin ingat akan selalu menjadi minuman wajib bagi sosok itu. Kontan, Anin bangkit dari tempat duduknya, kemudian berjalan ke arah sosok yang tadi menarik perhatiannya itu.

“Ayah?” panggilnya berhati-hati.

Dan benar saja, sosok yang dia panggil Ayah itu menoleh. Anin tahu kalau saat mata mereka bertemu, ada keterkejutan yang mengalir jelas di dalam iris kelam lelaki itu. Iris kelam yang mengingatkan Anin pada sosok lain yang memeluknya erat tadi malam. Dua orang itu terlalu mirip, bahkan untuk ukuran orang asing, kedua orang itu akan langsung dianggap sebagai keluarga saking miripnya.

“Ayah, ini Anin.”

Sosok itu masih terdiam kaku, namun Anin menangkap melalui matanya kalau kedua tangan yang dulu selalu tampak gagah itu bergetar samar. Anin maju satu langkah lebih dekat, sebelum kemudian menatap lelaki di hadapannya dengan tatapan lurus.

Tiga tahun.

Anin tidak pernah melihat sosok itu lagi setelah tiga tahun yang lalu dia berpisah dari Jeandra. Maka ketika sekarang sosok itu berada di hadapannya, Anin merasa kalau banyak pertanyaan yang ingin dia ajukan pada lelaki tinggi itu. Amat banyak, sampai dadanya langsung sesak ketika sekali lagi menatap binar kelam dari iris segelap malam yang menyorot sayu di depannya.

Oh, tidak.

Mereka berdua terlalu mirip. Ayah dan anak itu terlalu mirip sampai rasanya, Anin seperti tengah berhadapan langsung dengan Jeandra. Rasanya terlalu menyesakkan, terutama ketika Anin sadar kalau baik Jeandra maupun sosok di depannya ini, sama-sama punya tatapan sayu dan menyedihkan yang persis.

“Ada banyak hal yang aku mau tanyain ke Ayah soal Jeandra, tapi aku lagi buru-buru.” Anin mencoba membersihkan tenggorokannya dengan sedikit berdehem. Tangannya sibuk mengeluarkan sesuatu dari dalam dompet kecil yang dia bawa dari dalam tas.

“Ini kontakku, Ayah bisa hubungi aku kapan aja.” Anin menyerahkan sebuah kartu nama yang selalu dia simpan, sebelum melangkah mundur dan kembali memaku tatap pada sosok di hadapannya.

“Aku ngga tau apa yang terjadi sama kalian tiga tahun lalu, tapi yang jelas apapun yang terjadi, itu mengubah hidup Jean dan berakhir bikin dia hancur. Masalahnya di sini, bukan cuma Jeandra yang hancur. Tapi aku juga hancur.”

Anin berusaha sekuat tenaga menahan sesak yang mengerubungi dadanya, sebelum kembali melanjutkan kalimatnya yang menggantung.

“Kalau semua masalah yang Jean timbulkan itu ada hubungannya sama Ayah, aku mohon bantu aku supaya bisa ngerti. Di kartu nama itu ada kontakku, Ayah bisa hubungi aku kapan aja Ayah siap.”

Itu kalimat terakhirnya sebelum beranjak dari sana. Anin bahkan melupakan Aksara yang kini sibuk mencari keadaannya. Pertemuannya dengan sosok yang dulu selalu Jeandra elu-elukan sebagai panutan itu terlalu mengejutkan.

Walau sebetulnya, dia sudah bisa menebak kalau ada yang tidak beres di antara Jeandra dan ayahnya, tapi Anin memilih untuk memberanikan diri. Dia butuh jawaban, segera.

Anin kembali menoleh ke arah restoran yang dia tinggalkan. Matanya mengarah pada sosok yang tadi dia temui, memperhatikan bagaimana raut wajah lelaki itu berubah penuh bimbang sebelum akhirnya mengacak rambut frustasi.

Di detik dia memperhatikan setiap gerakan kecil yang lelaki itu lakukan, Anin lagi-lagi tersadar. Kalau Jeandra dan ayahnya memang semirip itu, terlampau terlalu mirip. Hingga saat matanya mengarah pada ayah Jean yang tengah dilanda resah, Anin seperti bisa melihat bagaimana Jean akan melakukan hal yang sama ketika berada di situasi yang sama.

-

Anindia tidak pernah mengira kalau fase kehamilannya bisa separah ini. Well, tidak separah itu sebetulnya. Tapi rasanya, tubuh Anin jadi mudah lelah, seperti sekarang. Pinggangnya terasa remuk hanya karena terlalu lama membungkuk saat berusaha membuat cookies sendiri tadi sore. Dia bisa saja membeli di luar, tapi Anin ingin cookies buatannya sendiri. Alhasil, terlalu lama membungkuk di depan pemanggang listrik di dapur dan segala halnya membuat Anin harus kesulitan tidur karena rasa pegal yang mengganggu tubuhnya.

Langkah kecilnya membawa Anin ke arah dapur, seperti kata Aksara, minum segelas susu mungkin bisa membantu walaupun sebetulnya Anin tidak terlalu yakin. Gaun tidur berbahan satin yang memeluk tubuhnya ia biarkan menjuntai menyapu lantai, langkahnya sedikit mengendap-endap ke arah dapur.

Saat kakinya sudah memijak lantai ruangan itu, Anin dikejutkan dengan lampu kecil di ujung ruangan yang menyala terang benderang. Ada Jeandra di sana, dengan sebotol wine yang teronggok mengenaskan di atas meja. Botol itu belum dibuka, Jean tampak mengerahkan seluruh dunianya hanya untuk menatap botol itu sampai dia tak menyadari kalau Anin ada di sana.

“Jean?” panggil Anin.

Jean mengangkat kepala, kemudian mempertemukan kedua iris mereka dalam satu garis pandangan. Tatapan lelaki itu sayu, Anin mengerutkan dahi ketika sadar kalau mata yang biasanya menyorot tajam ke arahnya itu kini terlihat lelah dan tampak polos.

What are you doing here?” Jean bertanya sambil beranjak dari tempat duduknya. Sosok tinggi dengan kedua lengan kemeja yang digulung hingga siku itu berjalan perlahan menghampiri Anin, sebelum kemudian berhenti dan membuat keduanya berhadapan dengan jarak hanya sejengkal tangan.

“Kenapa belum tidur?” Jean bertanya lagi.

Anin menggigit bibir bawahnya, kedua kakinya melemah hanya karena suara serak dan kalimat Jean yang jauh dari kesan kasar, tidak seperti yang biasa lelaki itu berikan padanya. Tak ada nada sinis dalam pertanyaan Jean, dan Anin bersumpah kalau dia merindukan nada itu ada di kalimat yang Jeandra tunjukkan untuknya.

I need some water,” jawab Anin akhirnya.

Jean mengangguk paham, kemudian melangkah ke arah dispenser di ujung dapur dan mengambilkan segelas air putih sebelum menyerahkan benda itu kepada Anin.

“Ini aja, jangan air dingin.”

Anin mengangguk. Tangannya terangkat mengarahkan gelas ke arah permukaan bibirnya, wanita itu minum dengan kecanggungan yang menyelimuti. Tatapan sayu Jeandra sama sekali tidak terlepas dari sana, iris sehitam malam itu enggan melepas pemandangan Anin di depannya. Bahkan ketika Anindia telah selesai dengan urusan minumnya, Jean masih setia memaku tatap pada wajah di depannya.

Can I hug you?” tanya Jean tiba-tiba.

Membuat Anin kehilangan kemampuan untuk mengolah kata, sebab sebelum dia sempat mengangguk ataupun menggeleng tanda persetujuan, tubuh Jean sudah maju ke arahnya dan membawa tubuh mungilnya ke dalam sebuah pelukan.

Pelukan yang erat, hangat, dan cukup lama.

Anin bahkan sudah lupa bagaimana rasanya berada dalam rengkuhan Jean, dan rasanya, pelukan kali ini menjadi satu di antara jenis pelukan yang selalu dia inginkan dari Jean.

Kedua tangan Jean melekat erat di sisi pinggang Anin, telapaknya mengelus di sana dengan hati-hati. Seakan gerakan sekecil apapun dapat membuat tubuh mungil di dekapannya itu hancur berkeping-keping.

“Satu menit, let me hug you for one minute only. I'll let you go kalau udah selesai.”

Anin tidak tahu rasa macam apa yang menghampiri dirinya saat Jean mengeratkan pelukan di pinggangnya. Tapi yang jelas, ketika tubuh mereka berada dalam jarak nihil seperti sekarang, Anin paham kalau sosok kecil yang ada di dalam dirinya kontan langsung berhenti gelisah.

Anin tidak pernah tahu rasanya menjadi seorang ibu, dia baru mulai belajar sejak empat minggu yang lalu ketika sadar kalau ada sosok kecil yang hidup bergantung padanya. Makanya, saat beberapa kali dirinya merasa kalau dia punya ikatan dengan makhluk kecil yang tumbuh di perutnya itu, Anin tahu kalau apa yang dia rasakan, dapat langsung dirasakan oleh dia yang ada di dalam sana.

Sebab saat tubuhnya direngkuh erat oleh Jeandra, baik Anin ataupun dia, seketika dilanda ketenangan. Rasa yang kembali dia dapatkan setelah berhari-hari lelah dan kebingungan mencari tahu soal kenapa bayinya seakan tidak membiarkannya beristirahat dengan tenang. Sebab sekarang, Anin rasa dia sudah punya jawabannya.

Tapi sayangnya, ketika rasa tenang dan aman itu semakin kuat melanda. Anin menyadari sesuatu sehingga menarik diri dari rengkuhan Jean.

Kalau dia tidak ingin jatuh lagi pada sosok yang sama. Kalau dia tidak akan lagi berkutat pada keadaan yang sama oleh orang yang sama. Di detik saat Anin sadar kalau satu pelukan Jeandra tidak dapat disamakan dengan semua rasa sakit yang lelaki itu berikan, Anin menarik diri dari sana. Meninggalkan Jean yang mematung dalam kebingungan.

Tubuh tinggi Jeandra berdiri menjulang ketika Anin menapakkan kakinya turun dari mobil milik Aksa, lelaki itu menunggu di depan pintu utama rumah dengan kedua tangan berada di saku. Anin sempat ragu untuk melangkah maju, sampai dia harus menoleh ke arah Aksa demi mendapat dukungan melalui tatapan dan senyum lembut.

Tapi nyatanya, senyum itu tidak membuat Anin merasa tenang. Kepanikan masih menjalar di seluruh tubuhnya ketika Jean melangkah maju mendekatinya. Tatapan tajam Jean hunuskan, tepatnya ke arah Aksara yang berdiri tegap di sisi Anin seakan menantang.

“Karin di dalam, gue udah coba bujuk dia makan nasi tapi ngga berhasil. Lo masuk duluan.”

Aksa mengepalkan tangan, rahangnya mengetat.

Is that how you talk to your wife?” ucap Aksa dengan suara mendesis.

“Bukan urusan lo,” balas Jean.

Aksa semakin berang, tangannya mengepal semakin erat dan lelaki itu hampir melayangkan sebuah pukulan tepat ke wajah Jean, namun Anin menahan tangannya dan membawanya ke dalam sebuah genggaman hangat.

“Kamu pulang, saya ngga apa-apa, saya janji.”

Amarahnya surut, Aksa menahan emosinya agar tidak meledak dan beralih menghentak tangan Anin dari genggamannya hingga terlepas dan berakhir menyakiti wanita itu.

Aksa mengalihkan pandangan dari Jeandra ke arah Anin, tatapannya berubah lembut dalam sekejap. Dan dia tahu pasti, kalau kedua tangan Jeandra mengepal kuat ketika dia bawa Anin ke hadapannya dan dia letakkan tangannya di sisi bahu Anin. Dia tahu kalau Jeandra memandangnya seakan siap menerjang Aksa kapan saja.

“Kalau ada apa-apa, telpon saya. Jangan nunggu bajingan di sana itu dan Karin buat berulah kelewatan baru kamu nelpon saya, kalau Karin macam-macam lagi, langsung keluar dari sini dan telpon saya, you get me?”

Anin mengangguk, sebuah senyum sehalus kapas dia tunjukkan pada Aksa, yang kemudian Aksa balas dengan mengacak surai cokelat miliknya dengan gemas.

“Saya masuk duluan,” pamit Anin.

Kakinya melangkah masuk ke dalam rumah, diiringi oleh Jeandra yang berjalan tepat di belakang.

“Karin di kamar mana?”

“Kamar kita.”

Dan harusnya Anin tidak perlu bertanya sebab jawaban Jeandra membuat sesak kembali mengerubungi dada dan membuatnya mengunci mulut rapat-rapat.

Sampai akhirnya kedua manusia itu sudah berada di depan kamar utama yang dulu pernah mereka tinggali bersama, Anin menahan Jeandra untuk masuk.

“Aku boleh minta tolong buat ambilin beberapa obat di mobilku? Kuncinya ada di kamar tamu, kugantung deket pintu. Sama beliin beberapa obat di apotek, aku lupa kalau stock di sana habis. Aku periksa Karin dulu, nanti kukabarin lewat chat kalau ada apa-apa.”

Jean mengangguk, lalu tanpa protes memutar langkahnya untuk menuju mobil milik Anin yang terparkir manis di pekarangan rumah mereka.

Sedangkan Anin memantapkan hatinya sebelum memutuskan untuk masuk dan menemukan sosok Karin yang terbaring di atas tempat tidur, yang dulu juga pernah dia tempati bersama Jeandra untuk beberapa waktu. Sesak kembali menggerayangi dada, Anin mati-matian menahan diri agar kakinya tidak tumbang dan berakhir tersungkur di lantai.

Karin membuka mata, tatapannya dia arahkan dengan malas ke arah Anin yang berdiri di ambang pintu. Sadar kalau Karin memaku tatap padanya, Anin mengulum senyum tipis. Dalam pandangannya, sosok mungil itu terlalu muda untuk menjadi alasan utama rumah tangga seseorang hancur berantakan. Di matanya, sosok cantik dengan mata bulat menarik itu terlalu berharga untuk terjebak di antara kelumit hubungannya dan Jeandra. Anin seperti melihat sosok gadis kecil yang polos dan egois di saat yang bersamaan, Karin terlihat seperti sosok yang sebetulnya hanya ingin mempertahankan apa yang menurutnya patut menjadi miliknya, dan Anin merasa menjadi sosok jahat yang menghalangi gadis manis itu dalam misi menggapai hal yang dia sebut bahagia.

“Karin,” sapa Anin pelan.

Karin berdehem singkat, Anin bisa menebak sebenci apa gadis itu padanya dan dia bisa memaklumi itu.

“Tunggu di sini sebentar, saya ambil beberapa alat dulu. Kamu bisa duduk sendiri?”

Karin mengangguk malas. Gadis itu lalu duduk dan bersandar di kepala ranjang. Anin memastikan sebentar kalau Karin tidak akan jatuh dari sana dengan memasang bantal di pinggir kasur, sebelum kemudian menuju kamar tamu dan mengambil beberapa alat yang biasa dia pakai di rumah sakit untuk memeriksa tekanan darah pasien dan alat lainnya.

Lima menit kemudian, Anin sudah kembali ke dalam kamar utama, berhadapan dengan Karin yang terlihat pucat dan keringat dingin memenuhi dahi gadis itu.

Anin dengan hati-hati memeriksa satu persatu hal yang perlu dia periksa. Tekanan darah gadis itu normal, Anin tidak menemukan hal-hal aneh saat memeriksa Karin.

Namun saat dirinya tersadar akan sesuatu, Anin memucat.

Matanya mengarah pada Karin yang tampak kentara menahan mual. Anin bergerak memeriksa detak jantung Karin sekali lagi, kemudian dengan semua pertanyaan yang mengerubungi kepalanya, Anin memastikan sesuatu.

“Kamu... sama Jeandra, kapan terakhir kali having sex?”

Suara Anin terdengar bergetar. Sebuah batu besar seakan menyumbat saluran pernapasannya dan membuatnya kesulitan menarik udara dengan benar. Kedua tangannya bergetar, sampai Anin harus menyembunyikan tangannya di balik bantal yang tadi dia letakkan di pinngir kasur. Tubuhnya dingin, jantungnya berirama berantakan.

“Dua minggu yang lalu.” Karin menjawab dengan suara parau.

Anin kembali menyiapkan diri untuk bertanya, kali ini dengan air mata yang sekuat tenaga dia tahan agar tidak merebak keluar.

“Kapan terakhir kali kamu datang bulan?”

Karin tampak berusaha mengingat, sebelum raut wajahnya berubah dan pandangan terperangah dia arahkan pada Anin.

“Harusnya satu minggu yang lalu,” jawab Karin.

“Tunggu di sini, saya punya testpack. Kamu kemungkinan besar lagi mengandung, saya belum tau pasti hitungan usianya. Tapi beruntung kita tau lebih cepat, kamu jadi bisa istirahat dan ngga kerja berat dulu.”

Anin bangkit dari tempatnya, kedua kakinya terasa lemas. Sampai saat dia menuju pintu dan berjalan ke kamar tamu, Anin merasa sebagian nyawanya melayang bersamaan dengan tangannya yang menggenggam alat pendeteksi kehamilan. Anin berusaha menegapkan tubuh, meski kepalanya terasa berputar 360 derajat dan membuat seluruh badannya seakan kehilangan sendi.

Dan tepat saat alat itu dia berikan pada Karin, saat kemudian dua garis muncul di alat itu, Anin merasa kalau dunianya runtuh.

Tepat saat dia menyaksikan dua batang garis muncul di layar kecil benda berwarna putih itu, Anin merasa kalau dunianya hancur menjadi kepingan tak berbentuk.

You're pregnant,” ucapnya pada Karin.

Ada keterkejutan yang kentara di kedua mata Karin, namun segera dia gantikan dengan binar bahagia, yang entah bagaimana Anin bisa merasakan, kalau binar itu terlalu dipaksakan.

Tanpa sadar, Anindia menggenggam erat pinggiran bajunya. Kakinya melangkah ke arah pintu, namun Anin menahan tubuhnya sebelum benar-benar keluar dari sana.

Sebuah kalimat meluncur dari bibir tipis Anin, bersumber dari kekacauan yang tercipta di kepalanya.

“Karin,” panggil Anin.

“Jeandra memang punya kamu.”

Suara Anin semakin bergetar, tenggorokannya mulai terasa sakit sebab dia berkali-kali menahan suaranya agar terdengar tegas, meskipun tetap berakhir gagal total.

“Tapi dia masih suami saya, dia masih terikat sama saya. Dan harusnya, kamu bisa tau batasan untuk ngga melangkah sejauh ini. But congratulations, you got a baby inside your belly, keep it alive. Jeandra bakal jadi ayah yang baik, percaya sama saya.”

Lalu langkahnya kembali dia lanjutkan hingga menuju kamar tamu, dimana saat dia benar-benar sudah masuk ke dalam sana, Anin tidak lagi dapat menahan tubuhnya untuk jatuh ke lantai dan melepaskan air mata yang sejak tadi dia tahan.

Well, Jeandra got two pregnant women by now. Tapi sepertinya, Jeandra hanya akan mengetahui satu di antara mereka, dan Anindia bukan satu itu. Sebab dalam getar yang menguasai tubuhnya, Anin mengambil keputusan untuk menyimpan bayinya sendiri, tanpa memberitahu Jeandra, tidak akan pernah.

-

“Papa kenapa?”

Anindia mengerutkan dahi sempitnya ketika kalimat itu terudara dari bibir tipis milik Aksa. “Papa?” tanyanya, merasa sedikit aneh mendengar panggilan yang biasa dia sematkan pada sosok sang ayah kini juga disebut oleh orang lain.

Aksa berdehem singkat, kelima jemarinya bergerak perlahan menyisir surai hitam pekat miliknya ke belakang, bingung harus berekspresi seperti apa ketika sadar kalau Anin mempertanyakan panggilan baru yang dia punya untuk ayah wanita itu.

Umm... Your father actually asked me to call him that way, do you mind?” tanya Aksa hati-hati.

Anin terperangah, mengingat sifat sosok lelaki yang dia panggil “Papa” itu amat anti mendapat panggilan itu dari orang lain selain Anin. Bahkan Papa kerap kali berdecak tiap kali Anin dulu memintanya memperbolehkan Jean untuk punya panggilan yang sama.

Tersadar jika pertanyaan Aksara masih menggantung di udara, Anin terkesiap.

No problem, dia yang minta kamu manggil kayak gitu, jadi gak apa-apa.”

Aksa mengangguk, diam-diam dalam hati mengungkapkan lega yang entah darimana datangnya dan apa alasannya.

Is he okay?” Aksa kembali memastikan.

Anin mengangkat bahu. “Dia bilang lagi ngga enak badan, makanya minta saya pulang.”

Aksara hanya merespon dengan anggukan. Hening merambati ruang hampa di antara mereka, menjadikan deru napas sebagai satu-satunya suara yang cukup kentara bersahutan di dalam sana. Anin mengarahkan pandangan pada jendela mobil, memperhatikan semuanya yang mereka lewati satu persatu tanpa jeda. Berusaha menghilangkan suara ribut yang dia dengar di dalam kepalanya dengan membaca setiap tulisan yang dia temui di badan jalan. Suara ribut tentang Jeandra, tentang rumah sakit, tentang sosok mungil nan tak terlihat di dalam perutnya, hingga suara ribut soal bagaimana dia harus menghadapi Karin selepas kepergian Ibun tadi sore.

Kepalanya terlalu ribut, hingga Anin sendiri tidak menyadari kalau tangan kanannya bergerak ke arah kepala dan mencengkram surai miliknya cukup erat. Berharap kalau cengkraman yang dia kerahkan di sana akan membantu mengusir kerunyaman yang mengerumuni pikirannya.

Go away, go away,” ucapnya tanpa sadar.

Aksa menoleh, lalu dengan sigap menjulurkan tangan kirinya dan menggenggam tangan Anin yang masih berusaha memberi jambakan lebih keras pada rambutnya sendiri.

Sshhhh, Mommy. You're hurting yourself.

Dan berhasil, tangan Anin berhasil dia genggam ke dalam rengkuhan tangan lebar miliknya. Anin berhenti mencengkram surai cokelat miliknya, meninggalkan napas yang terhela memburu tanpa jeda.

Aksa mencuri sebuah lirikan ke arah Anindia dengan rasa khawatir di ujung mata. Anin tampak kacau, hingga dia putuskan untuk menepikan mobil ke pinggir jalan yang cukup sepi dan langsung membuka seatbelt yang mengungkung tubuh kekarnya dengan ketat.

“Jangan nyakitin diri sendiri kayak gini, Anindia.” Ucapan Aksa beriringan dengan kedua tangannya yang terangkat ke arah tubuh Anin yang terlihat bergetar. Dia rapikan surai panjang wanita di hadapannya itu dengan penuh kelembutan, seakan-akan gerakan sekecil apapun bisa membuat tubuh mungil di depannya itu hancur berkeping-keping.

Anin mengangkat pandangan, membuat netra mereka bertemu dalam satu garis tak kasat mata namun terhubung secara nyata.

“Saya ini kenapa, Aksara?”

Suara Anindia bergetar penuh serak, dan Aksa bersumpah kalau mendengar suara seseorang tidak pernah terasa semenyakitkan ini sebelumnya.

Anindia yang terlihat lemah membuat Aksa mati-matian menekan sesak yang mengerubungi dadanya. Anindia yang rapuh membuat Aksa harus menahan diri sekuat tenaga agar tidak melesakkan tubuh mungil itu ke dalam satu pelukan seperti yang selalu dia putar di dalam kepalanya.

“Kamu baik, kamu ngga apa-apa,” jawab Aksa mencoba meyakinkan.

Anin menggeleng pelan. “Saya kayak lagi kehilangan arah, saya ngga tau mau kemana. Saya hilang di tengah jalan.” Getaran di suara Anin tidak lagi dapat wanita itu sembunyikan. Kedua matanya memanas, Anin benci dirinya sendiri yang jadi lebih mudah menaruh emosi pada setiap hal kecil yang dia rasakan.

“Kamu ngga hilang, Anin. Kamu masih di jalan yang benar, kamu masih di arah yang benar.”

Anin menggeleng sekali lagi. “Saya kira pulang ke rumah Jean demi bayi di dalam sini itu jalan yang benar, saya kira lambat laun saya bisa menang kalau saya terus bertahan di jalan yang saya pilih.”

Anin melanjutkan, “Saya kira kalau saya terus jalan sampai akhir, Jeandra bakal balik lagi ke saya dan saya bakal menang.”

Kali ini, Aksa yang menggeleng. “Listen, jangan lemah. Anindia yang saya kenal ngga pernah jadi wanita lemah, Anindia yang saya kenal ngga akan merasa kehilangan arah semudah ini.”

Anin memotong kalimatnya, “Masalahnya di sana, Dokter Aksa. Kamu ngga kenal saya, kamu cuma kenal Anin yang kuat dan berani, tanpa kenal lebih dahulu sama Anin yang ini, Anin yang lemah dan cengeng.”

Aksa terdiam, dia tidak punya kalimat untuk dijadikan penenang bagi Anin, yang dia yakin tengah berada dalam fase hormon naik-turun di tengah kehamilan. Aksa mengangguk paham, dia coba menggenggam tangan Anin lebih erat dan berusaha meyakinkan Anin melalui tatapan dan kalimat yang dia beri.

“Jalan yang bisa kamu ambil bukan cuma ini, bukan cuma balik ke Jean dan bertahan dengan semua rasa sakit yang dia kasih. Masih banyak jalan lain, yang kamu harus lakuin cuma putar haluan dan mulai lagi. Kalau rasanya terlalu berat, panggil saya. Ada saya yang bisa temenin kamu ambil jalan baru itu,” kata Aksa.

Anin memejamkan mata, napasnya mulai teratur. Mendengar kalimat panjang Aksa membuat ketenangan sedikit demi sedikit kembali merambati seluruh tubuhnya. Ditambah, genggaman erat Aksa belum sama sekali terlepas, masih setia merengkuh tangan Anin yang terasa dingin.

“Saya ngga pernah tau kalau hormon ibu hamil bisa bikin saya jadi seemosional ini.” Anin menggumam pelan, tangannya semakin menggenggam erat tangan Aksa yang masih bertahan di sisinya.

Aksa tersenyum tipis melihat Anindia yang mulai bisa mengendalikan diri. Hingga perlahan dia coba untuk kembali duduk tegap dan memasang seatbelt ke tubuhnya, lalu menjalankan mobil dengan satu tangan sebab tangannya yang lain masih menenangkan Anindia. Ibu jarinya bergerak naik dan turun perlahan di atas permukaan kulit Anin, berharap kalau yang dia lakukan bisa mengusir gelisah dan kepanikan yang tadi mendatangi sosok mungil itu.

“Kita pulang sekarang, mau?” tawar Aksa yang kemudian dihadiahi anggukan dari Anin.

Kendaraan beroda empat itu kembali ke jalan raya, Aksa mengemudi dengan hati-hati. Tidak ada di antara mereka yang ingin membuka percakapan, oh dan jangan lupakan tautan dua tangan mereka yang masih enggan dilepas oleh Anin. Entah si mungil itu sadar atau tidak, tapi dalam pikirannya sendiri, Aksara diam-diam mengulum senyum dan menikmati gema jantungnya yang berdetak gila-gilaan.

10 menit kemudian, mereka menapakkan kaki di halaman luas milik keluarga Anin. Tautan keduanya terlepas, Anindia sempat terkesiap lucu ketika sadar kalau selama bermenit-menit dia tidak membiarkan tangan Aksara bebas dari genggamannya.

Sosok mungil itu serta-merta masuk ke dalam rumah, tanpa kata meninggalkan Aksa yang terkekeh gemas melihat semburat merah menyembur lucu memenuhi pipinya.

“Papa?” Anin menyapa ketika kakinya pertama kali melangkah memasuki bagian utama rumah.

Suara langkah tegas Papa terdengar, lelaki berumur itu merentangkan tangan bermaksud untuk menyambut Anin ke dalam pelukan.

“Aksara mana?” tanya Papa saat tubuh kecil Anin sudah sepenuhnya terangkum dalam pelukan hangatnya.

“Masih di luar, sebentar lagi pasti masuk.”

Tak ada lagi pertanyaan, Ayah dan anak itu sepakat untuk masuk dan berbincang di sofa ruang keluarga.

“Papa beneran sakit atau ngga, sih, sebenernya?” Anin mengerutkan dahi, perawakan lelaki di depannya itu tampak terlalu sehat untuk hitungan seseorang yang bisa dianggap sakit. Papa tertawa, dan harusnya Anin sudah bisa menebak arti tawa itu.

“Papa beneran sakit, Nak. Tadi pusing sebentar tapi udah Papa minumin obat, eh udah sembuh sebelum kamu sampai.”

Anin memicingkan mata. “Kalau sampai ngaku sakit begini, pasti ada maunya, kan?”

Gelagat lelaki di hadapannya itu terlalu mudah untuk ditebak. Anin kelewat paham dengan siasat yang Papanya gunakan hampir seumur hidup.

Papa mengangguk lalu tersenyum simpul. Lalu kalimat selanjutnya yang keluar dari bibir lelaki itu membuat Anindia tertegun beberapa lama.

“Papa mau bahas soal perusahaan.”

Papa memperhatikan perubahab raut wajah Anin sebelum melanjutkan. “Sebagian besar aset keluarga bakal Papa alihkan jadi atas nama kamu, termasuk kontrak kerjasama dengan beberapa perusahaan properti, baik yang baru atau yang udah lama jadi partner kita.”

Anin memucat, sebab itu artinya, dia harus bersiap terjebak dengan satu orang yang sama, lagi.

“Iya, Sayang, termasuk perusahaannya Jeandra. Minggu depan itu ada meeting sama seluruh dewan direksi, sekalian Papa mau ngenalin kamu.”

“Kalau kamu mau, minggu depan kita hadir. Tapi Papa ngga mau maksa, kamu boleh nolak buat datang dan nanti Papa bisa bilang kalau kamu berhalangan hadir karena masalah kesehatan. Urusan Jeandra, nanti biar Papa yang urus, sejauh ini anak itu kayaknya masih belum sadar kalau ada nama Papa di daftar dewan direksi perusahaan dia.”

Papa hendak kembali mengutarakan kalimatnya, berniat kembali berkata kalau Anin tidak wajib datang kalau dia enggan. Tapi kalimatnya kembali tertahan di tenggorokan karena secara tak terduga, Anindia mengangguk.

“Aku mau.”

Dan harusnya ketika kalimat dan anggukan itu terudara oleh Anin, nun jauh di sana, Laksamana Jeandra sudah punya firasat kalau sebentar lagi, akan ada kejutan yang menanti dirinya. Harusnya begitu, tapi bahkan sampai hari pertemuan itu berlangsung, Jeandra sama sekali tidak pernah menduga kalau wajah manis yang biasanya dia temukan tengah memandangnya sendu itu akan dia temukan di tempat yang sama sekali tidak dia tebak.

Hidup punya banyak kejutan, tapi kejutan yang satu ini, tampaknya akan terasa terlalu mengejutkan buat Jean. Sebab baik dia maupun Anin sekalipun, tidak pernah tahu kalau takdir bisa menempatkan mereka dalam lebih dari satu permainan. Membuat keduanya lagi dan lagi harus bertemu dan saling memaku tatap satu sama lain. Hidup punya banyak permainan, dan tampaknya, kali ini Anindia tidak ingin kalah lagi. Sepertinya kali ini, Anindia tidak mau kembali jadi pihak yang terpojok di ujung ruangan, menonton bagaimana Jeandra memimpin ronde dan meninggalkannya terpuruk di belakang.

Setidaknya, tidak untuk kali ini.

-