writer.as/lalalafindyou

“Hehe.”

Itu kata pertama yang menyambut Sabrina saat panggilan dimulai. Kening gadis itu mengerut, namun langsung kembali normal saat sadar kalau yang tengah bicara dengannya ini adalah Romeo. Jadi wajar kalau baru mulai pun lelaki itu sudah kelewat aneh.

“Apaan lo baru mulai udah haha-hehe?”

Romeo terdengar menghela napas di seberang sana. Ada kesan lelah yang Sabrina bisa tangkap dari hela napasnya, namun Sabrina mencoba untuk tidak peduli.

“Kangen, Babe,” jawab Romeo.

“Cepetan lo mau cerita apa?”

“Oh, ngga ada sih sebenernya. Kan, gue udah bilang tadi gue kangen dan pengen denger suara lo doang, nah ini udah mendingan kangennya.” Romeo terkekeh pelan, lalu detik berikutnya yang dapat Sabrina dengar hanya hening.

“Gue matiin aja kalau gitu ya?”

“LOH KOK BEGITU?!” Romeo langsung menyangga.

Sabrina berdecak sebal, gadis itu kemudian memiringkan posisi tubuhnya dan mencari kenyamanan sejenak dengan mendekap bantal di kedua tangan. “Kan, kata lo cuma kangen suara gue. Ini gue udah ngomong, jadi udah dong kangennya?”

“Gue mau denger suara lo lama-lama. Jangan dimatiin dulu, serius lo mau jawab iya-iya doang juga gak apa-apa, asal jangan dimatiin dulu.”

Suara Romeo terdengar serak. Sejenak, Sabrina dilanda hening dan pada akhirnya, gadis itu tetap membiarkan Romeo meneruskan panggilan mereka. Cukup lama saling diam, Romeo akhirnya menjadi yang pertama bersuara.

“Gue serius waktu gue bilang gue kangen sama lo.” Romeo membuka percakapan mereka, kali ini suaranya terdengar lebih serius. Tidak ada tawa jahil atau candaan yang dilemparkan setelahnya. Yang bisa Sabrina dengar hanya suara tarikan napas teratur milik Romeo di seberang sana sebelum lelaki itu kembali bersuara.

“Gue udah nyoba hangout sama anak-anak teknik tapi ternyata gak mempan. Asli, gue selalu ngecek notif dengan harapan lo bakal ngabarin sesuatu, tapi ternyata gak ada. Lo gak pernah ngabarin apa-apa, lo bahkan gak bikin story apapun di Instagram atau Whatsapp. Bikin khawatir, tau gak?”

Sabrina bisa membayangkan bagaimana bibir Romeo mengerucut seraya kalimatnya terucap, dan entah bagaimana bayangan itu berhasil membuat Sabrina tersenyum samar. Namun tak sampai lima detik, Sabrina kembali ditarik oleh kenyataan. Kepalanya menggeleng, berusaha menyadarkan diri akan realita.

“Lo begitu karena Clara lagi sibuk juga kali, makanya ngerasa sepi banget. Kan, biasanya lo baru ke gue kalau Clara lagi banyak kerjaan.” Sabrina mencoba sekuat tenaga agar suaranya tidak terdengar goyah.

Romeo tertawa pelan. Sewaktu gelaknya usai, Sabrina menggigit bibir bawahnya. Diam-diam menunggu jawaban dari lelaki itu dan berharap kalau Romeo akan menjawab “tidak”.

“Iya kali ya?” katanya.

Ada yang cerai berai di dalam dada Sabrina ketika jawaban itu terdengar. Tawa sumbangnya mengudara, sesak tak bisa dilawan hingga datang menghantam semaunya. Sabrina baru menghentikan tawanya ketika dadanya sudah sedikit terbiasa dengan sesak yang datang.

“Tuh, kan,” ucap Sabrina. Gadis itu kemudian menyambung, “Lo bukannya kangen sama gue, tapi kesepian karena Clara lagi gak ada. Bedain kangen sama nyari pelampiasan, Romeo.”

Sabrina menekan dadanya kuat-kuat, dadanya bergemuruh namun yang bisa dia lakukan hanya menggenggam tangannya kelewat erat. “Gue ngantuk deh, gue matiin ya?” tanya Sabrina.

“Tidur aja, hp lo taro di samping bantal.”

Sabrina mengernyit heran, tidak biasanya Romeo akan sebegininya di kala lelaki itu tengah merasa kesepian. Namun tanpa basa-basi, Sabrina langsung meletakkan ponselnya di samping bantal seperti yang Romeo titahkan.

“Lo udah mau tidur?” tanya Romeo.

“Iya,” jawab Sabrina pelan.

Good night, Sab. Sleep tight.

Sabrina tak lagi menjawab kalimat itu. Gadis itu memejamkan mata dan benar-benar pergi ke alam mimpi lima menit kemudian. Meninggalkan Romeo yang masih menghubungkan panggilan mereka seraya menatap layar ponselnya lamat-lamat. Matanya tertuju pada nama Sabrina yang tampil di layar, sebelum kemudian kembali menghela napas dan mencoba untuk ikut memejamkan mata.

-

TW // Mention of death , Mention of blood

“Biarin aku kabur dari kamu dengan cara apapun and I promise you my way of leaving you won't be dying. I'll go in the most peaceful way that I can, and all you have to do is just...let me find the way.”

Satu bulan.

Sudah satu bulan berlalu dan kalimat itu sama sekali tidak pernah meninggalkan kepala Jean bahkan hanya untuk satu detik saja. Sel-sel otaknya memutar paksa kalimat itu layaknya gulungan kaset rusak, berkali-kali sampai tak terhitung jumlahnya. Hanya sebaris kalimat, tapi dampaknya sukses membuat Jean gagal menemui kantuk hingga waktu tidurnya luar biasa berantakan.

Jean ingat ketika pada akhirnya setelah kalimat itu dia dengar, dia meminta Anin untuk tidur lebih dulu dengan alasan kalau ada dokumen penting yang harus dia periksa. Untungnya, Anin setuju dan tanpa bantahan wanita itu langsung kembali memperbaiki posisi tubuhnya dan terlelap dalam mimpi. Suatu kebohongan tentu saja. Sebab satu hari sebelumnya, Jean sudah berusaha mati-matian agar semua urusan kantor sudah selesai agar dirinya bisa fokus pada Anindia di hari sabtu seperti hari itu.

Jean setidaknya bisa bernapas lega, sebab untuk sementara Anin tidak akan melihatnya melamun menatap layar komputer yang menyala terang namun dengan pikiran yang melayang jauh entah kemana arahnya.

Setiap tarikan napas yang melewati paru-parunya terasa menyesakkan, terutama ketika kepalanya kembali memutar bagaimana Anin menatapnya dengan tatapan teramat lembut. Kelembutannya berbanding terbalik dengan kalimat yang dia sampaikan soal meninggalkan Jean sendirian nanti di masa depan.

Hidup tanpa Anindia terdengar mengerikan, jauh lebih mengerikan dibanding kabar buruk apapun yang pernah Jean dengar. Membayangkan dirinya terbangun di pagi hari dengan ranjang kosong tanpa Anindia membuat sesuatu di dada Jean terasa sesak bukan main. Seperti ada yang berusaha menghantam bagian itu sekuat tenaga dengan batu tak kasat mata, terlalu menyesakkan.

Sebab kalau bisa, harus selalu ada Anindia.

Sebab kalau semuanya terserah Jean, maka yang dia mau hanya Anindia.

What's the matter?

Suara milik Aksara mendistraksi Jean dari lamunan. Kepalanya menoleh ke arah darimana suara lelaki itu berasal, kemudian dia temukan sosok Aksa yang telah menanggalkan jas putih miliknya dan kini tengah menggulung lengan kemejanya hingga ke siku.

Jean memandang meja kosong di depannya sambil menimbang dalam diam. Menilai apakah langkahnya datang ke tempat ini untuk menemui Aksara dan menginisiasi percakapan merupakan keputusan yang benar. Di seberangnya, Aksa sudah mengambil posisi duduk mantap dengan pandangan yang sepenuhnya mengarah pada Jean.

You okay?” tanya Aksa sekali lagi, kali ini dengan kerutan yang kentara muncul di dahi sempitnya. Jean mengangkat pandangan, dia balas tatapan Aksara sambil meyakinkan diri sendiri untuk kesekian kalinya.

Do you love her?” Jean memulai kalimatnya dengan kedua tangan saling menggenggam erat. Pertanyaan itu terlontar setelah Jean berhasil meyakinkan dirinya berkali-kali, jadi lelaki itu yakin kalau pertanyaannya bukanlah hal yang salah meski jelas, kerutan di dahi Aksa semakin terlihat setelah mendengar kalimat pertama yang Jean lontarkan itu.

Okay, wow, easy. Let's have a nice conversation with a proper introduction. First of all, are you okay? Lo kelihatan kayak orang yang ngga tidur selama satu minggu. Second of all, maksudnya?”

Oh, tentu. Aksara tentu bingung dengan kalimat acaknya. Tapi sebetulnya jauh di dalam hari, Jean yakin kalau Aksa tidak sebingung itu. Mungkin sedikit, tapi tidak sebesar itu karena konteks kalimat yang Jean sampaikan hanya mengarah pada satu orang. Jean yakin Aksa dapat langsung memahaminya tanpa perlu berpikir keras.

“Gue memang kurang tidur but that's not a big deal, I'm totally fine.

Bohong besar. Jeandra tidak baik-baik saja, lelaki itu jauh dari kata baik. Kemeja yang membalut tubuhnya mungkin terlihat rapi tanpa celah, rambutnya bisa saja tersisir rapi sedemikian rupa. Tapi wajah dan suaranya tidak dapat berbohong.

Aksara benar, Jean tampak tidak sehat. Bagian bawah matanya menggelap, kentara kalau lelaki itu memang tidak tidur berhari-hari. Tapi Jean bersikeras menganggap kalau dirinya baik-baik saja, meski sebetulnya sewaktu dalam perjalanan ke sini pun, lelaki itu sempat menghentikan laju mobilnya karena kepalanya dihantam rasa pening yang menjalar hingga ke mata.

Meski kemudian hanya butuh waktu lima menit bagi Jean untuk kembali mengumpulkan kewarasannya dan menarik diri dari rasa sakit. Ada yang lebih penting daripada sekedar pening dan mual yang bersarang, yaitu menemui Aksara dengan tujuan membahas soal Anindia.

“Soal Anindia, do you still love her?” tanya Jean sekali lagi.

Aksa diam, tampak menimbang-nimbang jawaban yang tepat untuk diberikan. Lelaki itu memandang lurus pada meja tempat kedua tangannya bertumpu, mencoba mencari kata yang tepat untuk disusun sebagai kalimat. Cukup lama senyap berkuasa, Jean nyatanya tidak sesabar itu untuk menunggu.

“Jujur sama diri lo sendiri, Aksara. You're definitely still in love with her, so—”

I do.

Ternyata, rasanya menyesakkan.

“Kalau lo tanya apa gue masih sesayang itu sama dia, jawabannya iya. Jawabannya akan selalu sama, iya. Gue masih sejatuh itu buat dia dan gue sendiri ngga tau kapan bisa berhenti.”

Ternyata, harusnya Jean tahan keinginannya untuk bicara empat mata dengan lelaki di depannya ini. Harusnya, Jean bisa berpikir lebih lama dan tidak membiarkan dirinya mengemudi ke tempat ini hanya untuk mendengar pengakuan yang membuat dadanya dirajam rasa sakit tak berujung.

It sucks to know that someone falls for her as hard as I do.” Jean mengaku dengan suara tercekat. Tenggorokannya mendadak menjadi lebih kering dari sebelumnya, kedua tangannya bergetar dan kedua kakinya kehilangan tenaga. Namun Jean tekan dadanya kuat-kuat, napasnya ia tahan agar denyut di bagian sana berhenti mengganggu dan dirinya punya keberanian untuk memaku tatapan pada Aksa yang juga tengah menatapnya tanpa berkedip.

“Tujuan lo ke sini ngga mungkin cuma buat nanya itu, you know the answer very well. Walau ngga nanya langsung ke gue pun, gue yakin lo tau jawabannya bakal selalu begitu. So, what's the matter?” Aksara kembali bersuara. Kali ini badannya lebih condong ke depan, menandakan kalau lelaki itu ingin jawaban segera.

“Gue mau minta bantuan lo,” jawab Jean kemudian.

Aksa tak memberi respon, dia persilakan Jean untuk menyelesaikan kalimatnya terlebih dahulu. Namun kedua telinganya terpasang lebar, siap mendengarkan apapun yang Jean katakan setelahnya walau sejujurnya, Aksa tidak yakin dirinya bisa menahan diri untuk tidak bereaksi.

Keep loving her till the end, can you?” tanya Jean.

Aksara mengerutkan dahi, kentara sekali lelaki itu kebingungan dengan kalimat yang Jean sampaikan. Kalimat itu jelas dan terang, Aksara bisa mengerti kalimat itu secara harfiah dalam sekali mendengar. Namun di saat yang bersamaan, kalimat itu terdengar begitu ambigu, banyak makna yang terpikirkan oleh otaknya ketika mencoba mengerti kalimat yang coba Jeandra sampaikan.

Wait, I think we have to make this clear.” Aksara menarik napas, memberi jeda sejenak untuk kalimatnya. “So we're talking about Anindia and how I feel toward her, right?

Jean mengangguk.

I love her, indeed. It's too obvious that I love her and everyone knows that fact except Anindia herself. Sampai di sana, gue paham. But keep loving her till the end, what do you mean?

Jean menunduk, pandangan matanya terarah pada cincin pernikahan yang melingkar di jari manis tangan kirinya sebelum kembali bicara. “Tetap sayang sama Anindia, gue mau lo lakuin itu. Gue mau lo tetap begitu sampai kapan pun, jangan berpikiran buat berhenti.”

Jean menjeda kalimatnya sejenak, dia tarik napas panjang sebelum kembali melanjutkan kalimatnya walau dengan sesak yang bersarang di bagian dada. “I need you to stay with her and keep her safe, gue mau lo bikin dia buka hati lagi dan bahagia lagi,” ucap Jean dengan suaranya yang bergetar.

Panas mulai merambati mata, tangis mulai terbentuk di sana namun Jean paksa dirinya sekuat tenaga agar tidak terlihat lemah di depan Aksara. “Setelah Makaila lahir, gue bakal lepasin dia dan kasih dia kebebasan yang pantas dia dapatkan. Gue mau lo gantiin gue buat jagain dia dan Makaila setelahnya,” lanjut Jean.

“Kenapa gue?” Aksara menginterupsi setelah cukup lama bungkam. Matanya menatap Jean tajam, seolah sepasang iris hitam kelam itu mampu menembus tubuh lawan bicaranya dalam satu detik mereka bersinggungan.

Because you love her.” Jean menegaskan. Nadanya terdengar penuh keyakinan, berusaha membuat Aksara meyakini apa yang dia yakini. Badannya ia condongkan beberapa senti lebih maju, Jean coba menguatkan tumpuan kedua kakinya ke lantai agar berhenti gemetar.

“Satu-satunya orang yang gue percaya bakal selalu ada buat Anindia selain Papanya itu cuma lo,” sambungnya.

You love her as much as I do and that's enough. Bagi gue, gak ada yang lebih penting daripada fakta kalau Anin punya orang lain selain gue buat menjaga dia. You love her and that's what matter the most.

Butuh waktu hampir dua menit bagi Aksara untuk diam dan mencoba mencerna permintaan yang Jean ajukan. Isi kepalanya ikut berantakan, kalimat Jean membuat Aksa sampai harus menekan pelipisnya agar dapat berpikir jernih.

Are you two really looking up for divorce? Like for real?” Aksa bertanya terlebih dahulu. Kepalanya masih berusaha menghimpun sisa kewarasan yang berserakan berantakan, sebisa mungkin dia gunakan akalnya untuk menggapai logika.

Jean mengangguk pelan. “Dari awal memang itu tujuannya. Dari awal sejak kami berdua berjanji di depan Tuhan, ngga ada tujuan lain yang mampir di otak gue selain kata cerai. She deserves the whole world to love her dan yang gue lakukan adalah hal yang sangat bertolakbelakang dengan itu. I've given her too much pains, perceraian adalah satu-satunya cara biar luka yang gue kasih berhenti berdarah.”

“Lo masih sejatuh itu buat dia, Jeandra.” Aksa menyanggah. Walau sebetulnya kalimat yang baru saja dia lontarkan tidak berarti apa-apa karena tanpa dia nyatakan lewat kata yang terudara pun, seluruh dunia dapat dengan mudah menebak hal itu tanpa harus bersusah payah.

Jeandra masih sejatuh itu untuk Anindia.

Telak, tanpa bisa siapapun bantah kebenarannya. Jeandra masih begitu dan akan selalu begitu. Fakta itu bahkan tidak pernah berubah bahkan dengan kehadiran Karinina, kebenarannya masih sama dan masih nyata terlihat. Mudah bagi siapapun untuk menarik kesimpulan yang sama.

I do.” Jean menggigit bibir bagian bawahnya ketat, terlampau erat sampai rasa asin berkarat mulai menyapa belah lidah. “Tapi itu ngga akan mengubah fakta kalau semua luka dan semua derita yang Anin punya sebagian besar adalah karena gue.”

Detik itu, Jean tidak lagi dapat menahan air matanya merebak hingga terjatuh ke pipi. Awalnya, hanya ada satu bulir bening yang bebas menuruni wajahnya, namun tak lama kemudian bulir bening lainnya ikut jatuh beruntun tanpa bisa Jean cegah. Meski sudah sekuat tenaga tangannya mengepal, meski sudah terlampau ketat Jean gigit bagian bibir bawahnya, tangisnya tetap pecah.

Di sana, Aksara terperangah. Menyaksikan bagaimana Laksamana Jeandra yang biasanya selalu bersikap angkuh perlahan luruh dengan kedua bahu yang bergetar rapuh bukan sesuatu yang dia duga. Lelaki yang selalu Aksara beli label sebagai sosok yang harus dia jauhi kehadirannya karena sudah memberi Anindia terlalu banyak luka itu dalam sekejap menjelma menjadi Jeandra yang benar-benar berbeda.

He's crying for her, painfully.

Jeandra menangis untuk yang kedua kalinya dan dengan alasan yang sama. Kalau di kesempatan pertama Aksa tidak terlalu menaruh perhatian pada tangisan yang Jean pecahkan untuk Anin sewaktu salah satu dari si kecil itu pergi, kali ini Aksa betul-betul memusatkan dirinya pada pemandangan Jeandra yang tertunduk dengan kedua bahu berguncang.

Beberapa bulan lalu ketika mereka sama-sama menangis untuk duka yang dialami Anindia, Aksa terlalu sibuk menahan diri agar air matanya sendiri tidak terjun bebas di depan banyak orang. Waktu itu, yang Aksa lakukan adalah memastikan kalau Anin mendapatkan prosedur yang benar dan keadaan aman terkendali. Tak ada waktu baginya untuk memberi atensi pada tangis Jean. Namun sekilas lewat ekor matanya, Aksara tahu dengan pasti kalau lelaki itu sama berdukanya dengan dirinya, bahkan jauh lebih berduka sebab selain Anindia, si kecil itu juga milik Jeandra.

“Gue butuh lo untuk tetap ada di sisi dia sampai akhir, sampai dia mau membuka hati buat lo dan membiarkan lo masuk ke dalam hidupnya. Gue mau lo ada di samping Anindia di setiap kesempatan, in her ups and downs.”

Suara Jean bergetar dan entah bagaimana caranya, suara serak penuh putus ada itu malah membuat Aksara merasa iba dan merasakan kalau ada yang retak di dalam dadanya ketika menyadari kalau rasa yang dia punya belum sedalam itu.

Hatinya mencelos ketika sadar kalau untuk urusan Anindia, Aksara nyatanya belum ada apa-apa jika dibandingkan dengan Jeandra. Rasa yang dia punya untuk Anindia memang dalam, tapi dalamnya kasih yang Aksa punya masih dapat diukur dengan perbandingan dalam lautan. Jeandra berbeda, rasa yang lelaki itu punya tidak berujung. Tidak ada dasar manapun yang dapat menjadi akhir bagi kasih yang Jean mampu curahkan untuk Anin dan untuk urusan itu, Aksara mengaku kalah.

Sebab untuk urusan mencintai Anindia, Jeandra akan selalu jadi juaranya.

I can't.

Kalimat Aksa membuat Jean mengangkat kepala dan tangisan lelaki itu tersendat.

But you love her...,” ucap Jean dengan suara penuh serak.

Aksa mengangguk pelan. Matanya menatap meja di depannya dengan pikiran yang mulai memunculkan wajah Anin. Aksa memejamkan matanya sejenak, berusaha membuang jauh-jauh bayangan yang muncul di otaknya karena memikirkan soal Anindia di depan Jeandra terasa tidak benar. Jeandra, menurut Aksa masih layak disebut sebagai suami sah dan lelaki yang punya hak penuh atas Anin, maka memikirkan Anindia yang statusnya jelas masih milik Jeandra rasanya tidak dapat dibenarkan oleh logikanya.

“Cinta sama dia ngga akan cukup, Jeandra.”

Cinta saja tidak akan cukup, begitu pikir Aksara. Anindia butuh lebih banyak hal selain cinta, dan Aksa tidak yakin kalau kapasitas yang dia punya mampu untuk memenuhi itu. Anindia butuh lebih dari sekedar sebuah hal tidak nyata yang manusia sebut rasa, Anin butuh lebih dari itu.

“Yang Anin paling butuh saat ini bukan cinta, tapi hidupnya yang kembali normal kayak dulu sebelum ada yang namanya Karinina.” Aksa menjeda kalimatnya, dia perhatikan lamat-lamat perubahan ekspresi Jean yang ketika nama Karin keluar dari bibirnya.

Kemudian Aksa melanjutkan, “To be honest, hidup yang Anindia punya udah gak berbentuk, Dude. Sekedar cinta dari gue gak akan bisa mengubah hal itu, gak akan pernah bisa.”

Jean membasahi bibirnya yang terasa kering, jemari lain miliknya tanpa sadar memainkan cincin yang melingkar rapi di jari manis. Pikirannya bergema berisik, sebagian besar memikirkan Anindia dan sisanya bergumul mencari cara agar dapat menjawab kalimat Aksara yang membuatnya tertohok.

She lost almost everything, dan untuk mengembalikan semuanya gak segampang itu. It takes forever, trust me,” ucap Aksa.

Jean mengerjap berkali-kali, berusaha mengenyahkan rasa tidak nyaman yang menghampiri kedua bola matanya. Panas dan perih merambat di sana secepat kilat, memaksa Jean untuk lagi-lagi menumpahkan air mata.

I ruinned her life that much, did I?

Aksara mengangguk tanpa ragu. “Satu-satunya yang bikin dia mau bertahan hidup sampai sekarang adalah bayinya, and that's more than enough to help her taking back what she lost. Cinta dari gue atau siapapun laki-laki yang lo percaya bakal bisa bikin dia balik jadi Anindia yang dulu ngga akan berpengaruh apa-apa kalau dibandingkan dengan bayinya. All she needs is her baby, that's all.

Aksara menyandarkan punggungnya di kursi, napasnya dihela sepelan mungkin. Pemandangan di depan menunjukkan Jeandra yang tengah memijat pelipis dan Aksa dapat menarik kesimpulan kalau kalimatnya berhasil membuat Jean bertambah kalut.

“Kenapa sampai kayak gini, Jeandra?” tanya Aksa.

Jean mendongak. “Kayak begini gimana maksudnya?”

“Kenapa sampai mau repot minta gue untuk stay sama Anin begini?”

Jean menelan ludah dengan susah payah. Dadanya sesak bukan main, seakan ada tangan besi yang memeras jantungnya di dalam sana dan membuat Jean kesulitan mengatur napas dengan benar. Lelaki itu menunduk, tatapannya mengarah pada ujung sepatu yang dia kenakan seraya mencoba merangkai kata yang tepat untuk menjawab rasa penasaran yang Aksara lemparkan.

I'm feeling like I'm gonna go far away from her. Jauh, ke tempat yang gak bisa dia jangkau.”

Detik itu, Aksara tertegun.

You mean to the light?

Jeandra mengangguk pelan.

“Gue sempat bermimpi soal Anin yang ninggalin gue ke atas sana, Itu seminggu yang lalu, gue bahkan sempat gak mau pisah sama dia saking takutnya mimpi itu jadi nyata. Tapi semalem, gue mimpi hal yang sama.”

Jean menjeda kalimatnya, menyiapkan diri untuk menyebut lanjutan dari mimpi yang berhasil membuatnya terjaga sepanjang malam itu. Lelaki itu kemudian melanjutkan, “Di mimpi semalam, gue melihat hal yang sama dengan seminggu yang lalu. Anindia dengan pakaian putih yang berlumuran darah, she said good bye to me dan gue nangis sejadi-jadinya. Tapi setelah itu, mimpi gue berlanjut.”

Kedua tangan Jean bergetar hebat, Aksara bisa melihat itu dengan jelas. Jean terlihat ketakutan, tapi lelaki itu berusaha menyembunyikan ketakutannya dengan menggenggam tangannya sendiri dengan erat, berharap kalau getar di jari-jemarinya berhenti.

“Di sana, gue mendengar orang-orang teriak. Mereka bilang sesuatu soal kecelakaan dan tiba-tiba badan gue diangkat sama mereka. Setelah itu gue sadar, kalau yang pergi ke sana itu bukannya Anindia, tapi gue. Darah yang ada di bajunya itu darah gue dan kalimat selamat tinggal itu bukan ditujukan karena dia yang pergi tapi gue yang pergi.”

Aksara terdiam. Tak ada lagi kalimat yang mampu lelaki itu ucapkan setelah mendengar kisah lengkap tentang mimpi yang Jean alami. Jeandra ketakutan setengah mati, dan Aksara rasa dia bisa mewajarkan hal itu sebab mimpi soal kematian bukanlah sesuatu yang sepele.

I'm not afraid of dying, Aksara. Gue sama sekali ngga takut sama kematian. yang gue takut adalah kenyataan kalau setelah gue pergi ke sana, Anindia mungkin bakal lebih hancur dari ini dan gue ngga mau itu terjadi,” ucap Jean.

“Nyawa ngga berarti apa-apa buat gue. Tapi kalau dengan kehilangan nyawa bisa bikin Anindia semakin terluka, bahkan bersujud di depan lo untuk jagain dia setelah gue ngga ada pun bisa gue lakukan.”

-

CW // Mention of blood

“Mana lukanya?”

Sabrina langsung mengambil posisi jongkok di depan Romeo sesaat setelah turun dari ojek online yang dia tumpangi. Sejujurnya selama perjalanan menuju ke sini, Sabrina sempat dilanda khawatir dengan keadaan Romeo. Membayangkan wajah lelaki itu tengah menahan sakit sembari duduk beralaskan tanah membuat Sabrina sedikit banyak merasa kasihan.

“Halo, Cantik.”

Tapi tampaknya, kekhawatiran Sabrina sia-sia.

Wajah tengil dengan tawa tanpa dosa milik Romeo menyambutnya dan Sabrina bersumpah kalau saja matanya tidak langsung melihat luka baret di sepanjang lengan lelaki itu, dia pasti tak akan segan melemparkan sendal yang dipakainya ke arah Romeo.

See? Gue beneran kecelakaan, kan?” kata Romeo dengan wajah sok serius yang membuat Sabrina refleks mendengus.

“Kenapa bisa begini?” Sabrina bertanya tanpa berniat menggubris kalimat Romeo sebelumnya. Tangannya dengan hati-hati mengingkirkan jaket yang Romeo pasang untuk menutupi luka di bagian lututnya, namun terhenti ketika tangan Romeo menahannya.

“Jangan dibuka, darahnya masih ngalir. Biarin ketutup aja, jangan sampai lo liat,” kata Romeo.

Sabrina mengalah. Mata gadis itu kemudian meneliti hal lain, kali ini terarah pada helm milik Romeo yang tergeletak begitu saja di samping motor yang terparkir di pinggir jalan.

“Motor lo ada yang rusak?” tanya Sabrina sambil memperhatikan kendaraan beroda dua itu.

“Lampu depannya pecah, spionnya lepas dan kelempar gak tau kemana, sama lecet doang di bagian body. Sisanya aman-aman aja.”

Gadis berambut panjang itu mengangguk paham. “Kok bisa begini? Lo ngebut ya pasti?”

“Ya Allah, Yang. Lo suudzon mulu sama gue perasaan,” sanggah Romeo. “Ini jalan abis ujan jadinya licin, lo tau sendiri motor sport begini masih bakal tetep kenceng jalannya meskipun gak gue puter sampe mentok gasnya.”

Sabrina memicingkan mata tidak percaya.

“Sumpah, gue gak bohong. Tanya sama aspal kalau lo gak percaya!”

“Orang gila emang lo.”

Romeo lantas terkekeh. Lelaki itu kemudian berusaha bangkit, gerakannya tertatih-tatih sebab rasa perih dan nyeri yang serta-merta menyerang ketika Romeo mencoba untuk memindahkan posisi badannya menjadi berdiri. Melihat hal itu, Sabrina ikut berdiri.

“Pesenin gocar, Yang. Kita pulang naik gocar aja,” ucap Romeo. Satu tangannya meraih pergelangan tangan Sabrina yang menganggur, menumpukan badan besarnya di sana seolah Sabrina adalah tiang kokoh yang tidak akan bisa jatuh.

“Motor lo gimana?”

“Aman. Nanti ada orang yang ngambil sekalian bawain ke bengkel.”

Sabrina mengangkat bahu acuh. Tapi kemudian gadis itu mengernyit risih ketika sadar kalau sekarang, Romeo benar-benar melandaskan sebagian besar berat tubuhnya kepada Sabrina.

“Lo, tuh, berat Romeo.”

“Gak peduli, gue mau gelendotan.”

Maka begitulah ceritanya. Romeo tetap dengan manja memegang lengan Sabrina hingga taksi online yang mereka pesan datang. Beruntung, sopir taksinya berbaik hati membantu Romeo untuk masuk ke dalam mobil dengan hati-hati. Karena jika tidak, Sabrina yakin kalau dirinya akan langsung menyerah sebab berat tubuh Romeo yang bisa mencapai dua kali berat badannya.

“Jaket lo singkirin, deh.”

Romeo menggeleng tegas.

“Nanti lo liat darahnya.”

Sabrina lagi-lagi mendengus.

“Cuma darah doang astaga, lebay lo.”

Kali ini, giliran Romeo yang berdecak sebal. “Lo pernah hampir pingsan gara-gara liat darah gue pas gak sengaja kena pisau dulu, jangan bandel.”

Sabrina memilih untuk bungkam. Dia sandarkan punggungnya ke kursi mobil, matanya mengarah ke jendela dan membiarkan semilir angin pelan dari AC menyentuh kulitnya.

Kemudian di tengah keheningan yang melanda, Sabrina dapat merasakan bahunya mendapat beban lebih. Yang rupanya merupakan hasil dari kepala Romeo yang bersandar padanya.

“Nanti bangunin gue kalau udah sampai apartemen lo ya? Gue ngantuk banget.”

Kening Sabrina mengerut halus. “Lah? Gue kira mau ke rumah lo?”

“Gak mau, mau pulang ke tempat lo aja. Mami sama Papi lagi lempar-lemparan barang di rumah, males gue liatnya.”

Setelahnya, Sabrina membiarkan Romeo tertidur di sampingnya. Tanpa satu patah katapun Sabrina ucapkan sebagai bantahan, dia biarkan lelaki itu terlelap di bahunya.

-

CW // Mention of death

Pukul dua belas lebih lima menit. Semilir angin terdengar menabrak kaca jendela kamar cukup kencang dan menimbulkan suara yang berisik. Tak ada yang bersuara di antara mereka, yang terdengar oleh rungu hanyalah deru napas masing-masing dan tetes demi tetes air hujan yang mulai menyerbu tanah. Sesekali, cahaya terang dari kilat yang menyambar tertangkap oleh mata melalui sela tirai putih bersih yang menggantung di dekat jendela.

Di tengah hujan yang mulai deras menyapa, sebuah pikiran tentang Anindia menyambangi kepala Jean yang sedari tadi memang hanya diisi oleh nama wanita itu. Terutama kala seluruh indera penciumannya diserbu oleh wangi bunga segar yang bersumber dari aroma shampo di helai rambut milik Anin, Jean sampai harus menahan napas agar otaknya berhenti berputar pada satu nama dan beralih memikirkan hal lain. Namun nyatanya, Jean gagal.

Anindia masih memenuhi kepala, rasanya penuh sampai Jean harus memejamkan mata dan memaksa bibirnya melafalkan nama-nama hewan agar dirinya terdistraksi. Tapi bahkan setelah puluhan nama hewan dia lafalkan sepelan mungkin agar suaranya tidak mengganggu sosok di pelukannya itu, Jeandra berakhir mengacau dan malah menyebut nama beberapa hewan berulang kali secara repetitif.

Hela napas panjang Jean keluarkan. Dia hembuskan napasnya sepelan mungkin agar gerakan naik dan turun dari dadanya tidak membuat gerakan yang dapat membangunkan Anin dari lelapnya mimpi. Matanya mengerjap berkali-kali, mencoba menahan diri agar tidak menggerakan lengannya yang saat ini tengah menjadi bantal hidup bagi kepala Anin yang terbaring tepat di sebelahnya. Meskipun tak sampai dua detik berikutnya, Jean bisa merasakan gerakan kecil dari Anin yang ternyata tetap saja terbangun.

Sontak, rasa bersalah langsung merasuk ke dalam diri Jean karena tarikan napasnya mungkin menjadi alasan Anin terjaga di tengah nyenyaknya tidur. Kemudian, Jean miringkan tubuhnya dan dia tarik tubuh mungil Anin ke dalam rengkuhan. Satu tangannya dia letakkan di punggung Anin, sebelum kemudian dia berikan tepukan pelan di sana dengan tujuan agar Anin segera kembali jatuh dalam kubangan rasa kantuk.

“Jean?”

Namun ternyata, si cantik di dekapannya itu sudah sepenuhnya terjaga dan malah memilih untuk menggeliat kecil agar pegal kabur dari sendi-sendinya. Jean mengangguk sebagai jawaban, pelukannya ia longgarkan agar dapat menatap wajah Anin yang masih menyisakan kantuk.

“Keganggu ya?” tanya Jean dengan dengan suara serak.

Anin menggeleng pelan. “Aku pengen buang air kecil.”

Ini yang ketiga malam ini. Sejak mengandung, Anin memang sering mengeluh soal perutnya yang selalu terasa tidak nyaman dan kemampuannya untuk menahan keinginan buang air kecil yang amat buruk. Jean memaklumi itu, lelaki itu bahkan selalu siap siagar ikut bangun dan menemani Anin ke toilet tanpa sekalipun protes.

“Aku temenin, tunggu bentar.” Usai berkata begitu, Jean bangkit dan berjalan menuju toilet yang letaknya masih di dalam kamar. Kemudian ketika sudah berada di ambang pintu toilet yang dia buka, Jean dengan hati-hati memeriksa lantai toilet, berusaha memastikan kalau keramik berwarna putih itu dalam keadaan kering dan tidak ada air yang mungkin berpotensi membuat Anin terpeleset dan berakhir terjatuh. Kemudian setelah memastikan lantai toilet aman, Jean kembali berjalan menuju Anin. Tangannya terulur untuk membantu Anin bangkit.

“Aku sendiri aja,” ucap Anin menolak untuk ditemani.

Jean mengangguk, paham kalau Anindia sebetulnya benci dikhawatirkan sebegitunya. Jadi, dia biarkan Anin berjalan menuju toilet sendiri dan ketika pintu tertutup rapat, Jean bawa dirinya berdiri di depan sana. Durasinya cukup lama, sampai pada akhirnya pintu terbuka dan menampilkan Anin dari balik pintu. Wajahnya tampak lebih segar dari sebelumnya, Jean dapat melihat air jatuh dari ujung hidung runcing itu dan senyum kecil langsung terpatri di bibir Jean.

“Lucu banget kamu kayak anak kucing,” ucapnya sambil terkekeh pelan.

Bibir Anin melengkung ke bawah, entah kesal karena mendapat panggilan berupa kucing atau karena menemukan Jean menunggunya di depan pintu toilet. Jean yang paham langsung mengangkat kedua bahunya, berusaha menyangkal bahwa sedari tadi dirinya memang berdiri di sana untuk memastikan kalau Anindia tetap aman di dalam sana.

“Aku ngga nungguin kamu, aku juga mau ke toilet,” katanya sambil berjalan masuk ke dalam toilet dan berakhir menutup pintu. Walaupun sebetulnya setelah tubuh tingginya sudah sepenuhnya berada di dalam toilet, Jean hanya menyalakan keran dan berdiri di sisi wastafel tanpa melakukan apapun. Dua menit kemudian, Jean baru keluar dari sana setelah mematikan keran dan tak lupa membasahi kedua tangannya.

Matanya memandang lurus ke arah ranjang, di sana dia temukan Anin yang juga mengarahkan pandangan ke arahnya. Tatapan si mungil itu terlihat amat polos, sampai Jean menahan diri agar tidak terkekeh lagi dan membuat Anin kembali sebal.

“Kamu kenapa belum tidur?” tanya Anin setelah Jean sudah kembali ke tempat tidur dan mengambil tempat kosong di sisinya.

“Tadi ngerjain sesuatu dulu, terus aku minum kopi jadinya ngga ngantuk.”

Anin mengangguk paham. Wanita itu kemudian membawa dirinya untuk ikut berbaring di sebelah Jean dan berusaha mencari posisi terbaik agar si mungil di dalam perutnya tetap merasa nyaman. Jean ikut membantu, lelaki itu bangkit untuk mengambil dua bantal untuk diletakkan di sisi kanan dan kiri tubuh Anin sebagai penyangga.

“Kamu masih ngantuk ngga? Mau tidur lagi? Perlu aku bikinin susu?”

“Nanya satu-satu, Jeandra,” ucap Anin sambil tersenyum simpul. Dia kemudian melanjutkan, “Aku udah ngga ngantuk dan jangan bikinin apa-apa, aku takut nanti malah pengen ke toilet lagi karena perutnya penuh.”

Jean memandangnya ragu. “Tenggorokannya ngga kering emang?”

Anin menggeleng. “Kamu mending tidur, besok masih harus masuk kantor.”

Jean tak punya pilihan lain selain menggeleng, matanya sama sekali tidak disapa rasa kantuk, apalagi tadi Jean sempat bersentuhan dengan air di toilet yang membuatnya semakin enggan memejamkan mata.

Kemudian tanpa dikomando, keduanya sama-sama menutup mulut. Keheningan menguasai, membuat suara hujan di luar terdengar semakin jelas di telinga. Baik Jean dan Anin sama-sama tenggelam di dalam pikiran masing-masing.

“Kamu pernah ngga, sih, kepikiran soal kenapa kita selalu terikat walaupun udah berkali-kali mencoba menjauh satu sama lain?”

Pertanyaan itu sukses membuat Jean mengerutkan dahi. Kepalanya sontak terangkat, yang kemudian dia topang dengan satu tangan dan badannya dimiringkan hingga menghadap Anin yang tengah menatap langit-langit di atas mereka.

“Kenapa nanya gitu?” Jean balik bertanya, bingung dengan pertanyaan Anin yang terkesan terlalu tiba-tiba.

Anin diam sejenak, kedua alisnya terangkat sebelum kemudian kepalanya menoleh dan matanya terarah pada sosok Jean yang tengah menatapnya serius. “Ngga tau, aku tiba-tiba kepikiran nanya begitu.”

“Menurut kamu kenapa?” lanjutnya.

Jean diam, sama sekali tidak berekspektasi kalau sosok di sampingnya itu akan menanyakan hal demikian. Kepalanya kosong, sebelum kemudian dadanya dihantam sesak ketika sadar makna dari pertanyaan bernada polos itu.

Anindia kembali membuka suara, masih dengan nada yang sama. Datar, polos penuh rasa penasaran seolah pertanyaan yang dia ajukan hanya berupa pertanyaan sederhana yang mampu Jean jawab tanpa perlu berpikir panjang. “Aku pernah seyakin itu kalau kamu bakal tetap sama aku dan ngga akan pernah bilang selamat tinggal, tapi ternyata lima tahun kemudian, aku bahkan ngga tau apa aku bisa lihat kamu lagi besok dan seterusnya. Menurut kamu kenapa kita kayak gitu?”

Mendengar kalimat panjang yang terlantun melalui suara halus Anindia, Jean menarik bibirnya ke dalam sebuah garis lurus. Bukan, bukan karena tersinggung mendengar kalimat yang Anin tuturkan. Hanya saja, menyadari kalau pertanyaan yang sebelumnya terlempar membuat Jean seketika merasa kalut.

“Kamu inget ngga waktu kita putus, kamu bilang tolong lupain semua soal kita, tolong pura-pura ngga kenal in case kita ngga sengaja ketemu dan tolong lupain kalau kamu pernah menjanjikan banyak hal ke aku?”

Jean mengangguk terpatah, lelaki itu tentu mengingat dengan jelas tiap bait kalimat yang dia ucapkan pada Anin tiga tahun lalu. Kalimat itu masih terngiang walau Jean berusaha keras menghalau ingatan itu karena sejujurnya, dia benci mengingat bagaimana dingin dan menusuknya nada yang dia gunakan saat mengucapkan kalimat itu.

“Aku turutin kamu setelah itu. Aku pura-pura ngga kenal kamu padahal kamu sering kunjungan ke rumah sakit. Aku juga ngga pernah nyebut nama kamu sekalipun di depan orang-orang. Bahkan waktu aku pertama kali lihat kamu setelah rencana perjodohan dikasih tau sama Ibun, aku bersikap seolah kamu benar-benar orang baru dan kita ngga pernah ketemu.” Anin kembali merangkai cerita, kali ini tubuhnya ia baringkan menghadap ke arah Jean.

Gerakan kecil itu membuat Jean dengan sigap meraih bantal yang sejak tadi sudah menyangga tubuh Anin di belakang dan menarik benda itu lebih dekat ke arah Anin.

“Bentar, ceritanya pending dulu kalau mau tidur miring begini. Nyaman ngga?” tanya Jean.

Anin sedikit bergerak menyamankan posisinya, sebelum kemudian mengangguk pelan. “Udah, aku boleh lanjut?”

Jean mengangguk, telinganya terpasang lebar-lebar untuk mendengar kalimat selanjutnya yang akan terudara dari bibir tipis itu.

“Waktu itu, aku berusaha sebisa mungkin supaya ngga terlibat lagi sama kamu, karena itu yang kamu mau. Tapi ternyata kita masih harus terlibat satu sama lain meskipun lewat perantara Ibun. Terus setelah nikah, aku berusaha bersikap seolah kamu itu benar-benar laki-laki yang baru pertama kali kutemui, kayak cerita klasik perjodohan yang pernah kubaca. Tapi Hema datang dan terus menerus bikin aku ingat soal kita dulu. Bahkan ada Aksara, yang aku ngga tau gimana caranya bisa jadi bagian dari cerita kita dan akhirnya aku sadar kalau sebetulnya, mau sekeras apapun aku berusaha lari dari kamu, aku nyatanya cuma jalan di tempat.”

Anin menatap tepat di mata Jean, dimana dia temukan raut lembut penuh pengertian namun juga dibayangi kekalutan terpancar di sana. “I didn't expect that I would see your eyes staring at me like this again.

Sebab dulu di awal mereka menikah, tatapan lembut itu seolah tak bersisa. Yang dapat Anin temukan dari kedua mata milik Jeandra hanyalah sorot benci dan penyesalan, tajam menatap ke arahnya seolah Anin adalah sial yang paling sial dalam hidup lelaki itu. Makanya, menemukan mata itu memandangnya dengan cara yang 180 derajat berbeda membuat Anin sampai berkata demikian.

“Kukira kamu bakal selalu ngasih tatapan benci buat aku selama sisa hidupku.” Kalimatnya setenang air, seolah yang barusan keluar dari bibirnya bukanlah rangkaian kata berarti yang patut dipusingkan.

Padahal jauh di dalam kepalanya sendiri, Jean merasa seperti ada sebuah gong raksasa yang dipukul dan membuat suara berdenging menyusup ke gendang telinga.

“Padahal sejak awal, aku berusaha kabur dari kamu. Tapi Tuhan selalu punya cara buat bikin aku lagi-lagi balik ke kamu, selalu kayak gitu.” Anin kembali menyatakan isi kepalanya.

Jean masih diam, lidahnya kelu. Entah dengan kalimat macam apa dirinya harus memberi jawaban untuk Anin. Dadanya dirubungi sesak, rasanya sakit seolah ada sebuah tangan besar yang meremas jantungnya dan membuatnya kesulitan bernapas dengan benar. Namun sepasangan netra gelapnya masih dia arahkan pada Anin, dia coba sekuat mungkin agar yang terpancar dari irisnya hanyalah pancaran rasa yakin yang dia harapkan bisa membuat Anin merasa nyaman menceritakan semua yang wanita itu sembunyikan dalam kepala. Meski sebetulnya yang Anin lihat hanyalah pancaran mata ketakutan diselingi kekalutan.

Nyatanya, meski Jean berusaha sekeras mungkin agar matanya terkesan tenang, Anin masih bisa menelisik keresahan yang terbayang di pupil kembar itu. Nyatanya, Anindia masih jadi yang paling ahli dalam menebak segala hal yang Jean sembunyikan, bahkan hanya dengan menatap mata lelaki itu sekilas.

“Jeandra?”

“Hm?”

“Kalau kali ini aku berusaha lebih keras supaya bisa kabur dari kamu, ngga apa-apa ya?”

Pertanyaan itu sukses membuat Jean kehilangan kemampuan mengolah kata. Kalau Anindia berusaha melarikan diri darinya sekali lagi, apakah Jean keberatan? Kalau Anin betul-betul melangkah pergi meninggalkannya, apa Jean akan baik-baik saja? Kalau pada akhirnya Anindia memang menghilang dari jangkauannya, Jean harus apa?

“Aku ngga mau jalan di tempat terus, aku mau maju. Aku capek lari tapi pada akhirnya terus-terusan jatuh di kamu. Aku capek lari jauh tapi ujung-ujungnya tetap tetap sampai di tempat yang sama. Aku capek, Je, aku kasihan lihat diri aku sendiri yang kayak begini.”

Tanpa Anin sendiri sadari, kedua tangannya mulai mencari pegangan dengan meremas pakaian yang Jean gunakan. Kedua tangannya bergetar, matanya memanas dan bulir bening mulai terbentuk membendung di bawah kelopak mata.

“Jadi kalau nanti setelah Makaila lahir, aku nyoba buat kabur dari kamu lagi, ngga apa-apa, kan?”

Telak.

Jeandra betul-betul kehilangan kemampuannya untuk mengolah kata. Lidahnya betul-betul kaku dan dadanya semakin terasa sesak. Hanya satu hal yang terpikirkan olehnya, jadi Jean upayakan agar suaranya kembali muncul ke permukaan untuk memberi jawaban.

“Aku...ngga tau.”

Anin menghela napas pelan. Tubuh mungilnya kemudian ia bawa mendekat ke arah Jean dan membuat jarak mereka hanya berupa satu kepalan tangan. Lalu tanpa berkata apapun, Anin membawa tangan kanannya melingkar di tubuh besar Jean, memeluk lelaki itu dan menenggelamkan wajah di dada Jean sambil memejamkan mata. Napasnya tertarik dalam-dalam, aroma kayu cedar dan tembakau memenuhi indra penciuman.

Are you okay?” tanya Jean khawatir. Anin sama sekali belum pernah memeluknya lebih dulu, dan pelukan kali ini membuat Jean sampai keheranan. Hela napas Anin terdengar berat, Jean bahkan dapat mendengar desah napasnya yang berantakan dan sedikit terburu-buru.

After you ruined my life? What do you think?”

Jean terhenyak, napasnya tertahan di tenggorokan. Bukan itu yang Jean maksud, bukan jawaban itu yang dia kira akan dia terima.

“Aku capek, Je.”

Suaranya terdengar bergetar. Tenggorokannya tercekat, seakan ada segumpal batu yang bersarang di sana dan membuat Anin kesulitan mengatur diri. Panas merambati mata, sesak semakin merajam dada.

“Aku rasanya kayak mau mati, tapi aku sadar kalau ada Makaila yang masih harus aku jagain dan masih ada Papa yang bakal sedih kalau aku ngga ada. Tapi kalau terus-terusan begini, rasanya ngga ada bedanya mau aku mati atau hidup sekalipun.”

Jean sontak menggeleng kuat. “Jangan sebut kata mati. I'm begging you, kamu bisa bilang apapun tapi tolong jangan sebut kata itu.”

Suaranya terdengar bergetar, telinganya berdenging kuat. Kata yang keluar dari bibir tipis Anin barusan membuat seluruh tubuh Jean bergetar, sendi dan tulang belulangnya seketika terasa ngilu sampai Jean harus meremat bagian dada kirinya demi menghalau rasa sakit yang muncul.

“Jangan sebut kata mati, Anin, tolong....”

Sebab jauh di dalam pikirannya, Jean betul-betul punya pengalaman buruk dengan kata itu. Ibun pernah hampir meninggalkannya dengan bermain terlalu lama dengan kata itu. Anindia bahkan pernah berada amat dekat dengan kata itu dan hampir betul-betul melangkah menjauh dari kehidupannya. Satu buah hatinya bahkan betul-betul berteman akrab dengan kata yang satu itu.

Sudah cukup.

Mendengar kata itu satu kali lagi rasanya terlalu kejam untuk Jean. Sudah cukup, jangan lagi. Jean benar-benar tidak akan mengampuni dirinya sendiri jika Anindia sekali lagi berdekatan dengan kata itu.

“Kamu boleh kabur dari aku dengan cara apapun, tapi tolong jangan dengan cara yang itu. Kamu boleh pergi dari aku kapanpun, tapi ngga dengan cara menghilang dan pulang ke Tuhan. Ada banyak cara, jadi tolong jangan dengan cara mati.”

Kemudian tanpa berkata apapun, Anin mengeratkan pelukannya pada tubuh besar Jean. Wajahnya dia kubur di dada Jean dan hidungnya dia biarkan menghirup aroma kayu cedar yang merebak di sana, dia biarkan kepalanya terasa penuh karena hanya Jeandra dan wangi tubuh lelaki itu menguasai.

Jean ketakutan dan Anin bisa merasakan itu.

Lalu yang bisa Jean lakukan hanyalah memeluk Anin lebih erat dari sebelumnya. Dia lingkarkan kedua tangannya di pinggang Anin dan dia istirihatkan kepalanya di atas kepala Anin, membuat keduanya hanya punya jarak setipis benang sampai Jean mampu merasakan hembusan napas hangat yang Anin tarik dan buang secara perlahan.

Setelah cukup lama saling merengkuh erat, Jean perlahan merenggangkan pelukan mereka agar matanya bisa bertemu dengan iris cokelat milik Anin yang juga tengah mengarah padanya.

Don't die. Kamu boleh pergi kapanpun dan dengan cara apapun, tapi tolong jangan mati.” Jean kembali merapalkan kalimat itu seolah hanya rangkaian kata itulah yang mampu keluar dari pita suaranya yang tercekat.

Anin mengangguk di sela pelukan mereka. Tangan kanannya ia bawa menuju punggung lebar milik Jean, berinisiatif memberikan gerakan naik dan turun agar tubuh Jean berhenti bergetar dan napasnya berhenti memburu.

I won't die, aku ngga akan pergi dari kamu dengan cara mati. Jadi biarin aku kabur dari kamu dengan cara apapun and I promise you my way of leaving you won't be dying. I'll go in the most peaceful way that I can, and all you have to do is just...let me find the way.

Setelah kalimat itu tersampai, pilihan yang Jean punya hanyalah mengangguk. Jantungnya tak lagi bergema berisik, namun dadanya masih terasa sakit seolah seluruh jiwanya tertarik. Napasnya tak lagi memburu, namun paru-parunya masih terasa seperti dibakar hingga menjadi abu.

Leganya mengalir seiring luka.

Nyatanya, meski kata mati tak akan membayanginya lagi, Anindia akan tetap pergi. Nyatanya, meski tak akan pergi karena perkara nyawa, Anindia pada akhirnya akan tetap menghilang dari hidup dan ceritanya Jeandra.

-

Day 40 of 180 days

CW // Kiss

“Udah selesai?”

Anin menoleh saat pertanyaan itu terlempar kepadanya. Di sana, Jeandra berdiri di ambang pintu dengan tubuh yang bersandar dan kedua tangan saling menyilang di depan dada. Sejenak memperhatikan Jean yang terlihat santai mengenakan kaos berlengan panjang berwarna coklat dan celana bahan berwarna hitam, Anin kembali memusatkan perhatiannya pada cermin di depan. Matanya mengamati warna merah muda yang baru saja terpoles di bibir tipisnya, memastikan riasan yang dia gunakan tidak berantakan dan gaun yang membalut tubuhnya telah terpasang dengan benar.

How do I look, Je?” tanya Anin sembari merapikan ujung gaunnya yang sedikit terlipat. Wanita itu kemudian berdiri dan sedikit berputar, bermaksud menunjukkan penampilannya pada Jean dan mengharapkan komentar.

You look absolutely stunning, trust me.” Jean berkomentar dengan tulus. Senyum simpul terpatri di bibirnya, matanya memperhatikan Anin dari kepala hingga kaki dan memuji sosok mungil di depannya itu habis-habisan dalam hati.

“Beneran? Bibirku kemerahan ngga? Terus rambutku bagusnya disanggul begini atau harusnya diurai aja?”

Jean menggeleng. “Kamu udah cantik, serius. Kamu mau diapain juga masih cantik, Anin.”

Anin tertawa karena pujian itu. Terutama ketika mendapati kepalanya langsung memutar pujian-pujian yang dulu sering Jean lemparkan untuknya. Kalimat-kalimat itu terdengar sama, Jeandra selalu terdengar tulus saat memujinya. Baik dulu maupun sekarang, lelaki itu masih selalu terdengar tulus dan kelewat mengaguminya tiap kali Anin bertanya soal penampilan.

You sound exactly like my boyfriend three years ago,” ucap Anin masih dengan tawa yang terberai.

Jean mengerutkan dahi, namun sedetik kemudian tawa lepas keluar dari lelaki itu ketika menyadari maksud dari kalimat yang Anin ucapkan.

Really? He sounds like a good man, isn't he?

Anin menghentikan gelaknya. Kepalanya tertunduk, kemudian seutas senyum kecil muncul di wajah sebelum kemudian dia putuskan untuk mengangguk. “He's indeed a good man. Dari dulu sampai sekarang, dia masih orang baik. He just lost his self for a while that we had to break up, but he's indeed a good man.

Gelak tawa betul-betul hilang dari wajah Jean ketika kalimat itu terlantun. Telinganya memerah, mungkin merasa malu dan merasa dirinya tak pantas menerima kenyataan kalau Anindia menyebutnya sebagai orang yang baik. Ada sesak yang menghujam bagian dadanya ketika mendapati senyum simpul yang Anin berikan seiring dengan kalimatnya yang telah usai.

He's indeed a good man, begitu kata Anindia.

Ada retak yang terdengar jelas datang dari dalam dirinya ketika sepenuhnya sadar kalau yang menjadi topik pembahasan adalah dirinya sendiri. Bagi Anindia, Jeandra ini ternyata masih orang baik, dadanya seakan ditikam oleh benda runcing ketika sadar kalau masih ada bagian dari dirinya yang bisa dianggap baik oleh orang lain, dan orang itu adalah Anin.

“Ayo berangkat, takut nanti di jalan macet dan dokternya lama nunggu.”

Lamunan Jean buyar ketika Anin berjalan mendahuluinya keluar kamar. Jean tersentak, namun dengan cepat dapat menguasai diri agar bisa segera menyusul Anin menuju mobil miliknya.

Hingga hampir setengah jam kemudian, mobil yang mereka tumpangi sudah terparkir rapi di depan gedung rumah sakit yang selama tiga bulan ini selalu menjadi tempat Anin memeriksa kondisi janinnya. Jean turun terlebih dahulu, lelaki itu kemudian berlari kecil memutari mobil dan membantu Anin turun.

Saat kemudian tangan keduanya tertaut tanpa satu pun dari mereka sadari, Jean mendapati kalau telapak tangan Anin basah oleh keringat.

“Gugup?” tanya Jean seiring langkah mereka menuju bagian dalam bangunan.

Anin mengangguk, sama sekali tidak berusaha menyembunyikan ketakutan yang membayanginya sejak tadi malam. Pemeriksaan kali ini memang bukan yang pertama kali bagi Anin. Tiga bulan sebelumnya, Anin sudah rutin pergi ke rumah sakit untuk memeriksa kesehatan kandungannya dengan ditemani oleh sang Papa. Namun yang kali ini adalah pertama setelah insiden satu bayinya meninggal dan fakta itu membuat Anin ketakutan.

Saat ingatannya kembali memutar kejadian berminggu-minggu lalu itu, Anin sontak berhenti berjalan.

What if we lost another baby?” tanyanya dengan nada bergetar.

Genggaman Jean di tangan Anin secara otomatis semakin erat. Dia biarkan Anin menjadikan tangannya sebagai pelampiasan atas rasa takut dan resah yang wanita itu rasakan. Jean bisa memahami yang Anin takutkan, mereka sama-sama kehilangan.

“Itu sebabnya kita check up hari ini, biar kita tau keadaan dia di dalam sana. Kalau pun ada yang salah, kita bisa mencegah dari sekarang. Jangan terlalu khawatir. Kalau kamu stres, dia juga ikut stres. Everything's gonna be alright, trust me.

Kalimat Jean sedikit bisa membantu Anin mengurangi rasa tegang. Debar jantungnya tak lagi menggila, meski rematan Anin di tangan Jean masih berlangsung sampai saat kaki mereka sudah menapak bagian depan ruangan dokter yang biasa dia kunjungi.

Jean melirik sosok di sampingnya sekilas. Kemudian tanpa kata, dia menarik Anin ke dalam rengkuhan. Satu tangannya tenggelam di helai rambut Anin, satu lagi Jean tempatkan di punggung kecil istrinya dan dia gerakkan tangannya naik-turun perlahan. Jean harap, gerakan yang dia lakukan dapat membantu Anin membagi ketakutannya.

It's okay, we're gonna be okay.” Kalimat itu Jean ucapkan berkali-kali. Tangan kirinya terus mengusap rambut Anin, dagunya dia tumpukan di atas puncak kepala Anin.

Di tengah rengkuhan yang mereka bagi, Anin menghela napas berulang-ulang. Kakinya masih bergetar, namun Jean berhasil membantunya tetap berdiri tegap dan membuat tubuhnya tidak tumbang ke lantai. Kedua tangannya terasa dingin, namun pelukan yang Jean beri secara sukarela itu membuatnya bisa mengendalikan diri. Setidaknya, Anin tidak harus menghadapi ketakutannya sendiri. Jeandra ada di sana, di sisinya.

“Kalau kamu belum siap, aku bisa minta maaf ke dokternya dan atur ulang jadwal buat besok. Don't rush yourself, Boo, take your time.

Pelukan antara dua anak manusia itu semakin erat. Jean bahkan tanpa sadar menyematkan panggilan lama yang dulu selalu dia pakai untuk Anin. Kedua mata Anindia terpejam, sebelum kemudian dia lepaskan rengkuhan Jean dari tubuhnya.

“Ayo masuk,” putus Anin akhirnya.

Jean memandangnya ragu.

“Hari ini jenis kelaminnya bakal bisa dilihat, aku mau lihat bayiku.” Anin berusaha meyakinkan lelaki di depannya kalau rasa takutnya sudah separuh menghilang. Jean menghela napas pelan, sebelum kemudian dia mengambil langkah mendahului Anin memasuki ruangan. Di dalam sana, seorang dokter berusia sekitar 40 tahunan menyambut mereka dengan senyum sumringah.

Let's do this together, you and me.

Kalimat itu menjadi penutup sebelum sesi pemeriksaan dimulai. Jean mendengarkan dengan seksama, telinganya terpasang lebar tanpa sedikit pun melewatkan penjelasan dari sang dokter mengenai kondisi anin dan calon bayinya.

“Beruntungnya, Bu Anin punya daya tahan tubuh yang bagus dan hal ini mendukung proses pemulihan untuk ibu dan bayi yang satunya. Keguguran salah satu janin kembar di usia kandungan 12 minggu seperti yang dialami Bu Anin ini membuat tindakan yang bisa diambil hanya beberapa terapi, perbaikan nutrisi sang ibu dan cek kesehatan rutin, jadi sekarang ngga ada yang perlu dikhawatirkan. Bu Anin hanya harus istirahat dan makan yang teratur sampai bulan ke sembilan nanti.”

Baik Jean dan Anin baru bisa bernapas lega setelah mendengar penjelasan itu. Jean yang pada awalnya berusaha menyembunyikan ketegangan dari wajahnya, kini sudah bisa memejamkan mata penuh syukur.

Anin memperhatikan hal itu dalam diam. Matanya mengawasi setiap perubahan ekspresi Jean tiap kali informasi diberikan oleh dokter, Anin juga menyadari kalau sejak mendudukkan diri di ruangan ini, kedua kaki Jean sama sekali tidak dapat berhenti bergerak. Lelaki itu sama takutnya dengan Anin, Jeandra sama cemasnya dengan dirinya.

And there you go, that's your little princess on the screen.

Wanita berusia 40 tahunan itu menunjuk layar di depan sembari tangannya terus bergerak meletakkan alat yang digenggamnya di atas kulit Anin. Di sana, Jean bisa melihat bagaimana janin mungil itu bergerak di dalam perut Anin. Tanpa Jean sadari, rasa panas mulai merambati mata.

She's amazing,” katanya mengungkapkan rasa kagum dengan suara bergetar.

Dadanya seolah membengkak dan siap untuk meledak. Jean merasa seolah ada rasa membuncah yang siap mampir menyusup ke dalam dirinya saat matanya menyapa tampilan makhluk kecil itu bergerak di dalam sana meski secara tidak langsung. Bayinya ada di sana, buah hatinya ada di sana, sehat dan terus bertumbuh kembang.

Rasa panas di kedua matanya terus menguasai. Sampai Jean harus memalingkan wajah dan menarik napas sedalam yang dia bisa, berusaha mengendalikan diri agar tak ada air mata yang jatuh dan membuatnya runtuh di depan Anin.

Sedangkan Anin sendiri sudah tidak dapay menahan diri. Air matanya jatuh tanpa bisa dikendalikan. Wajahnya basah, matanya terus menyaksikan layar di depannya dengan decak kagum yang tak lagi dapat disembunyikan.

Hingga selang 15 menit kemudian, pemeriksaan selesai dan dua manusia itu sudah berjalan berdampingan menuju lahan parkir rumah sakit. Segalanya berjalan lancar, ketakutan mereka tidak terbukti.

Jean bergerak menuju kursi penumpang dan membantu Anin untuk masuk ke dalam. Satu tangannya berada di bagian atas tempat Anin memasuki mobil, melindungi kemungkinan Anindia akan terbentur bagian keras itu ketika menunduk masuk. Kemudian, Jean berlari masuk ke tempatnya sendiri. Namun setelah sabuk pengaman terpasang, kendaraan beroda empat itu belum juga menunjukkan tanda-tanda akan berjalan.

“Kita nunggu apa?” tanya Anin penasaran.

Jean menoleh. Pandangannya lurus menatap Anin yang wajahnya masih menyisakan bekas tangisan. Perlahan, Jean mengulurkan tangan ke arah wajah cantik di depannya itu. Ibu jarinya menyeka bekas tangisan Anin yang masih menyisakan bekas di pipi. Lalu tanpa Anin duga, Jean menangkup wajahnya dengan gerakan lembut dan jemari lelaki itu menyentuhnya dengan gerakan teramat pelan. Gerakannya teramat berhati-hati seolah Anin adalah kaca yang mudah pecah, seolah menyentuh Anin dengan gerakan yang sembrono dapat membuat wanita itu hancur menjadi butiran debu.

Kemudian di tengah kesenyapan yang merayap, Jeandra melepas sabuk pengaman yang melingkari tubuhnya dan maju ke depan. Perlahan namun pasti, lelaki itu menghadiahkan sebuah kecupan manis di dahi Anin.

Thank you so much,” ucapnya di sela kecupan yang dia berikan.

Anin memejamkan mata, netranya kembali memanas. Terutama ketika Jean bergerak menghadiahkan satu kecupan lain di dahinya, detik itu Anin dapat memastikan kalau seluruh tubuhnya lemas dan seolah kehilangan tumpuan.

Kemudian, satu kecupan lagi di pipi kanan.

Satu lagi di pipi kiri.

Satu di ujung hidung.

Namun ketika Jean hendak membubuhkan kecupan di bibirnya, Jean berhenti. Lelaki itu mematung dengan napas memburu. Anin memejamkan mata semakin erat, jantungnya bergema berisik.

May I kiss you?” tanya Jean meminta izin. Anin diam. Jantungnya bertalu keras sampai Anin sendiri yakin kalau Jean mampu mendengar suara itu dari dadanya.

“Aku ngga akan ambil kesempatan kalau kamu ngga kasih izin, Sayang.”

Kalimat itu.

Kalimat itu menjadi akhir dari pertahanan Anin. Kepalanya mengangguk pelan dan dalam hitungan detik, ranum milik mereka sudah menyatu. Jeandra mengecup ringan bibir Anin, memberikan ciuman kupu-kupu di sana sebelum memperdalam pagutan dan memberi hisapan halus.

Kedua tangan Anin meremat bagian depan baju yang Jean pakai, melampiaskan keresahan dan segala yang dia temukan di dalam dada dengan cara menggenggam baju Jean hingga membuat kain itu berantakan.

Pagutan yang Jean berikan semakin dalam. Satu tangannya berada di punggung Anin, bergerak mengelus bagian sana demi memberi ketenangan dan rasa aman bagi tubuh mungil di kungkungannya itu.

Sampai saat pasokan udara sudah mulai menipis, Jean melepaskan ciuman mereka. Napas Anin berantakan, wajah cantiknya memerah bak kelopak bunga mawar.

Thank you, thank you so much.” Jean menarik Anin ke dalam pelukannya. Wajahnya tenggelam di ceruk leher Anin. Dia hirup wangi tubuh Anin seolah menggantungkan hidup melalui aroma vanila yang selalu membuatnya tersesat itu, seolah Jean tak akan pernah bisa melanjutkan sisa jalan yang dia ambil seumur hidup jika tak menemukan aroma itu.

Anindia membuatnya kehilangan akal. Anindia membuat kewarasannya menghilang tak tentu arah. Anindia membuatnya kesulitan bernapas hingga Jean sendiri kebingungan mengais udara.

Hari itu, Laksamana Jeandra Galuhpati lagi-lagi dibuat jatuh terperosok oleh sosok yang sama. Sebab pada akhirnya, meski sudah berusaha menemukan jalan untuk kabur dari segala hal tentang Anindia, Jean tetap saja kalah.

Sebab kalau sudah perkara Anindia, Jean selalu kalah. Dia selalu kalah telak.

-

Alright, let's start over again. Ayo mulai dari awal, let me give you the six months you want.

Pada akhirnya, tak ada yang mampu Jean lakukan selain menerima semua yang Anin minta. Yang bisa Jean berikan hanya sebuah anggukan, sebab menyaksikan Anindia menahan diri agar tangisannya tidak pecah berserakan adalah hal yang ternyata lebih menyakitkan daripada apapun.

Pada akhirnya, Jean menyadari kalau menghindari Anin hanya karena tidak ingin merasakan sakit yang terlalu dalam ketika mereka berpisah adalah bentuk keegoisan yang tanpa sadar dia letakkan di atas kepala. Berusaha menjaga dirinya sendiri agar tak terjerumus dalam lembah penderitaan sedangkan yang dia lakukan selama ini adalah memberi Anindia rasa sakit yang tak berujung, Jeandra yang brengsek dan egois nyatanya bukan hanya sekedar kalimat.

Jadi pada akhirnya, yang dapat Jean lakukan untuk menebus semua luka yang ia goreskan dalam hidup Anin adalah memberi enam bulan yang Anin inginkan. Bersikap layaknya pasangan bahagia dan membiarkan Anin mendapatkan sesuatu yang sudah menjadi haknya, meski hal itu berarti Jean harus bersiap jatuh cinta satu kali lagi dan berakhir mengenaskan karena setelah enam bulan berlalu, Anindia bukan lagi miliknya.

“Mau tidur sekarang?”

Hari ini adalah hari pertama setelah percakapan mereka kemarin. Setelah percakapan yang membuatnya sampai harus memeluk Anin dalam waktu yang lama untuk mencari bantuan agar jantungnya berhenti berdetak terlalu kencang dan membuatnya merasa nyeri di bagian sana.

Kedua orang itu kemudian memutuskan untuk menata ulang hidup mereka. Langkah pertama adalah dengan memindahkan seluruh barang milik Anin ke kamar utama yang Jean tempati. Tidur di ranjang yang sama dan berbagi selimut menjadi hal pertama yang mereka putuskan untuk hari ini.

Anin mengangguk pelan mendengar tawaran Jean, mata bulatnya pun telah menyipit menandakan bahwa kantuk memang sudah menghuni jiwa. Jean yang menyaksikan hal itu terkekeh pelan, dia tahan dirinya agar tidak melandaskan sebuah cubitan gemas di pipi yang sekarang terlihat sedikit lebih berisi milik Anin.

“Sebentar, aku benerin bantalnya dulu.” Jean bergerak membenahi bantal sebelum dirinya benar-benar tidak dapat mengatur diri dan berakhir memberi Anin sebuah cubitan di pipi. Selesai dengan urusannya, Jean kemudian menepuk bagian bantal yang kosong, meminta Anin untuk perlahan berbaring di sebelahnya dan memejamkan mata.

“Susunya udah diminum?” tanya Jean.

Anin mengangguk. “Sebelum masuk kamar tadi udah sekalian minum susu,” jawabnya dengan kedua mata yang semakin menunjukkan tanda akan tertutup rapat. Jean mengangguk paham, kemudian meletakkan satu tangannya di puncak kepala Anin dan bergerak memberikan sebuah elusan halus di sana.

“Tidur aja, nanti aku nyusul abis ngerjain file buat meeting besok.”

Namun Anin yang masih memiliki sedikit kesadaran yang tersisa meraih tangan Jean dan membuat Jean yang sebetulnya hendak bangkit dari tempat tidur seketika berhenti.

“Mau peluk,” ucapnya.

Jean terdiam. Gerakannya total berhenti dan jantungnya kembali menggema gila-gilaan. Otaknya menolak keras, namun gerakan tubuhnya berkhianat dengan langsung ikut berbaring di samping Anin dan membawa tubuh mungil wanita itu ke dalam sebuah pelukan. Satu tangan Jean letakkan di bawah kepala Anin sebagai pengganti bantal, sedangkan tangan lainnya dia gunakan untuk melingkari pinggang Anin dan menjaga tubuh mungil itu agar tetap berada dalam jangkauannya.

“Tidur,” ucap Jean sekali lagi.

Tak ada jawaban dari Anin. Yang saat ini terdengar hanyalah suara napasnya yang mulai teratur dan gema jantung milik Jean yang mampu dia dengar dengan telinganya sendiri. Anin bergerak pelan dan mendekatkan tubuhnya sehingga Jean dan dirinya tak lagi berjarak. Kepalanya bersandar nyaman di dada Jean, seolah mencari perlindungan di sana dalam lelapnya.

Namun ternyata, saat Jean mengira kalau wanita itu sudah benar-benar jatuh tertidur, Anin masih menyempatkan diri mengatakan sebuah kalimat dengan suara samar yang masih dapat Jean tangkap dengan jelas.

“Kemana perginya hangat yang dulu aku rasain tiap meluk kamu ya, Je? This hug feels so cold but the baby wants this.

Nyatanya, Anindia benar-benar menyerah dan Jean tidak bisa melakukan apapun atas itu.

Anindia sama sekali tidak pernah menyangka kalau dalam hidupnya, akan ada waktu dimana dirinya menatap Jean dengan rasa kecewa yang mendominasi kepala. Anin pernah satu kali menempatkan rasa itu di samping nama Jean, tiga tahun lalu ketika hubungan mereka berakhir hanya melalui sambungan telepon.

Jeandra-nya yang brengsek dan bajingan, nama itu seolah tak pernah hilang dari ingatan.

Anin kira, rasa itu tak akan pernah dia temukan lagi berdampingan dengan nama Jean dalam hidupnya. Anin kira kecewa yang dia rasakan pada Jean tiga tahun lalu adalah yang terakhir kalinya. Namun ternyata, mendapati Jean berdiri di hadapannya hari ini ternyata rasanya jauh lebih parah dari yang pernah dia rasakan. Entah kemana debar yang dulu selalu menemani tiap kali matanya menyapa wajah tegas milik Jean. Entah kemana perginya senyum yang selalu tertahan di kedua sudit bibir tiap kali Jean datang ke hadapannya untuk alasan apapun.

Anin sendiri kebingungan mencaritahu kemana rasa yang dulu membuatnya tak pernah bisa melepas pandangan dari wajah Jean itu pergi.

Anin berusaha mencari-cari debar menggila yang dulu selalu mampir menghebohkan jantungnya di setiap kesempatan dimana Jean berada di dekatnya. Debar itu menghilang sejak lama, Anin tidak tahu kapan pastinya. Mungkin sejak Jean setuju untuk bercerai? Atau mungkin sejak Jean menyatakan kalau Karin tengah mengandung?

Entah sejak kapan, tapi yang pasti saat kemarin Jean berlutut di hadapannya dan menenggelamkan wajah di pangkuannya, Anin benar-benar sadar kalau debar itu betul-betul menghilang darinya. Tak ada lagi Anindia yang memalingkan wajah karena takut Jean mendapari pipinya memerah hanya karena lelaki itu menatapnya intens dalam waktu yang lama. Tidak ada lagi Anindia yang memandang Jeandra dengan tatapan berbinar penuh kagum.

Hanya ada Anindia yang mengendapkan rasa kecewa ketika telinganya mendengar derap langkah milik Jean memasuki rumah. Dadanya hampa, kekosongan melanda. Jeandra-nya tak lagi di sana.

Tak sampai satu menit kemudian, Jean berdiri di hadapan Anin, dengan kedua lengan kemeja yang digulung hingga siku dan surai hitam kelamnya yang berantakan. Limgkaran hitam di sekitar mata Jean membuat Anin bertanya-tanya, sudah berapa hari sebetulnya Jean tidak mendapat jadwal tidur yang benar?

Dulu waktu sama Karin, apa kamu pernah nunjukkin wajah berantakan begini, Je?

Dulu waktu sama Karin, apa kamu pernah datang dengan dengan raut muka selelah ini?

Namun nyatanya, yang keluar dari bibir Anin adalah pertanyaan lain yang entah darimana datangnya. “Kamu udah makan siang?”

Jean menghela napas pelan, tangannya kemudian melonggarkan ikatan dasi di lehernya dengan gerakan serampangan. Kakinya dia bawa mendekati Anin yang tengah duduk di sofa ruang tamu dan mengambil posisi berlutut di hadapan Anin. Tangan Jean bertumpu di pangkuan Anin, matanya menatap lurus ke arah Anin dengan satu tangan bergerak merapilan helai rambut Anin yang sedikit keluar dari sanggul yang dia buat.

“Belum, kamu udah makan?” tanya Jean dengan suara serak. Tangannya masih berada di sisi wajah Anin dan senyum terbit di kedua sudut bibir. Anin mengangguk pelan, dia biarkan tangan Jean menyentuh pipi kanannya dengan gerakan hati-hati.

“Mau ngomong apa?”

Anin menggigit bibirnya pelan, sedangkan benaknya berkali-kali meyakinkan diri agar bibirnya tidak ragu mengucapkan kalimat yang sejak tadi dia susun di kepala.

Stop avoiding me, can you?

Senyum tipis di wajah Jean perlahan menghilang. Lelaki itu menarik tangannya dari sisi wajah Anin lalu menunduk dan memperhatikan jemarinya sendiri. Sepersekian detik kemudian, Jean kembali mengangkat kepalanya dan menatap wajah cantik di hadapannya.

I'm not avoiding you,” jawabnya berusaha membantah kalimat yang Anin sampaikan. Namun Anindia memahami Jean lebih dari siapapun, raut wajah penuh sorot ragu dan tatapan yang tak terarah langsung pada matanya itu membuat Anin langsung dapat menarik kesimpulan kalau Jeandra benar-benar berusaha menghindarinya.

Then act like one, Je. Then face me like you're not trying so hard to avoid me.

Jean kehilangan kemampuan mengolah kata. Keberaniannya menciut, menghadapi Anindia yang menatapnya tanpa ragu seperti ini sama sekali bukan keahliannya.

“Kita udah bahas ini kemarin di rumah sakit, Anin. Kalau aku bersikap seolah kita baik-baik aja, aku ngga yakin bisa melepas kamu sepenuhnya setelah enam bulan.” Jean mengingat kembali percakapan mereka kemarin, dimana untuk pertama kalinya dia tunjukkan segala kerapuhan dan kekacauan yang dia miliki di hadapan orang lain selain Ibun.

Kemarin setelah kalimat terakhirnya terudara dari bibir dengan tubuhnya yang berada di posisi berlutut di hadapan Anin, Jean betul-betul melepaskan segala beban berat yang selama ini menumpuk di kedua bahunya. Tangisannya luruh tanpa sisa, sampai tercetak bekas air matanya yang basah di gaun berwarna putih yang Anin gunakan. Anin menyadari hal itu ketika menyaksikan kedua bahu Jean bergetar, dan yang bisa wanita itu lakukan hanyalah meletakkan tangan kanannya di atas kepala Jean dan bergerak mengelus puncak kepala lelaki yang masih berstatus sebagai suaminya itu perlahan.

Di sana, ketika Jean merasakan sebuah beban lebih di kepala yang ternyata merupakan hasil dari elusan pelan yang Anin berikan untuknya, Jean tak lagi dapat menahan isakannya. Lelaki itu menangis keras tanpa jeda. Dadanya sesak bukan main, seolah ribuan belati tajam yang baru di asah dihujamkan ke arahnya tanpa sedikit pun berkompromi.

Do you really think I will survive after I lost you?” Jean bertanya dengan suaranya yang serak.

Jean pernah kehilangan Anin satu kali dan hidupnya dilanda kekacauan. Meski sudah berusaha sekuat tenaga agar otaknya menghapus nama Anindia dari hidupnya, Jeandra mengakui dengan lapang dada kalau Anin tidak pernah meninggalkan kepalanya, bahkan tidak sedetik pun.

Kehilangan Anin untuk kali kedua terdengar amat mengerikan di telinganya, dan Jean tidak yakin kalau dia mampu bertahan hidup setelah Anin melepaskan diri dari pernikahan mereka. Makanya sebelum hal itu terjadi, Jean mencoba belajar hidup tanpa Anin di sisinya sejak awal. Setidaknya jika nanti Anin benar-benar menghilang darinya, Jean tidak harus menanggung sakit sebanyak itu. Setidaknya jika Anin betul-betul meninggalkannya sendirian, Jean sudah mempersiapkan diri dan tak harus jatuh sedalam itu.

Setidaknya jika dirinya memang harus hancur tanpa sisa, Anindia tidak boleh ikut hancur bersamanya. Setidaknya begitu, tapi sepertinya Anin punya rencana yang berbeda.

“Kamu pernah kehilangan aku satu kali dan kamu baik-baik aja, Jeandra. Kehilangan aku untuk yang kedua kalinya ngga akan bikin dunia kamu kiamat. Baik dulu atau pun sekarang itu sama, kamu sama-sama kehilangan aku. Bedanya, kali ini kamu bakal kehilangan aku selama sisa hidup kamu.”

Kalimat itu terdengar seperti sebuah dentuman besar yang memekakkan telinga.

“Kalau memang sesulit itu bersikap kayak dulu buat aku, tolong lakukan hal itu untuk anak kamu. Jangan lakukan apapun buat aku, karena memang dari dulu segala hal yang kamu lakukan itu ngga pernah kamu laksanakan dengan menaruh aku di dalamnya. Kalau kali ini memang sesusah itu berkorban demi aku, cukup berkorban buat anak kamu.”

Kalimat berikutnya terdengar seperti sebuah ledakan luar biasa yang berada tepat di depan mata, ledakan yang mampu menghancurkannya hingga menjadi butiran.

“Kalau yang kamu takutkan itu adalah ngga bisa melepas aku, kamu cukup tanamkan ke diri kamu kalau aku ngga akan pernah bisa jadi punya kamu lagi setelah enam bulan nanti, jadi kamu bisa memaksimalkan waktu semampu kamu. Kalau kamu takut ngga bisa melepas aku dan berakhir bikin aku ikut ke dalam kehancuran, kamu cukup ingat satu hal. Kalau Anindia yang kamu lihat ini udah hancur sampai ngga berbentuk, kalau Anindia yang kamu lihat ini udah terlanjur kamu kacaukan hidupnya sampai dia ngga kenal siapa dirinya yang sekarang, kalau Anindia yang kamu punya saat ini hidupnya udah hancur sehancur-hancurnya dan kamu ngga perlu takut lagi karena ngga ada lagi yang tersisa dari dirinya yang bisa kamu hancurin.”

Jean mencengkram erat ujung kemeja yang dia gunakan. Anindia dan kalimatnya menyerang tanpa ampun sampai dadanya terasa kehilangan akses untuk menemui udara.

I had loved you for long enough, Je. Sampai rasanya aku ngga punya waktu buat mencintai diri sendiri. Kukira waktu yang kukasih untuk mencintai kamu udah cukup untuk bikin aku sadar kalau selama ini, yang selalu punya usaha untuk bikin kita tetap terikat itu cuma aku. Jadi, kukira aku berhak untuk meminta kamu melakukan yang sama walau sebetulnya, enam bulan ngga akan bisa menggantikan lima tahun yang aku kasih buat kamu.”

It's no longer I love you, Jeandra. It's I loved you.

Kalimat itu terdengar seperti terompet hari akhir. Anindia menyerah, Anindia betul-betul menyerah dan Jeandra sama sekali tidak punya kekuatan untuk melawan.

-

“Kenapa masih bangun?”

Suara Papa membuat Anin menoleh, pandangannya langsung mengarah pada presensi lelaki yang memiliki tinggi badan jauh darinya itu dengan senyuman tipis terpatri di wajah. Papa berjalan mendekat, tak lupa menutup pintu di belakangnya dengan pelan karena takut akan membuat Anin merasa tidak nyaman dengan suara decit kecil yang akan ditimbulkan.

“Aku baru bangun. Papa kenapa masih di sini? Bukannya besok masih harus masuk kantor?” tanya Anin. Tangan kiri Anin terangkat, menyambut kehadiran Papa yang langsung membawa tangannya ke dalam sebuah genggaman hangat.

“Papa ambil cuti tiga hari, kalau masuk kantor nanti siapa yang nemenin kamu?” jawab Papa sembari terkekeh pelan. Papa kemudian menarik kursi di sisi ranjang tempat Anin berbaring dan mendudukkan diri di sana. Pandangannya menyapu sosok Anin yang masih terlihat pucat meski Papa tahu, Anin berusaha menyembunyikan hal itu dengan tersenyum dan memaksakan diri untuk berbicara.

“Ada yang sakit, Nak?” tanya Papa.

Anin mengangguk. “Semuanya,” jawabnya.

“Mau cerita?”

Anin kembali mengangguk. Genggamannya di tangan Papa perlahan semakin erat, seiring dengan sesak yang kembali mengerubungi dada dan panas yang kembali menyerbu kelopak mata.

I think I've lost myself.” Anin membuka cerita dengan kalimat pertamanya. Pandangannya menyapu langit-langit ruangan yang berwarna putih bersih, pikirannya melayang jauh entah kemana arahnya.

I lost some parts of me, no, I mean the whole of me. I have been destroyed into pieces. Aku bahkan ngga tau apa aku punya alasan buat bangun lagi, aku ngga tau apa aku masih bisa hidup tenang sampai besok pagi tiap kali ingat kalau ada satu bagian dari diriku yang udah ngga bernapas. Rasanya sakit, kepalaku ngga bisa berhenti ribut, dadaku sakit, bahkan buat bernapas pun rasanya aku ngga bisa.”

Papa diam, telinganya masih terpasang lebar untuk mendengarkan semua yang Anin keluhkan. Genggamannya di tangan Anin masih tertaut, ibu jarinya bergerak mengelus permukaan kulit Anin perlahan, berusaha memastikan kalau puteri semata wayangnya itu dapat mendapat cukup kasih sayang walau dunianya hampir runtuh.

“Aku baru kemarin ngerasa kalau meski ngga punya Jeandra, aku bakal baik-baik aja. Kukira duniaku ngga akan hancur satu kali lagi karena aku punya mereka, kukira aku ngga akan sekacau ini lagi tapi ternyata yang terjadi bahkan jauh lebih kacau dari yang pernah kurasain.”

Napas Anin berantakan, tarikan dan hembusan udaranya terasa memberat dan membuat satu tangannya terangkat untuk merenyam bagian dada kirinya yang terasa semakin sesak. “Aku bukan ibu yang baik, Papa, aku gagal jadi ibu yang baik.”

Papa sontak menggeleng. “Jangan pernah nyalahin diri kamu sendiri karena kehilangan. Manusia ngga bisa mengendalikan takdir, kamu pun begitu. Kamu cuma manusia biasa, kamu ngga bisa mengendalikan semua hal, Nak. Berhenti nyalahin diri sendiri.”

Anin menggigit bibir bawahnya dengan kuat, berusaha sekuat tenaga menahan tangisan yang sebentar lagi pecah. Genggamannya di tangan Papa semakin erat, seolah dia gantungkan hidup dan matinya hanya di sana. Namun nyatanya, tangisan yang Anin larang untuk menganaksungai tidak dapat dia bendung terlalu lama sebab Papa membawanya ke dalam sebuah pelukan. Ditambah, Papa membisikkan kata maaf yang membuat Anin semakin tenggelam dalam sesak yang dia punya.

“Maaf karena jadi anak Papa bikin kamu harus terluka sebanyak ini. Maaf karena jadi anak Papa bikin kamu ngga bisa ngerasain gimana rasanya punya orangtua yang lengkap,” ucap Papa serupa lantunan elegi yang mengantarkan Anin terisak semakin keras.

“Maaf karena ngga memaksa kamu sedikit lebih keras sebelum menikah sama Jeandra, maaf karena Papa gagal melindungi kamu dari kekacauan. Maafin Papa karena dengan jadi anak Papa, kamu jadi harus menanggung sakit sebanyak ini.”

Maka detik itu, Anin tidak lagi dapat menahan diri. Lirihan dan rengekannya terdengar, seperti yang dulu dia lakukan tiap kali menangis, saat usianya masih bisa dihitung dengan jari. Tangisannya bukan lagi berupa lelehan air mata dan isak kecil dari bibir, tangisannya kali ini berupa suara isakan keras layaknya gadis kecil berusia lima tahun yang kehilangan mainan. Tautannya pada permukaan baju Papa terlampau erat, napasnya semakin berantakan.

Tangisannya berbeda dari yang tadi dia adukan pada Jeandra. Di depan Jean, Anin menangisi dirinya yang kehilangan. Tapi di depan Papa, Anin betul-betul mengadukan segalanya. Kehilangannya, rasa sakitnya, kegagalannya, kekacauannya, sampai kebingungan yang dia punya tersampai dalam satu bentuk tangisan dan cengkraman pada baju yang Papa gunakan. Tangisannya kali ini bukan hanya berasal dari seorang wanita yang baru saja kehilangan satu janin dari dalam dirinya, tapi juga dari seorang anak yang mengadu pada sang ayah soal betapa hancurnya dunia yang dia punya, soal betapa berantakannya hidup dan betapa dirinya kehilangan arah.

“Maaf karena kamu harus jadi anak Papa, ya. Maaf karena terlahir jadi anak Papa bikin kamu harus nangis sebanyak ini. Tapi kalau ada kesempatan buat kamu terlahir lagi di kehidupan selanjutnya, tolong tetap jadi anak Papa, ya? I'll do better than I have ever done.

***

Satu jam.

Papa masih berada di sisi Anin sejak pertama kali dirinya masuk ke dalam ruangan. Anin sudah bisa menarik napas dengan normal, dadanya tak lagi sesesak tadi. Menangis sedikit membantunya mengurangi sakit yang bersarang di dada, setidaknya dadanya tak lagi sepenuh barusan. Kehadiran Papa membuatnya menemukan sedikit ketenangan, rasa takutnya tak lagi sebesar sebelumnya.

“Kamu ngobrolin apa sama Jeandra tadi?” Papa kembali membuka suara, jemarinya masih setia mengelus pelan permukaan kulit Anin yang berada di genggamannya.

“Banyak, dan aku yakin Papa ngga pengen tau.”

Papa tersenyum simpul. Kepalanya kembali memutar ingatan soal isi pesan Jeandra padanya satu setengah jam lalu, tepat sebelum Papa melangkahkan kaki masuk ke dalam ruangan.

“Papa ngga pengen tau, tapi sayangnya Papa udah tau.”

Anin memandang Papa bingung, matanya mengerjap beberapa kali.

“Jangan nyakitin diri kamu dalam bentuk apapun lagi, Sayang.”

Suara Papa terdengar pelan, namun Anin dapat mendengar kalimat itu dengan jelas. Dia mengerti maksud Papa dengan baik, namun Anin memilih untuk diam dan mendengarkan.

“Jangan melakukan apapun lagi yang berpotensi bikin kamu sakit lagi. Jangan cutting lagi, jangan kerja terlalu keras lagi, jangan terlalu banyak pikiran lagi, jangan telat makan lagi...dan jangan berurusan sama Jeandra lagi.”

“Papa—”

“Sejauh ini yang Papa lihat, alasan kamu cutting, alasan kamu banyak pikiran sampai telat makan, alasan kamu kerja terlalu keras biar ngga harus pulang terlalu cepat ke rumah dan liat suami kamu sama wanita lain itu cuma Jeandra. Dia sumber rasa sakit kamu, Nak. Jadi Papa mohon untuk menjauh dari apapun yang bisa bikin kamu sakit, terutama Jeandra.”

Anin diam, kontan kehilangan kemampuannya untuk mengolah kata. Dia menarik napas sepelan mungkin sebelum kembali dia buang dengan mata tertutup. Anin memaku tatap pada presensi Papa yang sejujurnya terlihat berantakan. Rambutnya tak serapi biasanya, kemejanya tak terkancing hingga bagian paling atas, lingkaran hitam menghiasi sekitar matanya, serta bibir pucat yang menandakan kalau Papa kemungkinan besar belum sempat memakan apapun sejak pagi.

Do you trust me?” tanya Anin.

I did.

And now you don't trust me anymore, do you?

Papa mengangguk pelan. “Papa pernah menaruh kepercayaan besar ke kamu waktu kamu menikah. Kamu janji bakal selalu bahagia, but you end up being here in this hospital. Papa ngga bisa percaya kamu lagi.”

Anin menggigit bibir, merasa terhenyak saat mendengar bagaimana Papa kehilangan kepercayaan padanya karena janji yang tidak dapat dia pegang. Namun mengingat kalau dia punya satu orang lagi yang harus dia beri janji untuk bahagia, Anin belum mau menyerah.

“Aku mau Jean tetap sama aku selama enam bulan ke depan, setelahnya baru aku ajuin cerai.”

Papa terlihat enggan mendengarkan, namun Anin tidak ingin menyerah. “Papa, anak ini ada karena kami aku pernah percaya kalau jean bisa jadi ayah yang baik buat dia—”

“Dan kenyataannya dia ngga bisa jadi ayah dan suami yang baik.”

I know. Tapi merenggut kesempatan anakku buat punya cerita yang baik soal ayahnya juga bakal bikin aku jadi ibu yang lebih buruk dari ini. Jadi biarin aku ambil kesempatan itu biar nanti aku bisa menikmati satu sore sama anakku, waktu dimana kami duduk dan usia dia udah cukup untuk paham ceritaku soal ayahnya yang siap siaga jagain dia pas dia masih di dalam kandungan. Let me do that with him, biar nantinya aku bisa cerita sama anakku kalau dia selalu disayang sama semua orang termasuk ayahnya.”

Suara Anin terdengar serak di ujung kalimatnya. Hal itu membuat Papa menahan napas, dadanya terasa seperti diremat kuat ketika mendapati kedua tangan Anin sampai bergetar saat kalimat itu tersampaikan.

“Cuma enam bulan, Pa. Tolong percaya sama aku lagi, satu kali ini aja.”

Lalu pada akhirnya, yang bisa Papa lakukan hanyalah mengangguk memberi persetujuan. Pada akhirnya, yang bisa Papa berikan hanya sebuah rasa percaya. Meski tetap terselip keraguan sebesar sebongkah batu, tapi Papa memilih untuk mempercayai Anin sekali lagi. Hanya satu kali ini.

-

“When your body hurts, you will cry. When your heart hurts, you will whine like a puppy in your sleep.” Moon Sang Tae, from It's Okay to Not be Okay

Waktu berumur delapan tahun, Ibun pernah memberi saya seekor anak anjing. Seekor Pomeranian berwarna putih bersih dan berbulu halus. Pluto, saya ingat kalau di hari Ibun memberi si kecil itu sebagai hadiah ulang tahun, saya memberi dia nama itu. Sampai saya berumur sepuluh tahun, Pluto menjadi teman bermain kesayangan saya. Mulai dari bermain lempar-tangkap, berjalan-jalan di sekitar perumahan tempat saya tinggal, menemani saya mengerjakan tugas dari guru, bahkan kadang tidur pun saya lakukan berdua dengan anjing kecil itu. Sayangnya, Pluto meninggal ketika suatu hari ketika saya duduk di kelas lima di Sekolah Dasar.

Ibun bilang, Pluto meninggal karena ingin bertemu ibunya di surga milik Tuhan. Kata Ibun, Pluto merindukan ibunya dan berlibur ke surga untuk mengunjungi sang ibu. Saya percaya hal itu selama bertahun-tahun meski harus berusaha menahan tangis tiap kali mendapati kalau setelah anjing kecil itu tiada, saya bermain seorang diri. Ibun bahkan sampai berkali-kali harus menegur saya yang melamun dengan sebuah bola di tangan, hanya karena saya yang diam-diam berharap kalau saat saya menendang bola itu, suara gonggongan kecil yang biasanya saya anggap berisik akan kembali terdengar.

Saya percaya pada Ibun sampai saya menginjak usia remaja. Di mana waktu itu, saya mulai paham kalau Pluto meninggal karena anjing kecil itu tidak makan apapun selama satu minggu. Tubuh kecilnya yang lemah membuat daya tahannya menurun dan terserang penyakit yang membuatnya meregang nyawa.

Saya masih berumur 10 tahun ketika hal itu terjadi, terlalu belia untuk mengerti hal itu dan Ibun mungkin kebingungan mencari alasan yang tepat untuk dijelaskan kepada saya. Ketika mengetahui yang sebenarnya terjadi, saya mulai bisa mengingat alasan-alasan yang membuat Pluto sakit.

Ada seekor anak anjing lain milik tetangga kami, saya lupa namanya. Anjing berjenis Pomeranian berwarna cokelat gelap, ukuran tubuhnya sedikit lebih besar daripada Pluto. Pluto sering saya ajak bermain dengan anjing itu, mereka teman yang akrab. Saya sebetulnya tidak mengetahui ukuran pertemanan untuk anjing, tapi melihat bagaimana Pluto selalu melompat-lompat girang dan menggonggong antusias setiap saya mengarahkan tali di lehernya ke rumah tempat tetangga di seberang rumah, saya menganggap kalau mereka berteman cukup dekat.

Masalahnya dimulai ketika tetangga saya itu pindah ke tempat lain. Entah untuk alasan apa, yang jelas tetangga yang pindah rumah sama saja dengan kenyataan kalau anjing yang menjadi teman Pluto itu juga harus pindah. Yang artinya, Pluto harus kehilangan teman bermainnya selain saya. Mungkin bagi Pluto, berteman dengan saya terasa berbeda karena saya manusia. Saat itu, saya paham kalau Pluto sakit karena merasa kehilangan.

Pluto tampak tidak punya semangat untuk menjalani hidup. Terdengar berlebihan memang, tapi saya memahami itu dengan baik ketika menginjak usia remaja. Dia menolak makan, sama sekali tidak bergerak tiap saya menunjukkan mainan, dan hanya berada di kandang tempatnya tinggal tanpa melakukan apapun. Jeandra kecil tidak bisa memahami hal itu, tapi Jeandra remaja bisa memahami hal itu dengan benar kalau sebetulnya, Pluto kehilangan sesuatu yang berharga.

Satu malam, ketika tak sengaja melewati kandang Pluto saat hendak mengambil segelas air putih di dapur, saya mendengar suara lirihan kecil dari anjing kecil itu. Entah itu suara napasnya yang terdengar hingga ke telinga, atau memang Pluto benar-benar mengeluarkan lirihan dan rintihan di dalam tidurnya. Saya memperhatikan itu dalam diam, berjaga-jaga karena takut kalau anjing kecil tiba-tiba terbangun dari tidurnya. Diam-diam kala itu, saya takut kalau dalam pandangan mata saya, dada Pluto berhenti bergerak dan napasnya juga ikut berhenti. Tapi segalanya tampak baik-baik saja sampai satu jam kemudian dan saya memutuskan untuk membawa anjing itu ke atas tempat tidur saya.

Itu adalah hari terakhir sebelum di esok hari, Pluto meninggal. Napasnya benar-benar berhenti dan saya tidak ada di sana untuk menyaksikan dadanya berhenti bergerak dan hidung lucu miliknya berhenti mengendus udara. Saya tidak di sana, dan hari itu adalah patah hati pertama yang saya punya.

Saya tengah mendudukkan diri di kursi di samping ranjang rumah sakit tempat Anindia berbaring ketika ingatan soal Pluto muncul di kepala.

Anin tengah berbaring meringkuk layaknya janin di dalam kandungan ketika kaki saya melangkah masuk ke dalam ruangan tempatnya dirawat. Kedua mata bulatnya terpejam, napasnya teratur. Anin tertidur, mungkin kelelahan menunggu saya yang datang terlalu lama karena sibuk menenangkan diri sebelum masuk ke dalam sini. Saya memang butuh waktu setidaknya sepuluh menit sebelum benar-benar memutar gagang pintu dan melangkahkan kaki masuk ke dalam ruangan. Saya berlari saat Aksa datang dan memberitahu soal Anin, tapi nyali saya tiba-tiba ciut tepat di hadapan pintu. Saya takut pada banyak hal, terutama pada kemungkinan akan menemukan tatapan kosong tanpa arti milik Anin, atau tangisan histerisnya yang mungkin akan membuat saya semakin membenci diri sendiri.

Jadi sebelum benar-benar masuk ke dalam, saya menyempatkan diri untuk menarik napas pelan dan mengeringkan air mata yang sialnya masih tak kunjung berhenti. Sampai saya harus mendudukkan diri di lantai dan bersandar di dinding, berupaya sekuat tenaga agar tangisan yang mata saya buat berhenti dan siap menghadapi Anin. Saya butuh setidaknya lima menit untuk dapat mengatur napas dan akhirnya berdiri tegak di depan pintu dengan satu tangan memutar gagang pintu.

Anindia ada di sana, di atas tempat tidur khusus pasien dengan gaun khas rumah sakit berwarna biru muda membalut tubuh kecilnya. Posisi tubuhnya menghadap tepat ke arah pintu masuk, yang membuat saya dapat langsung menangkap wajah sembab milik Anin meskipun kedua matanya tampak terpejam erat. Saya berjalan pelan, berhati-hati agar sepatu yang saya gunakan tidak menimbulkan satu suara pun yang dapat mengganggu tidurnya. Saat pada akhirnya saya berhasil duduk di kursi di samping tempat Anin berbaring, saya hanya dapat memandang wajah kelelahannya tanpa berniat membangunkan si pemilik wajah cantik ini. Yang membuat saya langsung mengingat anak anjing peliharaan saya ketika masuk ke dalam sini adalah suara lirih yang keluar dari bibir Anindia. Lirihan dan rintihan halus yang hampir tidak terdengar, namun saya bisa menangkap suara itu walau sebentar. Dahi sempit Anin mengerut, yang kemudian langsung saya coba kembalikan ke keadaan semua dengan mengelus bagian itu dengan ibu jari saya yang mengelus pelan di sana.

Ada yang pernah bilang, ketika tubuh yang sakit, maka tangisan yang menjadi reaksi. Namun ketika yang terasa sakit adalah hati, lirihan dan rengekan akan keluar tanpa sadar dari bibir saat tidur.

Hari ini, Anin menangis, fisiknya kelelahan dan kesakitan. Menjalani segala prosedur medis karena pendarahan yang dia dapatkan pasti membuat sosok di depan saya ini harus menanggung banyak rasa sakit. Rasanya mungkin memang sesakit itu sampai Anin berteriak dan menangis. Teriakannya sampai terdengar hingga ke luar ruangan, dan saya tidak bersumpah kala mendengar itu, saya betul-betul berharap kalau kesakitan dan semua emosi itu adalah milik saya dan bukannya Anindia. Tapi lebih dari itu, lirihan halus dan kerutan samar di dahi sempitnya membuat saya merasa kalau sesuatu di dalam dada saya diremas lebih kencang.

Sebab artinya, selain tubuhnya yang sakit, hatinya mungkin merasa jauh lebih sakit. Anindia mungkin jauh lebih menderita di dalam sana, lirihan dan rengekannya di dalam lelap membuat saya mengingat bagaimana anjing kecil milik saya dulu mengeluarkan suara yang sama tepat setelah kehilangan teman bermainnya.

Anindia juga tengah kehilangan. Satu janin di dalam sana tidak dapat bertahan hidup dan fakta itu pasti membuatnya hancur dari luar dan dalam. Sama seperti yang Pluto alami dulu, Anindia kehilangan sesuatu yang berharga dari dirinya. Bedanya, kehilangan yang Pluto alami dulu tidak membuat saya menyalahkan siapapun. Tapi kali ini, kehilangan yang Anindia rasakan membuat saya menyalahkan diri sendiri meskipun Aksara sudah menjelaskan kalau penyebab keguguran itu adalah adanya kelainan kromosom.

Jika saja saya begini, atau jika saja saya begitu. Banyak kata “jika” yang saya sadari sama sekali tidak berarti sebab Anindia sudah terlanjur kehilangan dan yang bisa saya lakukan saat ini hanyalah menyalahkan diri sendiri. Yang bisa saya lakukan hanyalah duduk di samping Anindia dan menahan diri sekuat tenaga agar tidak kembali lemah. Saya berusaha keras agar pikiran soal bagaimana kacaunya hati Anin tidak membuat saya tumbang saat ini. Sebab saya tidak boleh menangis di saat seperti ini, tidak lagi. Tidak di saat yang paling menderita saat ini adalah Anin, saya tidak boleh menangis karena yang paling berhak menangis dan merasa sakit di saat seperti ini adalah Anindia.

You’ve suffered too much,” ucap saya sambil mengarahkan satu tangan ke helai rambut hitam milik Anin dan mengelus bagian itu dengan hati-hati. Saya menggerakkan tangan naik dan turun teramat pelan, saya terlalu takut kalau gerakan sekecil apapun dapat membuat sosok di depan saya itu rapuh menjadi kepingan debu.

Namun ternyata, gerakan yang saya lakukan membuat tidur Anin terganggu. Kedua mata bulat yang biasanya selalu memandang saya dengan teduh itu perlahan terbuka, menampakkan iris cokelat gelap yang sejak dulu selalu saya puja sampai lupa dunia. Bagian bawah mata Anin terlihat menggelap, entah berapa hari si cantik ini tidak tidur dengan benar. Pipi yang biasanya berwarna merah muda bak kelopak mawar itu terlihat pucat, entah kemana perginya rona cantik itu sekarang. Yang jelas, tiap kali mata saya menangkap tanda kelelahan di wajah Anin, sesuatu di dalam dada kiri saya terasa ditikam oleh sebuah belati, membuat saya kembali kehilangan kemampuan untuk bernapas dengan benar.

I’m sorry.” Kalimat itu spontan keluar dari bibir saya ketika mata kami bertemu. Anin mengerjap pelan, mungkin masih bingung dengan kehadiran saya di hadapannya saat ini. Namun ketika menemukan kesadarannya, kedua netra bulat itu langsung terlihat berkaca-kaca. Bibir pucat miliknya bergetar pelan, seiring dengan satu bulir air mata perlahan menuruni pipi dan membuat hati saya semakin terasa sakit.

We lost the baby,” ucap Anin dengan suara yang terdengar serak.

Detik itu, saya hancur. Hancur sehancur-hancurnya sampai tak bersisa, sampai air mata yang saya tahan sejak masuk kemari merebak seketika tanpa bisa saya hentikan. Mata saya panas, perih dan bulir bening mulai berjatuhan tanpa batas di pipi.

Saya menangis, saya sudah tidak lagi sanggup menahan isak dengan menggigit bibir sendiri. Anindia yang memandang saya dengan mata bulatnya yang terlihat lelah membuat saya runtuh. Saya luruh, bersamaan dengan isak lain yang saya dengar yang datangnya dari bibir Anin. Mata cokelat yang biasanya berbinar menghadapi dunia itu kini memaku tatap pada saya, seolah mengadu tentang betapa sakitnya kehilangan, tentang betapa hancur si pemilik mata cantik itu karena yang sudah saya lakukan.

Jangan nangis, Sayang. Jangan nangis.” Kalimat itulah yang sebetulnya ingin saya ucapkan lewat lidah. Namun yang berhasil keluar hanyalah kata maaf dengan suara saya yang tercekat. Seakan ada sebuah batu besar yang menghalangi pita suara saya untuk mengudarakan kalimat, seakan yang bisa saya ucapkan hanyalah kata maaf dan kata lain tidaklah pantas saya beri untuk Anindia.

We lost the baby, Je. I couldn’t keep one of them alive.

Saya sontak menggeleng kuat. Bukan, Anin. Bukan kamu yang gagal, tapi saya yang kurang pandai menggunakan akal. Bukan kamu yang kalah, tapi saya yang salah.

Begitu banyak yang ingin saya sampaikan untuk Anindia, namun yang berhasil lolos dari bibir saya hanyalah isakan. Saya tenggelam dalam luka yang Anindia punya dan kalau ada satu kali kesempatan untuk bertukar tempat, saya rela.

Saya bangkit dari kursi yang saya duduki sejak tadi, kemudian bergerak merangkum tubuh mungil Anin ke dalam sebuah pelukan. Satu tangan saya berada pinggang ramping Anin, sedangkan satu lagi saya gunakan untuk mengelus rambutnya yang saat ini diikat ke dalam sebuah sanggul sederhana. Saya dekatkan tubuh saya ke arah Anin, membuat jarak kami hanya berupa dua jari yang terpisah. Saya raih Anindia dengan hati-hati, yang kemudian disambut oleh tangisan yang lebih keras dari sosok di dekapan saya ini. Saya lalu kembali bangkit, tak lama kemudian langsung meraih tubuh mungil itu untuk saya genggam dengan hati-hati.

Perlahan, saya membantu Anin untuk bangkit dari baringnya dan dengan gerakan pelan, tubuh Anin sudah berada dalam posisi duduk. Saya lalu naik ke atas ranjang rumah sakit dan menempatkan tubuh saya di satu ranjang dengan Anindia, sebelum kemudian membawa Anin ke dalam pangkuan paha saya yang kosong. Setelah memastikan kalau tubuh mungil itu berada dalam posisi yang aman dan tidak akan membuatnya kesakitan, saya kembali merangkum Anin ke dalam pelukan erat. Kedua tangan yang melingkar di pinggang dan wajah yang saya kubur di ceruk leher hangatnya, saya bersumpah kalau saya merindukan wanita ini sebanyak saya menyesal telah menyakitinya.

Memeluk Anin dalam keadaan ini membuat tubuh saya bergetar, terutama ketika tangisan Anin semakin vokal terdengar dan saya dapat merasakan tautan jari-jemarinya semakin erat mencengkram baju yang saya pakai. Seolah kehidupan yang dia punya hanya bergantung pada saya, seolah jika melepas saya sebentar saja dapat membuatnya hancur tanpa sisa.

“Maaf, Sayang….” Suara serak saya kembali terdengar. Dengan itu, tangisan Anin semakin kencang dan cengkramannya di baju saya semakin erat. Tangisan dan erangannya membuat saya merasa seperti dihantam sekeras mungkin, rasa sakitnya lebih dari yang saya dapatkan dari pukulan yang diberikan mertua saya satu jam yang lalu, lebih parah dan berhasil membuat saya semakin kehilangan arah.

“Bayiku, Je. Bayiku hilang, bayiku udah gak ada….”

Telak.

Saya runtuh sepenuhnya.

Saya menangis semakin keras, beriringan dengan suara Anin yang bergetar hebat sampai napasnya tersendat dan mulai sedikit batuk karena udara di tenggorokannya sendiri tidak mendapat sirkulasi yang benar. Saya bergerak mengelus pelan punggung sempit di dekapan saya ini dengan tangan yang tak kalah bergetar. Saya mengangguk pelan, berusaha menyampaikan pada Anin kalau saya juga merasa kehilangan.

“Maaf…,” ucap saya untuk yang ke sekian kalinya.

Yang bisa saya lakukan saat ini hanya memastikan kalau kedua tangan saya cukup untuk melingkupi Anindia dalam pelukan, berharap kalau saya dapat membantunya mengurangi rasa sakit yang dia punya meski hanya secuil. Tangan kanan saya terangkat, kemudian saya gunakan untuk merapikan sisa helai rambut Anin yang tertinggal dari ikatan. Tangan lainnya saya gunakan untuk tetap mengelus punggung rapuh sosok ini dengan gerakan naik dan turun perlahan, saya biarkan bagian depan kemeja yang saya pakai basah karena air mata yang Anin tumpahkan.

I just thought that I would be fine without your presence, kupikir aku bakal baik-baik aja walaupun kamu ngga ada di hidupku karena aku punya mereka. Aku barudua hari lalu periksa ke dokter dan dia bilang kalau bayiku bukan cuma satu tapi aku punya dua. Aku baru dua hari lalu beli baby cribs buat mereka buat kutaruh di kamarku, aku baru dua hari lalu bikin rencana kalau aku bakal panggil mereka Baby A sama Baby B karena aku masih ngga tau jenis kelamin mereka. Aku baru kemarin beli alat rajut karena pengen bikin baju buat mereka. But I lost one of them, Je….

It’s not your fault.” Saya sepenuhnya yakin kalau suara saya tidak dapat terdengar oleh Anin wajah saya yang masih terkubur di ceruk lehernya, namun ternyata Anin masih dapat mendengar saya dengan baik. Anin menggeleng berulang-ulang.

“Dia ngga akan kemana-mana kalau aku sedikit lebih kuat, dia ngga akan hilang kalau aku bisa jadi ibu yang lebih hebat.” Anindia kembali menyalahkan diri sendiri. Kali ini giliran saya yang menggeleng keras, sebab yang baru saja Anin ucapkan sama sekali tidak dapat dibenarkan ketika faktanya, sayalah yang menjadi alasan utama dirinya menangis sekeras ini.

Tapi yang dapat saya lakukan hanya menggeleng. Kalimat yang saya susun sedemikian rupa di dalam kepala sama sekali tidak dapat terudara menjadi kata yang nyata. Suara saya tercekat, semua yang ingin saya sampaikan hanya bisa berakhir menjadi kalimat dalam angan. Padahal ada banyak yang ingin saya ucapkan. Padahal ada banyak yang ingin saya katakan pada Anindia, terutama soal saya yang berlapang dada jika Anin ingin melimpahkan semua kesalahan pada saya. Soal saya yang ikut hancur melihat Anindia yang hancur. Soal saya yang ingin dia tahu kalau sepanjang hidup yang saya jalani, melihatnya berada dalam keterpurukan seperti ini adalah patah hati terbesar bagi saya. Bukan yang pertama, sebab yang pertama sudah lama terjadi ketika anjing kecil saya dikubur beberapa kaki di bawah tanah.

Ini bukan patah hati pertama saya, tapi rasa sakit dan sesaknya jauh lebih parah.

Dan Anindia akan selalu jadi satu-satunya yang mampu membuat saya sepatah ini, sehancur ini, dan sekacau ini. Hanya dengan melihat mata sembab dan air mata yang tidak berhenti menuruni pipinya yang pucat, hanya dengan mendengar suara serak penuh isak miliknya yang mengadu soal luka yang dia punya. Anindia adalah satu-satunya, baik dulu maupun sekarang, Anindia adalah satu-satunya.

Kemudian yang terjadi setelahnya adalah Anin yang terdiam di pangkuan saya. Setelah hampir 10 menit menangis, saya pada akhirnya tidak lagi dapat mendengar suara apapun dari dirinya yang tengah saya dekap. Saya menunduk dan menemukan wajahnya yang berada tepat di dada saya. Satu tangan bergerak merapikan helai surainya yang sedikit berantakan dan lepek karena keringat dan air mata, satu tangan lain saya gunakan untuk menahan pinggang Anin agar tetap berada di pangkuan.

“Mau tidur lagi?” tanya saya saat mendapati napas pelan milik Anin yang tersisa setelah tangisnya usai. Anin menggeleng, tenaganya mungkin sudah terkuras habis akibat menangis dan hanya mampu menggerakkan kepala.

Saya hendak bergerak perlahan untuk membaringkan tubuh mungil itu, berusaha berhati-hati agar tidak membuat gerakan yang dapat menyakiti Anin sebelum turun dari tempat tidur. “Aku bakal minta tolong Ibun buat jagain kamu, tunggu sebentar.”

Stay.

Tapi gerakan saya tertahan kala Anin meraih tangan saya dan meminta saya untuk tidak melangkah pergi. Saya pada akhirnya hanya mengangguk dan kembali mendudukkan diri di sisi Anin, walau sebetulnya di dalam hati, ada secuil dari bagian diri saya yang meminta untuk sedikit lebih tahu diri dan membawa kaki saya pergi dari hadapan Anin. Namun sebagian lainnya meminta untuk tetap di sini dan mengikuti apa yang barusan Anindia pinta. Hingga kemudian, yang menjadi pemenang adalah diri saya yang tetap duduk diam dengan Anindia di sisi, dan isi kepala yang tidak berhenti ribut memikirkan banyak hal.

“Ada yang sakit?” tanya saya di sela keheningan.

“Semuanya,” jawab Anin. Saya diam, sebelum kemudian Anin kembali bersuara dan jawabannya membuat napas saya lagi-lagi tercekat.

“Kepalaku, tanganku, kakiku, semuanya sakit. Dadaku rasanya kayak mau meledak, kayak ada yang nusuk bagian itu dan ngga biarin aku napas dengan benar. Kayak ada lubang besar di diriku yang aku gak tau itu apa, kayak ada sesuatu yang diambil dari aku yang aku sendiri gak pernah tau itu apa dan gimana bentuknya. Badanku sakit dan kepalaku berisik.”

Saya menunduk, total kehilangan keberanian untuk menatap mata bulat milik Anin. Saya merasa seperti seluruh dunia tengah memandang ke arah saya dengan tatapan marah karena sudah menjadi alasan bagi semua sakit yang Anin bilang barusan. Seolah ada yang dengan sengaja menghantamkan sebuah batu sebesar gunung ke arah saya untuk membalas semua yang saya lakukan untuk wanita di depan saya ini. Saya sampai harus merenyam ujung kemeja yang saya gunakan, berharap kalau sesak yang menikam dada dapat berkurang dan saya dapat menatap Anin dengan benar. Dengan kepala yang masih tertunduk dalam dan tangan yang mencengkram baju erat, saya menahan diri agar tidak kembali lemah.

Can you do me a favor?

Saya mengangkat kepala dan menatap Anin, menunggu kalimatnya terselesaikan walau dengan tangan yang masih merenyam ujung pakaian. Anin menarik napas sejenak, lalu mengambil satu tangan saya dan membawa saya menyentuh bagian perutnya yang mulai menunjukkan perbedaan ukuran dengan yang dulu pernah saya lihat. Detik itu, saya menahan napas. Jari jemari saya bergetar, namun Anin tanpa ragu tetap membawa tangan saya menyentuh perutnya, membiarkan saya merasakan kehadiran sosok mungil di dalam sana meski yang dapat saya lihat hanyalah kain dari pakaian rumah sakit yang Anin gunakan membatasi pandangan.

“Jadi punyaku lagi,” ucap Anin.

Saya mengerjap beberapa kali, belum bisa menangkap maksud kalimat yang barusan saya dengar langsung dari bibir pucat Anindia. Saya menatap Anin bingung, sebelum kembali menatap bagaimana jemari saya perlahan bergerak dengan mandiri membentuk sebuah elusan pelan di bagian perut Anin.

What do you mean?

“Selama kita nikah, kamu ngga pernah sepenuhnya jadi punyaku. Aku mau kamu jadi punyaku lagi kayak dulu, kayak tiga tahun yang lalu. Can you be mine at least for once?

Anin melanjutkan, “Jadi punyaku lagi, jadi ayah buat anakku. Aku mungkin udah hancur sampai ngga berbentuk, Je. Tapi anakku ngga boleh punya pengalaman yang sama. Aku mungkin udah ngga bisa diperbaiki, tapi anakku masih punya kesempatan buat punya kehidupan yang lebih baik dari ibunya. Can you do that?

Jantung saya sontak bergema gila-gilaan di dalam sana. Permintaan Anin membuat saya seolah menemukan sebuah permata di tengah hamparan kotoran, seolah menemukan air di tengah kekeringan. Saya tidak akan berbohong, mendengar Anin memberi saya satu kali lagi kesempatan untuk tetap berada di sampingnya membuat saya menaruh sebuah harapan yang amat tinggi. Namun di tengah euforia harapan dan gema jantung yang menggebu, saya kembali dibayangi ketakutan.

Saya takut akan menghancurkan Anin lebih dari yang sudah saya lakukan. Saya takut kalau apapun yang nantinya saya berikan, luka yang Anin punya nyatanya tidak dapat pulih dan yang saya lakukan hanyalah menambah luka baru. Saya ketakutan, teramat takut kalau bukannya mengembalikan kebahagiaan yang sudah saya renggut, tapi yang akan terjadi malah Anindia yang semakin kacau karena saya. Saya ketakutan, tapi genggaman tangan Anin di tangan saya membuat kesadaran saya kembali terkumpul. Akal saya yang awalnya berserakan langsung terhimpun menjadi satu ketika saya rasakan elusan pelan dari ibu jari Anin di permukaan kulit.

Saya arahkan pandangan pada wajah cantik yang selama bertahun-tahun tidak pernah meninggalkan ingatan di depan saya. Kedua mata sembab itu memandang saya dengan tatapan memohon, seolah yang akan dia katakan selanjutnya adalah permintaan terakhir yang dia punya dan saya benci itu. Saya benci melihat gurat terluka di mata Anin, saya benci melihat pandangan penuh permohonan itu sebab rasanya seperti hari ini adalah hari terakhir saya dapat memandang mata itu.

“Tinggal, Jeandra. Aku mau kamu tetap tinggal,” ucap Anin lagi.

Kali ini, saya punya cukup keberanian untuk membalas tatapan yang Anin berikan. “Kata tinggal bisa berarti dua hal, Anin. Menetap atau pergi meninggalkan. Tinggal might be stay and it might be leave, which one do you want me to do?

The first one.

Napas saya tertahan. Anindia benar-benar memberi saya harapan dan saya masih ketakutan. Sebab nada bicara yang Anin gunakan tidak terdengar seperti sedang menyampaikan kabar beraroma suka. Sebab ekspresi yang Anin tunjukkan sama sekali tidak menggambarkan kegembiraan.

“Aku mau kamu tetap tinggal, ayo mulai dari awal dan jadi punyaku lagi. Kamu benar, kata tinggal bisa berarti dua hal; menetap atau meninggalkan. Aku mau kamu tetap tinggal dalam arti yang pertama, tetap sama aku dan jadi Jeandra yang aku kenal lagi.”

Entah apa alasannya, kalimat itu membuat saya semakin ketakutan.

“Setelah enam bulan nanti waktu dia lahir, silakan gunain kata itu untuk definisi yang kedua. Setelah aku bisa mastiin kalau aku bakal punya cukup cerita untuk dibagi ke anakku soal ayahnya, silakan tinggalin aku lagi kayak yang kamu pernah lakuin.”

Ternyata, saya bukannya takut akan kembali membuat Anindia hancur. Ketakutan saya bukan bersumber dari rasa khawatir bahwa Anin akan merasakan sakit yang jauh lebih besar jika kami mencoba dari awal. Yang ternyata saya takutkan adalah fakta kalau setelah kembali hidup dengan Anindia dan diberi kesempatan untuk mencintai wanita itu dengan benar sekali lagi, saya harus kembali kehilangan dia. Saya takut kehilangan Anin lagi setelah berhasil memperbaiki yang sudah saya buat hancur. Yang saya takutkan sejak tadi adalah fakta kalau harapan yang Anindia berikan adalah sebuah hukuman yang berselimutkan anugerah.

Hari ini, Anin benar-benar memberikan saya kesempatan sekaligus hukuman.

-

Bertahun-tahun lalu ketika beliau kehilangan seseorang yang tidak dia sadari hadir di dalam tubuhnya, Ibun yakin kalau hari itu adalah hari yang bisa dia kenang sebagai kiamat dalam sejarah hidupnya sendiri. Kiamat bagi Ibun tidak jatuh di hari dia menemukan suaminya ternyata menjalin ikatan dengan wanita lain. Tidak, Ibun masih bisa bernapas di hari itu. Dia masih bisa bersyukur karena meskipun menyakitkan, dia akhirnya tahu kalau lelaki yang selama ini dia anggap segalanya adalah yang paling banyak memberi luka.

Kiamat bagi Ibun adalah hari itu, dimana dia mendengar sendiri kalimat dari dokter soal sosok mungil di dalam dirinya sudah tiada. Itu adalah kiamat bagi Ibun, hari itu terasa seperti kehancuran baginya. Kejadian itu terjadi jauh sebelum mereka memutuskan untuk bercerai. Mungkin melewati hari itu membuat Ibun tidak merasa terlalu terpuruk di waktu perceraiannya. Mungkin otak Ibun sudah menghafal rasa sakit yang dia dapatkan dulu, makanya sewaktu sidang perceraian, tidak ada air mata yang tumpah karena sudah terbiasa.

Ibun hanya diam mendengar keputusan hakim. Tidak ada yang wanita itu lakukan selain berkali-kali menarik napas lelah dan pada akhirnya memutuskan untuk pulang. Berbeda dengan sewaktu dulu dia mendengar kalau janinnya gugur. Reaksi pertama yang Ibun perlihatkan hari itu adalah mengerjap bingung sebelum mulai terisak dan berteriak pilu.

Ibun ingat dengan jelas ketika Jean langsung berlari ke dalam ruangan dan menariknya ke dalam sebuah rengkuhan. Jean melingkarkan kedua tangan ke tubuhnya, tanpa kata apapun yang terudara sebab Jean sendiri tidak sanggup mengatakan apapun lagi. Jean hanya mengeratkan pelukannya seiring tangisan Ibun yang semakin keras. Wanita itu ingat dengan jelas bagaimana Jean menjaga tubuhnya yang bergetar dengan kedua tangan, tanpa kata apapun yang terudara sebab Jean sendiri tidak sanggup mengatakan apapun lagi. Jean hanya mengeratkan pelukannya seiring tangisan Ibun yang semakin keras.

Yang terjadi hari ini adalah sebaliknya.

Ibun menarik Jean ke dalam pelukannya. Hari ini, bukan Ibun yang menerima elusan halus di punggung, melainkan Jeandra. Laksamana Jeandra Galuhpati-nya yang sejak dulu selalu siap menawarkan pelukan untuk Ibun di setiap fase terendah kehidupan yang beliau jalani, hari ini untuk pertama kalinya sosok itu menjadi pihak yang menerima pelukan.

Jean menenggelamkan kepalanya di dada Ibun, mengadu di sana kalau hidupnya tidak baik-baik saja, berusaha menyampaikan pada Ibun kalau dirinya ternyata tidak sekuat yang dia kira. Isaknya semakin keras kala Ibun berkali-kali mengucap maaf tepat di depan telinganya. Suara lembut Ibun terdengar parau, wanita itu terdengar sama putus asanya dengan Jean, dan hal itu membuat rasa sakit yang dia tanggung terasa lebih parah, lebih tajam, dan lebih sulit untuk dihilangkan.

Kepala Jean terasa pening luar biasa, tapi tangisannya belum menunjukkan tanda akan berhenti. Kedua tangan dan kaki Jean bergetar, Jean bahkan tidak sanggup membentuk satu tangannya menjadi sebuah kepalan. Yang dia lakukan hanyalah menautkan jari jemarinya ke baju yang Ibun pakai, bergantung di sana seolah seluruh hidupnya bersumber dari sana. Kepalanya berulang kali memutar ingatan soal teriakan Anin yang dia dengar di dalam sana, membuat dadanya semakin sesak sampai rasanya Jean bisa meledak dan hancur berkeping-keping.

Di tengah tangisannya yang menggaung di seluruh balkon, suara lain menginterupsi. Suara langkah kaki mendekat ke arah mereka dan membuat Jean mengangkat kepalanya. Matanya menangkap sosok lelaki berjas putih dengan kedua tangan berada di dalam saku jas yang memeluk tubuhnya.

Itu Aksara.

Lelaki itu berdiri di pintu masuk yang menghubungkan antara ruangan bagian dalam dengan balkon, mengarahkan pandangan seolah dua orang di depannya tidak tengah saling menggenggam tangan masing-masing dengan tangis yang tersendat, seolah yang terjadi di depannya bukanlah hal yang mengusik pandangan dan Aksa hanya bertugas menyampaikan satu kalimat.

“Anin mau ketemu lo,” kata Aksa, yang tentu dia tujukan pada Jean.

Jean sontak menghapus air mata yang mengalir di pipinya menggunakan punggung tangan dengan kasar, kemudian bangkit dan berlari keluar tanpa sempat berpikir lebih panjang. Meninggalkan Aksa dan Ibun yang mematung di tempat masing-masing.

Aksa maju, mendekat ke arah Ibun lalu berlutut di depan wanita itu. Tangannya terulur ke depan, meminta Ibun untuk menyambut dan mengajaknya berdiri dari lantai dingin yang menjadi tempatnya terduduk sendiri.

A queen should never sit on the floor, Ma'am.” Aksa masih menunggu uluran tangannya disambut oleh wanita di depannya. Merasa kalau Ibun masih menatapnya dengan bingung, Aksa berinisiatif untuk menggenggam tangan Ibun lebih dulu dan membantunya bangkit dengan teramat berhati-hati.

Have you got your lunch?” tanya Aksa.

Dia tidak buta. Aksa bisa melihat dengan jelas kalau mata Ibun masih memerah dan berair, Ibun bahkan terlihat siap meluncurkan air matanya lagi. Tapi daripada membahas alasan di balik tangisan itu, Aksa lebih memilih untuk membahas hal lain. Dari banyak hal yang paling Aksa benci, dia paling tidak bisa melihat tangis terpatri di wajah seorang ibu.

Ibun menggeleng pelan, membuat Aksa tersenyum simpul. “Let's grab some food for you, then.” Aksa tersenyum simpul sebelum membawa tangan Ibun ke dalam genggaman yang lebih erat dan menuntun Ibun untuk pergi ke depan toilet yang letaknya di ujung lorong. Ibun menatap Aksa kebingungan, namun Aksa langsung mengatakan tujuannya membawa wanita itu ke sana.

In case, Tante mau cuci muka dulu. Abis ini baru kita ke bawah buat makan,” katanya sebelum melepaskan genggamannya dari tangan Ibun dan membiarkan wanita itu masuk ke dalam. Aksa menunggu dalam diam meski sejujurnya, kepalanya amat berisik dan memaksanya memikirkan banyak hal.

Air mata tak lagi bersisa di pipi tirusnya, Aksa sudah menghapus tangisannya bermenit-menit lalu dan berusaha menormalkan ritme napasnya agar bisa kembali beraktivitas dengan benar. Jadi, yang terlihat di wajahnya saat ini hanyalah raut tenang seperti yang biasa dia tampilkan. Seolah tak pernah ada Aksara yang tertunduk sambil mencengkram kedua lututnya sendiri dengan erat agar tubuhnya tidak tumbang dan menubruk lantai. Seolah tak pernah ada Aksara yang menggigit bibirnya terlampau kuat agar suara tangisannya tidak terdengar oleh orang lain bermenit-menit yang lalu. Seolah yang ada hanyalah Aksara yang minim ekspresi seperti yang selalu dia tampilkan di depan banyak orang.

Sampai dua menit kemudian, Ibun sudah berdiri di hadapannya dengan keadaan yang sedikit lebih baik. Matanya terlihat bengkak, namun Ibun berhasil membuat tangisannya berhenti. Aksa bersyukur melihat hal itu. Kedua sudut bibirnya terangkat tipis, lalu tangannya kembali terangkat untuk menawarkan gandengan pada Ibun.

Alright, let's grab our lunch.

Sebab meski benaknya tengah kalut dan ribut perkara Anindia, Aksa sadar kalau dirinya harus bisa berdiri tegap seakan tanpa gangguan. Meski dadanya terasa sesak bukan main tiap kali mengingat bagaimana Anindia tengah hancur di dalam ruangan, Aksa tahu kalau dirinya tidak punya hak apapun untuk jadi sosok yang terang-terangan ikut menangis bersama wanita itu. Sebab meski dia juga ikut lebur bersama luka yang Anin punya, Aksa tahu kalau dia bukan Jeandra yang bisa terang-terangan ikut merasa terluka. Dia hanya orang lain, orang yang kebetulan mengenal Anin melalui kebetulan semata.

Maka, yang dia bisa lakukan untuk Anindia hanyalah mencoba menangani kekacauan yang ada. Menenangkan Papa yang tak bisa berhenti menyalahkan diri sendiri, mengajak Ibun keluar dan makan, berkomunikasi dengan para dokter yang menangani Anin dan memastikan kalau Anindia berada di tangan yang tepat, dan membiarkan Jean mengambil porsinya sebagai seorang suami yang walaupun sudah terlambat, Aksa sadar kalau Jean punya hak akan hal itu secara mutlak.

Sebab dia paham kalau di saat seperti ini, kehadirannya tidak akan berarti apa-apa. Sebab Aksa mengerti dengan jelas kalau dirinya hanya Aksara, bukannya Jeandra.

-