The Women He Loves The Most
TW // Self harm, Violence, Mention of death
“A man loves his sweetheart the most, his wife the best, but his mother the longest.” -Irish Proverb
Catradewi Ratna Anindia.
Dari dulu, nama itu selalu Jeandra agungkan dalam tiap tarikan napasnya. Anin tidak pernah meninggalkan ingatannya, bahkan hanya untuk sekejap. Anindia yang tersenyum, Anindia yang menangis, Anindia yang tengah mengerutkan dahi, Anindia yang tengah mengomel, Anindia yang serius membaca laporan pasien dengan kacamata bacanya menggantung di pangkal hidung, Jean selalu mengingat setiap detail kecil soal si pemilik nama cantik itu.
Bahkan meski secara fisik Anin sudah tergantikan oleh hadirnya Karin, Jean masih tidak bisa melepas Anin begitu saja dari benaknya. Pikiran soal Anin terlalu banyak, terlalu mendominasi sampai Jean kewalahan sendiri.
Makanya, ketika hari ini Jean melihat dengan kedua matanya sendiri bagaimana Anin dibaringkan di atas ranjang perawatan, dengan kedua mata terpejam dan Jean bahkan tidak tahu kapan netra yang dulu selalu memandang teduh ke arahnya itu akan terbuka.
Ngomong-ngomong, Papa Anin sempat memberi satu pukulan dan tendangan kelewat keras untuk Jean. Lelaki setengah baya itu minta izin untuk menelpon seseorang yang tak lain adalah sang mantan istri, mengabarkan kalau anak semata wayang mereka tengah tidak baik-baik saja walau dia tahu Anin mungkin tidak akan setuju dengan keputusannya. Anak itu sama sekali tidak pernah mau membagi kesulitannya dengan orang lain, tapi dia rasa hal sebesar ini wajib diberitahukan karena menyangkut nyawa sang anak.
Makanya, Jean masih aman ketika dirinya baru sampai di rumah sakit karena ruang tunggu hanya diisi oleh Aksara dan Ibun, Papa masih sibuk dengan panggilan teleponnya hingga tidak melihat Jean yang datang. Namun segera setelah Papa kembali dari urusannya dan matanya menangkap sosok Jean berdiri lesu di ambang pintu ruangan yang tertutup rapat, Papa tidak lagi menahan diri untuk menarik kerah kemeja putih polos yang Jean pakai dan langsung melayangkan sebuah tinjuan kelewat keras di pipi lelaki itu.
“Saya bilang jangan pernah sakiti Anindia, saya bilang itu berkali-kali ke kamu.” Suara Papa sama sekali tidak bernada tinggi, malah mungkin terdengar terlalu kecil karena tenggorokan Papa seolah tersumbat oleh sebuah batu besar, tercekat hingga ia tak dapat menghindari suaranya yang bergetar di ujung kalimat.
Kemudian, sebuah pukulan kembali mendarat di dada Jean. Jean meringis namun sama sekali tidak ingin membalas. Dia tahu dia pantas mendapatkan pukulan, atau bahkan harusnya lebih dari ini.
Sejak dulu ketika mereka masih bersama, Jean selalu tahu bagaimana Anindia diperlakukan bak seorang ratu oleh sang Papa. Sama seperti yang dulu selalu dia lakukan, Anindia selalu menjadi yang paling mereka utamakan. Ketika dia melangkah menjauh dan memutuskan untuk meninggalkan wanita itu sendiri, Jean sebetulnya masih bisa mensyukuri sesuatu, Anin masih punya sang Papa yang bisa memberi kasih sayang lebih besar dan tanpa batas.
Maka ketika pukulan keras mendarat di tubuhnya, Jean sama sekali tidak keberatan. Dia pantas mendapatkan itu sebagai bentuk hukuman, atau bahkan sebetulnya, tinjuan sekeras apapun tidak dapat menggantikan semua rasa sakit yang dia berikan untuk Anindia.
Berbeda dengan Hema yang masih sempat membalas pukulan Jean ketika mereka terlibat adu otot beberapa jam lalu, Jean sama sekali tidak melawan. Well, walau sebetulnya Jean juga tahu kalau Hema hanya memberinya pukulan singkat yang dampaknya tidak terlalu krusial untuknya, Jean paham kalau lelaki itu tidak lagi berusaha melawannya setelah berhasil memberi hadiah berupa kepalan tangan satu kali padanya sebelum kemudian mengalah. Hema diam karena tahu dirinya bersalah, dan Jean melakukan hal yang sama kali ini.
Jeandra tahu dia salah, maka dia sama sekali tidak berusaha memberontak.
Pukulan brutal itu terhenti karena Aksara yang datang dan melerai dengan dua orang petugas keamanan di sisinya, membuat lelaki yang tubuhnya tepat berada di atas Jean dengan satu tangan mengcengkram erat kemeja putihnya dan satu tangan lain siap memberi pukulan itu berhenti dan terpaksa mundur. Dua petugas yang dibawa Aksara memaksa Papa untuk mundur, sebab keributan yang mereka buat mulai menjadi perhatian dari pengunjung lain.
Jean terkapar di lantai dengan napas memburu, wajahnya teramat sakit dan tenaganya terkuras habis. Ia paksa tubuhnya untuk bangkit dan berjalan menuju bagian depan ruangan Anin, berharap kalau setidaknya ada satu orang petugas medis saja yang keluar dan bisa dia tanyai soal keadaan Anin. Sejak teriakan dan tangisan Anindia yang pecah setengah jam lalu, Jean tak lagi mendengar apapun dari dalam sana.
Dia khawatir, dia takut kalau terjadi sesuatu yang jauh lebih menyeramkan daripada sekedar kehilangan satu bayi mereka. Mengingat bagaimana menderitanya Anindia selama beberapa bulan belakangan, Jean takut kalau Anindia harus kembali menghadapi rasa sakit lain dan membuat wanita itu lebih hancur.
Di tengah ringisan bibirnya yang menahan perih dan rasa ngilu, Jean memejamkan mata. Nama Tuhan mulai mengisi ruang pikirannya dan membuatnya hampir menangis. Orang bilang, dinding rumah sakit mendengar lebih banyak doa daripada rumah ibadah manapun. Untuk kali ini, Jeandra berharap kalau dinding putih bersih yang mengelilinginya dengan kokoh ini tidak keberatan untuk mendengar satu doa lagi. Hanya satu kali lagi, Jean berharap kalau dinding-dinding ini tidak melarangnya untuk mengucap satu doa lagi.
Yaitu untuk mendengar apapun yang Anindia doakan di dalam sana.
Apapun, apapun yang Anindia jadikan permohonan di dalam sana, Jean harap hal itu bisa diberi kemudahan. Walau dia tahu Anin kemungkinan besar bisa saja berdoa agar segera dibebaskan darinya, Jean tak akan keberatan. Apapun yang Anin doakan, kalau hal itu bisa membuatnya terlepas dari rasa sakit, Jean tidak keberatan.
Tubuhnya ia dudukkan di sisi pintu, kedua mata kembali terpejam menikmati rasa sakit yang mulai menjalar dan membuat rasa pening mendera. Perutnya juga terasa perih, kombinasi dari lambungnya yang kosong karena hanya sempat meneguk secangkir kopi hitam tadi pagi dan tendangan keras dari Papa Anin.
Jean memandang ke depan dengan tatapan kosong. Hampir seluruh pikirannya tersita oleh Anin, sisanya mengarah pada bagaimana dia harus menjelaskan pada Ibun soal rumah tangganya yang jauh dari kata bahagia.
Jean menyakiti banyak orang, terutama Anin. Wanita itu menjadi pihak yang paling banyak menerima rasa sakit karena ulahnya. Untuk urusan Ibun, beliau mungkin akan sama sakitnya dengan Anin setelah Jean memberitahu segala hal, termasuk soal alasannya meninggalkan Anin tiga tahun lalu dan bagaimana nasib pernikahan mereka saat ini.
Ibun selalu menyayangi Anin, Jean bisa menjamin itu.
Anin pernah satu kali berkata kalau pernikahan mereka terjadi karena Ibun yang bersujud di kakinya dan memohon agar Anin mau menerima perjodohan itu. Ibun terlalu takut Jean tidak bisa mencari kebahagiaan sendiri, terutama setelah mendengar kabar putusnya mereka berdua, wanita itu seringkali membujuk Jean untuk kembali memikirkan keputusannya untuk meraih Anindia lagi. Yang tentu saja, Jean berbohong soal alasan putusnya mereka, dia tidak mungkin terang-terangan jujur soal kecelakaan yang Ibun alami dan berakhir membuat segalanya semakin berantakan.
Jadi sebetulnya, yang Ibun pahami soal berpisahnya mereka adalah mereka yang sama-sama sibuk dan tidak bisa membagi waktu dengan benar. Ibun bisa mengingat kejadian-kejadian yang terjadi jauh sebelum waktu kecelakaan, makanya Jean sudah mengantisipasi hal itu dengan memberi alasan palsu soal hubungannya dengan Anin. Ketika menemukan dirinya terbaring di ranjang rumah sakit dengan perban yang meliliti sebagian besar tubuh, hal pertama yang Ibun tanyakan adalah keberadaan Anindia.
Sebab wanita itu selalu segembira itu tiap kali Anin datang berkunjung ke rumah mereka, maka ketika menemukan kalau Anin tidak berada di sisinya, Ibun kebingungan. Jean berusaha menjelaskan segala hal dengan jalan cerita yang ia buat-buat. Mulai dari dia dan Anin yang putus karena masalah komunikasi, sampai kejadian kecelakaan Ibun yang disebabkan oleh tabrakan.
Untuk kecelakaan, Jean hanya berbohong soal dua orang yang meninggal karena kejadian itu. Sisanya, Jean betul-betul menceritakan dengan detail kalau ayahnya bermain api dengan wanita lain dan menyebabkan Ibun marah sampai mengemudi dengan gegabah dan berakhir kecelakaan. Hanya bagian dimana mobil itu menabrak mobil lain dan menimbulkan korban jiwa yang tidak berani Jeandra ceritakan.
Dia takut.
Dia takut Ibun semakin terguncang dan berakhir menghukum diri sendiri. Wanita itu pernah satu kali berbuat hal yang sama. Tidak makan, tidak minum, menangis tiap hari, sampai hampir berpikir kalau kematian dapat menjadi jalan penebus dosa. Iya, jauh sebelum kecelakaan itu tepatnya ketika Jean masih berusia belasan, Jean pernah hampir kehilangan Ibun karena depresi yang Ibun alami. Ibun hamil di tengah keadaannya yang sibuk menjadi seorang wanita karir, bayinya meninggal di dalam kandungan tanpa Ibun sendiri tahu kalau dirinya sedang mengandung.
Kehilangan sosok di dalam perutnya membuat Ibun menyalahkan diri sendiri. Katanya, kalau saja dia sedikit menyisakan waktu untuk memeriksakan diri ke dokter, janinnya mungkin akan selamat. Katanya, kalau saja ketika mual dan pusing yang sering ia alami tidak dibiarkan hanya karena meeting dan berkas-berkas yang menumpuk di kantor, janinnya mungkin akan bisa bertahan.
Rasa bersalah menghantui Ibun sampai jangka waktu satu tahun. Puncaknya terjadi ketika sepulang sekolah, Jean menemukan tubuh Ibun terkapar di sudut kamar mandi dengan darah segar mengucur dari tangan kirinya. Beruntung, Jean cepat bertindak walaupun kedua kakinya bergetar dikuasai ketakutan. Ibun bisa diselamatkan meski harus dirawat selama seminggu dan mereka harus rutin ke psikiater.
Waktu kecelakaan terjadi dan membuat Ibun kembali harus terpuruk, Jean takut kalau kejadian itu kembali terulang. Dia takut jika Ibun tahu kalau beliau menyebabkan dua orang meninggal dan seorang gadis muda menjadi yatim piatu, Ibun akan kembali merasa bersalah dan berusaha menebus rasa bersalah yang membelenggunya dengan menyakiti diri sendiri.
Dia menutupi fakta soal Karin dari Ibun bukan tanpa alasan. Dia melakukannya karena tidak punya pilihan lagi. Jean terlalu takut kehilangan Ibun, Jean terlalu takut kalau dia harus benra-benar kehilangan Ibun.
Dulu ketika melihat Ibun terbaring dengan wajah pucat dan perban yang melilit bagian tangan kirinya, atau ketika dia harus menyaksikan Ibun berteriak kencang dan memberontak meminta dia membiarkan wanita itu untuk mengakhiri hidup, Jean kehilangan separuh hidupnya.
Lalu ketika dia harus melihat Ibun dengan keadaan yang bahkan lebih parah, Jean dibayangi ketakutan yang teramat besar. Dia takut kalau saat itu, Ibun benar-benar akan menghilang darinya. Dia takut kalau Ibun akan menyakiti diri sendiri lagi dan benar-benar meninggalkannya seorang diri. Dia takut, dia terlalu takut.
Ketakutannya membuat Jean menyakiti Anindia. Dia tahu kalau menyakiti Anin tidak dapat dibenarkan, dia juga tahu kalau menyakiti Anin sama dengan menyerahkan dunianya untuk dihancurkan sampai tak lagi bersisa. Dia tahu itu.
Tapi membayangkan Karin atau siapapun datang kepada Ibun dan menceritakan kalau wanita itu membuat dua orang kehilangan nyawa, kemudian membuat Ibun terguncang dan mengakhiri hidup sendiri, Jean tahu kalau hidupnya akan lebih hancur daripada apapun.
Melepaskan Anindia mungkin merupakan kesalahan yang selamanya akan dia sesali. Menyakiti Anin mungkin bisa membuatnya ikut hancur sampai tidak sanggup berdiri dengan kedua kakinya. Tapi membiarkan Ibun kembali berada di titik rendah lagi meski tahu kalau dia bisa mencegah hal itu, adalah kesalahan yang tak akan bisa membuat Jean memaafkan diri sendiri sampai sisa hidupnya berakhir.
Hidup tanpa Anindia bisa berarti dia menyerahkan seluruh kebahagiaan dalam hidup, tapi dia masih bisa bernapas. Tapi hidup tanpa Ibun sama artinya dengan menyerahkan seluruh nyawa yang dia punya. Anindia selalu di sana, di bagian khusus dalam dirinya, akan selalu ada di sana tanpa bisa digeser oleh siapapun. Tapi Ibun ada di seluruh darahnya, ada dimana-mana sampai Jean tidak bisa membayangkan dirinya tanpa wanita itu di sisinya.
Seperti yang Aksara katakan, selalu ada konsekuensi yang harus dia terima untuk mempertahankan satu hal dengan mengorbankan hal lain. Kehilangan Anindia adalah konsekuensi yang harus Jean hadapi. Melihat Anindia tersiksa dan kehilangan satu bayi mereka adalah konsekuensi yang harus Jean tanggung karena keputusan yang dia ambil di masa lalu.
Jean kira, dia bisa menghadapi konsekuensi itu karena sejak awal sudah menyiapkan diri untuk semua resiko yang mungkin bisa saja terjadi. Anin akan membencinya, Jean sudah menyiapkan diri untuk itu. Anin mungkin akan berakhir jatuh untuk orang lain dan melupakannya, Jean sudah siap kalau saja hal itu terjadi di kemudian hari.
Tapi Anindia yang sehancur dan seberantakan ini...sama sekali tidak bisa Jean hadapi. Anindia yang sesakit ini karena ulahnya sama sekali tidak pernah Jean duga akan menjadi satu dari segala macam konsekuensi yang harus dia tanggung. Jean sama sekali tidak pernah mengira kalau melihat Anindia perlahan hancur, ternyata juga menghancurkan dirinya. Dia tidak pernah tahu kalau melihat tangis menghiasi wajah cantik milik Anindia bisa membuatnya setakut ini.
Kepalanya teramat sakit, Jean rasa dia bisa pingsan kapan saja kalau dia tidak mati-matian menahan diri. Keadaannya yang kacau tidak membuat Jean peduli, tangisan dan teriakan Anin menjadi satu-satunya yang menghuni kepala.
Ketika kemudian matanya terpejam sejenak demi menghilangkan kunang-kunang yang memenuhi pandangan, Jean tersentak karena pintu ruangan di sampingnya terbuka dan seorang perawat keluar dari sana. Jean langsung bangkit, matanya memandang penuh harap ke arah perawat itu seolah sosok di depannya membawa harta paling berharga yang dia harapkan.
“Bu Anin kondisinya masih belum stabil, beliau butuh dukungan sebanyak-banyaknya dari orang-orang di sekitar. Kondisi janin yang satunya juga masih sangat rentan, jadi mohon kerja samanya demi pemulihan pasien,” kata perawat itu.
Jean mengangguk terpatah, mendengar penjelasan soal Anin membuatnya menahan napas sepanjang kalimat si perawat tersampaikan. Perawat itu kemudian meminta izin untuk meninggalkan ruangan, maka dengan terpaksa dia izinkan wanita berpakaian biru muda itu berlalu.
Matanya memandang pintu ruangan yang memisahkan antara dirinya dan Anin, diam-diam memaksa dirinya untuk melangkah maju dan menemui Anin di dalam sana setidaknya untuk melihat wajah cantik itu walau Jean tahu, kalau kehadirannya mungkin akan membuat Anin muak setengah mati.
Jean mengangkat tangan kanannya dan meletakkan tangan itu di gagang pintu. Jantungnya berantakan, dia bahkan bisa melihat bagaimana jemarinya bergetar saat menggenggam gagang pintu di depannya. Ia tarik napas sepelan mungkin, mempersiapkan diri kalau saja yang akan dia dapatkan ketika melangkahkan kaki ke dalam adalah tatapan benci Anindia.
Namun belum sempat tangannya membuat pintu terbuka, gerakannya tertahan oleh suara Ibun yang memanggil namanya. Jean menoleh, Ibun berdiri dengan jarak lima langkah darinya. Ekspresi wajah Ibun tidak dapat dia baca, namun yang pasti Jean bisa menangkap gurat kebingungan yang wanita itu pancarkan dari kedua manik kembarnya.
“Biarin Anin sendiri dulu, kasih dia waktu berduka.” Ibun mengatakan kalimat itu dengan nada tenang, seolah yang terjadi di sekitarnya bukanlah hal yang krusial. Jean menggigit bibir kuat, rasa panas di netranya semakin brutal memaksa untuk meneteskan air mata.
“I miss her,” jawab Jean dengan suara tercekat.
Ibun mengangguk paham. “I know, tapi jangan sekarang. Dia lagi berduka, she lost her baby, Nak. Ibun pernah ngerasain itu satu kali dan butuh waktu satu tahun untuk bisa memaafkan diri sendiri, Anin juga begitu. Dia butuh waktu buat menerima yang terjadi, I know you have many things to say to her.“
Genggamannya di gagang pintu melemah, kalimat Ibun tidak dapat dibantah. Perlahan, dia lepaskan jeratan jemarinya dari sana dan kakinya mundur satu langkah. Ibun benar, Anin baru saja kehilangan satu nyawa dalam dirinya dan butuh waktu untuk berduka. Kehadirannya mungkin akan memperparah keadaan, dan mungkin hanya akan membuat Anin semakin terluka.
Ibun menarik tangannya untuk menjauh, entah kemana arah langkah mereka tertuju. Sampai dua menit kemudian, Jean mendapati dirinya berada di ruang terbuka yang merupakan area balkon yang menghadap langsung ke arah taman samping rumah sakit. Udara segar langsung menerpa wajah, membuat Jean bisa sedikit bernapas dengan benar walau sesak yang masih menguasai dada.
Ibun membiarkan Jean mendekati pembatas balkon dan meletakkan kedua tangan di sana, putra semata wayangnya itu memandang ke depan dalam diam. Bahu tegap Jean memunggunginya, Ibun tahu kalau bahu itu menanggung terlalu banyak beban sampai tidak terlihat seringan dulu.
“Do you want to say something?” tanya Ibun.
Jean menegang, kedua tangannya saling menggenggam erat.
Ibun maju, mendekat ke arah Jean kemudian meraih tubuh anaknya itu hingga menghadap ke arahnya. Di sana, dia temukan wajah sendu dengan kedua mata yang memerah milik Jean, wajah yang sama sekali belum pernah Ibun temukan terpatri di sana.
“Hidup berat ya, Nak?”
Detik itu tanpa aba-aba, Jean menubruk tubuh Ibun dan menangis kencang. Seumur hidupnya, Jeandra sama sekali belum pernah membiarkan siapapun menyaksikannya menangis, bahkan Ibun sekalipun. Tapi pertahanannya kali ini runtuh, Jean sudah tidak sanggup.
Ibun bawa tubuh tingginya ke dalam pelukan erat, kedua tangan wanita itu melingkari tubuh Jean seolah sosok di rangkumannya masihlah anak kecil berusia lima tahun yang menangis mengadu karena layangannya terputus.
Jean tidak lagi dapat menahan dirinya, tangisannya pecah tanpa sisa. Kedua bahunya bergetar, kakinya melemah. Beban yang dia tanggung di kedua pundaknya membuat Jean tidak dapat memijakkan kaki dengan benar.
Semua yang dia coba usahakan tidak satupun bertahan. Janjinya untuk tidak akan membiarkan Ibun kecewa, persahabatannya dengan Hema, semua yang dia korbankan untuk Karin, Anindianya. Semuanya hancur berantakan sampai tak berbentuk.
Jean kalah, dia kalah telak tanpa bisa mengelak.
Elusan pelan Ibun di punggungnya membuat tangisan Jean semakin vokal. Dia luruhkan semua yang dia tanggung sendiri selama tiga tahun terakhir, dia lepaskan semua sakit yang selama ini bergelung di dalam dada dan selalu coba dia abaikan kehadirannya. Tangisan Jean terdengar serak, tangisannya memenuhi balkon yang sepi. Memeluk Jean seperti ini membuat Ibun sadar kalau anaknya melewatkan banyak waktu untuk menderita.
“Anakku, Bun, anakku...,” ucapnya lirih.
Detik itu, Ibun tidak dapat menahan tangis yang sejak satu jam lalu dia tahan. Ibun luruh bersama Jean, ikut menangisi kehilangan yang Jean rasakan, ikut terluka atas semua yang Jean derita.
Jeandranya hancur, Jeandranya berantakan.
“Maaf, Sayang. Maafin Ibun,” jawab Ibun di sela tangisnya.
Sore itu, selain Anindia yang berduka, Aksara yang kehilangan asa, dan Papa Anin yang ikut terluka, ada dua orang lagi yang tenggelam dalam lara. Ibu dan anak itu saling menggenggam tangan masing-masing dengan erat. Sore itu, untuk pertama kalinya bagi Ibun menyaksikan Jean tumbang di hadapannya.
Hari itu, untuk pertama kalinya bagi Ibun menyaksikan Jean menangis putus asa dengan seluruh tubuh bergetar dan tangisannya yang semakin keras. Jean kalah, tanpa bisa melawan, tanpa bisa memberi penolakan.
-