writer.as/lalalafindyou

TW // Self harm, Violence, Mention of death

“A man loves his sweetheart the most, his wife the best, but his mother the longest.” -Irish Proverb

Catradewi Ratna Anindia.

Dari dulu, nama itu selalu Jeandra agungkan dalam tiap tarikan napasnya. Anin tidak pernah meninggalkan ingatannya, bahkan hanya untuk sekejap. Anindia yang tersenyum, Anindia yang menangis, Anindia yang tengah mengerutkan dahi, Anindia yang tengah mengomel, Anindia yang serius membaca laporan pasien dengan kacamata bacanya menggantung di pangkal hidung, Jean selalu mengingat setiap detail kecil soal si pemilik nama cantik itu.

Bahkan meski secara fisik Anin sudah tergantikan oleh hadirnya Karin, Jean masih tidak bisa melepas Anin begitu saja dari benaknya. Pikiran soal Anin terlalu banyak, terlalu mendominasi sampai Jean kewalahan sendiri.

Makanya, ketika hari ini Jean melihat dengan kedua matanya sendiri bagaimana Anin dibaringkan di atas ranjang perawatan, dengan kedua mata terpejam dan Jean bahkan tidak tahu kapan netra yang dulu selalu memandang teduh ke arahnya itu akan terbuka.

Ngomong-ngomong, Papa Anin sempat memberi satu pukulan dan tendangan kelewat keras untuk Jean. Lelaki setengah baya itu minta izin untuk menelpon seseorang yang tak lain adalah sang mantan istri, mengabarkan kalau anak semata wayang mereka tengah tidak baik-baik saja walau dia tahu Anin mungkin tidak akan setuju dengan keputusannya. Anak itu sama sekali tidak pernah mau membagi kesulitannya dengan orang lain, tapi dia rasa hal sebesar ini wajib diberitahukan karena menyangkut nyawa sang anak.

Makanya, Jean masih aman ketika dirinya baru sampai di rumah sakit karena ruang tunggu hanya diisi oleh Aksara dan Ibun, Papa masih sibuk dengan panggilan teleponnya hingga tidak melihat Jean yang datang. Namun segera setelah Papa kembali dari urusannya dan matanya menangkap sosok Jean berdiri lesu di ambang pintu ruangan yang tertutup rapat, Papa tidak lagi menahan diri untuk menarik kerah kemeja putih polos yang Jean pakai dan langsung melayangkan sebuah tinjuan kelewat keras di pipi lelaki itu.

“Saya bilang jangan pernah sakiti Anindia, saya bilang itu berkali-kali ke kamu.” Suara Papa sama sekali tidak bernada tinggi, malah mungkin terdengar terlalu kecil karena tenggorokan Papa seolah tersumbat oleh sebuah batu besar, tercekat hingga ia tak dapat menghindari suaranya yang bergetar di ujung kalimat.

Kemudian, sebuah pukulan kembali mendarat di dada Jean. Jean meringis namun sama sekali tidak ingin membalas. Dia tahu dia pantas mendapatkan pukulan, atau bahkan harusnya lebih dari ini.

Sejak dulu ketika mereka masih bersama, Jean selalu tahu bagaimana Anindia diperlakukan bak seorang ratu oleh sang Papa. Sama seperti yang dulu selalu dia lakukan, Anindia selalu menjadi yang paling mereka utamakan. Ketika dia melangkah menjauh dan memutuskan untuk meninggalkan wanita itu sendiri, Jean sebetulnya masih bisa mensyukuri sesuatu, Anin masih punya sang Papa yang bisa memberi kasih sayang lebih besar dan tanpa batas.

Maka ketika pukulan keras mendarat di tubuhnya, Jean sama sekali tidak keberatan. Dia pantas mendapatkan itu sebagai bentuk hukuman, atau bahkan sebetulnya, tinjuan sekeras apapun tidak dapat menggantikan semua rasa sakit yang dia berikan untuk Anindia.

Berbeda dengan Hema yang masih sempat membalas pukulan Jean ketika mereka terlibat adu otot beberapa jam lalu, Jean sama sekali tidak melawan. Well, walau sebetulnya Jean juga tahu kalau Hema hanya memberinya pukulan singkat yang dampaknya tidak terlalu krusial untuknya, Jean paham kalau lelaki itu tidak lagi berusaha melawannya setelah berhasil memberi hadiah berupa kepalan tangan satu kali padanya sebelum kemudian mengalah. Hema diam karena tahu dirinya bersalah, dan Jean melakukan hal yang sama kali ini.

Jeandra tahu dia salah, maka dia sama sekali tidak berusaha memberontak.

Pukulan brutal itu terhenti karena Aksara yang datang dan melerai dengan dua orang petugas keamanan di sisinya, membuat lelaki yang tubuhnya tepat berada di atas Jean dengan satu tangan mengcengkram erat kemeja putihnya dan satu tangan lain siap memberi pukulan itu berhenti dan terpaksa mundur. Dua petugas yang dibawa Aksara memaksa Papa untuk mundur, sebab keributan yang mereka buat mulai menjadi perhatian dari pengunjung lain.

Jean terkapar di lantai dengan napas memburu, wajahnya teramat sakit dan tenaganya terkuras habis. Ia paksa tubuhnya untuk bangkit dan berjalan menuju bagian depan ruangan Anin, berharap kalau setidaknya ada satu orang petugas medis saja yang keluar dan bisa dia tanyai soal keadaan Anin. Sejak teriakan dan tangisan Anindia yang pecah setengah jam lalu, Jean tak lagi mendengar apapun dari dalam sana.

Dia khawatir, dia takut kalau terjadi sesuatu yang jauh lebih menyeramkan daripada sekedar kehilangan satu bayi mereka. Mengingat bagaimana menderitanya Anindia selama beberapa bulan belakangan, Jean takut kalau Anindia harus kembali menghadapi rasa sakit lain dan membuat wanita itu lebih hancur.

Di tengah ringisan bibirnya yang menahan perih dan rasa ngilu, Jean memejamkan mata. Nama Tuhan mulai mengisi ruang pikirannya dan membuatnya hampir menangis. Orang bilang, dinding rumah sakit mendengar lebih banyak doa daripada rumah ibadah manapun. Untuk kali ini, Jeandra berharap kalau dinding putih bersih yang mengelilinginya dengan kokoh ini tidak keberatan untuk mendengar satu doa lagi. Hanya satu kali lagi, Jean berharap kalau dinding-dinding ini tidak melarangnya untuk mengucap satu doa lagi.

Yaitu untuk mendengar apapun yang Anindia doakan di dalam sana.

Apapun, apapun yang Anindia jadikan permohonan di dalam sana, Jean harap hal itu bisa diberi kemudahan. Walau dia tahu Anin kemungkinan besar bisa saja berdoa agar segera dibebaskan darinya, Jean tak akan keberatan. Apapun yang Anin doakan, kalau hal itu bisa membuatnya terlepas dari rasa sakit, Jean tidak keberatan.

Tubuhnya ia dudukkan di sisi pintu, kedua mata kembali terpejam menikmati rasa sakit yang mulai menjalar dan membuat rasa pening mendera. Perutnya juga terasa perih, kombinasi dari lambungnya yang kosong karena hanya sempat meneguk secangkir kopi hitam tadi pagi dan tendangan keras dari Papa Anin.

Jean memandang ke depan dengan tatapan kosong. Hampir seluruh pikirannya tersita oleh Anin, sisanya mengarah pada bagaimana dia harus menjelaskan pada Ibun soal rumah tangganya yang jauh dari kata bahagia.

Jean menyakiti banyak orang, terutama Anin. Wanita itu menjadi pihak yang paling banyak menerima rasa sakit karena ulahnya. Untuk urusan Ibun, beliau mungkin akan sama sakitnya dengan Anin setelah Jean memberitahu segala hal, termasuk soal alasannya meninggalkan Anin tiga tahun lalu dan bagaimana nasib pernikahan mereka saat ini.

Ibun selalu menyayangi Anin, Jean bisa menjamin itu.

Anin pernah satu kali berkata kalau pernikahan mereka terjadi karena Ibun yang bersujud di kakinya dan memohon agar Anin mau menerima perjodohan itu. Ibun terlalu takut Jean tidak bisa mencari kebahagiaan sendiri, terutama setelah mendengar kabar putusnya mereka berdua, wanita itu seringkali membujuk Jean untuk kembali memikirkan keputusannya untuk meraih Anindia lagi. Yang tentu saja, Jean berbohong soal alasan putusnya mereka, dia tidak mungkin terang-terangan jujur soal kecelakaan yang Ibun alami dan berakhir membuat segalanya semakin berantakan.

Jadi sebetulnya, yang Ibun pahami soal berpisahnya mereka adalah mereka yang sama-sama sibuk dan tidak bisa membagi waktu dengan benar. Ibun bisa mengingat kejadian-kejadian yang terjadi jauh sebelum waktu kecelakaan, makanya Jean sudah mengantisipasi hal itu dengan memberi alasan palsu soal hubungannya dengan Anin. Ketika menemukan dirinya terbaring di ranjang rumah sakit dengan perban yang meliliti sebagian besar tubuh, hal pertama yang Ibun tanyakan adalah keberadaan Anindia.

Sebab wanita itu selalu segembira itu tiap kali Anin datang berkunjung ke rumah mereka, maka ketika menemukan kalau Anin tidak berada di sisinya, Ibun kebingungan. Jean berusaha menjelaskan segala hal dengan jalan cerita yang ia buat-buat. Mulai dari dia dan Anin yang putus karena masalah komunikasi, sampai kejadian kecelakaan Ibun yang disebabkan oleh tabrakan.

Untuk kecelakaan, Jean hanya berbohong soal dua orang yang meninggal karena kejadian itu. Sisanya, Jean betul-betul menceritakan dengan detail kalau ayahnya bermain api dengan wanita lain dan menyebabkan Ibun marah sampai mengemudi dengan gegabah dan berakhir kecelakaan. Hanya bagian dimana mobil itu menabrak mobil lain dan menimbulkan korban jiwa yang tidak berani Jeandra ceritakan.

Dia takut.

Dia takut Ibun semakin terguncang dan berakhir menghukum diri sendiri. Wanita itu pernah satu kali berbuat hal yang sama. Tidak makan, tidak minum, menangis tiap hari, sampai hampir berpikir kalau kematian dapat menjadi jalan penebus dosa. Iya, jauh sebelum kecelakaan itu tepatnya ketika Jean masih berusia belasan, Jean pernah hampir kehilangan Ibun karena depresi yang Ibun alami. Ibun hamil di tengah keadaannya yang sibuk menjadi seorang wanita karir, bayinya meninggal di dalam kandungan tanpa Ibun sendiri tahu kalau dirinya sedang mengandung.

Kehilangan sosok di dalam perutnya membuat Ibun menyalahkan diri sendiri. Katanya, kalau saja dia sedikit menyisakan waktu untuk memeriksakan diri ke dokter, janinnya mungkin akan selamat. Katanya, kalau saja ketika mual dan pusing yang sering ia alami tidak dibiarkan hanya karena meeting dan berkas-berkas yang menumpuk di kantor, janinnya mungkin akan bisa bertahan.

Rasa bersalah menghantui Ibun sampai jangka waktu satu tahun. Puncaknya terjadi ketika sepulang sekolah, Jean menemukan tubuh Ibun terkapar di sudut kamar mandi dengan darah segar mengucur dari tangan kirinya. Beruntung, Jean cepat bertindak walaupun kedua kakinya bergetar dikuasai ketakutan. Ibun bisa diselamatkan meski harus dirawat selama seminggu dan mereka harus rutin ke psikiater.

Waktu kecelakaan terjadi dan membuat Ibun kembali harus terpuruk, Jean takut kalau kejadian itu kembali terulang. Dia takut jika Ibun tahu kalau beliau menyebabkan dua orang meninggal dan seorang gadis muda menjadi yatim piatu, Ibun akan kembali merasa bersalah dan berusaha menebus rasa bersalah yang membelenggunya dengan menyakiti diri sendiri.

Dia menutupi fakta soal Karin dari Ibun bukan tanpa alasan. Dia melakukannya karena tidak punya pilihan lagi. Jean terlalu takut kehilangan Ibun, Jean terlalu takut kalau dia harus benra-benar kehilangan Ibun.

Dulu ketika melihat Ibun terbaring dengan wajah pucat dan perban yang melilit bagian tangan kirinya, atau ketika dia harus menyaksikan Ibun berteriak kencang dan memberontak meminta dia membiarkan wanita itu untuk mengakhiri hidup, Jean kehilangan separuh hidupnya.

Lalu ketika dia harus melihat Ibun dengan keadaan yang bahkan lebih parah, Jean dibayangi ketakutan yang teramat besar. Dia takut kalau saat itu, Ibun benar-benar akan menghilang darinya. Dia takut kalau Ibun akan menyakiti diri sendiri lagi dan benar-benar meninggalkannya seorang diri. Dia takut, dia terlalu takut.

Ketakutannya membuat Jean menyakiti Anindia. Dia tahu kalau menyakiti Anin tidak dapat dibenarkan, dia juga tahu kalau menyakiti Anin sama dengan menyerahkan dunianya untuk dihancurkan sampai tak lagi bersisa. Dia tahu itu.

Tapi membayangkan Karin atau siapapun datang kepada Ibun dan menceritakan kalau wanita itu membuat dua orang kehilangan nyawa, kemudian membuat Ibun terguncang dan mengakhiri hidup sendiri, Jean tahu kalau hidupnya akan lebih hancur daripada apapun.

Melepaskan Anindia mungkin merupakan kesalahan yang selamanya akan dia sesali. Menyakiti Anin mungkin bisa membuatnya ikut hancur sampai tidak sanggup berdiri dengan kedua kakinya. Tapi membiarkan Ibun kembali berada di titik rendah lagi meski tahu kalau dia bisa mencegah hal itu, adalah kesalahan yang tak akan bisa membuat Jean memaafkan diri sendiri sampai sisa hidupnya berakhir.

Hidup tanpa Anindia bisa berarti dia menyerahkan seluruh kebahagiaan dalam hidup, tapi dia masih bisa bernapas. Tapi hidup tanpa Ibun sama artinya dengan menyerahkan seluruh nyawa yang dia punya. Anindia selalu di sana, di bagian khusus dalam dirinya, akan selalu ada di sana tanpa bisa digeser oleh siapapun. Tapi Ibun ada di seluruh darahnya, ada dimana-mana sampai Jean tidak bisa membayangkan dirinya tanpa wanita itu di sisinya.

Seperti yang Aksara katakan, selalu ada konsekuensi yang harus dia terima untuk mempertahankan satu hal dengan mengorbankan hal lain. Kehilangan Anindia adalah konsekuensi yang harus Jean hadapi. Melihat Anindia tersiksa dan kehilangan satu bayi mereka adalah konsekuensi yang harus Jean tanggung karena keputusan yang dia ambil di masa lalu.

Jean kira, dia bisa menghadapi konsekuensi itu karena sejak awal sudah menyiapkan diri untuk semua resiko yang mungkin bisa saja terjadi. Anin akan membencinya, Jean sudah menyiapkan diri untuk itu. Anin mungkin akan berakhir jatuh untuk orang lain dan melupakannya, Jean sudah siap kalau saja hal itu terjadi di kemudian hari.

Tapi Anindia yang sehancur dan seberantakan ini...sama sekali tidak bisa Jean hadapi. Anindia yang sesakit ini karena ulahnya sama sekali tidak pernah Jean duga akan menjadi satu dari segala macam konsekuensi yang harus dia tanggung. Jean sama sekali tidak pernah mengira kalau melihat Anindia perlahan hancur, ternyata juga menghancurkan dirinya. Dia tidak pernah tahu kalau melihat tangis menghiasi wajah cantik milik Anindia bisa membuatnya setakut ini.

Kepalanya teramat sakit, Jean rasa dia bisa pingsan kapan saja kalau dia tidak mati-matian menahan diri. Keadaannya yang kacau tidak membuat Jean peduli, tangisan dan teriakan Anin menjadi satu-satunya yang menghuni kepala.

Ketika kemudian matanya terpejam sejenak demi menghilangkan kunang-kunang yang memenuhi pandangan, Jean tersentak karena pintu ruangan di sampingnya terbuka dan seorang perawat keluar dari sana. Jean langsung bangkit, matanya memandang penuh harap ke arah perawat itu seolah sosok di depannya membawa harta paling berharga yang dia harapkan.

“Bu Anin kondisinya masih belum stabil, beliau butuh dukungan sebanyak-banyaknya dari orang-orang di sekitar. Kondisi janin yang satunya juga masih sangat rentan, jadi mohon kerja samanya demi pemulihan pasien,” kata perawat itu.

Jean mengangguk terpatah, mendengar penjelasan soal Anin membuatnya menahan napas sepanjang kalimat si perawat tersampaikan. Perawat itu kemudian meminta izin untuk meninggalkan ruangan, maka dengan terpaksa dia izinkan wanita berpakaian biru muda itu berlalu.

Matanya memandang pintu ruangan yang memisahkan antara dirinya dan Anin, diam-diam memaksa dirinya untuk melangkah maju dan menemui Anin di dalam sana setidaknya untuk melihat wajah cantik itu walau Jean tahu, kalau kehadirannya mungkin akan membuat Anin muak setengah mati.

Jean mengangkat tangan kanannya dan meletakkan tangan itu di gagang pintu. Jantungnya berantakan, dia bahkan bisa melihat bagaimana jemarinya bergetar saat menggenggam gagang pintu di depannya. Ia tarik napas sepelan mungkin, mempersiapkan diri kalau saja yang akan dia dapatkan ketika melangkahkan kaki ke dalam adalah tatapan benci Anindia.

Namun belum sempat tangannya membuat pintu terbuka, gerakannya tertahan oleh suara Ibun yang memanggil namanya. Jean menoleh, Ibun berdiri dengan jarak lima langkah darinya. Ekspresi wajah Ibun tidak dapat dia baca, namun yang pasti Jean bisa menangkap gurat kebingungan yang wanita itu pancarkan dari kedua manik kembarnya.

“Biarin Anin sendiri dulu, kasih dia waktu berduka.” Ibun mengatakan kalimat itu dengan nada tenang, seolah yang terjadi di sekitarnya bukanlah hal yang krusial. Jean menggigit bibir kuat, rasa panas di netranya semakin brutal memaksa untuk meneteskan air mata.

I miss her,” jawab Jean dengan suara tercekat.

Ibun mengangguk paham. “I know, tapi jangan sekarang. Dia lagi berduka, she lost her baby, Nak. Ibun pernah ngerasain itu satu kali dan butuh waktu satu tahun untuk bisa memaafkan diri sendiri, Anin juga begitu. Dia butuh waktu buat menerima yang terjadi, I know you have many things to say to her.

Genggamannya di gagang pintu melemah, kalimat Ibun tidak dapat dibantah. Perlahan, dia lepaskan jeratan jemarinya dari sana dan kakinya mundur satu langkah. Ibun benar, Anin baru saja kehilangan satu nyawa dalam dirinya dan butuh waktu untuk berduka. Kehadirannya mungkin akan memperparah keadaan, dan mungkin hanya akan membuat Anin semakin terluka.

Ibun menarik tangannya untuk menjauh, entah kemana arah langkah mereka tertuju. Sampai dua menit kemudian, Jean mendapati dirinya berada di ruang terbuka yang merupakan area balkon yang menghadap langsung ke arah taman samping rumah sakit. Udara segar langsung menerpa wajah, membuat Jean bisa sedikit bernapas dengan benar walau sesak yang masih menguasai dada.

Ibun membiarkan Jean mendekati pembatas balkon dan meletakkan kedua tangan di sana, putra semata wayangnya itu memandang ke depan dalam diam. Bahu tegap Jean memunggunginya, Ibun tahu kalau bahu itu menanggung terlalu banyak beban sampai tidak terlihat seringan dulu.

Do you want to say something?” tanya Ibun.

Jean menegang, kedua tangannya saling menggenggam erat.

Ibun maju, mendekat ke arah Jean kemudian meraih tubuh anaknya itu hingga menghadap ke arahnya. Di sana, dia temukan wajah sendu dengan kedua mata yang memerah milik Jean, wajah yang sama sekali belum pernah Ibun temukan terpatri di sana.

“Hidup berat ya, Nak?”

Detik itu tanpa aba-aba, Jean menubruk tubuh Ibun dan menangis kencang. Seumur hidupnya, Jeandra sama sekali belum pernah membiarkan siapapun menyaksikannya menangis, bahkan Ibun sekalipun. Tapi pertahanannya kali ini runtuh, Jean sudah tidak sanggup.

Ibun bawa tubuh tingginya ke dalam pelukan erat, kedua tangan wanita itu melingkari tubuh Jean seolah sosok di rangkumannya masihlah anak kecil berusia lima tahun yang menangis mengadu karena layangannya terputus.

Jean tidak lagi dapat menahan dirinya, tangisannya pecah tanpa sisa. Kedua bahunya bergetar, kakinya melemah. Beban yang dia tanggung di kedua pundaknya membuat Jean tidak dapat memijakkan kaki dengan benar.

Semua yang dia coba usahakan tidak satupun bertahan. Janjinya untuk tidak akan membiarkan Ibun kecewa, persahabatannya dengan Hema, semua yang dia korbankan untuk Karin, Anindianya. Semuanya hancur berantakan sampai tak berbentuk.

Jean kalah, dia kalah telak tanpa bisa mengelak.

Elusan pelan Ibun di punggungnya membuat tangisan Jean semakin vokal. Dia luruhkan semua yang dia tanggung sendiri selama tiga tahun terakhir, dia lepaskan semua sakit yang selama ini bergelung di dalam dada dan selalu coba dia abaikan kehadirannya. Tangisan Jean terdengar serak, tangisannya memenuhi balkon yang sepi. Memeluk Jean seperti ini membuat Ibun sadar kalau anaknya melewatkan banyak waktu untuk menderita.

“Anakku, Bun, anakku...,” ucapnya lirih.

Detik itu, Ibun tidak dapat menahan tangis yang sejak satu jam lalu dia tahan. Ibun luruh bersama Jean, ikut menangisi kehilangan yang Jean rasakan, ikut terluka atas semua yang Jean derita.

Jeandranya hancur, Jeandranya berantakan.

“Maaf, Sayang. Maafin Ibun,” jawab Ibun di sela tangisnya.

Sore itu, selain Anindia yang berduka, Aksara yang kehilangan asa, dan Papa Anin yang ikut terluka, ada dua orang lagi yang tenggelam dalam lara. Ibu dan anak itu saling menggenggam tangan masing-masing dengan erat. Sore itu, untuk pertama kalinya bagi Ibun menyaksikan Jean tumbang di hadapannya.

Hari itu, untuk pertama kalinya bagi Ibun menyaksikan Jean menangis putus asa dengan seluruh tubuh bergetar dan tangisannya yang semakin keras. Jean kalah, tanpa bisa melawan, tanpa bisa memberi penolakan.

-

Bayinya kembar.

Jeandra mendengar penjelasan itu dari dokter. Kandungan Anindia menginjak usia 13 minggu dan tim dokter menemukan bahwa rahim Anin tidak hanya menopang satu bayi, tapi dua.

Dua makhluk mungil itu berada di satu plasenta yang sama. Dokter menjelaskan bahwa terjadi Vanishing Twin Syndrome (1) yang menyebabkan salah satu janin tidak berkembang. Vanishing twin syndrome adalah kondisi ketika salah satu janin kembar menghilang dalam kandungan. Jean sepenuhnya diam ketika mendengar penjelasan dokter yang menangani Anin, tapi kepalanya tetap berkali-kali menggumamkan nama Anindia dengan ribut.

Pada kasus Anindia, masalah ini terjadi karena adanya kelainan pada kromosom, yang kemudian menyebabkan salah satu janin kembar tidak berkembang secara sempurna, sehingga janin tersebut gugur atau mati dalam kandungan. Ditambah masalah dan semua tekanan yang harus Anin hadapi, yang Jean tahu kalau semua masalah itu berasal darinya, salah satu janin di perut Anin sama sekali tidak dapat dipertahankan.

Aksa sempat menepuk satu bahunya, mengajaknya ke ujung lorong dan berbicara. “Minggu lalu pas check up terakhir, dokternya bilang kalau kemungkinan memang ada dua janin di sana. Tapi mereka belum bisa kasih jaminan 100% karena memang salah satu janinnya ngga terlalu bisa dilihat dengan jelas,” kata Aksa.

Kalimat itu menjadi sebuah hantaman baginya, mengingatkannya kalau Anin melewati semua prosedur itu sendiri tanpa kehadirannya. Jean sampai harus memukul bagian dada kirinya untuk menghalau rasa sakit yang kembali menyerbu.

“Dia hampir bahayain nyawa sendiri dan nyawa bayinya di hari lo bikin dia dipecat dari rumah sakit,” Aksa menggantung kalimatnya, dia arahkan pandangannya pada presensi Jean yang memukul dada semakin brutal.

She tried to cut herself,” kata Aksa.

I'm sorry that you almost lost your mom that day, gue tau kalau bukan cuma Anin yang hancur hari itu tapi lo juga. But everything has its own consequences, ini harga yang harus lo bayar karena mau mempertahankan satu hal dengan menghancurkan satu hal lain.” Aksa meluruskan pandangan, tubuhnya ia tegapkan kemudian satu tangan ia gunakan untuk menepuk pundak Jean dengan hati-hati.

She lost her baby, Dude. Setelah ini dunia ngga akan sama lagi buat Anin, mau sekeras apapun orang-orang nyoba buat bikin dia lupa soal itu, dunia ngga akan sama lagi buat dia.”

Aksa menghela napas sebelum kembali menyambung kalimatnya, suaranya terdengar tercekat. “Mau sekeras apapun gue nyoba buat bikin dia senyum setelah ini, segalanya ngga akan sama lagi buat Anin. Jadi kalau lo pernah takut gue bakal ambil Anin dan bawa dia pergi, I guess that you don't have to be worry karena bahkan sebelum dia sehancur ini pun, gue ngga bisa.”

Aksa mengakhiri percakapan mereka dengan melangkah pergi. Lelaki yang berusia satu tahun lebih tua dibanding Jean itu pergi ke arah lain dan tidak kembali ke area depan kamar perawatan Anin. Meninggalkan Jean yang berdiri kaku di ujung lorong dengan kedua tangan mengepal erat. Yang tanpa Jean tahu, Aksara kemudian berhenti tepat di belokan yang menghubungkan lantai dua dengan sebuah tangga untuk turun. Lelaki itu menunduk, tangannya bertumpu pada lutut dan bahunya mulai bergetar. Aksa menangis, luruh tanpa sisa. Tangisannya tertahan oleh gigitan keras di bibir namun Aksa tak dapat menyembunyikan getar di kedua bahunya. Satu tangan terangkat, yang kemudian dia jadikan alat untuk menjambaki rambutnya hingga kusut masai.

Jean tidak pernah tahu itu, Jean tidak pernah tahu kalau Aksara sejatuh itu untuk Anin. Jean tidak pernah tahu kalau Aksa seberduka itu untuk Anin. Sebab dirinya tengah sibuk menahan tangis yang ia larang keras untuk keluar. Sebab Jean sendiri masih menyibukkan diri dengan penyesalan. Sebab Jean sendiri masih sibuk merenyam bagian dadanya agar dia dapat berdiri dengan tegap dan mampu menghampiri Anindia di dalam sana.

Sebab Jean sendiri tahu, kalau dirinya memang masih sejatuh itu untuk Anin.

-

(1) Vanishing Twin Syndrome: Komplikasi Kehamilan yang Membuat Janin Kembar Menghilang, Alodok: 2022. Also quoted from Vanishing Twin Syndrome – National Library of Medicine, Zarlakhta Zamani; Utsav Parekh: 2021

TW // Violence

Jean lupa kapan terakhir kali dia pernah semarah ini pada orang lain. Emosinya bak kehilangan nyawa, tertinggal entah kemana sejak kejadian tiga tahun lalu. Kecelakaan yang menimpa Ibun membuat Jean kehilangan banyak hal, bahkan hampir kehilangan Ibun sendiri. Kejadian sisanya terjadi di luar dugaan, Jean bersumpah kalau dia sama sekali tidak pernah mau membuat hidupnya sendiri seberantakan ini.

Dokter bilang orangtua Karin masih bisa selamat, mereka bilang Jean masih bisa bertemu dua korban lain dalam kecelakaan itu untuk meminta maaf mewakili Ibun. Mereka bilang begitu, tapi ketika dua tubuh pucat penuh luka itu sampai di hadapannya, Jean tahu kalau sejak saat itu, hidupnya tak akan lagi sama.

Di detik saat telinganya mendengar secara langsung berita kematian dua orang itu, Jean tahu kalau esok hari dan seterusnya, hidupnya akan berjalan layaknya neraka.

Seingat Jean, hari itu ketika dia sadar kalau hidupnya tak akan bisa berjalan seperti yang dia inginkan, seluruh amarah dan kecewa yang dia punya terkumpul pada satu titik. Tubuh Ibun yang terbaring kaku di atas ranjang rumah sakit, dua orang yang meninggal, dan fakta kalau ada satu orang gadis yang hidupnya hancur karena kehilangan orangtua, Jean menyalahkan semua hal itu pada satu orang.

Ayahnya yang terduduk dalam diam di lorong rumah sakit, lelaki itu menjadi titik utama matanya yang terasa panas dan memerah karena menahan tangis tertuju. Perselingkuhan yang lelaki itu lakukan, bukan hanya menghancurkan hati Ibun tapi juga mengubah arah hidupnya menjadi sebuah musibah yang mengerikan.

Seingatnya, hari itu adalah terakhir kalinya bagi Jean mengamuk dan melampiaskan semua rasa kecewa dan amarahnya pada seseorang. Jean masih bisa memutar kejadian itu di kepalanya dengan sangat jelas, terutama bagian dimana Ayah sama sekali tidak bergerak dan memberi perlawanan ketika dia kerahkan seluruh tenaganya untuk menghantam lelaki itu dengan pukulan.

Hasilnya, tulang hidung Ayah patah, wajahnya penuh memar, dan mungkin bahu kirinya juga mengalami masalah. Jean betul-betul memakai seluruh tenaganya sampai dia sendiri terkulai lemas di lantai setelah melayangkan satu pukulan terakhir ke arah pelipis kanan sang ayah. Setelahnya, Jean menangis sejadi-jadinya. Membayangkan bagaimana Ibun menemukan foto Ayah tengah bercumbu mesra dengan wanita yang umurnya bahkan di bawah Jean membuat hatinya hancur.

Tak cukup satu kali menangis, lelaki itu kembali luruh ketika kalimat perpisahan keluar dari bibirnya untuk Anin. Sebab bahkan untuk satu detik pun, meninggalkan Anin sama sekali tidak pernah terlintas di pikirannya. Sebab satu tempat di bawah Ibun, Anindia menjadi satu-satunya wanita yang menempati segala aspek dalam hidupnya. Anin membuatnya merasa aman. Anindia memberi sesuatu yang orang lain tidak bisa berikan, entah apa itu tapi Jean bahkan tidak pernah berhasil menemukan hal itu dalam diri Karinina. Sesuatu yang membuatnya merasa pulang, sesuatu yang membuatnya merasa berharga, sesuatu yang membuatnya merasa kalau dia tidak perlu punya segalanya untuk hidup di dunia, cukup dengan melihat Anindia ada di dekatnya dan Jean tahu kalau dia sudah punya segalanya.

Maka, meninggalkan Anindia terasa seperti kiamat bagi Jeandra.

Lelaki itu kehilangan tempatnya pulang, dia kehilangan separuh dirinya. Kalau Ibun diibaratkan dengan jantung yang menopang hidupnya, maka Anindia adalah udara buatnya. Mengganti Anindia dengan Karinina sama dengan mengganti udara yang tersedia melimpah dengan udara yang berasal dari selang oksigen yang jumlahnya terbatas, membuatnya kesulitan bernapas sampai sesak, membuat kepalanya terasa sakit tiap saat sampai kakinya kesulitan memijak.

Hari itu menjadi terakhir kalinya bagi Jeandra menampakkan emosi di hadapan orang lain. Hatinya seakan membeku, sulit menemukan senyuman terpatri di wajah tegas itu di hari-hari setelah kejadian itu terjadi.

Tapi hari ini, untuk pertama kalinya setelah tiga tahun, Jean kembali menunjukkan emosi yang telah lama tenggelam dalam dirinya. Sasarannya adalah Hema, yang terlihat sama sekali tidak menyangka kalau Jean akan meledak saat itu juga.

“Gue ngga ninggalin Anin cuma biar rencana yang hancur berantakan kayak gini, Bajingan.” Suaranya terdengar mendesis, urat-urat di balik kulit bahkan tanpa ragu menampakkan diri di pergelangan tangan Jean yang mencengkram erat kerah kemeja Hema.

“Gue bahkan lebih percaya sama lo dalam hal ini, gue ceritain semua masalah dan segimana berantakannya keluarga gue ke lo karena berpikir lo orang yang tepat buat gue jadiin tempat bersandar. Bahkan Anin sendiri ngga gue kasih tau soal ini karena ngga yakin dia bisa nerima fakta kalau laki-laki yang dia banggain ternyata punya ayah yang kelakuannya lebih dari binatang, yang bikin istrinya jadi pembunuh orang lain demi kabur sama selingkuhannya. Gue bahkan ngga punya nyali buat ngasih tau Anin soal itu, tapi gue tanpa ragu ngasih lo kepercayaan buat tau itu semua.”

Satu tinju melayang ke wajah Hema, Jean tentu pelakunya.

Tak cukup dengan satu pukulan, Jean kembali mengepalkan tangan kanannya dan mendaratkan satu tinjuan lagi dan kali ini sasarannya adalah pelipis Hema, mengakibatkan lelaki di depannya itu terhuyung ke belakang dan memejamkan mata menahan rasa sakit.

Jean bisa mendengar dengan jelas suara teriakan Karin, gadis itu mungkin ketakutan setengah mati tapi Jean tidak peduli, egonya sudah kepalang memuncak dan Jean tak lagi bisa menahan diri.

Hema bangkit. Lelaki itu mulai menyadari kalau dirinya tidak memberi perlawanan, Jean mungkin bisa menghabisinya dalam waktu kurang dari lima menit. Tenaganya kalah jauh jika harus dibandingkan dengan Jean, tubuh mereka tidak terbentuk dengan porsi dan masa otot yang sama. Hema sadar kalau melawan Jean dalam urusan ini hanya akan membuang tenaganya tapi dirinya juga sadar kalau jika dia diam, maka hasilnya akan jauh lebih mengerikan.

Hema berusaha melawan, sebab masih ada satu orang yang harus dia lindungi setelah ini. Karinina yang berdiri di ujung ruangan dan menangis kencang, Hema masih harus bisa bertahan karena sosok itu masih harus dia jaga.

Jean memperhatikan bagaimana mata Hema memandang sosok Karin yang berdiri jauh dari mereka, kemudian merutuki dirinya dalam hati karena terlambat menyadari kalau tatapan itu memang selalu ada di mata Hema.

Sayangnya, hal itu membuat Jean lengah dan tidak menyadari kalau Hema sudah memantapkan pijakannya dan maju satu langkah lebih dekat, sebelum kemudian membalas Jean dengan sebuah tendangan di perut. Tendangannya tidak sekeras itu, namun cukup untuk membuat Jean kehilangan keseimbangan hingga berakhir terduduk di lantai. Melihat itu, Karin kembali memekik histeris dan berniat untuk bergerak maju untuk membantu Jean, tapi gerakannya ditahan oleh Hema yang langsung menangkap tubuh mungil itu.

“Jangan ikut campur, kamu di sana aja,” ucap Hema lembut, membuat Jean langsung terkekeh ketika nada penuh perhatian itu terlontar dari sosok Hema yang sama sekali tidak pernah Jean duga akan bersikap demikian untuk seseorang.

Jean bangkit, egonya kembali terusik. Jean kembali maju meski napasnya terengah dan bagian dalam perutnya terasa sakit. Ringisan tipis keluar dari sela bibir Jean, namun tidak mengurungkannya untuk kembali menerjang Hema dengan kepalan tangannya yang kali ini terarah pada rahang Hema, membuat pegangannya pada Karin terlepas seketika kemudian tersungkur sebab Jean langsung memberi tendangan keras di dadanya.

Jean belum berhenti, kakinya ia bawa maju dan tangannya mencengkram kemeja Hema lebih erat. Lalu tanpa aba-aba dan tanpa bisa Hema hindari, wajahnya kembali menjadi sasaran pukulan Jean berkali-kali tanpa ampun. Jean kehilangan kewarasannya. Bayangan tubuh Ibun yang terbaring kaku di ranjang operasi kembali memenuhi kepala, kemudian wajah Anindia yang menangis tempo hari menambah rasa sesak yang mengerubungi dadanya. Membuat napasnya semakin sulit untuk diatur dan tangannya perlahan kehilangan kekuatan untuk mengepal.

Satu pukulan terakhir.

Wajah Hema sudah tak lagi bisa disebut baik, darah segar mengucur dari hidung dan sudut bibirnya. Hema meringis berkali-kali, namun sama sekali tidak mengeluarkan satu patah kata pun ketika melihat Jean mundur dengan napas yang berantakan dan kedua tangan yang bergetar hebat.

Mata Jean memerah, panas dan perih memaksanya untuk menangis detik itu juga namun Jean membantah dirinya, batinnya melarang keras untuk terlihat lemah di hadapan dua orang di depannya.

Jean mengarahkan pandangan pada Hema yang terbaring lemas di lantai, matanya terpejam dan Jean yakin kalau lelaki itu butuh segera dilarikan ke rumah sakit. Hema bahkan terlihat tak lagi sanggup menarik napas dengan benar. Dalam diam, meski dengan kedua tangan bergetar dan tenaga yang hampir tak lagi tersisa, Jean mengeluarkan ponsel, mendial sebuah nomor yang biasa dia hubungi ketika punya keperluan.

“Minta satu perawat yang jaga IGD ke sini, suruh bawa perlengkapan buat luka sama memar,” ucap Jean singkat. Seseorang di seberang telepon mengiyakan permintaannya, entah paham atau tidak dengan situasi yang terjadi.

Sebelum jemarinya menekan layar untuk kembali memutus panggilan, Jean mengarahkan pada Karin. Bibirnya kembali terbuka dan mengudarakan satu lagi permintaan.

“Sama minta dokter kandungan yang biasa saya dan Karin datangi di rumah sakit buat datang ke sini,” pintanya.

Sebab mau bagaimanapun, si kecil di dalam sana sama sekali tidak bersalah. Jean tahu itu dengan pasti. Sebab semuak apapun dirinya menyaksikan bagaimana Hema masih menyempatkan diri meraih jemari Karin untuk dia genggam erat meski tenaga yang lelaki itu bahkan tidak cukup untuk membuatnya mampu membuka mata dengan benar, Jean sadar kalau si kecil di dalam sana sama sekali tidak ikut andil dalam masalahnya.

Sebab mau sebenci apapun Jeandra mengetahui kalau sahabatnya ternyata adalah ayah dari bayi yang selama ini menjadi alasannya menyakiti Anindia lebih banyak, Jean tidak dapat membantah fakta kalau si kecil di perut Karinina itu sempat memenangkan hatinya. Jean tidak dapat memungkiri kalau si kecil itu sempat membuatnya menemukan satu bahagia di tengah kelamnya luka.

Walau segala hal kembali terenggut darinya dalam sekejap hari ini, Jean masih dapat menyadari kalau si mungil yang bahkan belum bisa Jean sebut namanya itu berhak hidup dengan benar, meski dua orang yang menghancurkan dunianya berhasil membuat Jean ragu kalau yang dia lakukan bertahun-tahun sebelumnya adalah hal yang benar.

Jean menutup panggilan di detik berikutnya. Kakinya ia bawa melangkah menjauhi dua orang itu, tak peduli suara serak Karin memanggil namanya berulang kali.

Kedua kakinya bergetar, namun Jean paksa dirinya agar terus berjalan meski langkahnya terseok dan membuatnya hampir tersungkur ke lantai. Rasa panas di kedua matanya memaksa Jean untuk menerjunkan bulir bening, namun ia tahan tangisan yang semakin mendobrak netra itu dengan menggigit bibir kuat hingga rasa asin berkarat terasa di belah lidah.

Jeandra membawa tubuhnya memasuki kamar tamu, ruangan yang dua minggu lalu masih ditempati oleh Anindia. Satu langkah kakinya memasuki kamar yang luasnya sedikit lebih sempit daripada kamar utama yang dia tempati, Jean menghirup udara di sekitarnya dengan kedua mata memejam. Berharap kalau aroma vanila yang dulu sering ia temukan dari Anin masih tertinggal walau hanya sedikit.

Tapi nihil, Anindia sama sekali tidak meninggalkan jejak di sana bahkan setitik. Jean mengedarkan pandangan, memperhatikan bagaimana kosongnya seluruh sudut ruangan tanpa penghuni ini, yang kemudian mengundang ribuan jarum tak kasat mata menghujam dadanya.

Anindia sama sekali tidak meninggalkan jejak, hingga Jean hampir frustasi menarik napasnya dalam-dalam sambil masih terus berharap kalau sedikit saja aroma vanila Anindia bisa terhirup oleh penciumannya.

Sebab Jean rindu.

Anin sama sekali tidak memberinya kesempatan untuk menemukan sedikit saja jejak dirinya, kecuali satu hal. Kecuali satu benda berbentuk persegi panjang dan sebuah kaos kaki serta topi rajut mungil di sudut ruangan dekat dengan lemari yang Jean tangkap melalui matanya.

Itu susu khusus ibu hamil, sebuah kaos kaki amat mungil berwarna merah muda, dan topi rajut dengan tempelan karakter Grizzly milik kartun We Bare Bears kesukaan Anindia. Jean mendekat ke arah benda-benda itu, kaki dan tangannya semakin bergetar.

There's no way...,” ucap Jean pada dirinya sendiri.

Dengan gerakan kilat, Jean membuka lemari yang beruntungnya dalam keadaan tidak terkunci. Benaknya berkali-kali menggumamkan nama Anindia, sesuatu di dalam dadanya seakan ingin meledak karena rasa sesak yang mengganggu.

Ketakutannya bercabang pada banyak hal. Jean takut kalau ternyata selama ini, dia bukan hanya menyakiti Anindia tapi juga satu lagi sosok yang kehadirannya tidak pernah dia sadari sebelumnya. Jean takut kalau dia bukan hanya menyakiti Anindia sampai wanita itu menyerah akan dirinya, tapi juga menyakiti sosok lain yang Anin coba lindungi.

Bayangan soal Anindia yang tengah membawa makhluk kecil milik kami dan saya bukan hanya menyakiti Anindia tapi juga menyakiti si kecil itu. Jean takut, hingga otaknya tak lagi bisa membayangkan hal lain selain Anindia yang ia sakiti hingga tak berbentuk.

Sampai kemudian, ketika pintu lemari terbuka lebar dan Jean menemukan sebuah amplop putih berlogo rumah sakit yang pernah ia lihat, Jean tahu kalau ketakutannya betul-betul menjadi nyata.

Surat itu menyatakan kalau Anindia positif hamil, dan di detik yang sama ketika matanya bergulir hingga menyapu seluruh isi kertas, tubuhnya terjatuh tanpa bisa ditahan. Detik itu, Jean merasa kalau kewarasannya direnggut paksa, nyawanya seakan ditarik dalam hitungan detik dari raganya. Sebaris kalimat yang menyatakan kalau Anindia tengah mengandung dengan tanggal yang tertanda hampir satu bulan yang lalu itu membuat Jean kehilangan kemampuannya untuk berdiri dengan benar.

Sesak yang datang semakin ramai, Jean sama sekali tidak bisa berpikir dengan lurus. Kepalanya terasa sakit, tapi hatinya terasa lebih sakit. Jean bangkit, ia paksakan kedua kakinya untuk berdiri kemudian berjalan keluar dari kamar. Langkahnya ia percepat, kepalanya hanya terisi oleh Anindia dan Jean tidak punya waktu untuk peduli pada Karin dan Hema yang dia tahu masih berada di ruang tamu rumahnya.

Jean bawa dirinya memasuki mobil, tujuannya adalah Anindia. Entah dimana wanita itu berada saat ini, yang jelas Jean bersumpah kalau dirinya tak akan berhenti sebelum bisa melihat Anin.

Jean tahu kalau dirinya bahkan tidak pantas diberi maaf, dia menyakiti Anin dengan kedua tangannya sendiri. Tapi dia butuh melihat Anindia sekali ini saja, hanya satu kali ini.

Laksamana Jeandra Galuhpati sama sekali tidak pernah berpikir kalau hidupnya akan jadi seberantakan ini. Jean kira, dirinya sudah cukup menghadapi kehancuran satu kali setelah kehilangan Anindia dan harus menghadapi perceraian kedua orangtuanya tiga tahun yang lalu. Dia kira begitu, tapi sepertinya dia kembali harus menghadapi kehancuran satu kali lagi.

Napasnya betul-betul berantakan ketika pada akhirnya, Jean menapakkan kaki di lantai dua rumah sakit setelah berlari kencang dari arah parkiran. Jean bahkan tidak sempat mengunci mobilnya dengan benar, lelaki itu langsung berlari memasuki gedung utama rumah sakit yang dulu pernah dia datangi pasca kecelakaan Ibun itu.

Lantai dua, lorong ke tiga.

Jean berkali-kali menggumamkan petunjuk dari Aksara itu dengan bibirnya. Lelaki itu sempat kebingungan, kepalanya terlalu penuh oleh nama Anindia sehingga membuatnya tak dapat memusatkan pikiran pada satu hal.

Kebingungan berakhir ketika sosok wanita yang amat dikenalnya muncul dari salah satu lorong, Ibun muncul dan membuat Jean sedikit bisa bernapas lega. Jean kembali berlari, dia teriakkan nama Ibun sampai wanita itu menoleh.

“Anin...” Jean menarik napas sejenak.

“Anin dimana?” sambungnya.

Ibun menatap Jean dengan mata menyipit, butuh beberapa detik baginya untuk menjawab pertanyaan Jean. “Siapa yang ngasih tau kamu kalau Anin di sini?” tanya Ibun dengan nada dingin yang sama sekali belum pernah Jean dengar keluar dari wanita itu.

Detik itu, Jean tahu kalau saat ini, Ibun menahan diri sekuat tenaga untuk tidak mencercanya dengan amarah. Ibun pasti masih berusaha agar amarahnya tidak meledak sebab mereka masih berada di rumah sakit dan tak ingin mengganggu pasien lainnya. Jean tak tahu dirinya harus bersyukur atau malah takut dengan hal itu, yang jelas sekarang dia butuh bertemu Anindia.

“Ibun, kita bicara nanti dulu. Aku mau liat Anin dulu sama mau mastiin anakku baik-baik aja. Kalau Ibun mau marah, nanti. Abis ini kita pulang dan Ibun bebas mau semarah apapun sama aku, aku mau liat Anin dulu,” katanya dengan suara serak.

Jean memegang kedua bahu Ibun dengan lembut meski kedua tangannya masih bergetar, kemudian maju untuk memberi sebuah kecupan ringan di dahi sang ibu. Kakinya melangkah melewati Ibun, berniat menelusuri lorong rumah sakit dan meninggalkan Ibun sendiri demi melihat keadaan Anindia.

Namun sebuah kalimat dari Ibun membuat gerakan Jean terhenti, kakinya membeku dan seluruh tubuhnya terasa kehilangan semua sel darah yang ada. Ibun memberitahu satu hal padanya dengan suara serak nan bergetar.

We lost one of the babies,” kata Ibun.

Jean tidak tahu mana yang lebih menyakitkan baginya. Kalimat yang barusan Ibun katakan atau sebuah teriakan memilukan yang Jean tahu adalah milik Anindia yang terdengar hingga keluar ruangan.

“Bayinya meninggal, Nak. We lost one of them.

Saat itu, Jean tak lagi peduli pada hal lain kecuali teriakan Anindia yang membuatnya berlari kencang. Jean tahu kalau hidupnya berantakan dan hancur hingga tak berbentuk, tapi dia baru sadar kalau dirinya seberantakan itu ketika teriakan dan tangisan Anindia memasuki rungunya.

Jean tahu dia hancur, tapi dia juga tahu kalau Anindia jauh lebih hancur.

TW // Violence

Jean lupa kapan terakhir kali dia pernah semarah ini pada orang lain. Emosinya bak kehilangan nyawa, tertinggal entah kemana sejak kejadian tiga tahun lalu. Kecelakaan yang menimpa Ibun membuat Jean kehilangan banyak hal, bahkan hampir kehilangan Ibun sendiri. Kejadian sisanya terjadi di luar dugaan, Jean bersumpah kalau dia sama sekali tidak pernah mau membuat hidupnya sendiri seberantakan ini.

Dokter bilang orangtua Karin masih bisa selamat, mereka bilang Jean masih bisa bertemu dua korban lain dalam kecelakaan itu untuk meminta maaf mewakili Ibun. Mereka bilang begitu, tapi ketika dua tubuh pucat penuh luka itu sampai di hadapannya, Jean tahu kalau sejak saat itu, hidupnya tak akan lagi sama.

Di detik saat telinganya mendengar secara langsung berita kematian dua orang itu, Jean tahu kalau esok hari dan seterusnya, hidupnya akan berjalan layaknya neraka.

Seingat Jean, hari itu ketika dia sadar kalau hidupnya tak akan bisa berjalan seperti yang dia inginkan, seluruh amarah dan kecewa yang dia punya terkumpul pada satu titik. Tubuh Ibun yang terbaring kaku di atas ranjang rumah sakit, dua orang yang meninggal, dan fakta kalau ada satu orang gadis yang hidupnya hancur karena kehilangan orangtua, Jean menyalahkan semua hal itu pada satu orang.

Ayahnya yang terduduk dalam diam di lorong rumah sakit, lelaki itu menjadi titik utama matanya yang terasa panas dan memerah karena menahan tangis tertuju. Perselingkuhan yang lelaki itu lakukan, bukan hanya menghancurkan hati Ibun tapi juga mengubah arah hidupnya menjadi sebuah musibah yang mengerikan.

Seingatnya, hari itu adalah terakhir kalinya bagi Jean mengamuk dan melampiaskan semua rasa kecewa dan amarahnya pada seseorang. Jean masih bisa memutar kejadian itu di kepalanya dengan sangat jelas, terutama bagian dimana Ayah sama sekali tidak bergerak dan memberi perlawanan ketika dia kerahkan seluruh tenaganya untuk menghantam lelaki itu dengan pukulan.

Hasilnya, tulang hidung Ayah patah, wajahnya penuh memar, dan mungkin bahu kirinya juga mengalami masalah. Jean betul-betul memakai seluruh tenaganya sampai dia sendiri terkulai lemas di lantai setelah melayangkan satu pukulan terakhir ke arah pelipis kanan sang ayah. Setelahnya, Jean menangis sejadi-jadinya. Membayangkan bagaimana Ibun menemukan foto Ayah tengah bercumbu mesra dengan wanita yang umurnya bahkan di bawah Jean membuat hatinya hancur.

Tak cukup satu kali menangis, lelaki itu kembali luruh ketika kalimat perpisahan keluar dari bibirnya untuk Anin. Sebab bahkan untuk satu detik pun, meninggalkan Anin sama sekali tidak pernah terlintas di pikirannya. Sebab satu tempat di bawah Ibun, Anindia menjadi satu-satunya wanita yang menempati segala aspek dalam hidupnya. Anin membuatnya merasa aman. Anindia memberi sesuatu yang orang lain tidak bisa berikan, entah apa itu tapi Jean bahkan tidak pernah berhasil menemukan hal itu dalam diri Karinina. Sesuatu yang membuatnya merasa pulang, sesuatu yang membuatnya merasa berharga, sesuatu yang membuatnya merasa kalau dia tidak perlu punya segalanya untuk hidup di dunia, cukup dengan melihat Anindia ada di dekatnya dan Jean tahu kalau dia sudah punya segalanya.

Maka, meninggalkan Anindia terasa seperti kiamat bagi Jeandra.

Lelaki itu kehilangan tempatnya pulang, dia kehilangan separuh dirinya. Kalau Ibun diibaratkan dengan jantung yang menopang hidupnya, maka Anindia adalah udara buatnya. Mengganti Anindia dengan Karinina sama dengan mengganti udara yang tersedia melimpah dengan udara yang berasal dari selang oksigen yang jumlahnya terbatas, membuatnya kesulitan bernapas sampai sesak, membuat kepalanya terasa sakit tiap saat sampai kakinya kesulitan memijak.

Hari itu menjadi terakhir kalinya bagi Jeandra menampakkan emosi di hadapan orang lain. Hatinya seakan membeku, sulit menemukan senyuman terpatri di wajah tegas itu di hari-hari setelah kejadian itu terjadi.

Tapi hari ini, untuk pertama kalinya setelah tiga tahun, Jean kembali menunjukkan emosi yang telah lama tenggelam dalam dirinya. Sasarannya adalah Hema, yang terlihat sama sekali tidak menyangka kalau Jean akan meledak saat itu juga.

“Gue ngga ninggalin Anin cuma biar rencana yang hancur berantakan kayak gini, Bajingan.” Suaranya terdengar mendesis, urat-urat di balik kulit bahkan tanpa ragu menampakkan diri di pergelangan tangan Jean yang mencengkram erat kerah kemeja Hema.

“Gue bahkan lebih percaya sama lo dalam hal ini, gue ceritain semua masalah dan segimana berantakannya keluarga gue ke lo karena berpikir lo orang yang tepat buat gue jadiin tempat bersandar. Bahkan Anin sendiri ngga gue kasih tau soal ini karena ngga yakin dia bisa nerima fakta kalau laki-laki yang dia banggain ternyata punya ayah yang kelakuannya lebih dari binatang, yang bikin istrinya jadi pembunuh orang lain demi kabur sama selingkuhannya. Gue bahkan ngga punya nyali buat ngasih tau Anin soal itu, tapi gue tanpa ragu ngasih lo kepercayaan buat tau itu semua.”

Satu tinju melayang ke wajah Hema, Jean tentu pelakunya.

Tak cukup dengan satu pukulan, Jean kembali mengepalkan tangan kanannya dan mendaratkan satu tinjuan lagi dan kali ini sasarannya adalah pelipis Hema, mengakibatkan lelaki di depannya itu terhuyung ke belakang dan memejamkan mata menahan rasa sakit.

Jean bisa mendengar dengan jelas suara teriakan Karin, gadis itu mungkin ketakutan setengah mati tapi Jean tidak peduli, egonya sudah kepalang memuncak dan Jean tak lagi bisa menahan diri.

Hema bangkit. Lelaki itu mulai menyadari kalau dirinya tidak memberi perlawanan, Jean mungkin bisa menghabisinya dalam waktu kurang dari lima menit. Tenaganya kalah jauh jika harus dibandingkan dengan Jean, tubuh mereka tidak terbentuk dengan porsi dan masa otot yang sama. Hema sadar kalau melawan Jean dalam urusan ini hanya akan membuang tenaganya tapi dirinya juga sadar kalau jika dia diam, maka hasilnya akan jauh lebih mengerikan.

Hema berusaha melawan, sebab masih ada satu orang yang harus dia lindungi setelah ini. Karinina yang berdiri di ujung ruangan dan menangis kencang, Hema masih harus bisa bertahan karena sosok itu masih harus dia jaga.

Jean memperhatikan bagaimana mata Hema memandang sosok Karin yang berdiri jauh dari mereka, kemudian merutuki dirinya dalam hati karena terlambat menyadari kalau tatapan itu memang selalu ada di mata Hema.

Sayangnya, hal itu membuat Jean lengah dan tidak menyadari kalau Hema sudah memantapkan pijakannya dan maju satu langkah lebih dekat, sebelum kemudian membalas Jean dengan sebuah tendangan di perut. Tendangannya tidak sekeras itu, namun cukup untuk membuat Jean kehilangan keseimbangan hingga berakhir terduduk di lantai. Melihat itu, Karin kembali memekik histeris dan berniat untuk bergerak maju untuk membantu Jean, tapi gerakannya ditahan oleh Hema yang langsung menangkap tubuh mungil itu.

“Jangan ikut campur, kamu di sana aja,” ucap Hema lembut, membuat Jean langsung terkekeh ketika nada penuh perhatian itu terlontar dari sosok Hema yang sama sekali tidak pernah Jean duga akan bersikap demikian untuk seseorang.

Jean bangkit, egonya kembali terusik. Jean kembali maju meski napasnya terengah dan bagian dalam perutnya terasa sakit. Ringisan tipis keluar dari sela bibir Jean, namun tidak mengurungkannya untuk kembali menerjang Hema dengan kepalan tangannya yang kali ini terarah pada rahang Hema, membuat pegangannya pada Karin terlepas seketika kemudian tersungkur sebab Jean langsung memberi tendangan keras di dadanya.

Jean belum berhenti, kakinya ia bawa maju dan tangannya mencengkram kemeja Hema lebih erat. Lalu tanpa aba-aba dan tanpa bisa Hema hindari, wajahnya kembali menjadi sasaran pukulan Jean berkali-kali tanpa ampun. Jean kehilangan kewarasannya. Bayangan tubuh Ibun yang terbaring kaku di ranjang operasi kembali memenuhi kepala, kemudian wajah Anindia yang menangis tempo hari menambah rasa sesak yang mengerubungi dadanya. Membuat napasnya semakin sulit untuk diatur dan tangannya perlahan kehilangan kekuatan untuk mengepal.

Satu pukulan terakhir.

Wajah Hema sudah tak lagi bisa disebut baik, darah segar mengucur dari hidung dan sudut bibirnya. Hema meringis berkali-kali, namun sama sekali tidak mengeluarkan satu patah kata pun ketika melihat Jean mundur dengan napas yang berantakan dan kedua tangan yang bergetar hebat.

Mata Jean memerah, panas dan perih memaksanya untuk menangis detik itu juga namun Jean membantah dirinya, batinnya melarang keras untuk terlihat lemah di hadapan dua orang di depannya.

Jean mengarahkan pandangan pada Hema yang terbaring lemas di lantai, matanya terpejam dan Jean yakin kalau lelaki itu butuh segera dilarikan ke rumah sakit. Hema bahkan terlihat tak lagi sanggup menarik napas dengan benar. Dalam diam, meski dengan kedua tangan bergetar dan tenaga yang hampir tak lagi tersisa, Jean mengeluarkan ponsel, mendial sebuah nomor yang biasa dia hubungi ketika punya keperluan.

“Minta satu perawat yang jaga IGD ke sini, suruh bawa perlengkapan buat luka sama memar,” ucap Jean singkat. Seseorang di seberang telepon mengiyakan permintaannya, entah paham atau tidak dengan situasi yang terjadi.

Sebelum jemarinya menekan layar untuk kembali memutus panggilan, Jean mengarahkan pada Karin. Bibirnya kembali terbuka dan mengudarakan satu lagi permintaan.

“Sama minta dokter kandungan yang biasa saya dan Karin datangi di rumah sakit buat datang ke sini,” pintanya.

Sebab mau bagaimanapun, si kecil di dalam sana sama sekali tidak bersalah. Jean tahu itu dengan pasti. Sebab semuak apapun dirinya menyaksikan bagaimana Hema masih menyempatkan diri meraih jemari Karin untuk dia genggam erat meski tenaga yang lelaki itu bahkan tidak cukup untuk membuatnya mampu membuka mata dengan benar, Jean sadar kalau si kecil di dalam sana sama sekali tidak ikut andil dalam masalahnya.

Sebab mau sebenci apapun Jeandra mengetahui kalau sahabatnya ternyata adalah ayah dari bayi yang selama ini menjadi alasannya menyakiti Anindia lebih banyak, Jean tidak dapat membantah fakta kalau si kecil di perut Karinina itu sempat memenangkan hatinya. Jean tidak dapat memungkiri kalau si kecil itu sempat membuatnya menemukan satu bahagia di tengah kelamnya luka.

Walau segala hal kembali terenggut darinya dalam sekejap hari ini, Jean masih dapat menyadari kalau si mungil yang bahkan belum bisa Jean sebut namanya itu berhak hidup dengan benar, meski dua orang yang menghancurkan dunianya berhasil membuat Jean ragu kalau yang dia lakukan bertahun-tahun sebelumnya adalah hal yang benar.

Jean menutup panggilan di detik berikutnya. Kakinya ia bawa melangkah menjauhi dua orang itu, tak peduli suara serak Karin memanggil namanya berulang kali.

Kedua kakinya bergetar, namun Jean paksa dirinya agar terus berjalan meski langkahnya terseok dan membuatnya hampir tersungkur ke lantai. Rasa panas di kedua matanya memaksa Jean untuk menerjunkan bulir bening, namun ia tahan tangisan yang semakin mendobrak netra itu dengan menggigit bibir kuat hingga rasa asin berkarat terasa di belah lidah.

Jeandra membawa tubuhnya memasuki kamar tamu, ruangan yang dua minggu lalu masih ditempati oleh Anindia. Satu langkah kakinya memasuki kamar yang luasnya sedikit lebih sempit daripada kamar utama yang dia tempati, Jean menghirup udara di sekitarnya dengan kedua mata memejam. Berharap kalau aroma vanila yang dulu sering ia temukan dari Anin masih tertinggal walau hanya sedikit.

Tapi nihil, Anindia sama sekali tidak meninggalkan jejak di sana bahkan setitik. Jean mengedarkan pandangan, memperhatikan bagaimana kosongnya seluruh sudut ruangan tanpa penghuni ini, yang kemudian mengundang ribuan jarum tak kasat mata menghujam dadanya.

Anindia sama sekali tidak meninggalkan jejak, hingga Jean hampir frustasi menarik napasnya dalam-dalam sambil masih terus berharap kalau sedikit saja aroma vanila Anindia bisa terhirup oleh penciumannya.

Sebab Jean rindu.

Anin sama sekali tidak memberinya kesempatan untuk menemukan sedikit saja jejak dirinya, kecuali satu hal. Kecuali satu benda berbentuk persegi panjang dan sebuah kaos kaki serta topi rajut mungil di sudut ruangan dekat dengan lemari yang Jean tangkap melalui matanya.

Itu susu khusus ibu hamil, sebuah kaos kaki amat mungil berwarna merah muda, dan topi rajut dengan tempelan karakter Grizzly milik kartun We Bare Bears kesukaan Anindia. Jean mendekat ke arah benda-benda itu, kaki dan tangannya semakin bergetar.

There's no way...,” ucap Jean pada dirinya sendiri.

Dengan gerakan kilat, Jean membuka lemari yang beruntungnya dalam keadaan tidak terkunci. Benaknya berkali-kali menggumamkan nama Anindia, sesuatu di dalam dadanya seakan ingin meledak karena rasa sesak yang mengganggu.

Ketakutannya bercabang pada banyak hal. Jean takut kalau ternyata selama ini, dia bukan hanya menyakiti Anindia tapi juga satu lagi sosok yang kehadirannya tidak pernah dia sadari sebelumnya. Jean takut kalau dia bukan hanya menyakiti Anindia sampai wanita itu menyerah akan dirinya, tapi juga menyakiti sosok lain yang Anin coba lindungi.

Bayangan soal Anindia yang tengah membawa makhluk kecil milik kami dan saya bukan hanya menyakiti Anindia tapi juga menyakiti si kecil itu. Jean takut, hingga otaknya tak lagi bisa membayangkan hal lain selain Anindia yang ia sakiti hingga tak berbentuk.

Sampai kemudian, ketika pintu lemari terbuka lebar dan Jean menemukan sebuah amplop putih berlogo rumah sakit yang pernah ia lihat, Jean tahu kalau ketakutannya betul-betul menjadi nyata.

Surat itu menyatakan kalau Anindia positif hamil, dan di detik yang sama ketika matanya bergulir hingga menyapu seluruh isi kertas, tubuhnya terjatuh tanpa bisa ditahan. Detik itu, Jean merasa kalau kewarasannya direnggut paksa, nyawanya seakan ditarik dalam hitungan detik dari raganya. Sebaris kalimat yang menyatakan kalau Anindia tengah mengandung dengan tanggal yang tertanda hampir satu bulan yang lalu itu membuat Jean kehilangan kemampuannya untuk berdiri dengan benar.

Sesak yang datang semakin ramai, Jean sama sekali tidak bisa berpikir dengan lurus. Kepalanya terasa sakit, tapi hatinya terasa lebih sakit. Jean bangkit, ia paksakan kedua kakinya untuk berdiri kemudian berjalan keluar dari kamar. Langkahnya ia percepat, kepalanya hanya terisi oleh Anindia dan Jean tidak punya waktu untuk peduli pada Karin dan Hema yang dia tahu masih berada di ruang tamu rumahnya.

Jean bawa dirinya memasuki mobil, tujuannya adalah Anindia. Entah dimana wanita itu berada saat ini, yang jelas Jean bersumpah kalau dirinya tak akan berhenti sebelum bisa melihat Anin.

Jean tahu kalau dirinya bahkan tidak pantas diberi maaf, dia menyakiti Anin dengan kedua tangannya sendiri. Tapi dia butuh melihat Anindia sekali ini saja, hanya satu kali ini.

CW // Mature content , Harsh words

Dua jam.

Saya menghabiskan waktu dua jam untuk mencari keberadaan Anin. Bertanya baik pada Aksara atau Papa Anin sama sekali tidak membantu. Jadi saya putuskan untuk mencari Anindia di beberapa tempat yang menurut saya sering wanita itu datangi.

Saya datang ke rumah sakit, tapi baru sampai di halaman parkir, saya sadar kalau Anin tidak mungkin lagi menginjakkan kaki di sana sejak saya sendiri yang menyatakan pencopotan jabatannya sebagai dokter di rumah sakit saya. Saya menyempatkan diri untuk datang ke tempat makan yang dulu sering kami kunjungi, berharap kalau Anin masih punya kebiasaan datang ke sana tiap kali punya masalah.

Tapi yang saya dapat adalah kerutan dahi bingung dari si pemilik warung. “Bu Anin terakhir datang ke sini udah lama banget, Pak. Ada kali dua atau tiga tahun yang lalu, saya ngga pernah liat beliau ke sini lagi,” katanya. Yang kemudian membuat saya merutuki diri sendiri karena sama sekali tidak tahu apa-apa soal Anindia.

Saya mencari ke banyak tempat, tapi hasilnya tetap nihil. Anindia tidak dapat saya temukan dimanapun, sampai akhirnya saya memutuskan untuk pulang ke rumah dan menyelesaikan satu hal dulu.

Hema dan Karin, saya bahkan masih berusaha mencerna kenyataan kalau yang ada di perut Karin ternyata bukan milik saya. Maksudnya, bagaimana bisa? Sejak kapan? Kenapa saya sama sekali tidak tahu apa-apa soal itu?

Amarah memuncak hingga ke ubun-ubun ketika saya menggenggam kemudi dan memutar arah mobil. Kaki kanan saya menginjak pedal gas tanpa pikir panjang, terlalu banyak yang ingin saya tanyakan baik pada Hema atau Karin. Kepala saya terasa sakit, jantung saya bergema gila-gilaan. Perjalanan menuju rumah terasa bertahun-tahun, saya bahkan tidak sempat mencabut kunci mobil dari tempatnya ketika sampai di halaman rumah.

Saya berlari untuk dapat masuk ke dalam, benar-benar sudah kehilangan akal atas apa yang sebetulnya terjadi. Kepala saya seakan siap untuk meledak, namun urusan Karin dan Hema membuat saya menahan diri untuk tidak buru-buru mendahulukan emosi, saya butuh mendengar ceritanya lebih jelas.

Ketika saya menapakkan kaki di dalam rumah, saya menemukan Karin yang tengah menangis dan Hema yang merengkuh erat tubuh mungil itu.

Saya kehilangan kemampuan untuk mengolah kata, lidah saya terasa kelu dan tidak dapat mengudarakan satu kalimat pun. Sadar kalau saya hadir di tengah pelukan mereka, Hema melepas rengkuhannya dari tubuh Karin dan mengarahkan pandangan pada saya.

Saya tahu tatapan itu, tatapan penuh rasa bersalah dan penuh penyesalan. Saya pernah memberikan tatapan itu pada Anin dulu setiap kali saya melihat sosoknya diam-diam di tiap kesempatan. Namun melihat tatapan itu diberikan pada saya dan berasal dari orang yang saya beri kepercayaan paling besar bahkan melebihi Anindia sendiri, saya membencinya.

Let's talk,” kata Hema masih dengan tatapan yang sama.

Saya meluruskan bibir menjadi satu garis, sama sekali tidak menyangka kalau lelaki di depan saya ini masih bisa setenang ini. Saya berjalan mendekat ke arah mereka, pandangan saya terarah pada sebelah tangan Hema yang menggenggam Karin, menahan gadis itu agar tidak berlari ke arah saya.

Saya duduk di single sofa yang terletak di tengah ruangan. Suasana rumah besar ini mendadak jadi asing untuk saya, rasanya rumah sebesar ini tidak lagi terlihat seperti tempat pulang bagi saya. Anindia tidak lagi di sini, ditambah dua orang di depan saya membuat rumah yang dulu saya bangun dengan harapan bisa ditempati bersama Anindia sekarang terasa kosong dan memuakkan.

Hema tampak berpikir sejenak, mungkin mencoba menyusun kata-kata di dalam benaknya sendiri. Saya memandang Karin yang masih berdiri di sisi Hema, dua matanya memandang saya dengan raut takut, satu hal yang sama sekali tidak pernah saya temukan ada pada gadis itu. Melihat bagaimana takut dan cemasnya cara Karin menatap saya, saya menyimpulkan satu hal.

Bahwa yang Hema katakan lewat percakapan kami dua jam yang lalu memang benar adanya. Bahwa Karinina memang sudah tahu soal cerita masa lalu yang saya tutup rapat-rapat. Bahwa gadis yang membuat saya mempertaruhkan hidup sendiri demi memberi dirinya kehidupan itu memang benar-benar sudah bertindak di luar batas.

“Gue ada affair sama Karin sejak satu tahun belakangan.” Hema membuka percakapan tanpa melepaskan genggamannya pada Karin. Saya diam, masih ingin mendengar Hema tanpa ingin memotong kalimatnya.

“Lo ngga pernah ada buat dia, Je. Yang lo lakuin cuma manjain Karin pakai materi dan nyerahin sisanya ke gue. Gue ngaku salah, Je. Lo boleh lakuin apapun ke gue, gue ngga akan membela diri.”

Saya masih diam, mempersilakan Hema mengakui segalanya dan mendengar dengan seksama walau telinga saya terasa panas dan mungkin memerah. Hema terlihat masih memiliki banyak hal yang ingin dia katakan, lelaki itu tampak punya banyak cerita yang ingin dia sampaikan.

We had our first sex was in January, waktu lo dinas ke luar kota dan Karin lagi high. Oke gue tau gue salah karena ngelakuin itu dengan posisi Karin yang ngga sadar, tapi sisanya kami lakuin dalam keadaan sama-sama sadar tanpa dipengaruhi alkohol.”

“Hema stop....” Suara Karin menginterupsi namun terhenti ketika saya menatap tajam ke arahnya. Saya belum mau mendengar gadis itu bersuara, nanti setelah Hema selesai dengan semua pembelaannya, baru akan saya beri kesempatan pada Karin untuk bicara.

Karin sontak diam, dan Hema langsung memberikan tatapan seolah meminta Karin untuk mengerti. Tatapan penuh puja seperti yang selalu saya berikan diam-diam buat Anindia, dan bagaimana bisa saya baru melihat tatapan itu di mata Hema? Ah, bukan. Pertanyaannya salah, harusnya begini; Bagaiamana bisa saya baru menyadari kalau Hema juga punya tatapan sejenis itu pada Karin?

“Sama kayak lo yang jatuh buat Anin, gue juga jatuh buat Karin, Je. Gue manusia, lo juga manusia. Gue ngga bisa menentukan buat jatuh cinta ke siapa, gue cuma manusia biasa.”

“Lo bisa, Hema.”

Nyatanya, saya tidak bisa menahan diri untuk tidak menjawab Hema.

“Rasa ke seseorang itu bisa lo kendaliin karena lo yang punya. Lo mungkin ngga punya rencana buat jatuh ke seseorang, tapi lo bisa ngendaliin diri. Lo bisa sadar sejak awal kalau orang ini ngga boleh jadi tempat lo berharap, lo bisa berhenti sejak awal kalau lo mau.”

Napas saya memburu, tenggorokan saya terasa amat kering. Mendapati diri saya berada dalam keadaan ini dengan lawan bicara yang merupakan sahabat sendiri adalah situasi paling tidak pernah saya duga kehadirannya. Masalahnya di sini, Hema mengetahui segala hal yang terjadi sejak awal, Hema menjadi satu-satunya orang yang tak pernah lupa saya bagi soal banyak hal yang saya alami.

“Lo sendiri ngga bisa ngendaliin perasaan yang lo punya buat Anin.”

Saya mengepalkan tangan, rahang saya mengetat sampai saya sendiri dapat mendengar suara gigi atas dan bawah saya bertabrakan. “Lo kira gue ngga pernah nyoba buat menghindar, Bajingan?!”

Saya melanjutkan, “Lo kira gue ngga pernah berusaha buat berhenti mikirin Anin dan nyoba buat sepenuhnya ada buat Karin?”

Detik ini, saya yakin kalau suara saya bergetar dan melemah di ujung kalimat. Sesak membuat saya tak mampu menyuarakan pembelaan dengan lantang, mengingat Anindia membuat saya kembali menjadi laki-laki lemah dan menyedihkan.

“Lo manusia dan gue juga, tapi seenggaknya lo bisa usaha dan menghindar dari perasaan lo itu, Hema.”

“Gue udah berusaha, Je. Gue udah—”

“Waktu kedua kali lo lakuin itu sama dia, apa ada lo mikir kalau yang lo lakuin bakal ngehancurin gue?”

Hema diam, kalimatnya menggantung di udara.

“Gue...,”

“Kalau lo sama sekali ngga punya rencana buat nerusin hubungan lo sama Karin, dari awal sebelum kalian having sex pun, lo ngga akan lakuin itu terutama ketika lo sendiri tau Karin lagi ngga sadar dan kemungkinan besar yang dia pikirin saat itu adalah gue. Kecuali lo memang udah udah rencana buat mengikat dia ke dalam hubungan yang lebih lanjut jauh sebelum itu terjadi.”

At least gue berani ambil tindakan buat merjuangin orang yang gue mau, Jeandra, gue ngga sepengecut lo yang butuh waktu tiga tahun lari dari masalah.”

Dalam sekejap setelah Hema mengatakan hal demikian, pandangan saya menggelap dan amarah saya betul-betul tidak lagi dapat dibendung. Saya tarik kerah kemeja Hema dan mencengkram lelaki itu dengan sepenuh tenaga, menyebabkan Hema kesulitan menarik napas dengan benar dan berusaha melepaskan cengkraman saya dari dirinya.

Pandangan saya menggelap, tak ada lagi sosok Hema si sahabatnya Jean atau Hema si teman bertahun-tahunnya Jean yang saya kenal. Entah mana yang membuat saya lebih tersinggung. Kalimat Hema yang bernada mengejek dan meremehkan atau fakta kalau kalimat itu benar adanya.

Entah mana yang membuat darah saya lebih mendidih. Hema yang menghancurkan kepercayaan saya hingga tak berbentuk, atau fakta kalau saya kalah telak baik untuk urusan Anindia atau Karinina. Yang jelas, ketika saya melayangkan satu pukulan keras ke wajah Hema, saya tahu kalau lelaki itu sama sekali tidak memberikan perlawanan dan membuat saya mengambil kesempatan untuk melampiaskan semua beban yang selama ini terkurung hanya di dalam kepala.

Entah mana yang membuat saya merasa lebih hancur. Fakta kalau rencana yang selama ini saya susun serapi mungkin nyatanya gagal total atau Anindia yang saya sadari tak akan bisa kembali walau pada saya walau hanya sejengkal.

-

CW // Mention of death , Blood

Aksa belum pernah merasa setakut ini akan kehilangan seseorang. Seumur hidupnya, Aksa melihat begitu banyak kematian karena pekerjaan yang dia tekuni. Baik di ruang operasi atau kerabat terdekatnya, Aksa terlalu sering melihat kematian. Tapi tidak satupun di antara mereka yang berhasil membuatnya bergetar hingga ke seluruh tubuh sampai kakinya lemas.

Anindia menjadi yang pertama membuat Aksa merasa demikian. Wanita itu membuat Aksa tahu bagaimana rasanya takut kehilangan, takut ditinggalkan, takut melepaskan.

Wajah Anin pucat pasi, darah segar masih mengalir cukup deras dari sela pahanya yang terbalut dress hijau cerah, membuat gaun cantik itu dipenuhi noda merah pekat di sebagian besar area bawahnya.

Be safe, Anindia, I beg you.” Kalimat itu berkali-kali Aksa rapalkan pelan sambil terus melirik ke arah kursi bagian belakang tempat dimana Anin direngkuh erat oleh sang ayah. Lelaki yang akrab Anin sapa dengan panggilan “Papa” itu sama sekali tidak membiarkan satu pun bagian tubuh Anin terlewat oleh elusan pelan penuh kasih sayang khas seorang ayah.

Perjalanan ke rumah sakit terasa luar biasa lambat, Aksa bahkan berkali-kali mengumpat tanpa berpikir kalau bukan hanya dirinya yang berada di dalam mobil. Sampai akhirnya, mereka sampai di hadapan rumah sakit tempat Aksa bekerja, Papa langsung membawa tubuh Anin keluar dari dalam mobil.

Aksa mengikuti langkah lelaki setengah baya itu dengan tergesa, kemudian berteriak kepada beberapa staf di sana untuk membantunya membawa Anin. Kemeja yang Aksa pakai terkena noda darah dari tubuh Anin, tapi lelaki itu tidak punya waktu untuk peduli. Ia sibuk memberi arahan kepada perawat dan beberapa dokter bawahannya, memastikan kalau semua orang bergerak cepat untuk memberi pertolongan pertama pada Anin.

Butuh setidaknya 10 menit bagi Aksa sampai semua prosedur sudah siap dan dia bisa menarik diri dari sana. Sadar kalau situasi yang terjadi kali ini bukan ranah pekerjaannya, Aksa terpaksa menyerahkan Anin sepenuhnya pada orang-orang yang bertanggung jawab atas itu.

Aksa mendudukkan diri dengan cemas di samping Papa Anin, pandangan lelaki itu lurus ke depan dengan kedua tangan bergetar. Lelaki itu mungkin jauh lebih cemas daripada Aksa sendiri, dan dia bisa memahami itu sepenuhnya.

Tanpa Aksa duga, gerakan Papa selanjutnya membuatnya tersentak. Lelaki itu mengeluarkan ponsel dan tampak menghubungi seseorang melalui panggilan telepon. Fokusnya tertuju pada nama dari sosok yang sering Anin ceritakan dan dia panggil dengan sapaan “Ibun”.

Aksa hendak bertanya, namun ia urungkan sebab merasa kalau hal itu terlalu privasi dan dia tidak dapat ikut campur dalam urusan itu.

She's bleeding, I'm so afraid that we'll lost the baby.” Itu yang Aksa dengar meski suara Papa cukup pelan. Aksa menegang dalam sekejap, dan Papa yang seolah mengerti kekhawatiran yang membayang di kedua netra Aksa memberi kode agar dia mendekat.

Percakapan di telepon masih berlanjut, sampai akhirnya dua menit kemudian, panggilan terputus. Lelaki setengah baya di hadapan Aksa itu mengangkat pandangan, menatap lurus pada Aksa dan menghela napas.

“Ibunya Jeandra harus tau soal apa yang anaknya lakuin ke Anin.”

Itu kata Papa. Aksa mengerjap, namun diam-diam setuju dengan kalimat itu. Aksa paham kalau kondisi Ibun mungkin belum sepenuhnya stabil, mengingat dirinya adalah satu dari beberapa orang saksi yang mengetahui kejadian tiga tahun lalu. Namun untuk urusan kehamilan Anin, wanita itu mungkin memang sudah seharusnya tahu.

Look, bertemu dengan Anindia sama sekali tidak pernah dia rencanakan. Takdir yang mengacak-acak mereka dan pada akhirnya membuat dirinya tanpa sengaja terlibat dengan Anin dan membuat segala kebetulan terjadi. Aksa sama sekali tidak mengetahui kalau Anin adalah orang yang disebut-sebut oleh Hema dan Jean di hari operasi Ibun, gadis yang namanya berkali-kali menjadi perbincangan antara dua orang itu dan berakhir dengan Jeandra yang menangis di ujung lorong rumah sakit.

“Gue udah ninggalin Anin.” Seingat Aksa, kalimat itulah yang terakhir kali dia dengar dari Jeandra tanpa sengaja sebelum dia memutuskan untuk berhenti terlibat lebih jauh. Aksa hanya berusaha menjalankan tugasnya sebagai dokter, ia sama sekali tidak menduga kalau pekerjaan membuat dirinya harus terlibat dengan urusan pasien walau secara tidak langsung.

Bertemu langsung dengan sosok Anin yang menjadi alasan Jean menangis di samping ranjang rumah sakit Ibun tiga tahun lalu, adalah sebuah kebetulan yang tidak Aksa duga sebelumnya. Di awal mereka bertemu, Aksa bersumpah kalau dirinya tidak pernah mengira kalau Anindia yang dia temui adalah Anindia yang sama dengan yang dulu Jean sebut.

Jatuh untuk Anin juga sama sekali tidak pernah dia duga, sama sekali. Sebab Aksa sendiri sebetulnya tidak punya rencana untuk sejatuh ini untuk seorang wanita, tapi Anindia berhasil membuatnya jatuh amat dalam hingga sulit untuk kembali bangkit.

“Saya ngga tau apa masalah yang Jean hadapi sampai harus serumit ini, tapi nyakitin Anin ngga bisa dijadikan satu-satunya pilihan,” gumam Papa.

Aksa menatap lurus pada lantai dingin rumah sakit. Dalam hati, Aksa menggumam kalau Ibun sendirilah yang menjadi akar masalahnya. Tapi mulutnya terkunci, Aksa tidak punya nyali untuk menyuarakan gumamannya menjadi kalimat nyata. Bahkan di depan Anin pun, Aksa tidak punya nyali untuk menjelaskan perihal masa lalu.

Sebab dirinya adalah orang lain, dia orang luar. Sebab masalah yang terjadi bukan hanya soal Jean yang meninggalkan Anin karena jatuh untuk orang lain, sebab yang terjadi bukan sesuatu yang mudah. Akar masalahnya berasal dari seorang ibu, yang kemudian membuat sang anak nekat berulah demi melindungi wanita itu. Kalau sudah berurusan dengan seorang ibu, Aksa mengaku kalah.

Tapi untuk urusan kehamilan Anindia, yang satu ini mungkin memang harus diketahui oleh Ibun. Aksa menyerahkan sisanya pada Anin atau Papanya, yang jelas untuk perkara satu ini, Aksa setuju kalau Ibun harus tahu keadaan Anin yang sebenarnya.

30 menit berlalu sebelum kemudian seorang wanita setengah baya datang dengan raut wajah cemas. Mereka berdua bangkit, Aksa menatap tepat di wajah wanita itu, menerka apakah wajahnya masih melekat di ingatan mantan pasiennya tiga tahun lalu itu.

“Gimana Anin?” tanya Ibun.

Dan ternyata, wajahnya terlupakan. Aksa paham, namun sebagian dari dirinya merasa sedikit aneh menghadapi sosok di depannya itu.

“Belum tau, tapi Anin pingsan sejak kembali dari rumah Jean,” jawab Papa.

Ibun mengerutkan dahi. “Rumah Jean? Maksudnya rumah mereka?”

Ah, wanita itu bahkan belum tahu kalau Anin dan Jean sudah lama berpisah tempat tinggal. Papa menggeleng tegas.

“Rumah itu bukan milik Anindia lagi,” ucap Papa.

“Anin udah cukup lama keluar dari rumah itu dan kembali tinggal sama saya,” lanjut Papa.

Wanita di hadapan mereka tampak bingung, namun masih berusaha terlihat tenang. Aksa memutuskan untuk membuka suara, menggantikan Papa yang terlihat menahan emosi saat menyampaikan kalimatnya. Aksa memberi tatapan meminta izin, sebelum maju dan menyodorkan tangan kanannya ke depan.

“Saya Aksara, teman Anin.”

Uluran tangannya disambut tanpa basa-basi. Menandakan kalau Ibun sama sekali tidak dapat mengenalnya.

“Kandungan Anin sekarang memasuki usia 12 minggu, rentang waktu kami tau kalau Anin lagi mengandung itu di hari Jean memberhentikan Anin sebagai dokter di rumah sakitnya.”

Ibun terlihat semakin bingung. “Jean...apa?”

“Jeandra memecat Anin dari jabatannya sebagai dokter, alasannya mungkin bisa langsung ditanyakan ke Jean. Yang jelas hari itu, Anin pingsan dan dokter bilang dia lagi hamil. Setelahnya, Anin sempat kembali ke rumah mereka, tapi memutuskan buat pulang ke rumah Papanya dan mengajukan tuntutan perceraian ke pengadilan, suratnya masih dalam proses.”

Informasi yang sebetulnya sudah Aksa ringkas itu tampak terlalu banyak untuk diproses oleh Ibun.

“Kita mungkin harus ngasih tau Jean soal Anin. Mau bagaimanapun, Jeandra itu ayahnya. Jadi—”

“Jangan kasih tau Jean. Jangan kasih tau dia sampai Anindia sendiri yang memutuskan mau bicara ke dia, anggap ini hukuman dari saya dan dari Anin.”

Final, Aksa tak lagi bisa berbicara. Lelaki itu mengangguk dan mempersilakan Ibun untuk duduk, kemudian mendudukkan dirinya sendiri dan menunduk dalam.

Pikirannya hanya terarah pada Anin, entah apa yang terjadi di dalam sana. Yang jelas, Aksa sadar ketika kedua tangannya mulai mengepal erat dan ia bawa kepalan itu di depan dada. Matanya terpejam, hatinya merapalkan doa. Berharap kalau Anindia diberi satu kali lagi kesempatan.

Aksa siap mempertaruhkan apapun, asal Anindia diberi satu kali lagi harapan. Apapun, Aksa mau memberikan hal itu agar Anin masih bisa melihat matahari di esok hari. Walau taruhannya adalah dirinya, Aksa tidak apa-apa, asal Anin bisa bebas dari luka, Aksa tidak apa-apa.

-

TW // Mention of sexual harassment , Harsh words , Traumatic event , Violence

Dahulu waktu saya masih menjadi bagian penting dalam hidup Jeandra, ada satu kejadian yang tak akan pernah bisa saya lupakan walau sekejap. Hari itu ketika semua kegiatan sebagai seorang intern di rumah sakit, saya hampir menjadi korban perampokan dan pelecehan. Jean bilang dia punya urusan lebih lama di kantor, yang kemudian menyebabkan saya harus pulang sendiri dan berakhir menumpang sebuah taksi.

Saya tidak pernah bisa menyetir mobil sendiri karena pernah hampir menabrak orang sewaktu pertama kali belajar, kejadian itu sudah cukup lama dan membuat saya lebih banyak bergantung pada supir pribadi yang Papa sediakan atau pada Jean yang selalu siap membawa saya kemanapun. Maka ketika hari itu Jeandra tidak dapat hadir, saya memaklumi hal itu.

“Aku minta tolong supirnya Ibun buat jemput kamu, jangan pulang sendiri.” Begitu katanya sebelum saya tolak mentah-mentah karena tidak ingin terlalu merepotkan lelaki itu. Saya ingat dengan jelas bagaimana Jeandra pada akhirnya mengomel karena bosan mendengar saya yang selalu merasa merepotkan banyak orang.

“Kan, udah pernah kubilang kalau hal-hal kecil kayak gini, tuh, udah jadi kewajiban aku buat kamu. Jangan ngga enakan terus. Kalau sama aku aja kamu kayak gini, gimana sama orang lain coba, Sayang?” omel Jean waktu itu. Saya cuma bisa tertawa sembari memasukkan diri sendiri ke dalam taksi yang saya pesan.

“Yaudah, terserah. Tapi nanti kalau udah di rumah kabarin ya,” ucap Jean sebagai penutup panggilan.

Ah, dada saya terasa sesak ketika mengingat bagaimana lembutnya tutur si Laksamana itu dulu sebelum takdir mempermainkan kami. Kalimat itu menjadi pengantar terakhir sebelum saya menutup panggilan telepon dan memandang keluar jendela, tanpa rasa curiga sedikit pun.

Tak ada percakapan yang terudara sejak saya menyebutkan alamat pada lelaki berusia sekitar 40 tahunan di depan saya. Saya sudah pernah bilang, saya ini kaku. Saya sulit berbaur dengan orang baru atau sekedar berbasa-basi agar suasana di sekitar tidak terasa terlalu canggung. Saya hendak memeriksa ponsel sekali lagi ketika suara supir di depan saya menginterupsi, berbasa-basi mengajak saya mengobrol dan mengundang mata saya mengerjap beberapa kali.

“Mbak kerja di rumah sakit tadi ya?” tanyanya.

Saya mengangguk patah-patah, bingung harus menanggapi dengan reaksi macam apa. Percakapan mengalir sampai akhirnya lelaki paruh baya itu mulai menanyakan beberapa hal pribadi yang mengarah pada beberapa bagian tubuh saya.

“Kakinya mulus, Mbak. Pasti rajin perawatan ya?” Mata lelaki itu melirih ke arah kaki saya yang terbuka hingga sebatas lutut melalui rear-view mirror. “Kalau kakinya mulus, biasanya yang lain-lain juga mulus, loh, Mbak.”

Pertanyaan-pertanyaan yang menurut saya ranahnya terlalu privasi itu beberapa kali ditanyakan, yang tentunya tidak saya tanggapi. Hawa tidak nyaman mulai menguar, sampai pada akhirnya saya memutuskan untuk menghubungi Jean melalui pesan. Jean panik, tentu saja. Kemudian berkata kalau beberapa orang suruhannya sudah berusaha mengejar taksi yang saya tumpangi. Dia juga menunda rapat dan berusaha menyusul, tak lupa meminta saya untuk mencari sesuatu di dalam mobil yang bisa saya jadikan senjata kalau saja ada gerakan yang membahayakan dari si supir taksi. “Minta dia buat berhenti sekarang,” kata Jean lewat pesan.

Jean juga sempat meminta saya membagikan live location saya dan menanyakan nomor kendaraan, yang langsung saya beri tanpa basa-basi. Mata saya melirik ke depan dengan takut, lalu mulai panik ketika sadar kalau jalur yang saya lalui bukanlah jalan yang biasa saya lewati untuk pulang.

“Pak, saya turun di sini aja. Saya mau ketemu orang dulu di dekat sini,” ucap saya. Namun seakan paham gerak-gerik saya yang sudah curiga, mobil masih terus melaju bahkan lebih kencang. Saya mulai panik, namun berusaha tetap terlihat tenang. Saya ulangi kalimat saya sekali lagi, hingga berkali-kali sampai suara saya terdengar sedikit lebih melengking. Yang kemudian membuat lelaki di depan saya itu kalap dan menodongkan sebuah pisau ke arah saya. Saya ketakutan, demi Tuhan saya ketakutan. Lelaki itu kemudian mengancam akan melukai saya kalau tidak segera duduk diam dan menurut. Seluruh tubuh bergetar, saya tidak ingat kapan pernah merasa setakut itu. Lima menit berlalu masih dengan pisau di tangan kirinya, mobil kemudian diberhentikan di pinggir jalan yang sama sekali tidak saya kenali. Bukan jalan raya, namun lebih terlihat seperti sebuah jalan pintas yang sudah tak lagi terpakai. Tak ada kendaraan yang melintas, beberapa bagian jalan juga tampak rusak dan berlubang.

Begitu kami sudah sepenuhnya berhenti di tepi jalan, pisau yang tadi digunakan untuk mengancam kembali dilayangkan di depan wajah saya. Saya hampir menangis, namun tertahan karena masih percaya kalau Jean atau orang lain akan datang untuk menolong. Lelaki paruh baya dengan pisau di tangan itu kemudian meminta saya menyerahkan barang berharga yang saya punya, termasuk kalung yang pemberian Jeandra yang saya pakai di leher. Dua menit terasa seperti seumur hidup bagi saya, ketakutan menyelimuti seluruh tubuh. Saya berkali-kali menyebut nama Tuhan dalam hati, merapalkan doa supaya diberi kesempatan untuk melihat matahari di esok hari.

Semuanya terjadi begitu saja, sampai pada akhirnya saya mendengar suara mobil lain yang datang dari arah belakang. Begitu seterusnya sampai saya melihat Jean yang datang dan si supir taksi sudah ditahan oleh beberapa orang dengan seragam kepolisian. Terakhir yang saya ingat soal kejadian itu adalah tubuh Jean yang merengkuh saya dengan erat sebelum kegelapan menyelubungi. Saya pingsan membuat Jean panik setengah mati.

Kejadian itu membuat saya takut untuk keluar rumah, butuh setidaknya dua minggu bagi saya untuk memberanikan diri untuk kembali berbaur dengan dunia luar. Efeknya terasa hingga satu tahun berikutnya, saya belum punya nyali untuk menaiki taksi, sedikit mengalami trauma dan mengharuskan saya mengandalkan orang-orang terdekat untuk bepergian, terutama Jean.

Kenapa saya menceritakan pengalaman satu itu? Entah, kepala saya tiba-tiba mengingat kejadian itu ketika tengah menyetir mobil sendiri menuju rumah milik Jean. Rasanya seperti saat pertama kali saya belajar untuk lepas dari Jean dalam urusan berkendara. Dulu, sejak kejadian itu, saya seoenuhnya bergantung pada Jean. Lelaki itu betul-betul memastikan dirinya berada di samping saya kemanapun saya pergi. Papa bahkan sampai keheranan soal bagaimana Jean mengatur waktu antara urusan kantor dan saya, sebab posisinya waktu itu masih menjadi bawahan di kantor. Perusahaan itu memang punya Ibun, tapi Jean memulai karirnya dari bawah, hal itu yang membuat Anin menolak semua bantuan Jean untuk hal-hal kecil yang bisa membuat Jean membuang waktu.

Tapi kejadian itu malah membuat Jean semakin ketat terhadap Anin, matanya benar-benar tidak pernah lepas dari Anin. Katanya, perampokan itu terjadi karena salahnya yang tidak mengantar Anin untuk pulang. Padahal Anin sendiri berkali-kali menjelaskan kalau dirinyalah yang harus disalahkan karena tidak teliti dalam memilih taksi.

Selama sisa waktu yang kami punya, saya tidak melewatkan satupun hari tanpa sosok Jean di dekat saya. Lelaki itu menjadi bagian penting dalam hidup setelah kehadiran Papa, yang tentu tidak pernah saya kira kalau bagian itu harus direnggut paksa dan pergi tanpa aba-aba.

Sepeninggal Jean, saya belajar menyetir mobil sendiri dan rasanya persis seperti yang saat ini saya hadapi. Kedua tangan bergetar dan berkeringat dingin, kaki saya menginjak pedal gas dengan ragu, mata saya menatap cemas pada jalanan di depan. Waktu pertama kali mengendarai mobil sendiri tanpa Jean di samping saya, saya ketakutan setengah mati. Bulir keringat membahasi dahi, padahal penyejuk udara sudah saya atur hingga ke suhu terendah. Terasa sama persis seperti yang saat ini saya rasakan. Sama parahnya, sama menakutkannya.

Setelah menghubungi Karin untuk membicarakan semua yang sudah saya susun di kepala, yang entah bagaimana malah dibalas oleh Hema, saya memutuskan untuk langsung melesat ke rumah Jean tanpa sempat berpikir dua kali. Dengan tangan yang berkeringat dingin dan mual yang saya tahan agar tidak meledak sekarang juga, saya membawa mobil milik saya menuju kediaman Jean yang dulu juga pernah menjadi rumah bagi saya.

Mengingat kembali bahwa suatu hari tiga tahun yang lalu saya pernah berada di situasi yang sama, menyetir seorang diri dengan nama Jeandra memenuhi kepala, semakin membuat sesak mengerubungi dada. Jean lagi-lagi menjadi alasan saya membawa diri dalam sendiri berada di dalam mobil, menginjak pedal gas dengan berbagai jenis emosi yang berebut mendominasi rasa.

Saya coba untuk melupakan sejenak sakit dan sesak yang mengganggu, saya menahan diri agar tubuh dan pikiran saya tidak menyerah terlalu cepat dan membuat semua yang sudah saya rencanakan dalam benak hancur berantakan. Saya berhasil, ketika pada akhirnya empat roda bulat ini menapaki halaman besar rumah milik Jean.

Melangkah masuk ke dalam rumah merupakan sebuah keputusan yang sulit untuk diambil, sebab saya paham kalau satu langkah saja saya menginjakkan kaki di dalam sana, ingatan soal Jean tidak akan bisa saya tolak kehadirannya. Saat sudah memasuki ruang paling depan yang biasanya digunakan Jean untuk meletakkan koleksi lukisan sekaligus menjadi ruang tamu, suara ribut dari arah ruang tengah membuat saya mengerutkan dahi.

Saya bisa memastikan kalau suara teriakan melengking yang terdengar dari sana adalah milik Karin, entah apa yang terjadi. Yang jelas, saya langsung melangkahkan kaki lebih cepat agar bisa melihat ke sumber suara. Teriakan kencang itu kemudian disusul oleh bentakan yang saya yakin adalah milik Hema.

Benar saja, ketika memasuki ruang tengah, saya menyaksikan langsung bagaimana Hema tengah berusaha merengkuh tubuh kecil Karin, sedangkan gadis di pelukannya berkali-kali berteriak meminta dilepaskan. Saya terperangah, dalam sekejap otak saya berusaha menerima pemandangan yang tengah saya lihat secara langsung. Kebingungan melanda, sampai akhirnya perhatian dua orang itu teralih pada saya yang berdiri mematung di ujung ruangan.

Karin tampak terkejut, kedua netranya membulat sebelum kembali berusaha melepaskan diri dari rengkuhan erat yang Hema berikan. Kepanikan tergambar jelas di kedua iris gadis itu, membuat saya bertanya-tanya mengenai masalah yang terjadi sampai Hema harus memegang Karin seerat itu. Lain halnya dengan Karin yang panik, Hema malah terlihat santai dan tenang. Saya belum pernah melihat Hema berada dalam mode itu, Hema yang saya kenal biasanya selalu menampilkan senyum jahil dan canda, namun Hema yang Anin lihat kali ini tampak jauh berbeda.

“Lepasin!” bentak Karin sambil berusaha membebaskan tubuhnya dari Hema.

Namun Hema menolak permintaan itu dan malah menarik tangan Karin hingga berdiri tepat di hadapan saya. Saya yang masih belum punya petunjuk apa-apa soal situasi yang terjadi mengerjap pelan, kemudian memandang dua orang di hadapan saya bergantian. Mulai dari Hema yang tampak siap mengucapkan serentetan kalimat pada saya, kemudian pada Karin yang terlihat jengkel namun tidak dapat menyembunyikan kepanikan di matanya.

“Minta maaf sama Anin sekarang,” ucap Hema.

Saya tidak tahu permintaan maaf jenis apa yang dimaksud Hema, tapi yang jelas saya paham kalau hal itu kemungkinan besar berhubungan dengan Jeandra dan tujuan saya datang ke sini. Hema juga terlibat menjadi saksi hari itu, kan? Saya pikir wajar kalau lelaki itu memaksa Karin untuk mengucap maaf. Hema juga ada di tempat kejadian, Hema menemani Jean selama proses operasi dan segala perawatan Ibun, Hema bekerja menjadi manajer Karin, Hema juga sudah bertahun-tahun menjadi sahabat baik Jean. Wajar kalau lelaki itu tahu lebih banyak hal dari pada saya, mungkin kali ini ada fakta lain yang belum saya ketahui soal Karin dan Hema mengetahui hal itu lebih dulu.

Hema mungkin ingin memberitahu satu hal lagi yang saya lewatkan soal saya dan Jeandra hingga harus memaksa Karin—

“Minta maaf sama Anin soal bayi kita, Karin.”

Mulut saya yang pada awalnya hendak terbuka untuk meminta Hema berhenti memaksa Karin dan membiarkan gadis itu bicara sendiri sontak tertutup rapat. Kalimat Hema terlalu mengejutkan dan membawa terlalu banyak suara gemuruh di otak saya.

Bayi kita.

Saya berharap kalau dua kata itu tidak punya hubungan apa-apa dengan yang tengah saya pikirkan saat ini. Saya berharap kalau Hema hanya salah dalam menyebut pemilik kata bayi itu dan akan segera mengoreksi kalimatnya. Entah apa yang sebetulnya membuat saya berharap demikian, namun mengingat bagaimana Jeandra betul-betul menganggap kalau bayi di dalam sana adalah miliknya membuat saya hancur.

What the hell is happening here?” Saya akhirnya memberanikan diri membuka suara. Karin berdecak tidak suka, namun Hema dengan mantap memandang ke arah saya dan terlihat bersiap mengucapkan sesuatu, membuat saya menahan napas dan memasang telinga lebar-lebar.

Don't fucking dare to tell her, Hema,” sela Karin.

Namun Hema tampak tidak peduli, lelaki itu masih menggenggam tangan Karin erat, memastikan kalau Karin tidak berusaha kabur dari sana. “Bayinya Karin, bayi yang ada di dalam sini adalah anak gue dan bukan anaknya Jean.”

Detik itu, tubuh saya membeku.

“Jean sama sekali ngga pernah nyentuh Karin lebih dari pelukan, malam itu Jean high dan nyamperin Karin di kamar. But they never did that, Karin sengaja manfaatin mabuknya Jean dengan bikin situasi seolah mereka naked sampai Jean percaya kalau mereka beneran ngelakuin itu.”

Hema menjeda kalimatnya, mungkin karena melihat bagaimana pucatnya wajah saya setelah kalimat itu tersampaikan dan membuat seluruh tubuh seolah mati rasa.

That's my baby,” lanjut Hema.

Don't talk bullshit to her, lo ngga boleh dengerin Hema. Ini anaknya Jean dan lo sendiri yang periksa gue hari itu.” Karin kembali menyela, suaranya melengking.

Kepala saya semakin terasa berat, rasa sakit yang tadi sempat saya lupakan sekarang kembali mengerubungi kepala dan membuat saya harus mencengkram helai surai saya sendiri.

“Sejak kapan....” Suara saya bergetar, saya bahkan tidak yakin kalau Hema atau Karin dapat mendengar pertanyaan saya dengan jelas.

“Satu tahun yang lalu waktu gue sadar kalau dibanding Jean, Karin lebih butuh gue.” Hema sedikit melonggarkan genggamannya pada pergelangan tangan Karin, membiarkan gadis itu bergerak memukul dada Hema dengan brutal tanpa melakukan perlawanan.

Hema mengalihkan pandangan dari saya menuju Karin, tangannya ia tempatkan di kedua bahu Karin agar gerakan Karin berhenti. Dengan lembut, Hema berusaha menenangkan Karin yang masih berusaha memberi pukulan pada tubuhnya. “Jangan gitu, ada makhluk lain yang hidup di perut kamu. Jangan sampai bahayain dia,” kata Hema.

Kamu.

Demi Tuhan, saya sama sekali tidak pernah menduga kata itu akan keluar dari bibir Hema dan yang menerima kata itu adalah Karin. Karin mulai melemah, napasnya memburu. Hal itu membuat Hema kembali mengalihkan perhatian pada saya, menjawab pertanyaan yang tadi saya sematkan dan seolah tahu kalau saya masih belum bisa memahami situasi sepenuhnya.

“Gue tau gue salah, tapi gue berusaha memperbaiki semua kesalahan gue, Anin. Termasuk dengan mengakui kalau anak ini sebenernya bukan anak Jean tapi anak gue. Gue tau kalau rencana yang Jean susun bertahun-tahun jadi hancur karena gue yang malah suka sama Karin, tapi soal rasa, manusia bisa apa?”

Hema melanjutkan, “Dan gue manusia biasa, Anin. Gue ngga bisa mengatur diri gue buat jatuh buat siapa, sama kayak lo yang jatuh buat Jean atau Jean yang selalu jatuh buat lo, gue juga jatuh buat Karin.”

Hema melanjutkan penjelasannya, bercerita soal bagaimana dia dan Karin mulai hadir menjadi bagian dari diri masing-masing. Sampai cerita soal pertengkaran yang mereka punya karena Hema yang ingin Karin sepenuhnya, tapi Karin yang hanya menganggap kalau Hema adalah selingan di kala dirinya jenuh dengan Jeandra.

Tanpa saya sadari, kaki saya maju satu langkah lebih dekat ke arah Hema. Sampai ujung sepatu yang kami gunakan bersentuhan dan saya harus mendongak agar bisa melihat bagaimana raut wajah Hema yang berubah kebingungan karena gerakan saya yang tiba-tiba.

PLAKK.

Dalam satu tarikan napas, satu tamparan berhasil saya layangkan ke wajah Hema.

Saya sendiri tersentak ketika suara kulit saya yang memukul kencang permukaan pipi Hema menggaung di seluruh ruangan, Karinina bahkan terlihat lebih terkejut dengan yang saya lakukan. Hema membuang muka, masih berusaha memproses apa yang barusan terjadi.

Telapak tangan saya bahkan terasa panas, bukti kalau tamparan yang baru saja saya layangkan pada Hema bukan hanya sekedar tamparan kecil. Hema diam, dan saya gunakan kesempatan itu untuk mengeluarkan semua beban yang saya simpan sejak lama.

Both of you...are so disgusting.” Kalimat itu menjadi pembuka bagi semua amarah yang tak lagi saya tahan. Karin masih menatap saya dengan pandangan tidak percaya sedangkan Hema menunduk dalam, tapi saya sama sekali tidak peduli.

Saya menunjuk Hema dengan jari telunjuk, saya tempatkan jari saya tepat di dada lelaki itu. “Kamu itu sahabatnya Jean, kamu yang paling tau soal gimana Jeandra mati-matian menebus rasa bersalahnya sama Karin. Kamu yang paling dekat sama dia dan tau semua keluh kesah dia, kamu juga tau gimana sakitnya saya tiap kali harus melihat Jean sama Karin. Kamu tau banyak hal soal itu tapi kamu diam dan berlindung atas nama cinta, bajingan kayak kamu ini bikin saya jijik Hema.”

Jari telunjuk saya kemudian teralih pada Karin.

“Dan kamu....”

Saya bahkan tidak sanggup memikirkan bagaimana gadis cantik satu ini dengan tidak tahu diri memanfaatkan rasa bersalah yang Jean miliki untuknya. “Kamu tau seberapa tersiksanya Jean karena rasa bersalah dan berdosa ke kamu?”

“Laki-laki itu bahkan mau ninggalin banyak hal termasuk saya cuma demi bikin kamu bahagia, dia ngorbanin hidupnya demi ngasih kehidupan baru buat kamu. Saya ngga akan semarah ini kalau dari awal kamu memang betul-betul ngga tau penyebabnya, Karin. Tapi masalahnya, dari awal pernikahan kami, kamu tau dan kamu dengan sengaja berpura-pura ngga tau demi bisa terus terikat sama Jean.”

Kepala saya semakin terasa berat, ditambah rasa kram yang berasal dari area perut bagian bawah. Namun saya berusaha menahan diri karena belum selesai dengan dua orang ini.

“Kamu tau kalau Jean menghancurkan diri sendiri demi kamu tapi bukannya mundur dan membebaskan dia dari semua rasa sakit, kamu malah memanfaatkan rasa bersalah Jean demi diri kamu sendiri.”

“Gue cuma berusaha mempertahankan apa yang udah jadi punya gue, Kak Anin.” Karin memotong ucapan saya.

“Sama kayak yang lo lakuin sekarang, gue cuma berusaha mempertahankan apa yang selama ini gue punya. Jean punya gue, dan selamanya bakal begitu.”

Saya tertawa, sebelum menjawab dengan kedua tangan terkepal. “Yang saya lakuin sekarang itu bukan mempertahankan Jeandra, Karin. Yang saya lakuin sekarang adalah mempertahankan harga diri saya sebagai seorang istri dan sebagai seorang wanita. Karinina, dari awal Jean itu milik saya. Kamu sendiri tau kalau bahkan sebelum ketemu kamu, Jean itu punya saya. Bahkan sekarang pun, Jean masih punya saya dan masih terikat sama saya. Yang saya lakukan di sini cuma mau mengingatkan kamu soal status itu, saya cuma mau mengingatkan lagi kalau posisi kamu dalam hidupnya Jean itu ngga akan bisa menggantikan saya.”

“Mau kamu jungkir balik pun, Jeandra itu milik saya.”

Dalam hitungan dua detik, tangan kanan Karin terangkat dan saya tahu kalau sebuah tamparan mungkinakan mendarat di wajah saya. Namun dengan gerakan kilat, saya mengangkat tangan lebih cepat dan menahan gerakan Karin hingga tangan mungil itu terangkat di udara. Kemudian tanpa aba-aba, saya hempaskan tangan milik Karin ke bawah dan beralih mengangkat tangan kanan saya.

PLAKK.

Satu tamparan keras mendarat di pipi Karin. Tangan saya sampai bergetar ketika kulit kami tak lagi bersentuhan. “Ini untuk menghancurkan kepercayaan yang Jean kasih buat kamu.”

PLAKK.

“Ini untuk membuat saya kehilangan pekerjaan sebagai dokter.”

PLAKKKK.

“Ini untuk semua rasa sakit dan kehancuran atas pernikahan saya.”

Tiga tamparan sebelum saya merasa tidak lagi sanggup menopang tubuh sendiri agar tetap berdiri. Saya memundurkan tubuh dan memaksa kaki saya untuk keluar dari area rumah Jean. Saya masih bisa mendengar sayup-sayup suara tangisan keras dari Karin entah karena apa. Saya tidak peduli. Saya tidak lagi peduli soal apa yang terjadi pada Karin seusai tiga tamparan keras yang saya berikan. Rasa sakit di perut saya semakin menjadi, sampai membuat langkah saya terseok.

Berhasil sampai di tempat dimana saya memarkirkan mobil adalah hal yang paling saya syukuri saat ini. Rasa sakit yang menyerang membuat saya kehilangan tumpuan pada kedua kaki dan berakhir tumbang tepat di samping pintu mobil. Hal terakhir yang saya ingat sebelum melihat aliran darah segar di betis dan kegelapan mengelilingi adalah suara Papa yang berteriak dan suara Aksara yang berusaha membangunkan saya.

Habis, semuanya gelap dan saya kehilangan semua ingatan soal cerita hari ini. Ingat di awal ketika saya bilang kalau seumur hidup, kejadian perampokan hari itu adalah pertama kalinya saya setakut itu akan kematian. Hari ini hal yang sama berlaku.

Saya amat takut dengan kematian, terutama ketika mendadak, saya merasa kalau saya kehilangan kontak dengan sosok di dalam perut saya. Saya ketakutan setengah mati. Dalam kegelapan di kepala saya sendiri, saya meringkuk ketakutan sambil memegang erat perut saya sendiri, berharap kalau saya masih dapat merasakan dia yang di sana bernapas dengan benar di dalam sana.

Saya takut, saya tidak pernah merasa setakut ini.

Warning // Narasi di bawah ini mungkin dapat men-trigger beberapa orang. Please be wise, the whole story will be so tiring. Jadi silakan kembali kalau merasa sudah cukup stabil.

3800+ words

Waktu tangan kanannya meraih gagang pintu kafe, Anin sempat berpikir untuk memutar tubuh dan kembali ke mobil. Kedua kakinya bergetar, seakan semua tulang dan sendi yang bertugas menyokong tubuh mungil itu agar tetap berdiri tegak dalam sekejap kehilangan kekuatan. Anin sempat ragu kalau keputusannya hari ini adalah jalan yang tepat untuk diambil, terutama ketika kepalanya kembali memutar ingatan soal bagaimana bencinya Jeandra pada sosok yang akan dia temui sesaat lagi.

Berada dalam satu jangkauan bersama Jeandra selama umur pernikahan mereka membuat Anin memahami satu hal; bahwa hubungan antara ayah dan anak itu jauh dari kata baik. Seolah hanya ada nama “Ibun” di kepala calon mantan suaminya itu dan kata “Ayah” sama sekali tidak punya eksistensi di dalam hidup Jean. Selama pernikahan, Anin berusaha memahami hal itu, dia kira mungkin ada sesuatu yang tidak boleh dia ketahui sebab mau bagaimanapun, Jean dan urusan keluarganya tidak bisa menjadi sesuatu yang secara bebas diketahui. Jean mungkin ingin menyimpan cerita keluarganya untuk diri sendiri dan Anin berusaha mengerti itu, menahan diri agar tidak sampai melewati batas dan malah membuat Jean merasa privasinya diganggu.

Namun kesadaran menghantam, Anin yang awalnya sama sekali tidak punya niat untuk melibatkan diri lebih jauh dengan rahasia yang Jeandra tutup rapat itu, kini tengah berdiri dan berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa ada sesuatu yang terlewat olehnya. Ada cerita yang secara sengaja disembunyikan darinya dan membuatnya terjebak dalam situasi rumit yang membingungkan. Ada bagian dari cerita perpisahannya dan Jean di masa lalu yang entah bagaimana caranya, dia yakini berhubungan erat dengan kebencian yang Jean pupuk tiap hari untuk sang ayah.

”Aku berusaha melindungi Ibun,” kalimat yang suatu hari Jeandra katakan dalam keadaan setengah sadar kembali menghantam Anin. Sejak kalimat itu dia baca melalui pesan yang Jean kirimkan, Anin sadar kalau ada yang dia lewatkan selama bertahun-tahun.

Perpisahan mereka, kehadiran Karin, kebencian Jean untuk ayahnya, berpisahnya Ibun dan Ayah yang sama sekali tidak dia ketahui kapan dan apa alasannya, kehadiran Aksara, dan segala situasi aneh yang terjadi, rasanya terlalu banyak jika hanya didasari oleh sebuah kebetulan.

Tiga tahun lalu ketika kata pisah terdengar pertama kali melalui sambungan telepon dan pelakunya adalah Jeandra, Anin menyalahkan diri sendiri. Dia kira Jeandra muak dengan dirinya yang penuh kekurangan, dia kira Jeandra pada akhirnya menyerah dengan Anindia yang kaku dan terlalu banyak diam, dia kira Jeandra lelah menghadapinya yang serba cacat.

Anin kira Jean meninggalkannya murni atas dasar kesalahan yang ada pada dirinya, tapi jika mengingat kembali bagaimana mereka masih baik-baik saja sebelum kata pisah terucap, Anin mulai menyadari kalau segalanya terjadi terlalu tiba-tiba. Jean masih mengantarnya di pagi hari, mereka masih berbagi rengkuhan di hari sebelumnya, mereka baik-baik saja. Mendadak, Anin merasa kalau ada yang harus diluruskan dari masa lalu, berpisah dalam satu hari padahal segala hal terasa benar di hari sebelumnya sekarang tidak dapat diterima oleh logikanya.

Kehadiran Karin juga pada awalnya hanya sebatas angin lalu bagi Anin. Di hari pertama pernikahan mereka tepat setelah mengucap janji di atas altar, Anin melihat langsung Jeandra yang memeluk Karin di suduh ruangan sepi ketika upacara usai dan semua tamu telah berada di luar. Mulanya, Anin memaklumi perubahan sikap Jean dan merasa menemukan jawaban soal berakhirnya hubungan mereka dulu. Jeandra punya Karin, lelaki itu meninggalkan Anin karena menemukan seseorang yang dia anggap jauh lebih baik daripada Anin, itu yang dia yakini pada awal pernikahan.

Sampai kemudian, Anin mendapati fakta kalau Jean dan Karin baru resmi menjalin hubungan satu tahun setelah Jean meninggalkannya. Rentang waktunya terasa terlalu jauh untuk ukuran seseorang yang pergi karena jatuh cinta lagi, jarak waktunya terasa terlalu janggal untuk ukuran seseorang yang memilih untuk mengakhiri hubungan karena menemukan orang baru. Kehadiran Karin yang dulu Anin anggap sebagai sebuah kebetulan kini terasa terlalu janggal jika ia lewatkan.

Lalu kebencian yang sebelumnya belum pernah Anin lihat ada di mata Jean untuk ayahnya, yang satu ini terasa aneh. Anin sama sekali tidak punya petunjuk soal sorot benci dan muak yang Jean berikan tiap kali nama ayahnya disebut, sebab seingatnya, Jean amat mengagungkan sosok yang kini tampak menjadi musuh besar dalam hidup lelaki itu. Dulu, Anin bisa menjamin kalau Ayah berkontribusi besar dalam perjalanan Jean selama bertahun-tahun, selalu ada sorot penuh puja dan kagum yang Jean siratkan tiap kali menceritakan bagaimana Ayah mengenalkannya pada dunia bisnis atau saat menceritakan soal bagaimana Ayah memperlakukan Ibun layaknya ratu. Anin pikir, kebencian yang sekarang menguar terasa amat asing dan membuat Anin kebingungan. Perceraian orangtua Jean bahkan sama sekali tidak Anin duga, dua orang itu selalu terlihat mesra layaknya pasangan lainnya.

Well, ketika mendengar kalau orangtua Jean sudah lama bercerai sebetulnya tidak terlalu membuat Anin terkejut. Orangtuanya juga bercerai, yang sayangnya terjadi di hari yang sama dengan Jeandra yang meninggalkannya. Dua orang bisa terlihat baik-baik saja, hidup tanpa masalah dan tak menunjukkan tanda-tanda akan berakhir dengan kata pisah. Namun siapa yang tahu? Orangtuanya sendiri selalu terlihat baik dan tak pernah terlihat bertengkar di hadapannya, sebelum kemudian segalanya berubah dan Anin akhirnya tahu kalau dua orang itu selalu beradu argumen ketika dia tidak sedang di rumah. Pengalaman satu itu membuat Anin paham kalau hal yang sama juga sangat wajar terjadi pada orangtua Jean.

Tapi masalahnya, Anin tidak tahu kapan hal itu terjadi. Demi Tuhan, Anin paham kalau bukan ranahnya untuk mencampuri urusan Jean dan keluarganya. Namun semakin hari, Anin semakin merasa kalau ada sesuatu yang salah dengan masa lalu mereka. Segala hal seperti terhubung, termasuk kehadiran Aksara. Lelaki itu mengenal Jean, entah dimana dan kapan perkenalan mereka di mulai. Namun tensi tegang yang hadir tiap kali Aksara dan Jean bertemu membuat Anin semakin ingin menerka-nerka soal apa yang sebetulnya ia lewatkan. Aksara juga pernah tanpa sengaja membocorkan satu fakta padanya, walau setelahnya si dokter itu berpura-pura batuk dan mengalihkan pembahasan.

I thought that Jeandra’s mom wouldn’t be alive since I saw how terrible her condition was that day.” Itu yang Aksa katakan tanpa sengaja ketika dia dan lelaki itu melihat Ibun di pusat perbelanjaan satu bulan yang lalu.

Pikiran-pikiran itu membuat kepalanya mendadak terasa sakit, kemudian keram dan rasa kaku menyerang perut bagian bawahnya dan membuat Anin harus mencengkram bagian itu dengan erat. Napasnya seketika berantakan, jantungnya bertalu ribut. Anin benar-benar hampir kehilangan kesadaran namun dia tahan dirinya sendiri agar tidak tumbang. Dia pejamkan kedua mata dan lalu mencoba untuk menarik napas sepelan mungkin, berharap rasa tidak nyaman yang membuatnya ingin muntah saat ini segera pergi sebab ada yang lebih penting untuk diurus.

Butuh waktu setidaknya dua menit bagi Anindia untuk mempersiapkan diri, terlebih ketika matanya menangkap lambaian dari dalam kafe yang berasal dari sosok yang menunggunya sejak tadi. Anin membalas lambaian itu dengan senyum yang ia paksakan dan tangannya yang terangkat ringan ke atas. Dalam satu tarikan napas, Anin selesai dengan urusan meyakinkan diri bahwa semua yang terjadi butuh jawaban dan hari ini adalah waktunya. Kakinya ia bawa masuk ke dalam bangunan dengan tema modern itu, dan dalam sesaat tubuhnya sudah duduk di hadapan Ayah. Mertuanya itu terlihat lebih acak-acakan dari terakhir kali mereka bertemu.

“Apa kabar, Nak?” sapa Ayah ketika mata mereka bertemu.

Everything’s good,” jawab Anin.

Detik berikutnya, hening menjadi penguasa. Anin bingung harus memulai dari mana, matanya menyapu satu persatu benda di atas meja yang mereka tempati, berusaha mencari pengalih dari tatapan yang terlihat lelah dari mata teduh itu.

I bet you have so many questions in your mind right now,” kata Ayah mencairkan kesenyapan di antara mereka. Anin meneguk ludah, kedua tangannya terasa semakin dingin dan berkeringat heboh. Kepalanya mengangguk ragu, tidak yakin bahwa dirinya sendiri siap mengajukan pertanyaan dan mendengar jawaban yang ingin dia dengar. “Go ahead, kamu boleh tanya apapun yang mau kamu ketahui soal Jeandra.”

Anin menahan napas sejenak, dalam sekejap semua pertanyaan yang selama ini terpendam di ruang sempit pikirannya menguar saling berebut untuk keluar. Banyak, terlalu banyak yang ingin gali informasinya sampai dia sendiri tidak bisa menguraikan semua pertanyaan itu ke dalam kalimat yang benar.

“Semuanya, aku mau tau semuanya.” Anin pada akhirnya menyerahkan pembuka diskusi pada lelaki di hadapannya. Apapun yang akan keluar dari bibir pucat lelaki itu, Anin mempersiapkan diri agar bisa menerima dan memproses kata demi kata dalam kepalanya.

Ayah mengangguk, sejenak berdiam diri dan menarik napas panjang. Tarikan napasnya membuat tubuh Anin ikut menegang dan kedua tangannya semakin terasa dingin. Ayah menatap tepat ke kedua netra bulat Anin, seolah ingin menyampaikan berbagai jenis emosi melalui tatapannya yang terlihat kelelahan dan sayu.

“Meninggalkan kamu tiga tahun lalu itu adalah kiamat buat Jeandra.”

Hening.

Sebelum kemudian sesak menguliti seluruh bagian ulu hati Anin secara mendadak. Napasnya tertahan, pening kembali membuat Anin harus mencengkram tangannya sendiri kelewat erat sambil merapal dalam hati, berdoa agar dirinya diberi sedikit saja kekuatan untuk mendengar hingga akhir.

“Saya selingkuh, Anin. Saya dan Ibun-nya Jean berpisah karena saya yang selingkuh,” lanjut Ayah.

Anin memejamkan mata, panas dan perih seketika memaksa kedua irisnya untuk menerjunkan bulir bening dan menangis. Entah karena kalimat pertama yang Ayah sampaikan, atau karena fakta kalau Jean mengalami rasa sakit yang sama dengannya ternyata masih saja membuat Anin lemah.

“Hari sebelumnya sebelum semua hal berubah, saya pulang larut malam. As you can guess, saya bermalam di rumah wanita yang jadi simpanan saya. Ibun tau entah dari mana dan di pagi harinya, dia datang ke tempat saya menginap dengan wanita itu dan kami berakhir adu mulut.”

Ayah tampak menunduk dalam dan mengepalkan kedua tangan, suaranya mulai terdengar bergetar dan dalam sekejap, Anin paham kalau kalimat selanjutnya yang keluar dari bibir lelaki itu akan lebih menyakitkan daripada sebelumnya.

“Saya yang marah dan merasa harga diri saya tergores langsung membawa selingkuhan saya keluar dari sana dan berniat pergi ke tempat lain. I took her out by car dengan kecepatan gila-gilaan karena saya ngga mau diikuti sama dia. Tapi yang saya ngga tau, Ibun-nya Jean ternyata menyempatkan diri menyusul mobil saya. She wasn’t a good driver, dia baru dua kali belajar pakai mobil dan karena saya, dia nyetir mobil tanpa basa-basi hari itu.”

Kalimat itu belum selesai, tapi Anin sudah merasa bahwa telinganya berdenging hebat.

“Semuanya terjadi secepat kilat, dalam satu menit saya dengar ledakan dari arah belakang dan it turned out that she crushed another car. Polisi bilang dia kemungkinan berusaha nyalip kendaraan lain tapi ngga liat kalau ada mobil lain dan satu truk yang beriringan dari arah berlawanan. It was a terrible accident, Ibun-nya Jean langsung dibawa ke rumah sakit and I thought that we lost her since her condition was very terrible.

Kepala Anin kembali memutar kalimat yang pernah Aksa katakan padanya. “I thought that Jeandra’s mom wouldn’t be alive since I saw how terrible her condition was that day.” Anin mulai bisa menyatukan keping demi keping kejadian yang dia lewatkan, dan hal itu membuat jantungnya semakin bertalu kencang.

“Ada luka mayor di bagian kepala yang membuat dia mengalami Retrograde Amnesia. Kamu dokter, saya yakin kamu sendiri tau apa artinya. Singkatnya, the accident that day made her suffer from that one type of amnesia where she can't recall memories that were formed before the event that caused the amnesia. Dia ngga bisa mengingat kejadian-kejadian yang terjadi di rentang waktu berdekatan dengan hari kecelakaan. Dia koma selama lima hari, Jeandra bahkan sampai sudah setuju buat melepas semua alat bantu kalau-kalau kondisinya ngga menunjukkan perubahan. Tapi ternyata dia masih bisa bertahan, walaupun kondisinya buruk dan ngga bisa mengingat beberapa hal penting termasuk kecelakaan itu sendiri. And here comes the most heart-breaking story that change your life.” (1)

Ayah melanjutkan, “Korban jiwanya bukan cuma Ibun tapi penumpang mobil satu lagi juga. They died, mereka meninggal di tempat karena terhimpit badan mobil dan truk. Ceritanya mulai dari sini, Nak.”

“Mereka, dua orang yang meninggal hari itu, adalah pasangan suami-istri. Mereka punya satu anak cewek yang umurnya enam tahun di bawah Jeandra, dia baru lulus kuliah dan cuma punya orangtuanya sebagai keluarga. Mereka orang rantau, keluarga lainnya ngga ada entah bagaimana dan anak itu harus jadi yatim piatu karena kejadian itu.”

Dalam satu detik ketika kalimat Ayah yang satu itu meluncur, Anin seperti dihantam sebuah batu besar tepat di kepala. Rasa panas dan perih yang sejak tadi berebut untuk membuatnya menjatuhkan satu bulir air mata semakin brutal memaksanya untuk menangis. Dengan seluruh tubuh lemas dan rasa pening yang mendera sampai membuat dunia bak berputar cepat di sekelilingnya, Anin mengangkat pandangan dan berusaha mencari kebenaran atas semua kalimat yang Ayah katakan. Wanita itu berharap kalau dia dapat menemukan setidaknya satu saja kebohongan yang tersirat melalui mata Ayah, atau setidaknya melalui raut wajah lelah nan berantakan itu.

Namun nihil.

“Iya, Nak. Anak itu Karinina, umurnya 22 tahun waktu kecelakaan itu terjadi,” ucap Ayah melanjutkan penjelasannya yang terpotong.

Kalimat itu membuat Anindia merasa kehilangan kemampuan mengolah kata. Suara petir menggelegar di kepalanya membuat Anin terdiam kaku tanpa bisa melakukan apapun selain menatap lurus ke arah lelaki di hadapannya. Anin bahkan tidak lagi dapat membedakan keributan yang terjadi di sekelilingnya, dalam sekejap terlalu sulit untuk menafsir mana suara yang berasal dari orang-orang yang tengah sibuk melakukan urusan masing-masing dan mana suara yang berasal dari pikirannya sendiri.

“Ngga ada proses hukum, semua terjadi karena Karin merasa kalau kondisi Ibun sama sekali ngga memungkinkan untuk menjalani sidang dan semacamnya, dia juga bilang kalau dia mau memaafkan Ibun untuk semua yang terjadi. Semua pihak memutuskan untuk berdamai dengan beberapa prosedur dan perjanjian, Ayah yang jadi perwakilan pihak Ibun hari itu karena Jean sibuk sama urusan pemulihan Ibun. Setelah semua prosedur, Jeandra merasa bersalah, dan pada akhirnya memutuskan buat menebus semua rasa bersalah itu dengan mengambil alih semua tanggung jawab atas Karin, termasuk hire Karin buat kerja di agensi model milik keluarga kami.”

Kali ini, lelaki itu terlihat menahan napas. Seolah bersiap untuk mengatakan sesuatu yang lebih menyakitkan daripada yang sudah dia katakan tadi. “Jean berpikir kalau dengan bertanggung jawab atas kehidupan Karin bisa bikin Ibun aman. Anak itu cuma ngga mau kalau suatu hari Karin datang ke Ibun dan mengulang cerita lama terus minta pertanggungjawaban. Karin juga bisa datang ke Ibun dan minta tanggung jawab dalam bentuk materi. Bukan, masalahnya bukan karena Jean ngga mau ngasih uang buat itu, Jean cuma ngga mau Karin datang ke Ibun dan mengulang lagi cerita soal kecelakaan itu lalu bikin dia terpukul dan kondisinya kembali memburuk.”

“Anin, kamu menghabiskan waktu bertahun-tahun di samping Jeandra. Saya yakin kalau tanpa saya sebut pun, kamu tau kalau Ibun itu segalanya buat Jean. He loves you, but he loves his mom more than you. Jeandra bisa mengorbankan banyak hal buat memastikan kalau Ibun aman, termasuk dengan terpaksa menyakiti kamu.”

Anin mengangkat kepalanya dan menatap lurus ke arah lelaki di depannya. Ada sebuah pertanyaan yang muncul ketika cerita itu sampai padanya. “Apa menyakiti orang lain selalu bisa dijadikan pilihan?” tanya Anin. Suaranya parau, terhalang oleh rasa kering yang tidak nyaman seolah ada gumpalan batu yang memaksa masuk ke dalam tenggorokannya. Anin mencengkram ujung meja di sisi kirinya, sedangkan satu tangan lagi meremat kuat ujung gaun yang dia pakai.

Ayah menggeleng pelan, ada sesal yang bisa Anin tangkap dari sorot yang lelaki itu berikan padanya. “Jean ngga punya pilihan lain selain meninggalkan kamu dan bertanggung jawab ke Karin. Itu satu-satunya opsi dan Ayah yakin kalau hari itu, Jean sama hancurnya dengan kamu.”

What about Aksara?

“Dokter Aksa adalah salah satu dokter yang ikut dalam operasinya Ibun, dan tanpa sengaja harus mendengar semua yang Jean bilang ke saya soal dia yang terpaksa meninggalkan kamu supaya bisa menebus kesalahan Ibun. Ada Hema di sana, mereka berdua jadi saksi dimana untuk pertama kalinya, putra yang dulu selalu melempar tatapan kagum ke arah saya itu berharap kalau dia ngga pernah dilahirkan di dunia dengan sosok ayah seperti saya.”

Kepala Anin terasa penuh, terlalu penuh oleh cerita yang ternyata sama sekali di luar dugaannya. Sungguh, Anin mungkin akan bersyukur kalau cerita sebenarnya hanya berupa Jeandra yang meninggalkannya karena kehilangan rasa. Sakitnya mungkin tidak akan separah ini karena Anin sudah menerima hal itu sejak lama. Tapi cerita yang ayah Jean bagi padanya terasa sulit dipercaya dan membuat sesak yang menghantamnya ternyata jauh lebih brutal, sakitnya terasa lebih nyata dan lebih sulit untuk diterima akal.

“Kamu pernah liat ada foto Ibun di rumah yang Jean tempati?” tanya Ayah.

Anin menatap lelaki itu dengan pandangan kosong, pikirannya melayang ke segala penjuru. Dia berpikir sejenak sebelum kemudian menggeleng pelan, memasrahkan diri untuk menerima pernyataan lain yang Anin yakini akan mendatangkan keterkejutan lain bagi dirinya.

“Jean ngga pernah membiarkan Karin tau kalau dia adalah anak dari wanita yang menjadi penyebab kecelakaan itu. Jean ngga sempat hadir di acara pemakaman orangtua Karin karena di hari yang sama, operasi besar harus dilakukan buat Ibun. Jadi mereka sama sekali belum ketemu sejak hari kecelakaan terjadi. Jean pikir dengan membuat Karin percaya kalau hubungan mereka berjalan murni seperti pasangan lain, semuanya bakal lebih baik. Dia berusaha memenuhi semua kebutuhan Karin supaya Karin lupa soal kesulitan ekonominya dan ngga harus mencari jalan lain buat hidup, he lets her to lay everything on him. Supaya Karin ngga akan merasa kekurangan dan berakhir menyalahkan kecelakaan itu karena kesulitan yang dia punya.”

“Setelah semuanya, kami bercerai. Jean benci saya melebihi apapun, dia selalu menganggap saya sebagai alasan utama dari kehancuran yang dia punya. Dia selalu bilang kalau hadirnya Karin terjadi karena saya, dan dia benar.”

“Jadi selama ini Karin ngga pernah tau kalau Jean itu anak dari wanita yang bikin orangtuanya meninggal?” tanya Anin berusaha memastikan.

Karena Demi Tuhan, Anin merasa dirinya tidak lebih dari seorang wanita jahat yang sempat menyalahkan Karin untuk luka yang dia dapat dari Jean. Karin, anak itu bahkan sama sekali tidak mengetahui kebenaran soal orang yang selama ini menyediakan tempat bernaung baginya. Anin sempat merasa bahwa dalam cerita mereka, dirinya adalah satu-satunya pihak yang tidak memiliki petunjuk apapun soal apa yang sebetulnya terjadi.

Rasa bersalah perlahan mengungkungnya, Anin kembali menyalahkan diri sendiri. Karin jauh lebih kehilangan arah darinya, yang artinya Karin bahkan tidak punya informasi apapun soal hubungan yang dia punya dengan Jean sebelum pernikahan terjadi. Gadis itu pasti berpikir kalau pernikahan Anindia dan Jean terjadi murni karena perjodohan tanpa embel-embel apapun lagi.

Namun ketika benaknya sudah semakin ribut dengan urusan menyalahkan diri sendiri, Anin menyadari kalau pertanyaannya belum mendapat jawaban. Matanya kembali memandang iris kecokelatan milik sosok di hadapannya, memberi tatapan menunggu yang menandakan bahwa ia butuh jawaban segera.

Lelaki itu tidak mengangguk, tapi tidak juga menggeleng. Hanya hening dan tatapan penuh ragu yang dia berikan untuk Anin. Detik itu, Anindia tahu kalau ada fakta yang lebih mengerikan daripada sekedar kecelakaan dan hal lainnya.

“Karin tau, saya pernah kasih tau hal itu ke dia tepat di hari pernikahan kalian.”

Bahwa ternyata, dirinya memang betul-betul menjadi satu-satunya pihak yang kehilangan arah atas semua yang terjadi di antara mereka. Bahwa ketakutannya ternyata benar-benar menjadi nyata, kalau di antara semua orang yang terlibat dalam kisah panjang itu, Anindia adalah satu-satunya yang tidak diberi kesempatan untuk mengerti dan memahami.

“Semua orang mengira kalau Ayah ngga hadir di pernikahan kalian karena takut Jeandra bakal marah besar, but I was there. Ayah ada di situ dan liat kalian dari jauh, sampai akhirnya Ayah tanpa sengaja ketemu Karin di area luar gereja dan nyoba buat bicara sama dia.”

Anin sebetulnya sudah bisa menebak kelanjutannya, tapi ia tetap mempertahankan diri menunggu agar tidak menyerah terlalu cepat. Rungunya ia paksakan untuk mendengar fakta lain, memaksakan diri walau Anin tahu dirinya sudah berada di ambang kekuatan terakhir yang dia miliki.

I told her everything, termasuk soal masa lalu kalian sebelum kecelakaan itu terjadi dan merubah situasi. I thought that it would make things be better, Ayah kira Jeandra udah cukup menanggung banyak beban dan udah saatnya dia bahagia tanpa memikirkan rasa bersalahnya lagi.”

Telak, Anin menyerah.

Tangannya terangkat, meminta sang lawan bicara untuk berhenti mengatakan kalimat lainnya. Anin menyerah, seluruh tubuhnya tidak memiliki tenaga lagi untuk disisakan. Kepalanya terasa amat berat, Anin merasa bahwa seluruh dunia berputar dan membuatnya semakin ingin memuntahkan seisi perutnya di detik yang sama.

Anin tidak pernah merasa semarah ini sebelumnya. Emosi memuncak hingga ubun-ubun, membuat seluruh tubuhnya bergetar hingga wajahnya terasa panas. Getar yang tadi menguasainya karena takut kini memberontak dan mengubah emosinya menjadi amarah dalam sekejap. Biar Anin jelaskan, dia kecewa. Kekecewaannya bersumber dari berbagai hal dan Anin tidak dapat memastikan mana yang mengambil porsi rasa itu paling banyak dan menimbulkan rasa sakit paling parah untuknya.

Entah itu tindakan bodoh Jean karena memilih untuk menyakitinya daripada mencari jalan keluar lain, atau fakta kalau Karin sebetulnya sudah mengetahui kebenaran soal hubungannya dengan Jeandra dan segala kebetulan yang terjadi di hidup gadis itu. Atau soal Aksara yang nyatanya memang betul-betul mengetahui lebih banyak hal soal Jean dibanding dirinya sendiri. Anin kecewa pada banyak hal, terutama pada dirinya sendiri yang hanya mampu menonton semua yang terjadi dalam kebingungan tanpa bisa melakukan apa-apa.

I think I got to go,” putus Anin pada akhirnya.

“Sekarang?”

Anin menyempatkan diri untuk mengangguk, tangannya sibuk merapikan pakaian dan meraih tas kecil yang dia bawa sejak awal. Tak lupa mengeluarkan selembar uang dan memanggil salah satu pelayan untuk melakukan pembayaran, Anin berusaha menyibukkan diri agar wajahnya yang memerah karena menahan banyak emosi di dalam pikiran tidak terlihat oleh sosok di depannya. Namun gerakannya terhenti ketika satu kalimat bernada memohon keluar dari bibir lelaki di depannya, membuatnya berhenti dan membatu.

“Jangan tinggalin anak Ayah, Anin….”

Anin tidak tahu rasa jenis apa yang menghampirinya ketika kalimat itu tertangkap oleh rungu. Permintaan itu terasa tabu di telinga, terasa terlalu banyak untuk dituruti, terasa terlalu sulit untuk dikabulkan. Tapi kepalanya lagi-lagi memaksanya berpikir bahwa dalam kisah mereka, bukan hanya dirinya yang hancur tapi juga Jeandra. Sekali lagi, satu sisi dari Anindia kembali kalah karena membayangkan Jeandra yang terluka.

Tapi Anindia tidak lagi mau membuat dirinya mengesampingkan logika. Ketika pada akhirnya Anin berhasil menyimpul diri dan memutuskan untuk berdiri dengan tegak dan memandang lurus pada lelaki bermata cokelat seperti milik Jeandra itu dengan sorot tajam.

“Kalau menyakiti saya adalah satu-satunya cara yang Jean anggap mampu menyelesaikan masalah, saya kira saya juga bisa ambil keputusan yang sama. Kalau Jeandra bisa, saya juga bisa. Ayah, anak Ayah itu punya lebih dari tiga tahun untuk datang ke saya dan menjelaskan semua yang terjadi, tapi dia sama sekali ngga menggunakan waktu yang ada buat meraih saya. Jadi saya kira, adil buat saya untuk berhenti ngasih dia waktu.”

Napas Anin memburu, tangannya terkepal erat. “Saya mungkin bisa paham kalau aja masalahnya cuma sekedar Jean yang ragu dan ngga siap buat ngasih tau saya soal apa yang sebenarnya terjadi, kalau masalahnya cuma sebatas itu, saya mungkin bisa terima. Tapi yang saya ngga bisa pahami itu fakta kalau dia dan Karin berhubungan sampai Karin hamil.”

Anin menempatkan satu kepalan tangannya ke dada, kemudian memukul bagian dadanya cukup kuat. Berharap kalau yang dia lakukan dapat menghalau sesak meskipun hasilnya sia-sia, dada kirinya terasa semakin penuh seolah sebentar lagi dapat meledak hingga hancur.

“Kalau masalahnya cuma sebatas melindungi Ibun, Anin mungkin bisa maafin dia sekarang juga.” Suara Anin parau, namun dia paksakan untuk terus mengeluarkan keluh kesah yang dia pendam sendiri dalam hati.

“Masalahnya Karin sampai hamil, Ayah…”

“Masalahnya Jean bukan cuma ninggalin Anin buat melindungi Ibun, tapi juga karena udah menemukan tempat baru untuk bersandar. Jean memang hancur waktu dia ninggalin Anin, tapi fakta kalau sekarang Karin mengandung bayi hasil hubungan mereka membuktikan kalau Jean ngga sehancur itu, Ayah, Jeandra ngga sesakit itu.”

Kenyataannya, hal itulah yang paling meninggalkan kecewa bagi Anin.

Sebab pada akhirnya, ketika kakinya ia bawah melangkah menjauh dari meja yang mereka tempati, Anin bahkan sama sekali tidak dapat mengeluarkan satu titik air mata pun meski berulang kali ia memaksakan diri. Dia butuh menangis, tapi air matanya seakan kering. Seolah semua yang dia dapatkan hari ini sudah cukup menguras tenaga hingga tubuhnya menolak untuk membiarkannya merasa lebih sakit daripada ini.

-

(1) Retrograde Amnesia. Larry R. Squire, Robert E. Clark,Barbara J. Knowlton (2001)

Ini hari Rabu. Satu bulan tepat setelah saya mengangkat kaki keluar dari rumah milik Jean. Catatan ini tidak akan panjang, sebab saya bahkan tidak lagi punya kalimat yang cocok untuk menggambarkan bagaimana berantakannya saya.

Saya lelah, saya cuma ingin lepas dari derita.