Romeo vs Papi
TW // Graphic violence , Very toxic family issues , Mention of cheating , Heavy swearing , Harsh words
“Ini kuenya.”
Romeo tersenyum lebar ketika seorang perempuan dengan rambut panjang nyentrik berwarna merah muda menyerahkan sebuah kantong plastik berwarna putih kepadanya. Meisy, teman satu angkatan Romeo yang menjadi tempatnya memesan kue ulang tahun untuk Papi, menatap ke arah Romeo dengan malas, diam-diam membujuk dirinya untuk tidak tersipu karena diberikan senyuman manis oleh Romeo.
“Makasih, ya, Meisy cantik. Duitnya udah gue transfer kemarin, kan?” tanya Romeo memastikan.
Meisy mengangguk. “Udah, tapi lo transfer lebih lima puluh ribu. Mau gue balikin kemarin, tapi pesanan kue lagi banyak banget, gue balikin cash aja sekarang, ya?” ucap Meisy sambil meletakkan kantong plastik berisi kue pesanan orang lain yang sejak tadi ia bawa ke lantai, kemudian mencoba mencari dompet miliknya di dalam saku cardigan yang membalut tubuhnya.
Romeo yang melihat itu pun menggeleng. “Eh, nggak usah. Itu anggap aja tip dari gue soalnya mesen kue ke lo nggak dari jauh-jauh hari, terus minta anterin hari ini pula. Nggak usah dibalikin, itu ucapan maaf dari gue, kok. Gue malah niatnya mau ngasih lebih lagi tapi duit gue cuma ada segitu,” ucapnya dengan ringisan tipis di ujung kalimat, merasa tidak enak pada Meisy karena sudah merepotkan perempuan itu.
Meisy tidak banyak protes mendengar kalimat yang barusan Romeo katakan, perempuan itu malah tertawa senang dan menepuk pundak Romeo sebagai tanda terima kasih. Setelah berbincang singkat tentang beberapa hal, Meisy langsung pamit untuk mengantar kue lain yang sudah dipesan oleh pelanggan-pelanggannya hari ini, sedangkan Romeo langsung berlari kecil menuju area parkir fakultasnya dan berusaha menemukan motor matic berwarna hitam kesayangannya.
Tujuannya setelah ini adalah restoran yang menjadi tempat keluarganya berkumpul untuk merayakan ulang tahun Papi. Dengan luwes, Romeo mengeluarkan motornya dari barisan motor-motor lain yang terparkir di sana dan menaiki kendaraan roda dua itu, menghidupkan mesinnya dan mulai melaju dengan kecepatan sedang.
Benaknya berkecamuk, kekhawatiran tentang apa yang akan Papi katakan ketika melihat wajah Romeo di restoran nanti mulai mendominasi otaknya tanpa ampun. Laki-laki itu menghela napas panjang, berusaha membagi fokusnya dengan baik antara jalanan di depan dan pikirannya yang sedang ribut di dalam sana. Bagaimana kalau Papi melemparnya dengan sendok lagi seperti tahun kemarin? Bagaimana jika di depan semua waiters dan waitress yang bekerja di restoran itu, Papi akan menanyakan gelar mereka satu persatu lalu mengatakan bahwa anaknya yang bernama Romeo kemungkinan akan berakhir menjadi seperti mereka, yaitu dianggap tidak memiliki masa depan oleh Papi, seperti yang pernah Papi lakukan dua tahun yang lalu? Bagaimana jika ia dan laki-laki itu malah berakhir beradu mulut dan menyebabkan Mami menjadi korban pukulan Papi seperti tiga tahun yang lalu?
Romeo takut, ia benar-benar ketakutan.
Semua kenangan pahit itu membayanginya seperti sebuah mimpi buruk tiap kali hari ini datang. Ulang tahun Papi adalah salah satu hari yang paling ingin Romeo hindari datangnya sebab di hari ini, sesuatu yang menyakitkan pasti akan terjadi. Romeo ingin kabur tiap hari ini datang, ia ingin menyembunyikan diri di suatu tempat terpencil yang tidak bisa dideteksi oleh siapapun, apapun akan Romeo lakukan demi bisa kabur dari Papi. Akan tetapi, tidak ada yang bisa laki-laki itu lakukan sebab masih ada Mami yang akan selalu membujuknya untuk ikut merayakan hari ini, masih ada Mami yang ingin Romeo lihat wajahnya setiap hari, masih ada Mami. Perempuan itu membuat Romeo tidak mau pergi kemana-mana, bahkan jika taruhannya adalah tubuh dan kewarasannya yang harus menahan rasa sakit hari demi hari. Masih ada Mami, Romeo yakin ia bisa bertahan selama perempuan itu masih ada di sisinya.
Pikiran itu terus mengganggu Romeo hingga kemudian, ia sampai di depan sebuah restoran yang wujudnya sudah tak lagi asing di mata. Setelah memarkirkan motornya di area parkir khusus kendaraan beroda dua, Romeo melangkah mendekati pintu masuk utama restoran itu dengan langkah yang gemetar. Kedua tangannya menggenggam kantong plastik berisi kue yang ia pesan dari Meisy dengan erat, permukaan telapak tangannya terasa berkeringat.
Ketika Romeo masuk ke dalam bangunan itu, matanya langsung tertuju seorang resepsionis yang wajahnya selalu ia lihat di tahun-tahun sebelumnya. Papi selalu memilih tempat ini untuk menjadi tempatnya merayakan ulang tahun, makanya Romeo sudah sangat hafal dengan wajah beberapa pegawai di tempat ini meskipun ia hanya datang satu tahun sekali.
Sebuah senyum Romeo paksakan agar muncul di wajah ketika ia sudah berhadapan dengan si resepsionis yang dimaksud. Perempuan dengan rambut yang digelung rapi itu tersenyum lebar, tatapannya mengatakan bahwa ia sudah menunggu kedatangan Romeo sejak tadi, Mami mungkin sudah berpesan terlebih dahulu tentang Romeo yang akan datang ke tempat ini.
“Pak Erlangga dan Ibu sudah di dalam, Mas. Ibu tadi bilang sama saya biar ngasih tahu Mas Romeo, Mas Naka dan Mas Jo buat langsung masuk ke ruang private seperti biasa kalau sudah sampai,” ucap si resepsionis dengan ramah.
“Mas Naka sama Mas Jo belum datang, Mbak?”
Si resepsionis menggeleng. “Belum, Mas. Yang datang setengah jam lalu baru Bapak dan Ibu,” jawabnya.
Romeo tentu hafal ruangan yang dimaksud. Restoran ini menyediakan ruangan khusus yang bisa disewa untuk acara-acara penting seperti meeting, ulang tahun, lamaran dan acara penting lainnya. Keluarganya selalu menjadi salah satu tamu yang secara konstan menyewa ruangan itu tiap kali datang ke tempat ini. Maka, setelah mengucapkan terima kasih, Romeo langsung bergegas menuju ruangan yang dimaksud. Kue di tangannya adalah agenda utama yang tidak boleh dilewatkan dalam acara ulang tahun Papi. Mami pasti sudah menunggunya sejak lama dan Romeo tidak boleh membuat perempuan kesayangannya itu menunggu lebih lama lagi.
Lalu ketika Romeo sampai di depan ruangan itu, ia dikejutkan oleh suara ribut yang datangnya tepat dari dalam ruangan. Rasa khawatir langsung merambat naik, terutama ketika suara erangan Mami terdengar. Dengan kecepatan kilat, Romeo membuka pintu di depannya lebar-lebar.
Di sana, di depan sana, ada sosok Papi yang tengah berdiri di sisi kursi yang diduduki oleh Mami. Tangan kanan Papi menjambak rambut Mami yang terurai, wajah dua orang itu berada dalam jarak dekat dan Papi terlihat membisikkan sesuatu di telinga Mami.
Suara pintu yang terbuka membuat Papi langsung menoleh. Wajah bengisnya sekarang mampu Romeo saksikan dengan kedua matanya sendiri. Jambakan tangan Papi di rambut Mami semakin erat ketika laki-laki itu sadar bahwa tindakannya kemungkinan dilihat oleh orang lain karena pintu yang Romeo buka lebar-lebar. Rintihan Mami terdengar semakin kencang, perempuan itu bahkan mulai menangis karena rasa sakit yang dirasakannya.
“Tutup pintunya, anak bajingan. Kamu mau semua orang nonton Mami kamu dijambak begini? Iya?” Suara Papi setengah berbisik, sengaja agar tidak ada yang bisa mendengar kalimatnya selain Mami dan Romeo. Tatapan laki-laki itu kemudian mengarah pada Mami, matanya nyalang seolah tengah menatap seorang musuh yang siap untuk dibunuh. “Shut the fuck up, mau kamu sujud di depan aku pun, aku nggak akan lepasin rambut kamu. It’s a punishment karena kamu berani melawan apa yang kubilang.”
Tak sampai lima detik setelah Papi mengatakan hal itu, Romeo melepaskan kue di tangannya dan berlari ke arah Papi untuk menarik tangan laki-laki itu dari tubuh Mami. Tangan kiri Papi pun ternyata ikut berperan dalam menyakiti Mami. Laki-laki itu tidak hanya menjambak, tapi juga mencekek leher Mami menggunakan tangan kirinya dan membuat perempuan kesayangan Romeo itu kesulitan bernapas. Amarahnya berkobar, Romeo bahkan sampai lupa kalau di ruangan ini, masih ada Mami yang saat ini sedang menarik udara dengan rakus ke dalam paru-parunya pasca lepas dari cengkeraman Papi.
Tanpa mempertimbangkan apapun, termasuk logikanya yang berusaha memperingatkan bahwa orang yang sedang dihadapinya ini adalah ayah sendiri, Romeo menarik kerah kemeja Papi dan melayangkan sebuah tinjuan kencang di pipi laki-laki itu. Pandangannya menggelap, Romeo tidak lagi peduli kalau kemungkinan setelah ini, tubuhnya akan kembali menjadi sasaran amarah Papi. Dengan segenap tenaga yang ia punya, Romeo kembali melayangkan dua tinjuan beruntun, kali ini tujuannya adalah rahang sang lawan.
Desisan Papi terdengar jelas, laki-laki itu mulai merasakan efek dari pukulan keras yang Romeo berikan. Bersamaan dengan itu, teriakan Mami terdengar, perempuan itu meminta agar Romeo berhenti menghajar sang ayah dan mengatakan sesuatu tentang apa yang Papi lakukan padanya adalah murni karena kesalahan yang ia buat. Romeo bahkan hampir tertawa di tengah napasnya yang memburu. Mau sampai kapan Mami membela iblis di depan sana itu?
Kalimat Mami malah membuat Romeo semakin gelap mata dan kembali menerjang Papi, kali ini dengan memberikan sebuah tendangan teramat kencang di perut Papi sampai membuat laki-laki itu tersungkur ke belakang dan punggungnya menyentuh dinding. Suara tangisan Mami terdengar semakin kencang, Romeo bisa merasakan tangan kurus Mami mencoba menarik tubuhnya agar berhenti.
“Mundur, Mami. Orang ini harus dihajar karena berani nyakitin Mami dengan tangan kotornya,” ucap Romeo sambil melepaskan tangan Mami dari tangannya dengan gerakan yang teramat berhati-hati, takut kalau ia akan menyakiti Mami jika menyingkirkan perempuan itu dengan gerakan yang lebih kasar.
Papi mencoba bangkit dari tempatnya, erangan pelan muncul dari bibir laki-laki itu. Ada sedikit darah yang mengucur di sudut bibirnya, tanda kalau Romeo berhasil menghajar laki-laki itu sampai membuatnya terluka. Dengan harga diri yang terkoyak, Papi menatap Romeo seolah si bungsu di hadapannya itu adalah seonggok sampah menjijikkan. Papi kemudian mengarahkan tatapannya pada Mami dan menunjukkan ekspresi yang benar-benar membuat Romeo membenci laki-laki itu setengah mati.
“See? Anak haram ini sama sekali nggak tahu diri, Sarah.” Laki-laki itu menyebut nama Mami seolah nama itu adalah sebuah rapalan kalimat kutukan yang paling dibenci Tuhan. “Darah dagingku nggak akan pernah berbuat sesuatu serendah ini, anak yang benar-benar keturunanku nggak akan mungkin bersikap sekurang ajar ini sama ayahnya sendiri. Kanaka dan Jonathan sama sekali nggak akan pernah Kamu lihat sendiri kelakuannya, kan? Anak yang bikin kamu bersumpah kalau dia darah dagingku, anak yang kamu bilang bukan hasil dari selingkuh, kelakuannya ternyata nggak lebih dari binatang.”
Sakit, hati Romeo benar-benar sakit karena kalimat itu.
“Dia anak kamu, Mas. Romeo itu anak kamu, harus berapa kali lagi aku bilang kalau dia anak kandung kamu….”
Suara Mami terdengar serak di tengah tangisannya yang semakin kencang. Sesuatu di dalam dada Romeo langsung retak karena mendengar kalimat putus asa yang Mami katakan itu. Rasanya seperti ditarik ke masa lalu, tepatnya ketika usia Romeo masih sepuluh tahun ketika cerita soal Papi yang selalu menganggapnya sebagai anak hasil hubungan terlarang Mami dengan orang lain keluar dari mulut laki-laki itu untuk pertama kalinya.
“Kamu itu anak haram, Romeo.”
Romeo masih berusia sepuluh tahun ketika kalimat itu Papi katakan padanya di suatu sore. Anak itu masih belum mengerti banyak hal, tapi satu hal yang pasti; apa yang Papi katakan tentang anak haram itu bukanlah sesuatu yang baik untuk didengar.
“Sampai kapanpun, kamu nggak akan pernah dianggap sebagai bagian dari keluarga ini. Nama belakang kamu itu cuma hiasan, jangan pernah berharap kalau kamu akan dianggap sebagai anak hanya karena punya nama belakang yang sama dengan Kanaka dan Jonathan.”
Romeo masih berusia sepuluh tahun kala itu. Ia hanya anak berusia sepuluh tahun yang dengan bangga membawa piala hasil dari memenangkan lomba lari di sekolah, dengan harapan kalau Papi akan bangga padanya meski hanya sekali. Padahal hari itu, Romeo sudah benar-benar berharap kalau kalimat soal Romeo yang bodoh dan tidak akan pernah jadi seperti Mas Naka dan Mas Jo akan berhenti keluar dari mulut Papi.
“Kanaka dan Jonathan nggak akan pernah kurang ajar seperti ini, karena mereka darah dagingku. Berbeda sama anak haram ini, dia nggak akan pernah tahu caranya bersikap sopan di saat harusnya dia berterima kasih karena aku mau menampung dia di rumahku.” Papi membuang ludahnya ke samping, kemudian maju mendekat ke arah Romeo dan Mami. Dengan gerakan defensif, Romeo langsung melindungi Mami di belakang tubuhnya. Melihat itu, Papi menampilkan sebuah seringai sinis. “Iya, silakan lindungi Mami kamu yang murahan itu. Pelacur seperti dia memang sudah seharusnya—”
Kalimat itu menjadi titik terakhir bagi Romeo menahan diri. Ia maju dan memukul Papi berkali-kali sampai laki-laki itu terkulai lemah di lantai. Air matanya mengalir seiring dengan tinjuan dan tendangan yang ia berikan.
“Nggak ada yang boleh manggil Mami kayak gitu,” bisiknya pada Papi. “Papi boleh bilang aku anak haram atau apapun yang Papi mau. Papi boleh jadiin aku samsak tinju buat melampiaskan amarahnya Papi, silakan. Apapun, Papi boleh ngelakuin apapun asal jangan panggil Mami dengan sebutan rendah itu. Mamiku bukan perempuan murahan, Mamiku bukan pelacur.”
Lalu ketika satu tinjuan dengan kekuatan yang luar biasa kencang berhasil Romeo layangkan, dua orang laki-laki muncul dari arah pintu ruangan. Satu orang menahan Romeo, satu orang lagi menghampiri Papi yang sudah terbaring tidak sadarkan diri di lantai.
“GILA, YA, KAMU?!”
Itu teriakan Jonathan, laki-laki itu adalah sosok yang menghampiri Papi, sedangkan Kanaka menjadi orang yang menahan Romeo agar tidak maju dan menghajar Papi lagi. Romeo tidak mengatakan apapun, air matanya terus-terusan mengalir sebagai pelampiasan atas rasa sesak yang mengungkung dadanya.
“Kali ini kenapa? Hah? Kamu marah karena Papi minta kamu pindah jurusan ke kedokteran atau bisnis lagi? Iya? Mas udah pernah bilang, Romeo, cuma karena sesuatu sesimpel itu jangan sampai bikin kamu jadi kelewatan sama Papi!” ucap Jonathan dengan nada tinggi. Laki-laki itu melanjutkan, “Ini Papi kamu! Dia—”
“Dia nyekek Mami, Mas! Dia jambak rambut Mami dan nyebut Mami pelacur! Mas Jo kira aku bakal diam aja liat Mami diperlakukan kayak sampah begitu?!” ucap Romeo mencoba membela diri.
“But still, dia ayah kamu!”
Romeo benar-benar tertawa mendengar kalimat itu. “Aku anak haram, Mas. Papi sendiri yang bilang begitu, tolong jangan pura-pura lupa.”
“Romeo!”
Bukan, bukan Jonathan yang membentaknya, melainkan Mami. Romeo menoleh ke arah Mami, wajah cantik perempuan itu basah oleh air mata. Kilat matanya menunjukkan amarahnya dengan amat jelas, Romeo yakin bahwa kalimatnya barusan berhasil membuat Mami sakit hati. Jika biasanya, Romeo akan segera meminta maaf, maka yang terjadi kali ini tidaklah demikian. Romeo memilih untuk melepaskan cengkeraman Kanaka dari tubuhnya dengan kasar, kemudian melangkah pergi dari tempat itu.