TW // Mention of death , Mention of blood
“Biarin aku kabur dari kamu dengan cara apapun and I promise you my way of leaving you won't be dying. I'll go in the most peaceful way that I can, and all you have to do is just...let me find the way.”
Satu bulan.
Sudah satu bulan berlalu dan kalimat itu sama sekali tidak pernah meninggalkan kepala Jean bahkan hanya untuk satu detik saja. Sel-sel otaknya memutar paksa kalimat itu layaknya gulungan kaset rusak, berkali-kali sampai tak terhitung jumlahnya. Hanya sebaris kalimat, tapi dampaknya sukses membuat Jean gagal menemui kantuk hingga waktu tidurnya luar biasa berantakan.
Jean ingat ketika pada akhirnya setelah kalimat itu dia dengar, dia meminta Anin untuk tidur lebih dulu dengan alasan kalau ada dokumen penting yang harus dia periksa. Untungnya, Anin setuju dan tanpa bantahan wanita itu langsung kembali memperbaiki posisi tubuhnya dan terlelap dalam mimpi. Suatu kebohongan tentu saja. Sebab satu hari sebelumnya, Jean sudah berusaha mati-matian agar semua urusan kantor sudah selesai agar dirinya bisa fokus pada Anindia di hari sabtu seperti hari itu.
Jean setidaknya bisa bernapas lega, sebab untuk sementara Anin tidak akan melihatnya melamun menatap layar komputer yang menyala terang namun dengan pikiran yang melayang jauh entah kemana arahnya.
Setiap tarikan napas yang melewati paru-parunya terasa menyesakkan, terutama ketika kepalanya kembali memutar bagaimana Anin menatapnya dengan tatapan teramat lembut. Kelembutannya berbanding terbalik dengan kalimat yang dia sampaikan soal meninggalkan Jean sendirian nanti di masa depan.
Hidup tanpa Anindia terdengar mengerikan, jauh lebih mengerikan dibanding kabar buruk apapun yang pernah Jean dengar. Membayangkan dirinya terbangun di pagi hari dengan ranjang kosong tanpa Anindia membuat sesuatu di dada Jean terasa sesak bukan main. Seperti ada yang berusaha menghantam bagian itu sekuat tenaga dengan batu tak kasat mata, terlalu menyesakkan.
Sebab kalau bisa, harus selalu ada Anindia.
Sebab kalau semuanya terserah Jean, maka yang dia mau hanya Anindia.
“What's the matter?“
Suara milik Aksara mendistraksi Jean dari lamunan. Kepalanya menoleh ke arah darimana suara lelaki itu berasal, kemudian dia temukan sosok Aksa yang telah menanggalkan jas putih miliknya dan kini tengah menggulung lengan kemejanya hingga ke siku.
Jean memandang meja kosong di depannya sambil menimbang dalam diam. Menilai apakah langkahnya datang ke tempat ini untuk menemui Aksara dan menginisiasi percakapan merupakan keputusan yang benar. Di seberangnya, Aksa sudah mengambil posisi duduk mantap dengan pandangan yang sepenuhnya mengarah pada Jean.
“You okay?” tanya Aksa sekali lagi, kali ini dengan kerutan yang kentara muncul di dahi sempitnya. Jean mengangkat pandangan, dia balas tatapan Aksara sambil meyakinkan diri sendiri untuk kesekian kalinya.
“Do you love her?” Jean memulai kalimatnya dengan kedua tangan saling menggenggam erat. Pertanyaan itu terlontar setelah Jean berhasil meyakinkan dirinya berkali-kali, jadi lelaki itu yakin kalau pertanyaannya bukanlah hal yang salah meski jelas, kerutan di dahi Aksa semakin terlihat setelah mendengar kalimat pertama yang Jean lontarkan itu.
“Okay, wow, easy. Let's have a nice conversation with a proper introduction. First of all, are you okay? Lo kelihatan kayak orang yang ngga tidur selama satu minggu. Second of all, maksudnya?”
Oh, tentu. Aksara tentu bingung dengan kalimat acaknya. Tapi sebetulnya jauh di dalam hari, Jean yakin kalau Aksa tidak sebingung itu. Mungkin sedikit, tapi tidak sebesar itu karena konteks kalimat yang Jean sampaikan hanya mengarah pada satu orang. Jean yakin Aksa dapat langsung memahaminya tanpa perlu berpikir keras.
“Gue memang kurang tidur but that's not a big deal, I'm totally fine.“
Bohong besar. Jeandra tidak baik-baik saja, lelaki itu jauh dari kata baik. Kemeja yang membalut tubuhnya mungkin terlihat rapi tanpa celah, rambutnya bisa saja tersisir rapi sedemikian rupa. Tapi wajah dan suaranya tidak dapat berbohong.
Aksara benar, Jean tampak tidak sehat. Bagian bawah matanya menggelap, kentara kalau lelaki itu memang tidak tidur berhari-hari. Tapi Jean bersikeras menganggap kalau dirinya baik-baik saja, meski sebetulnya sewaktu dalam perjalanan ke sini pun, lelaki itu sempat menghentikan laju mobilnya karena kepalanya dihantam rasa pening yang menjalar hingga ke mata.
Meski kemudian hanya butuh waktu lima menit bagi Jean untuk kembali mengumpulkan kewarasannya dan menarik diri dari rasa sakit. Ada yang lebih penting daripada sekedar pening dan mual yang bersarang, yaitu menemui Aksara dengan tujuan membahas soal Anindia.
“Soal Anindia, do you still love her?” tanya Jean sekali lagi.
Aksa diam, tampak menimbang-nimbang jawaban yang tepat untuk diberikan. Lelaki itu memandang lurus pada meja tempat kedua tangannya bertumpu, mencoba mencari kata yang tepat untuk disusun sebagai kalimat. Cukup lama senyap berkuasa, Jean nyatanya tidak sesabar itu untuk menunggu.
“Jujur sama diri lo sendiri, Aksara. You're definitely still in love with her, so—”
“I do.“
Ternyata, rasanya menyesakkan.
“Kalau lo tanya apa gue masih sesayang itu sama dia, jawabannya iya. Jawabannya akan selalu sama, iya. Gue masih sejatuh itu buat dia dan gue sendiri ngga tau kapan bisa berhenti.”
Ternyata, harusnya Jean tahan keinginannya untuk bicara empat mata dengan lelaki di depannya ini. Harusnya, Jean bisa berpikir lebih lama dan tidak membiarkan dirinya mengemudi ke tempat ini hanya untuk mendengar pengakuan yang membuat dadanya dirajam rasa sakit tak berujung.
“It sucks to know that someone falls for her as hard as I do.” Jean mengaku dengan suara tercekat. Tenggorokannya mendadak menjadi lebih kering dari sebelumnya, kedua tangannya bergetar dan kedua kakinya kehilangan tenaga. Namun Jean tekan dadanya kuat-kuat, napasnya ia tahan agar denyut di bagian sana berhenti mengganggu dan dirinya punya keberanian untuk memaku tatapan pada Aksa yang juga tengah menatapnya tanpa berkedip.
“Tujuan lo ke sini ngga mungkin cuma buat nanya itu, you know the answer very well. Walau ngga nanya langsung ke gue pun, gue yakin lo tau jawabannya bakal selalu begitu. So, what's the matter?” Aksara kembali bersuara. Kali ini badannya lebih condong ke depan, menandakan kalau lelaki itu ingin jawaban segera.
“Gue mau minta bantuan lo,” jawab Jean kemudian.
Aksa tak memberi respon, dia persilakan Jean untuk menyelesaikan kalimatnya terlebih dahulu. Namun kedua telinganya terpasang lebar, siap mendengarkan apapun yang Jean katakan setelahnya walau sejujurnya, Aksa tidak yakin dirinya bisa menahan diri untuk tidak bereaksi.
“Keep loving her till the end, can you?” tanya Jean.
Aksara mengerutkan dahi, kentara sekali lelaki itu kebingungan dengan kalimat yang Jean sampaikan. Kalimat itu jelas dan terang, Aksara bisa mengerti kalimat itu secara harfiah dalam sekali mendengar. Namun di saat yang bersamaan, kalimat itu terdengar begitu ambigu, banyak makna yang terpikirkan oleh otaknya ketika mencoba mengerti kalimat yang coba Jeandra sampaikan.
“Wait, I think we have to make this clear.” Aksara menarik napas, memberi jeda sejenak untuk kalimatnya. “So we're talking about Anindia and how I feel toward her, right?“
Jean mengangguk.
“I love her, indeed. It's too obvious that I love her and everyone knows that fact except Anindia herself. Sampai di sana, gue paham. But keep loving her till the end, what do you mean?“
Jean menunduk, pandangan matanya terarah pada cincin pernikahan yang melingkar di jari manis tangan kirinya sebelum kembali bicara. “Tetap sayang sama Anindia, gue mau lo lakuin itu. Gue mau lo tetap begitu sampai kapan pun, jangan berpikiran buat berhenti.”
Jean menjeda kalimatnya sejenak, dia tarik napas panjang sebelum kembali melanjutkan kalimatnya walau dengan sesak yang bersarang di bagian dada. “I need you to stay with her and keep her safe, gue mau lo bikin dia buka hati lagi dan bahagia lagi,” ucap Jean dengan suaranya yang bergetar.
Panas mulai merambati mata, tangis mulai terbentuk di sana namun Jean paksa dirinya sekuat tenaga agar tidak terlihat lemah di depan Aksara. “Setelah Makaila lahir, gue bakal lepasin dia dan kasih dia kebebasan yang pantas dia dapatkan. Gue mau lo gantiin gue buat jagain dia dan Makaila setelahnya,” lanjut Jean.
“Kenapa gue?” Aksara menginterupsi setelah cukup lama bungkam. Matanya menatap Jean tajam, seolah sepasang iris hitam kelam itu mampu menembus tubuh lawan bicaranya dalam satu detik mereka bersinggungan.
“Because you love her.” Jean menegaskan. Nadanya terdengar penuh keyakinan, berusaha membuat Aksara meyakini apa yang dia yakini. Badannya ia condongkan beberapa senti lebih maju, Jean coba menguatkan tumpuan kedua kakinya ke lantai agar berhenti gemetar.
“Satu-satunya orang yang gue percaya bakal selalu ada buat Anindia selain Papanya itu cuma lo,” sambungnya.
“You love her as much as I do and that's enough. Bagi gue, gak ada yang lebih penting daripada fakta kalau Anin punya orang lain selain gue buat menjaga dia. You love her and that's what matter the most.“
Butuh waktu hampir dua menit bagi Aksara untuk diam dan mencoba mencerna permintaan yang Jean ajukan. Isi kepalanya ikut berantakan, kalimat Jean membuat Aksa sampai harus menekan pelipisnya agar dapat berpikir jernih.
“Are you two really looking up for divorce? Like for real?” Aksa bertanya terlebih dahulu. Kepalanya masih berusaha menghimpun sisa kewarasan yang berserakan berantakan, sebisa mungkin dia gunakan akalnya untuk menggapai logika.
Jean mengangguk pelan. “Dari awal memang itu tujuannya. Dari awal sejak kami berdua berjanji di depan Tuhan, ngga ada tujuan lain yang mampir di otak gue selain kata cerai. She deserves the whole world to love her dan yang gue lakukan adalah hal yang sangat bertolakbelakang dengan itu. I've given her too much pains, perceraian adalah satu-satunya cara biar luka yang gue kasih berhenti berdarah.”
“Lo masih sejatuh itu buat dia, Jeandra.” Aksa menyanggah. Walau sebetulnya kalimat yang baru saja dia lontarkan tidak berarti apa-apa karena tanpa dia nyatakan lewat kata yang terudara pun, seluruh dunia dapat dengan mudah menebak hal itu tanpa harus bersusah payah.
Jeandra masih sejatuh itu untuk Anindia.
Telak, tanpa bisa siapapun bantah kebenarannya. Jeandra masih begitu dan akan selalu begitu. Fakta itu bahkan tidak pernah berubah bahkan dengan kehadiran Karinina, kebenarannya masih sama dan masih nyata terlihat. Mudah bagi siapapun untuk menarik kesimpulan yang sama.
“I do.” Jean menggigit bibir bagian bawahnya ketat, terlampau erat sampai rasa asin berkarat mulai menyapa belah lidah. “Tapi itu ngga akan mengubah fakta kalau semua luka dan semua derita yang Anin punya sebagian besar adalah karena gue.”
Detik itu, Jean tidak lagi dapat menahan air matanya merebak hingga terjatuh ke pipi. Awalnya, hanya ada satu bulir bening yang bebas menuruni wajahnya, namun tak lama kemudian bulir bening lainnya ikut jatuh beruntun tanpa bisa Jean cegah. Meski sudah sekuat tenaga tangannya mengepal, meski sudah terlampau ketat Jean gigit bagian bibir bawahnya, tangisnya tetap pecah.
Di sana, Aksara terperangah. Menyaksikan bagaimana Laksamana Jeandra yang biasanya selalu bersikap angkuh perlahan luruh dengan kedua bahu yang bergetar rapuh bukan sesuatu yang dia duga. Lelaki yang selalu Aksara beli label sebagai sosok yang harus dia jauhi kehadirannya karena sudah memberi Anindia terlalu banyak luka itu dalam sekejap menjelma menjadi Jeandra yang benar-benar berbeda.
He's crying for her, painfully.
Jeandra menangis untuk yang kedua kalinya dan dengan alasan yang sama. Kalau di kesempatan pertama Aksa tidak terlalu menaruh perhatian pada tangisan yang Jean pecahkan untuk Anin sewaktu salah satu dari si kecil itu pergi, kali ini Aksa betul-betul memusatkan dirinya pada pemandangan Jeandra yang tertunduk dengan kedua bahu berguncang.
Beberapa bulan lalu ketika mereka sama-sama menangis untuk duka yang dialami Anindia, Aksa terlalu sibuk menahan diri agar air matanya sendiri tidak terjun bebas di depan banyak orang. Waktu itu, yang Aksa lakukan adalah memastikan kalau Anin mendapatkan prosedur yang benar dan keadaan aman terkendali. Tak ada waktu baginya untuk memberi atensi pada tangis Jean. Namun sekilas lewat ekor matanya, Aksara tahu dengan pasti kalau lelaki itu sama berdukanya dengan dirinya, bahkan jauh lebih berduka sebab selain Anindia, si kecil itu juga milik Jeandra.
“Gue butuh lo untuk tetap ada di sisi dia sampai akhir, sampai dia mau membuka hati buat lo dan membiarkan lo masuk ke dalam hidupnya. Gue mau lo ada di samping Anindia di setiap kesempatan, in her ups and downs.”
Suara Jean bergetar dan entah bagaimana caranya, suara serak penuh putus ada itu malah membuat Aksara merasa iba dan merasakan kalau ada yang retak di dalam dadanya ketika menyadari kalau rasa yang dia punya belum sedalam itu.
Hatinya mencelos ketika sadar kalau untuk urusan Anindia, Aksara nyatanya belum ada apa-apa jika dibandingkan dengan Jeandra. Rasa yang dia punya untuk Anindia memang dalam, tapi dalamnya kasih yang Aksa punya masih dapat diukur dengan perbandingan dalam lautan. Jeandra berbeda, rasa yang lelaki itu punya tidak berujung. Tidak ada dasar manapun yang dapat menjadi akhir bagi kasih yang Jean mampu curahkan untuk Anin dan untuk urusan itu, Aksara mengaku kalah.
Sebab untuk urusan mencintai Anindia, Jeandra akan selalu jadi juaranya.
“I can't.“
Kalimat Aksa membuat Jean mengangkat kepala dan tangisan lelaki itu tersendat.
“But you love her...,” ucap Jean dengan suara penuh serak.
Aksa mengangguk pelan. Matanya menatap meja di depannya dengan pikiran yang mulai memunculkan wajah Anin. Aksa memejamkan matanya sejenak, berusaha membuang jauh-jauh bayangan yang muncul di otaknya karena memikirkan soal Anindia di depan Jeandra terasa tidak benar. Jeandra, menurut Aksa masih layak disebut sebagai suami sah dan lelaki yang punya hak penuh atas Anin, maka memikirkan Anindia yang statusnya jelas masih milik Jeandra rasanya tidak dapat dibenarkan oleh logikanya.
“Cinta sama dia ngga akan cukup, Jeandra.”
Cinta saja tidak akan cukup, begitu pikir Aksara. Anindia butuh lebih banyak hal selain cinta, dan Aksa tidak yakin kalau kapasitas yang dia punya mampu untuk memenuhi itu. Anindia butuh lebih dari sekedar sebuah hal tidak nyata yang manusia sebut rasa, Anin butuh lebih dari itu.
“Yang Anin paling butuh saat ini bukan cinta, tapi hidupnya yang kembali normal kayak dulu sebelum ada yang namanya Karinina.” Aksa menjeda kalimatnya, dia perhatikan lamat-lamat perubahan ekspresi Jean yang ketika nama Karin keluar dari bibirnya.
Kemudian Aksa melanjutkan, “To be honest, hidup yang Anindia punya udah gak berbentuk, Dude. Sekedar cinta dari gue gak akan bisa mengubah hal itu, gak akan pernah bisa.”
Jean membasahi bibirnya yang terasa kering, jemari lain miliknya tanpa sadar memainkan cincin yang melingkar rapi di jari manis. Pikirannya bergema berisik, sebagian besar memikirkan Anindia dan sisanya bergumul mencari cara agar dapat menjawab kalimat Aksara yang membuatnya tertohok.
“She lost almost everything, dan untuk mengembalikan semuanya gak segampang itu. It takes forever, trust me,” ucap Aksa.
Jean mengerjap berkali-kali, berusaha mengenyahkan rasa tidak nyaman yang menghampiri kedua bola matanya. Panas dan perih merambat di sana secepat kilat, memaksa Jean untuk lagi-lagi menumpahkan air mata.
“I ruinned her life that much, did I?“
Aksara mengangguk tanpa ragu. “Satu-satunya yang bikin dia mau bertahan hidup sampai sekarang adalah bayinya, and that's more than enough to help her taking back what she lost. Cinta dari gue atau siapapun laki-laki yang lo percaya bakal bisa bikin dia balik jadi Anindia yang dulu ngga akan berpengaruh apa-apa kalau dibandingkan dengan bayinya. All she needs is her baby, that's all.“
Aksara menyandarkan punggungnya di kursi, napasnya dihela sepelan mungkin. Pemandangan di depan menunjukkan Jeandra yang tengah memijat pelipis dan Aksa dapat menarik kesimpulan kalau kalimatnya berhasil membuat Jean bertambah kalut.
“Kenapa sampai kayak gini, Jeandra?” tanya Aksa.
Jean mendongak. “Kayak begini gimana maksudnya?”
“Kenapa sampai mau repot minta gue untuk stay sama Anin begini?”
Jean menelan ludah dengan susah payah. Dadanya sesak bukan main, seakan ada tangan besi yang memeras jantungnya di dalam sana dan membuat Jean kesulitan mengatur napas dengan benar. Lelaki itu menunduk, tatapannya mengarah pada ujung sepatu yang dia kenakan seraya mencoba merangkai kata yang tepat untuk menjawab rasa penasaran yang Aksara lemparkan.
“I'm feeling like I'm gonna go far away from her. Jauh, ke tempat yang gak bisa dia jangkau.”
Detik itu, Aksara tertegun.
“You mean to the light?“
Jeandra mengangguk pelan.
“Gue sempat bermimpi soal Anin yang ninggalin gue ke atas sana, Itu seminggu yang lalu, gue bahkan sempat gak mau pisah sama dia saking takutnya mimpi itu jadi nyata. Tapi semalem, gue mimpi hal yang sama.”
Jean menjeda kalimatnya, menyiapkan diri untuk menyebut lanjutan dari mimpi yang berhasil membuatnya terjaga sepanjang malam itu. Lelaki itu kemudian melanjutkan, “Di mimpi semalam, gue melihat hal yang sama dengan seminggu yang lalu. Anindia dengan pakaian putih yang berlumuran darah, she said good bye to me dan gue nangis sejadi-jadinya. Tapi setelah itu, mimpi gue berlanjut.”
Kedua tangan Jean bergetar hebat, Aksara bisa melihat itu dengan jelas. Jean terlihat ketakutan, tapi lelaki itu berusaha menyembunyikan ketakutannya dengan menggenggam tangannya sendiri dengan erat, berharap kalau getar di jari-jemarinya berhenti.
“Di sana, gue mendengar orang-orang teriak. Mereka bilang sesuatu soal kecelakaan dan tiba-tiba badan gue diangkat sama mereka. Setelah itu gue sadar, kalau yang pergi ke sana itu bukannya Anindia, tapi gue. Darah yang ada di bajunya itu darah gue dan kalimat selamat tinggal itu bukan ditujukan karena dia yang pergi tapi gue yang pergi.”
Aksara terdiam. Tak ada lagi kalimat yang mampu lelaki itu ucapkan setelah mendengar kisah lengkap tentang mimpi yang Jean alami. Jeandra ketakutan setengah mati, dan Aksara rasa dia bisa mewajarkan hal itu sebab mimpi soal kematian bukanlah sesuatu yang sepele.
“I'm not afraid of dying, Aksara. Gue sama sekali ngga takut sama kematian. yang gue takut adalah kenyataan kalau setelah gue pergi ke sana, Anindia mungkin bakal lebih hancur dari ini dan gue ngga mau itu terjadi,” ucap Jean.
“Nyawa ngga berarti apa-apa buat gue. Tapi kalau dengan kehilangan nyawa bisa bikin Anindia semakin terluka, bahkan bersujud di depan lo untuk jagain dia setelah gue ngga ada pun bisa gue lakukan.”
-