writer.as/lalalafindyou

TW // Graphic violence , Very toxic family issues , Mention of cheating , Heavy swearing , Harsh words

“Ini kuenya.”

Romeo tersenyum lebar ketika seorang perempuan dengan rambut panjang nyentrik berwarna merah muda menyerahkan sebuah kantong plastik berwarna putih kepadanya. Meisy, teman satu angkatan Romeo yang menjadi tempatnya memesan kue ulang tahun untuk Papi, menatap ke arah Romeo dengan malas, diam-diam membujuk dirinya untuk tidak tersipu karena diberikan senyuman manis oleh Romeo.

“Makasih, ya, Meisy cantik. Duitnya udah gue transfer kemarin, kan?” tanya Romeo memastikan.

Meisy mengangguk. “Udah, tapi lo transfer lebih lima puluh ribu. Mau gue balikin kemarin, tapi pesanan kue lagi banyak banget, gue balikin cash aja sekarang, ya?” ucap Meisy sambil meletakkan kantong plastik berisi kue pesanan orang lain yang sejak tadi ia bawa ke lantai, kemudian mencoba mencari dompet miliknya di dalam saku cardigan yang membalut tubuhnya.

Romeo yang melihat itu pun menggeleng. “Eh, nggak usah. Itu anggap aja tip dari gue soalnya mesen kue ke lo nggak dari jauh-jauh hari, terus minta anterin hari ini pula. Nggak usah dibalikin, itu ucapan maaf dari gue, kok. Gue malah niatnya mau ngasih lebih lagi tapi duit gue cuma ada segitu,” ucapnya dengan ringisan tipis di ujung kalimat, merasa tidak enak pada Meisy karena sudah merepotkan perempuan itu.

Meisy tidak banyak protes mendengar kalimat yang barusan Romeo katakan, perempuan itu malah tertawa senang dan menepuk pundak Romeo sebagai tanda terima kasih. Setelah berbincang singkat tentang beberapa hal, Meisy langsung pamit untuk mengantar kue lain yang sudah dipesan oleh pelanggan-pelanggannya hari ini, sedangkan Romeo langsung berlari kecil menuju area parkir fakultasnya dan berusaha menemukan motor matic berwarna hitam kesayangannya.

Tujuannya setelah ini adalah restoran yang menjadi tempat keluarganya berkumpul untuk merayakan ulang tahun Papi. Dengan luwes, Romeo mengeluarkan motornya dari barisan motor-motor lain yang terparkir di sana dan menaiki kendaraan roda dua itu, menghidupkan mesinnya dan mulai melaju dengan kecepatan sedang.

Benaknya berkecamuk, kekhawatiran tentang apa yang akan Papi katakan ketika melihat wajah Romeo di restoran nanti mulai mendominasi otaknya tanpa ampun. Laki-laki itu menghela napas panjang, berusaha membagi fokusnya dengan baik antara jalanan di depan dan pikirannya yang sedang ribut di dalam sana. Bagaimana kalau Papi melemparnya dengan sendok lagi seperti tahun kemarin? Bagaimana jika di depan semua waiters dan waitress yang bekerja di restoran itu, Papi akan menanyakan gelar mereka satu persatu lalu mengatakan bahwa anaknya yang bernama Romeo kemungkinan akan berakhir menjadi seperti mereka, yaitu dianggap tidak memiliki masa depan oleh Papi, seperti yang pernah Papi lakukan dua tahun yang lalu? Bagaimana jika ia dan laki-laki itu malah berakhir beradu mulut dan menyebabkan Mami menjadi korban pukulan Papi seperti tiga tahun yang lalu?

Romeo takut, ia benar-benar ketakutan.

Semua kenangan pahit itu membayanginya seperti sebuah mimpi buruk tiap kali hari ini datang. Ulang tahun Papi adalah salah satu hari yang paling ingin Romeo hindari datangnya sebab di hari ini, sesuatu yang menyakitkan pasti akan terjadi. Romeo ingin kabur tiap hari ini datang, ia ingin menyembunyikan diri di suatu tempat terpencil yang tidak bisa dideteksi oleh siapapun, apapun akan Romeo lakukan demi bisa kabur dari Papi. Akan tetapi, tidak ada yang bisa laki-laki itu lakukan sebab masih ada Mami yang akan selalu membujuknya untuk ikut merayakan hari ini, masih ada Mami yang ingin Romeo lihat wajahnya setiap hari, masih ada Mami. Perempuan itu membuat Romeo tidak mau pergi kemana-mana, bahkan jika taruhannya adalah tubuh dan kewarasannya yang harus menahan rasa sakit hari demi hari. Masih ada Mami, Romeo yakin ia bisa bertahan selama perempuan itu masih ada di sisinya.

Pikiran itu terus mengganggu Romeo hingga kemudian, ia sampai di depan sebuah restoran yang wujudnya sudah tak lagi asing di mata. Setelah memarkirkan motornya di area parkir khusus kendaraan beroda dua, Romeo melangkah mendekati pintu masuk utama restoran itu dengan langkah yang gemetar. Kedua tangannya menggenggam kantong plastik berisi kue yang ia pesan dari Meisy dengan erat, permukaan telapak tangannya terasa berkeringat.

Ketika Romeo masuk ke dalam bangunan itu, matanya langsung tertuju seorang resepsionis yang wajahnya selalu ia lihat di tahun-tahun sebelumnya. Papi selalu memilih tempat ini untuk menjadi tempatnya merayakan ulang tahun, makanya Romeo sudah sangat hafal dengan wajah beberapa pegawai di tempat ini meskipun ia hanya datang satu tahun sekali.

Sebuah senyum Romeo paksakan agar muncul di wajah ketika ia sudah berhadapan dengan si resepsionis yang dimaksud. Perempuan dengan rambut yang digelung rapi itu tersenyum lebar, tatapannya mengatakan bahwa ia sudah menunggu kedatangan Romeo sejak tadi, Mami mungkin sudah berpesan terlebih dahulu tentang Romeo yang akan datang ke tempat ini.

“Pak Erlangga dan Ibu sudah di dalam, Mas. Ibu tadi bilang sama saya biar ngasih tahu Mas Romeo, Mas Naka dan Mas Jo buat langsung masuk ke ruang private seperti biasa kalau sudah sampai,” ucap si resepsionis dengan ramah.

“Mas Naka sama Mas Jo belum datang, Mbak?”

Si resepsionis menggeleng. “Belum, Mas. Yang datang setengah jam lalu baru Bapak dan Ibu,” jawabnya.

Romeo tentu hafal ruangan yang dimaksud. Restoran ini menyediakan ruangan khusus yang bisa disewa untuk acara-acara penting seperti meeting, ulang tahun, lamaran dan acara penting lainnya. Keluarganya selalu menjadi salah satu tamu yang secara konstan menyewa ruangan itu tiap kali datang ke tempat ini. Maka, setelah mengucapkan terima kasih, Romeo langsung bergegas menuju ruangan yang dimaksud. Kue di tangannya adalah agenda utama yang tidak boleh dilewatkan dalam acara ulang tahun Papi. Mami pasti sudah menunggunya sejak lama dan Romeo tidak boleh membuat perempuan kesayangannya itu menunggu lebih lama lagi.

Lalu ketika Romeo sampai di depan ruangan itu, ia dikejutkan oleh suara ribut yang datangnya tepat dari dalam ruangan. Rasa khawatir langsung merambat naik, terutama ketika suara erangan Mami terdengar. Dengan kecepatan kilat, Romeo membuka pintu di depannya lebar-lebar.

Di sana, di depan sana, ada sosok Papi yang tengah berdiri di sisi kursi yang diduduki oleh Mami. Tangan kanan Papi menjambak rambut Mami yang terurai, wajah dua orang itu berada dalam jarak dekat dan Papi terlihat membisikkan sesuatu di telinga Mami.

Suara pintu yang terbuka membuat Papi langsung menoleh. Wajah bengisnya sekarang mampu Romeo saksikan dengan kedua matanya sendiri. Jambakan tangan Papi di rambut Mami semakin erat ketika laki-laki itu sadar bahwa tindakannya kemungkinan dilihat oleh orang lain karena pintu yang Romeo buka lebar-lebar. Rintihan Mami terdengar semakin kencang, perempuan itu bahkan mulai menangis karena rasa sakit yang dirasakannya.

“Tutup pintunya, anak bajingan. Kamu mau semua orang nonton Mami kamu dijambak begini? Iya?” Suara Papi setengah berbisik, sengaja agar tidak ada yang bisa mendengar kalimatnya selain Mami dan Romeo. Tatapan laki-laki itu kemudian mengarah pada Mami, matanya nyalang seolah tengah menatap seorang musuh yang siap untuk dibunuh. “Shut the fuck up, mau kamu sujud di depan aku pun, aku nggak akan lepasin rambut kamu. It’s a punishment karena kamu berani melawan apa yang kubilang.”

Tak sampai lima detik setelah Papi mengatakan hal itu, Romeo melepaskan kue di tangannya dan berlari ke arah Papi untuk menarik tangan laki-laki itu dari tubuh Mami. Tangan kiri Papi pun ternyata ikut berperan dalam menyakiti Mami. Laki-laki itu tidak hanya menjambak, tapi juga mencekek leher Mami menggunakan tangan kirinya dan membuat perempuan kesayangan Romeo itu kesulitan bernapas. Amarahnya berkobar, Romeo bahkan sampai lupa kalau di ruangan ini, masih ada Mami yang saat ini sedang menarik udara dengan rakus ke dalam paru-parunya pasca lepas dari cengkeraman Papi.

Tanpa mempertimbangkan apapun, termasuk logikanya yang berusaha memperingatkan bahwa orang yang sedang dihadapinya ini adalah ayah sendiri, Romeo menarik kerah kemeja Papi dan melayangkan sebuah tinjuan kencang di pipi laki-laki itu. Pandangannya menggelap, Romeo tidak lagi peduli kalau kemungkinan setelah ini, tubuhnya akan kembali menjadi sasaran amarah Papi. Dengan segenap tenaga yang ia punya, Romeo kembali melayangkan dua tinjuan beruntun, kali ini tujuannya adalah rahang sang lawan.

Desisan Papi terdengar jelas, laki-laki itu mulai merasakan efek dari pukulan keras yang Romeo berikan. Bersamaan dengan itu, teriakan Mami terdengar, perempuan itu meminta agar Romeo berhenti menghajar sang ayah dan mengatakan sesuatu tentang apa yang Papi lakukan padanya adalah murni karena kesalahan yang ia buat. Romeo bahkan hampir tertawa di tengah napasnya yang memburu. Mau sampai kapan Mami membela iblis di depan sana itu?

Kalimat Mami malah membuat Romeo semakin gelap mata dan kembali menerjang Papi, kali ini dengan memberikan sebuah tendangan teramat kencang di perut Papi sampai membuat laki-laki itu tersungkur ke belakang dan punggungnya menyentuh dinding. Suara tangisan Mami terdengar semakin kencang, Romeo bisa merasakan tangan kurus Mami mencoba menarik tubuhnya agar berhenti.

“Mundur, Mami. Orang ini harus dihajar karena berani nyakitin Mami dengan tangan kotornya,” ucap Romeo sambil melepaskan tangan Mami dari tangannya dengan gerakan yang teramat berhati-hati, takut kalau ia akan menyakiti Mami jika menyingkirkan perempuan itu dengan gerakan yang lebih kasar.

Papi mencoba bangkit dari tempatnya, erangan pelan muncul dari bibir laki-laki itu. Ada sedikit darah yang mengucur di sudut bibirnya, tanda kalau Romeo berhasil menghajar laki-laki itu sampai membuatnya terluka. Dengan harga diri yang terkoyak, Papi menatap Romeo seolah si bungsu di hadapannya itu adalah seonggok sampah menjijikkan. Papi kemudian mengarahkan tatapannya pada Mami dan menunjukkan ekspresi yang benar-benar membuat Romeo membenci laki-laki itu setengah mati.

See? Anak haram ini sama sekali nggak tahu diri, Sarah.” Laki-laki itu menyebut nama Mami seolah nama itu adalah sebuah rapalan kalimat kutukan yang paling dibenci Tuhan. “Darah dagingku nggak akan pernah berbuat sesuatu serendah ini, anak yang benar-benar keturunanku nggak akan mungkin bersikap sekurang ajar ini sama ayahnya sendiri. Kanaka dan Jonathan sama sekali nggak akan pernah Kamu lihat sendiri kelakuannya, kan? Anak yang bikin kamu bersumpah kalau dia darah dagingku, anak yang kamu bilang bukan hasil dari selingkuh, kelakuannya ternyata nggak lebih dari binatang.”

Sakit, hati Romeo benar-benar sakit karena kalimat itu.

“Dia anak kamu, Mas. Romeo itu anak kamu, harus berapa kali lagi aku bilang kalau dia anak kandung kamu….”

Suara Mami terdengar serak di tengah tangisannya yang semakin kencang. Sesuatu di dalam dada Romeo langsung retak karena mendengar kalimat putus asa yang Mami katakan itu. Rasanya seperti ditarik ke masa lalu, tepatnya ketika usia Romeo masih sepuluh tahun ketika cerita soal Papi yang selalu menganggapnya sebagai anak hasil hubungan terlarang Mami dengan orang lain keluar dari mulut laki-laki itu untuk pertama kalinya.

“Kamu itu anak haram, Romeo.”

Romeo masih berusia sepuluh tahun ketika kalimat itu Papi katakan padanya di suatu sore. Anak itu masih belum mengerti banyak hal, tapi satu hal yang pasti; apa yang Papi katakan tentang anak haram itu bukanlah sesuatu yang baik untuk didengar.

“Sampai kapanpun, kamu nggak akan pernah dianggap sebagai bagian dari keluarga ini. Nama belakang kamu itu cuma hiasan, jangan pernah berharap kalau kamu akan dianggap sebagai anak hanya karena punya nama belakang yang sama dengan Kanaka dan Jonathan.”

Romeo masih berusia sepuluh tahun kala itu. Ia hanya anak berusia sepuluh tahun yang dengan bangga membawa piala hasil dari memenangkan lomba lari di sekolah, dengan harapan kalau Papi akan bangga padanya meski hanya sekali. Padahal hari itu, Romeo sudah benar-benar berharap kalau kalimat soal Romeo yang bodoh dan tidak akan pernah jadi seperti Mas Naka dan Mas Jo akan berhenti keluar dari mulut Papi.

“Kanaka dan Jonathan nggak akan pernah kurang ajar seperti ini, karena mereka darah dagingku. Berbeda sama anak haram ini, dia nggak akan pernah tahu caranya bersikap sopan di saat harusnya dia berterima kasih karena aku mau menampung dia di rumahku.” Papi membuang ludahnya ke samping, kemudian maju mendekat ke arah Romeo dan Mami. Dengan gerakan defensif, Romeo langsung melindungi Mami di belakang tubuhnya. Melihat itu, Papi menampilkan sebuah seringai sinis. “Iya, silakan lindungi Mami kamu yang murahan itu. Pelacur seperti dia memang sudah seharusnya—”

Kalimat itu menjadi titik terakhir bagi Romeo menahan diri. Ia maju dan memukul Papi berkali-kali sampai laki-laki itu terkulai lemah di lantai. Air matanya mengalir seiring dengan tinjuan dan tendangan yang ia berikan.

“Nggak ada yang boleh manggil Mami kayak gitu,” bisiknya pada Papi. “Papi boleh bilang aku anak haram atau apapun yang Papi mau. Papi boleh jadiin aku samsak tinju buat melampiaskan amarahnya Papi, silakan. Apapun, Papi boleh ngelakuin apapun asal jangan panggil Mami dengan sebutan rendah itu. Mamiku bukan perempuan murahan, Mamiku bukan pelacur.”

Lalu ketika satu tinjuan dengan kekuatan yang luar biasa kencang berhasil Romeo layangkan, dua orang laki-laki muncul dari arah pintu ruangan. Satu orang menahan Romeo, satu orang lagi menghampiri Papi yang sudah terbaring tidak sadarkan diri di lantai.

“GILA, YA, KAMU?!”

Itu teriakan Jonathan, laki-laki itu adalah sosok yang menghampiri Papi, sedangkan Kanaka menjadi orang yang menahan Romeo agar tidak maju dan menghajar Papi lagi. Romeo tidak mengatakan apapun, air matanya terus-terusan mengalir sebagai pelampiasan atas rasa sesak yang mengungkung dadanya.

“Kali ini kenapa? Hah? Kamu marah karena Papi minta kamu pindah jurusan ke kedokteran atau bisnis lagi? Iya? Mas udah pernah bilang, Romeo, cuma karena sesuatu sesimpel itu jangan sampai bikin kamu jadi kelewatan sama Papi!” ucap Jonathan dengan nada tinggi. Laki-laki itu melanjutkan, “Ini Papi kamu! Dia—”

“Dia nyekek Mami, Mas! Dia jambak rambut Mami dan nyebut Mami pelacur! Mas Jo kira aku bakal diam aja liat Mami diperlakukan kayak sampah begitu?!” ucap Romeo mencoba membela diri.

But still, dia ayah kamu!”

Romeo benar-benar tertawa mendengar kalimat itu. “Aku anak haram, Mas. Papi sendiri yang bilang begitu, tolong jangan pura-pura lupa.”

“Romeo!”

Bukan, bukan Jonathan yang membentaknya, melainkan Mami. Romeo menoleh ke arah Mami, wajah cantik perempuan itu basah oleh air mata. Kilat matanya menunjukkan amarahnya dengan amat jelas, Romeo yakin bahwa kalimatnya barusan berhasil membuat Mami sakit hati. Jika biasanya, Romeo akan segera meminta maaf, maka yang terjadi kali ini tidaklah demikian. Romeo memilih untuk melepaskan cengkeraman Kanaka dari tubuhnya dengan kasar, kemudian melangkah pergi dari tempat itu.

TW // Mention of violence , Abusive behaviour

Romeo sedang duduk di kursi meja belajarnya ketika suara pintu kamarnya yang terbuka membuat perhatiannya teralih. Seseorang masuk, suara langkahnya terdengar jelas dari tempatnya duduk.

“Stop doing something useless, can’t you?”

Kedua tangan Romeo mengepal ketika mendengar pertanyaan yang dilemparkan dengan nada sinis itu. Romeo tahu dari siapa datangnya pertanyaan itu, sosoknya adalah yang paling Romeo hindari tiap kali berada di tempat ini, rumahnya sendiri. Perlahan, laki-laki itu memutar tubuh dan melihat sendiri sosok itu sambil berdoa di dalam hati agar tidak harus ada keributan yang terjadi kali ini.

Papi berdiri dengan jarak sepuluh kaki darinya, wajah laki-laki itu tidak terlihat senang. Diam-diam, Romeo mencoba menebak kesalahan apa lagi yang kali ini diperbuatnya sampai membuat ayahnya itu memasang ekspresi demikian. Apa karena ketahuan berkelahi demi membela Sabrina kemarin? Romeo tidak yakin kalau itu alasannya. Semua video yang berisi dirinya sedang menghajar Rangga seperti orang kesetanan kemarin sudah ia pastikan dihapus dari dunia maya, Romeo yakin tidak ada yang lolos dari perburuannya dan teman-temannya semalam.

Romeo baru hendak bertanya pada Papi tentang maksud dari kalimat laki-laki dengan rambut yang sudah putih sebagian itu, tapi niatnya langsung terhenti ketika sebuah kotak kado berwarna merah gelap dilemparkan ke arahnya dengan gerakan yang teramat kasar. Romeo mengenal kotak yang barusan Papi lemparkan itu, bibirnya langsung digigit keras demi menahan denyut nyeri yang secara brutal menyerang bagian dada.

Ah, ternyata karena kado yang ia beli kemarin. Papi marah karena Romeo meletakkan kado yang ia beli setelah meminta saran dari Sabrina itu di kamar Papi, Romeo sempat lupa kalau Papi benar-benar tidak menyukai apapun yang berasal dari dirinya, Romeo harusnya sadar.

“Mas Naka ngasih kado berupa gelar dokter spesialisnya hari ini ke Papi, sedangkan Mas Jo ngasih kado berupa grafik penjualan produk baru di perusahaan yang naik drastis dan kamu? Kamu kira ngasih Papi dasi murahan kayak gini bisa bikin Papi senang, begitu?” ucap Papi dengan nada ketus yang amat Romeo benci. “Papi bilang berkali-kali sama kamu, selama masih belum bisa jadi anak yang membanggakan, jangan pernah ngasih apa-apa tiap hari ulang tahun Papi karena apapun yang kamu kasih itu nggak akan pernah ada artinya, kapan kamu bisa paham?”

Tanpa mengatakan apapun, Romeo langsung memungut kotak berwarna merah gelap yang tadi dilemparkan ke arahnya, kemudian membawa benda itu ke arah tempat sampah di sudut ruangan kamarnya untuk dibuang. Suara yang ditimbulkan dari permukaan keras kotak yang bertemu dengan dasar kotak sampah pun menggema di seluruh penjuru.

“Kalau nggak suka kadonya, tinggal dibuang, nggak perlu pakai hina aku juga. Tinggal buang kadonya, nggak ribet. Hidup ini bisa dibikin mudah, tapi Papi malah milih buat hidup dengan ribet,” ucap Romeo tanpa sedikit pun menoleh ke arah ayahnya. “Tahun depan aku nggak akan kasih apa-apa ke Papi, tenang aja.”

Papi menatap Romeo tajam, tidak suka dengan nada cuek yang Romeo berikan padanya. “Jangan kurang ajar sama Papi, Romeo. Kamu tahu konsekuensinya kalau kamu bikin Papi marah.”

Romeo berdecak cukup keras, suaranya mungkin sampai ke telinga Papi karena suasana kamar yang sepi. “Apa? Mau mukulin aku lagi? Pukul aja, udah lama juga aku nggak dipukul sama Papi. Terakhir kapan, tuh? Waktu aku nggak lulus kedokteran, kan? Waktu itu tanganku sampai patah,” ucap Romeo sambil menampilkan sebuah senyum polos seolah kalimatnya barusan bukanlah sesuatu yang mengerikan.

“Kali ini mau apa lagi? Kaki? Eh, jangan. Kalau Papi patahin kakiku, aku nggak bisa main futsal lagi nanti, aku ada taruhan futsal sama anak komplek sebelah besok, jadi tolong kali ini jangan bikin kakiku patah, ya. Kalau mau, tangan lagi aja. Kemarin yang Papi patahin itu tangan kanan, yang kali ini tangan kiri aja,” ucapnya dengan santai.

“Anak kurang ajar—”

“Papi?”

Ah, suara lain muncul dan membuat Papi yang tadinya sudah bersiap untuk maju dan mengangkat tangan untuk menerjang Romeo langsung menghentikan niatnya. Itu suara Kanaka, laki-laki berusia tiga puluh lima tahun itu muncul dari balik pintu kamar Romeo dan menatap dua orang di dalam sana seolah tidak mengetahui apa yang tengah terjadi.

“Ada telepon dari pegawai Bank BSA, katanya mereka mau ngasih karangan bunga buat ulang tahun Papi dan kepala cabangnya mau ngomong langsung sama Papi sekarang,” ucap Kanaka sambil menyodorkan ponsel milik Papi yang menampilkan nomor tidak tersimpan yang tengah berada di dalam mode panggilan di layarnya.

Papi berdehem singkat, sebelum kemudian memutar tubuhnya dan mengambil alih ponselnya dari tangan Kanaka dan keluar dari kamar Romeo, meninggalkan anak sulung dan anak bungsunya di sana. Romeo menghela napas panjang, kemudian menatap kakak sulungnya dengan tatapan yang maknanya hanya bisa diartikan oleh mereka sendiri.

“Berhenti mancing emosinya Papi dan bikin dia mukulin kamu, bisa?” ucap Kanaka dengan nada kesal yang bercampur dengan khawatir di ujung kalimatnya. “Kalau kamu tantang begitu, Papi nggak akan segan mukulin kamu beneran, Romeo.”

Romeo berjalan ke arah kasurnya dan terkekeh pelan. “Terus kalau Papi beneran mukulin aku, kenapa? Nggak ada urusannya sama Mas Naka juga, aku udah biasa digituin sama Papi dari kecil.”

“Romeo—”

“Mas, kalau omongan Mas Naka bisa bikin Papi berhenti benci sama aku, aku bakal dengerin, oke? Masalahnya, nasihatnya Mas Naka nggak berarti apa-apa buat aku. Jadi, tolong berhenti sok peduli sama aku kecuali kamu itu Mami. Di rumah ini, nggak ada yang benar-benar peduli sama aku kecuali Mami,” balas Romeo sambil menatap Kanaka dengan ekspresi datar. “Urusin aja urusan Mas Naka, anggap aku nggak ada.”

Setelah mengatakan hal itu, Romeo kemudian merebahkan dirinya di atas kasur dan memejamkan matanya. Gerakan itu menjadi tanda bagi Kanaka untuk tidak mengatakan apapun lagi dan langsung keluar dari ruangan milik si bungsu, meski sebenarnya ada banyak yang ingin laki-laki itu katakan pada Romeo.

TW // Violence

Romeo itu orang gila.

Harusnya, Sabrina sudah mengetahui hal itu sejak awal dan memutuskan untuk mencari orang lain yang bisa membantunya agar bisa lepas dari Rangga. Harusnya ketika melihat bagaimana anehnya cara Romeo membalas pesannya di Tinder kemarin, Sabrina mencari orang lain yang bisa ia jadikan pacar pura-puranya.

Tebak apa yang Romeo lakukan di hari perjanjiannya dan Rangga itu?

Romeo diantar oleh sebuah mobil pemadam kebakaran.

Sabrina hampir pingsan ketika melihat laki-laki itu turun dari mobil besar berwarna merah itu sambil melambai riang ke arah petugas di dalam mobil sambil mengucapkan terima kasih. Dengan gayanya yang sok keren, Romeo menghampiri Sabrina dan Rangga yang sudah duduk saling berhadapan di area outdoor di depan cafe yang sama tempat Romeo dan Sabrina bertemu tadi malam.

Rangga datang lebih dulu pada pukul sembilan pagi dan Sabrina menyusul sepuluh menit kemudian. Dua orang itu sempat berdebat karena mulut Rangga yang menyebalkan dan mengundang emosi seperti biasanya. Rangga menuduhnya berbohong, tapi Sabrina tetap mencoba meyakinkan laki-laki itu bahwa pacar baru yang ia maksud sebentar lagi benar-benar akan datang.

Sabrina sudah mengirim belasan pesan pada Romeo, bertanya pada Romeo kapan laki-laki itu akan sampai karena demi Tuhan, berhadapan dengan Rangga saat ini benar-benar membuat Sabrina merasa sesak bukan main. Rasa mualnya benar-benar hampir naik ke permukaan dan hampir membuat Sabrina muntah di hadapan Rangga.

Masalahnya, Sabrina sama sekali tidak menyangka kalau dirinya akan mendengar suara sirine yang memekakkan telinga yang datangnya dari sebuah mobil pemadam kebakaran yang tampak melaju ke arah mereka. Sabrina awalnya mengira kalau mobil itu hanya akan melewatinya, tapi jantungnya langsung terasa merosot ke perut ketika mobil itu berhenti tepat dua meter dari tempatnya duduk. Romeo keluar dari sana dengan percaya diri, seolah aksinya barusan merupakan sebuah adegan dari sebuah film action.

“Bunda!”

There’s no way he just said that….

“Maaf Ayah baru dateng ya, Bunda. Ada yang minta tolong turunin kucing dari pohon mangga, tapi Om-Om Pemadam Kebakarannya nyasar, jadi Ayah bantuin mereka nyari titiknya dulu soalnya Ayah hafal daerah sini. Bunda udah nunggu lama?”

Sabrina benar-benar ingin menangis detik itu juga.

Sedangkan Rangga, laki-laki itu memasang ekspresi seolah baru saja melihat hantu. Rangga menatap bergantian ke arah Sabrina dan Romeo, mencoba menilai laki-laki yang baru saja memanggil Sabrina dengan panggilan Bunda itu dari ujung kaki hingga kepala sebelum kemudian tertawa sinis.

“Ini pacar baru kamu? Anak alay ini?”

Romeo langsung menatap tajam ke arah Rangga, ekspresi semringahnya langsung berubah masam ketika memandang Rangga. “Iya, gue pacar barunya. Kenapa? Nggak seneng?” ucapnya menantang. “Dan lo pasti cowok brengsek yang udah bikin cewek gue tersiksa selama kalian pacaran, kan?”

Romeo kemudian maju dan menjulurkan tangannya ke depan. Wajah angkuhnya terlihat benar-benar menyebalkan, satu tangannya yang berada di belakang tubuh pun membuat kesan sombong yang Romeo coba tampilkan semakin terasa kental. “Kenalin, Romeo. Gue pacarnya Sabrina sejak satu bulan belakangan dan gue dengar dari cewek gue, lo masih berusaha ngejar-ngejar dia padahal jelas dia udah minta putus dari lo.”

Rangga hanya memandang uluran tangan Romeo dengan tatapan jijik, kemudian mengalihkan tatapannya pada Sabrina yang masih terlihat shock. “Sabi, Baby, aku nggak nyangka kalau selera kamu turun sedrastis ini. I thought that you really found someone perfect, bukannya jamet nggak jelas kayak gini. Padahal—”

“Call her with that baby again and I’ll break your legs.”

Romeo memotong kalimat Rangga tanpa ragu. Rangga terkejut, Sabrina jauh lebih terkejut. Romeo dengan wajah seriusnya kemudian maju dan menarik pelan tangan Sabrina agar perempuan itu berdiri di belakangnya, menyembunyikan tubuh kecil Sabrina dari jangkauan Rangga dan menjadikan dirinya tameng di antara dua orang itu.

Rangga tertawa mengejek. “Lo dibayar berapa sama Sabrina biar mau ngaku jadi pacarnya di depan gue?” tanya laki-laki itu dengan nada merendahkan. “Lo lagi butuh duit, kan? Biar gue yang kasih, gue pastikan jumlahnya tiga kali lipat dari yang Sabrina kasih buat lo, jadi lo bisa berhenti bersikap sok keren kayak gini dan berhenti mencampuri urusan gue sama dia.”

Mendengar kalimat itu, Sabrina tanpa sadar meremas bagian belakang baju yang Romeo kenakan. Rangga bisa mencium gelagatnya yang aneh, Sabrina mulai takut sekarang. Namun di luar dugaannya, Romeo bermain peran lebih baik dari yang ia duga. Laki-laki itu juga terkekeh, kekehannya santai tapi Sabrina bisa langsung melihat wajah jengkel Rangga karena suara tawa Romeo yang menyebalkan.

“Lo sombong begini punya apaan, sih, memangnya?” tanya Romeo. “Bapak lo yang punya negara, iya? Atau bapak lo yang punya Jakarta? Heran, sombong amat jadi manusia sampai bisa-bisanya lo menganggap Sabrina sebagai samsak tinju yang bisa dipukulin kapan aja.”

Merasa terhina karena kalimat Romeo, Rangga mengepalkan kedua tangannya sampai buku-buku jemari laki-laki itu memutih. “Kalau gue mau, gue bisa bikin lo dikeluarin dari kampus lo sekarang juga, berengsek.”

Romeo memiringkan kepalanya. “Terus? Lo pikir gue takut gitu? Damn, lo benar-benar kayak katak dalam tempurung, lo kira dengan status bokap lo sebagai pemilik satu kampus, lo jadi bisa bikin gue dikeluarin dari kampus seenaknya, gitu? Bokap lo bukan penguasa bumi, Narangga. Ini negara hukum, bukti kejahatan lo ada dimana-mana dan gue bisa dengan mudah bikin lo dipenjara, bahkan orang tua lo yang katanya punya kuasa itu pun nggak akan bisa mengeluarkan lo dari sana dengan mudah.”

Kalimat itu terdengar benar-benar mengancam. Sabrina bahkan sampai harus menahan napas mendengarnya. Perempuan itu menatap Romeo, penasaran dengan siapa sebenarnya laki-laki yang secara acak ia mintai bantuan ini sampai Romeo bisa dengan berani mengatakan kalimat semacam itu tanpa beban. Belum sempat Sabrina mendapatkan jawaban dari pertanyaannya, Romeo kembali bersuara.

“Gue dengar nyokap lo punya butik yang udah buka cabang di Singapura dan Bangkok, kan? Coba tanya sama beliau, seberapa berpengaruh apa orang yang namanya Helanina Agni Dayasha ke bisnis nyokap lo. Itu Oma gue dan kalau gue mau, gue bisa minta ke beliau buat cabut semua bantuan yang dia kasih ke nyokap lo biar bisnisnya bangkrut. Lo bikin gue keluar dari kampus, gue bikin keluarga lo bangkrut. Gimana? Impas?”

Romeo kemudian melanjutkan, “Bajingan kayak lo nggak pantas dapetin Sabrina, Narangga. Sampah masyarakat kayak lo sama sekali nggak pantas menyentuh Sabrina sedikit pun dengan tangan lo yang kotor itu. Lo butuh dibawa ke Rumah Sakit Jiwa, Rangga. Kelakuan lo ini bukan lagi kelakuan manusia, tapi kelakuan binatang.”

Tak lama kemudian, suara teriakan kencang milik Sabrina terdengar karena Rangga yang maju dan meninju wajah Romeo dalam satu gerakan kilat. Mengingat janjinya untuk melindungi Romeo jika Rangga mulai berbuat macam-macam, Sabrina langsung berdiri di hadapan Romeo dan menghalangi Rangga.

“Mundur, jangan gila, Sabrina.” Romeo memberi peringatan dengan suara mendesis menahan sakit.

Sabrina menggeleng. “Gue udah janji bakal pasang badan buat lo,” jawabnya.

“Dan lo kira gue bakal biarin lo dipukulin sama orang gila ini sekali lagi? Mundur, karena kalau sampai lo kena pukulan dia lagi, gue benar-benar bakal ngamuk dan lo nggak akan bisa menghentikan gue sampai gue bikin muka bajingan itu nggak berbentuk.”

Maka pagi itu, ketika Sabrina dipaksa untuk mundur oleh Romeo agar tubuhnya tidak lagi terkena sasaran pukulan Rangga, dikisah rumit antara mereka dimulai. Tanpa satu pun dari mereka sadari, benang takdir di antara mereka mulai merambat mendekat dan mencari cara agar bisa terikat.

TW // MENTION OF VIOLENCE , TOXIC RELATIONSHIP

“Sabrina, ya?”

Sabrina menoleh ketika mendengar namanya disebut oleh seseorang dengan suara berat yang teramat asing. Seorang laki-laki yang mengenakan hoodie berwarna hitam serta gray sweatpants berdiri sekitar lima meter dari tempat Sabrina duduk, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku hoodie dan matanya terarah penasaran pada sosok Sabrina.

Romeo, Sabrina langsung melafalkan nama laki-laki itu di dalam hati, teringat pada foto yang ia lihat tadi siang di profil Tinder milik Romeo. That picture of him doesn’t do this man justice, Romeo nyatanya terlihat jauh lebih baik jika dilihat langsung seperti ini. Sabrina sampai hampir lupa menarik napasnya sendiri, laki-laki yang menurut Kanina merupakan player terkemuka di kalangan mahasiswa kampus mereka ini benar-benar punya tampang se-oke itu. *He deserves that title, seriously.(

Romeo 1 — Rangga 0.

Sabrina diam-diam tersenyum ketika skor itu tercetak di dalam kepalanya sendiri, merasa puas karena setidaknya dari aspek yang paling penting yaitu wajah, laki-laki bernama Romeo ini sudah mengantongi satu poin dibandingkan Rangga.

“Romeo, ya?” ucap Sabrina setelah menyadari bahwa dirinya sudah tertegun terlalu lama. Laki-laki di depannya itu mengangguk membenarkan, sebelum kemudian berjalan mendekat dan mengambil tempat di hadapan Sabrina. Kedua tangannya bertumpu di atas meja, sikapnya benar-benar santai seolah mereka berdua sudah pernah di tempat lain sebelumnya.

“Gue nggak expect lo bakal setuju sama ajakan gue buat ketemu di tempat ini,” ucap Sabrina sebagai pembuka percakapan. “Thank you so much, bantuan lo ini benar-benar berarti buat gue, gue janji bakal siap bantuin lo di masa depan sebagai balasan dari bantuan lo kali ini.”

Romeo menatap Sabrina dengan satu alisnya yang terangkat, seolah Sabrina baru saja mengatakan sesuatu yang paling tidak masuk akal yang pernah dikatakan oleh seseorang kepadanya. “Gue belum bilang kalau gue setuju buat bantuin lo,” ucap Romeo. Laki-laki itu melanjutkan, “Gue cuma setuju datang ke sini soalnya lo bilang lo bakal traktir gue makan dan kebetulan, gue belum makan malam. Kapan lagi gue bisa makan gratis sepuasnya, kan?”

Detik itu, rahang Sabrina terasa terjatuh.

“Lo … lo bilang lo setuju, jadi gue berasumsi kalau lo setuju buat dua hal; datang ke sini dan bantuin gue,” ucap Sabrina dengan suara mencicit. Baru kali ini, Sabrina bertemu dengan seseorang yang mampu membuatnya terdiam hanya dengan satu kalimat seperti ini.

“Gue, kan, udah bilang, yang lo minta itu bahaya, Sabrina. Taruhannya nyawa gue, soalnya mantan lo itu benar-benar gila, jadi gue nggak mungkin langsung setuju dengan mudah tanpa berpikir panjang.” Romeo kemudian mengangkat tangannya dan melambai ke arah seorang waitress untuk menyebutkan pesanannya. “Gue mau minum kopi sama mau pesan makanan berat, tolong nanti lo bayarin sesuai janji lo, oke?” ucapnya dengan santai.

Waitress dengan pakaian santai yang tadi dipanggil Romeo pun mendekat dan menyapa dua orang itu dengan ramah. Romeo kemudian menyebutkan pesanannya; Iced Americano with two pumps white mocha dan rice with butter chicken, dua jenis menu itu disebutkan oleh Romeo dengan lancar. Laki-laki itu kemudian menatap Sabrina dan mempersilakan perempuan itu untuk menyebutkan pesanannya.

Lemonade aja satu, Kak.”

Usai menyebutkan pesanannya, Sabrina kemudian mengucapkan terima kasih pada si waitress yang meminta mereka menunggu sampai pesanan datang. Perempuan itu menatap Romeo, mencoba menerka apa yang sebenarnya sedang terjadi di dalam kepala laki-laki itu saat ini sebab demi Tuhan, Sabrina benar-benar tidak menyangka kalau Romeo ternyata akan bersikap sesantai ini hanya demi makanan dan kopi gratis.

“Gue rasa lo nggak semiskin itu sampai rela buang-buang waktu lo buat datang ke sini demi makanan dan kopi gratis,” ucap Sabrina menyuarakan pikirannya. “Listen, gue cuma punya waktu malam ini buat nyari orang yang bisa bantuin gue besok. Jadi kalau lo beneran cuma main-main sama gue, gue bakal nyari orang lain sekarang juga. Pesanan lo tadi bakal gue bayarin, tenang aja.”

Mendengar ultimatum itu, Romeo tertawa kencang. Kedua matanya sampai menghilang dan membentuk dua buah bulan sabit lucu yang membuat Sabrina mengernyit, tidak mengerti alasan laki-laki itu tertawa. Sabrina yang merasa dipermainkan pun berdiri dan mengambil ancang-ancang untuk meninggalkan cafe itu dan benar-benar mencari orang lain yang bisa membantunya, tapi gerakan perempuan itu terhenti ketika Romeo tiba-tiba mengatakan sesuatu.

“Lo memang selalu setegang ini, ya?” tanya Romeo. “Santai, gue bercanda. Gue mau bantuin lo, kok. Nggak usah marah-marah, sekarang duduk dan jelasin rencana lo buat besok. Gue tahu lo cuma nyari pacar pura-pura, tapi gue tetap harus punya basic information soal lo dan mantan lo ini supaya nggak kelihatan kayak orang tolol besok.”

Mau tidak mau, Sabrina kembali duduk meski sebetulnya, ia kesal setengah mati pada Romeo. Bagaimana bisa laki-laki itu mempermainkannya di saat-saat genting seperti ini? Sabrina benar-benar ingin mengamuk, tapi ia tahan dirinya agar tidak meledak, takut jika Romeo malah berubah pikiran dan menolak membantunya besok. Menarik napas panjang untuk menetralkan emosinya, Sabrina kemudian mengeluarkan ponsel miliknya dari dalam tas yang ia bawa, membuka menu galeri dan mencari satu-satunya foto Rangga yang tersisa di ponselnya untuk ditunjukkan kepada Romeo.

“Ini Rangga, lo pernah lihat mukanya?”

Romeo memperhatikan foto yang tampil di layar ponsel Sabrina dengan saksama, mencoba mengingat wajah itu dan akhirnya mengangguk beberapa detik kemudian. “Dia yang mimpin orasi rombongan demo kampusnya tahun kemarin. Gue nggak pernah ngobrol langsung, sih, tapi ada anak tongkrongan gue yang kenal sama dia.”

Sabrina mengangguk membenarkan. “Kalau lo udah pernah lihat dia, berarti kemungkinan besar lo tahu kelakuan dia, kan? Dia pernah dilaporin ke polisi karena mukulin juniornya di BEM awal tahun ini, tapi dia bebas tanpa syarat karena orang tuanya petinggi kampus dan omnya juga polisi.”

“Gue tahu ini orang bahaya, tapi gue nggak tahu kalau dia sebahaya itu,” ucap Romeo dengan jujur. “Tapi kalau dari cerita lo, dia juga pernah mukulin lo, berarti emang dia segila itu. Anak departemen gue pernah ada yang bermasalah sama dia cuma karena mereka nggak sengaja senggolan, terus besoknya udah babak belur muka itu anak karena dipukulin sama mantan lo.”

Sabrina bergidik ngeri, Rangga memang benar-benar sebrutal itu. “Iya, dia segila itu dan gue adalah salah satu korbannya. Makanya, gue benar-benar pengen bebas dari dia dan dia bilang, kalau gue punya pacar baru yang jauh lebih baik dari dia, dia bakal ngasih gue kebebasan, makanya gue buru-buru nyari orang buat diajak kerja sama, and here you are.”

Romeo terkekeh pelan dan mengangguk. “And here I am.”

Laki-laki itu kemudian terlihat berpikir sejenak sebelum kembali bertanya. “Lo bilang, dia mau lihat pacar baru lo lebih baik atau nggak daripada dia, tapi gue bingung sama satu hal. Gimana caranya dia tahu kalau gue lebih baik dari dia atau nggak? Lo bilang di Tinder kalau tampang gue mesti lebih cakep, otak gue harus lebih encer, duit gue harus lebih banyak, terus gue harus bisa berantem. Dia bisa nilai gue lebih cakep, lebih pintar, lebih tajir terus lebih jagoan dari dia dari mana?”

Sejujurnya, Sabrina juga tidak tahu. Jadi, perempuan itu mengangkat kedua bahunya sambil menggeleng pasrah. “Untung tampang, gue yakin dia bakal tahu kalau dia udah kalah duluan sama lo karena dalam sekali lihat, siapapun bakal bilang kalau lo lebih cakep dari dia.”

Bahu Romeo naik satu senti lebih tinggi karena mendengar kalimat yang entah bermakna sebagai pujian atau sesuatu yang lain itu. Diam-diam, laki-laki itu berterima kasih pada Mami dan Papinya—walaupun ketika menyebut nama sang Papi, Romeo mengucapkan terima kasih itu dengan ogah-ogahan—karena sudah membuatnya terlahir dengan wajah ini.

Sabrina melanjutkan, “Terus masalah otak, gue nggak yakin dia bakal terlalu peduli sama ini. Nggak mungkin Rangga tiba-tiba ngasih lo kuis pengetahuan umum cuma buat ngetes tingkat kecerdasan lo, jadi lo aman buat bagian ini. Terus, masalah duit. Untuk masalah ini, gue juga masih clueless, tapi gue yakin Rangga bakal merhatiin penampilan lo sedetail-detailnya dan bakal ngatain lo kalau misal penampilan lo di bawah standarnya dia.”

“Buset, segitunya?” potong Romeo.

Sabrina mengangguk. “I wish I was lying, tapi Rangga memang sesombong itu. Dia menganggap nggak ada manusia yang lebih baik dari dia, pokoknya duni ini pusatnya ada sama dia dan nggak ada manusia lain yang boleh merebut titel itu.”

Romeo menatap Sabrina tidak percaya. Dia pernah mendengar cerita soal Narangga Adiwijaya ini sekilas dari mulut teman-temannya, tapi Romeo sama sekali tidak menyangka kalau laki-laki itu ternyata jauh lebih parah dari yang teman-temannya katakan.

“Lo, kok, bisa pacaran sama manusia sesampah itu?”

Sabrina tertawa hambar. Pertanyaan itu juga merupakan pertanyaan yang sama dengan yang ia ajukan pada dirinya sendiri berkali-kali. Kenapa bisa ia mau menerima Rangga dulu? Jangankan orang lain, Sabrina sendiri pun masih belum bisa menemukan jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu.

I was out of my mind, gue juga nggak tahu kenapa.”

Percakapan mereka terinterupsi oleh seorang waitress yang datang membawa pesanan mereka. Segera setelah semua pesanan dipastikan benar dan makanan serta minuman mereka sudah tertata rapi di atas meja, Sabrina langsung meraih gelas minumannya dan meneguk cairan asam dan sedikit manis itu beberapa kali.

“Gue pacaran sama dia selama enam bulan. Dia mulai mukulin gue di bulan keempat. Awalnya cuma sekedar narik tangan gue dengan kasar sampai kulit gue merah karena gue nggak mau disuruh pulang waktu lagi ada tugas kelompok sama anak-anak cowok di kelas gue. Berlanjut ke tamparan, terus tendangan di satu bulan terakhir karena gue yang mulai berani melawan,” jelas Sabrina dengan nada tenang, seolah yang sedang ia ceritakan merupakan kisah biasa tentang bagaimana harinya setelah bangun tidur dan mandi.

“Dan lo akhirnya menyerah.”

Sabrina mengangguk. “Dan gue akhirnya menyerah.”

Hening menguasai mereka setelahnya. Romeo masih shock karena cerita itu. Sosok Rangga yang diceritakan oleh Sabrina ternyata jauh lebih menyeramkan dari yang Romeo kira. Namun, cara Sabrina bercerita tentang laki-laki bernama Rangga itu benar-benar santai, seolah perempuan itu sudah terlanjur terbiasa dengan apa yang ia alami. Tatapan Romeo kemudian terarah pada lengan Sabrina yang terbuka dan terpaku pada sebuah bekas luka berwarna kecokelatan di permukaan kulit perempuan itu.

“Luka di lengan kanan lo, itu gara-gara Rangga juga?” tanya Romeo.

Sabrina langsung melihat luka di bagian lengan kanannya yang dimaksud oleh Romeo dan mengangguk. “Satu hari sebelum gue ngajak dia putus, dia sempat ngamuk karena gue pulang bareng cowok lain. Dia nggak bisa dihubungi waktu itu, gue juga lagi nggak punya saldo buat pesan ojek online dan kebetulan, teman gue ini pulang satu arah. Gue udah izin sama dia lewat chat tapi dia nggak bales.”

“Lo diapain?”

“Disundut pakai rokoknya.”

Detik itu, Romeo tahu kalau dirinya tidak punya alasan untuk menolak lagi. Di matanya saat ini, Sabrina terlihat seperti seekor anak kucing di tengah hujan lebat. Romeo punya alergi pada bulu kucing, ia akan langsung bersin ketika berkontak langsung pada hewan itu. Kucing itu penuh luka, tapi sama sekali tidak mengeong kencang untuk menarik perhatian orang-orang di sekitarnya agar diberi bantuan. Suaranya mencicit kecil, seolah gengsi yang kucing itu punya jauh lebih besar daripada rasa sakit dan dingin yang menyiksanya.

Melihat Sabrina saat ini mengingatkan Romeo pada adegan itu. Ia tetap memutuskan untuk mengambil tubuh kecil kusing itu dan membawanya pulang, meski dengan risiko alerginya akan kambuh. Romeo memutuskan untuk membantu Sabrina, dengan nekat mengatakan bahwa ia akan membantu perempuan itu walaupun tahu bahwa konsekuensi yang akan dihadapi tidaklah mudah.

TW // Harsh words , verbal sexual harassment , slut shaming

“Anjing, si Rangga ada di depan.”

Sabrina berujar panik setelah mendapatkan pesan dari pemilik kos yang sepertinya sedang duduk di halaman depan rumah itu. Kanina yang sedang mengunyah makanannya pun langsung melotot dan ikut melihat isi percakapan antara Sabrina dan Bu Riti, si ibu kos yang sedang memberitahu soal keberadaan Rangga. Sabrina mengetikkan sesuatu di ponselnya, jantung perempuan itu menggema gila-gilaan karena terlampau panik menunggu jawaban dari si ibu kos yang entah mengapa, terasa seperti berabad-abad.

“Ada si Bapak juga, kan, di luar?” tanya Kanina sambil menepuk pelan punggung temannya, mencoba menenangkan Sabrina yang benar-benar terlihat tegang. Apapun yang berkaitan dengan Narangga Adiwijaya selalu membuat Sabrina ketakutan, Kanina benar-benar mengutuk Rangga karena telah membuat temannya sampai harus bersembunyi begini.

“Ada, harusnya kalau udah dihalangin sana si Bapak, Rangga bakal kapok, sih.” Sabrina menjawab sambil terus melihat ke arah ponselnya, menunggu jawaban dari si ibu kos sambil berharap bahwa Rangga tidak akan berbuat nekat.

“Lo mendingan cuci tangan dulu, biar gue yang nunggu jawabannya si Ibu.” Kanina angkat bicara, tangannya menunjuk ke arah pintu kamar mandi Sabrina yang tertutup cukup rapat. “Biar kalau ada apa-apa, at least tangan lo udah bersih dan siap tonjok-tonjokan sama Rangga. Oke?” ujar Kanina kemudian.

Sabrina mengangguk, perempuan itu kemudian langsung bangkit dari lantai dan berlari kecil menuju kamar mandi. Dengan gerakan secepat kilat, Sabrina mencuci kedua tangannya menggunakan air dan sabun, lalu langsung keluar terburu-buru setelah selesai dengan urusannya di sana. Sabrina langsung menahan napas ketika suara notifikasi pesan masuk terdengar berkali-kali, tubuhnya semakin menegang. Perempuan itu menghampiri Kanina, kemudian ikut duduk untuk meraih ponsel miliknya. Dengan tangan yang sedikit gemetaran, perempuan itu membuka pesan yang masuk dengan perasaan cemas.

Bu Riti (Ibu Kos)

Mbk tlg cepat,,,

Bapak sdg berdebat dg Ms Rangga n Ms Rangga kelihatan emosi,,,

Sy takut suami sy ditonjok Mbk

Cepet ya Mbk

Mbk Sabrina

Mbk Sabrina tlg cepat..

Melihat pesan itu, Sabrina dan Kanina langsung berdiri. Kanina menyempatkan diri untuk meraih ponsel Sabrina yang tadinya tertinggal di lantai, kemudian mengambil ponsel miliknya sendiri untuk dibawa. Dua anak manusia itu kemudian langsung berlari dengan panik ke arah ruang tamu untuk melihat apa yang terjadi. Dan benar saja, suara Rangga yang lantang meminta agar dibiarkan menemui Sabrina langsung terdengar dan membuat Sabrina hampir kehilangan nyalinya.

“Rangga,” panggil Sabrina ketika sudah melihat Rangga dengan jelas. Laki-laki itu langsung mengangkat kepala dan memandang Sabrina, sebuah senyum miring muncul di wajahnya yang menyebalkan. Sabrina langsung dapat merasakan cairan di lambungnya naik ke tenggorokan, bahkan hanya menatap Rangga sudah berhasil membuatnya mual bukan main. “I’ve told you to stop bothering me, haven’t I?” ucap Sabrina dengan nada muak setengah mati.

Oh, there you are, Princess. Aku tahu kalau kamu pasti ada di dalam, but this old bastard right here kept telling me to go and said that you’re not home yet.” Rangga maju dengan langkah lebar, melewati pasangan suami-istri pemilik rumah kos yang Sabrina tempati sambil melemparkan tatapan tajam ke arah dua orang itu, seolah memberi peringatan keras untuk tidak mencampuri urusannya dengan Sabrina melalui tatapan itu.

“Maju satu langkah lagi dan gue pastikan lo benar-benar mendekam di penjara besok pagi,” ucap Sabrina dengan nada dingin yang tak kalah menusuk. “I’ve told you many times that we’re over, gue nggak mau berurusan sama orang gila kayak lo lagi. Please, apa sesusah itu buat bikin lo paham kalau gue udah benar-benar muak sama kelakuan lo?” ucap Sabrina sambil menatap tepat ke arah kedua iris cokelat gelap milik Rangga, sejenak bertanya-tanya bagaimana bisa dirinya pernah jatuh cinta pada sosok kejam dan gila di depannya itu dulu.

“Fine.”

Rangga berhenti melangkah dan mengangkat tangan. “Ayo ngobrol di tempat lain kalau kamu nggak mau di sini. Take it or I’m gonna do something terrible, you better be good to me, Sabrina.”

Sabrina menatap ke sekeliling, termasuk kepada sosok Kanina yang berdiri sekitar dua meter di belakangnya. Sabrina bertanya pada perempuan itu melalui tatapan matanya, mencoba mencari dukungan moral pada Kanina dan mendapatkan sebuah anggukan pelan. Nggak apa-apa, begitu kiranya jawaban yang Kanina berikan. Sabrina kemudian memandang pemilik kosnya, merasa bersalah karena sudah membuat keributan dan membiarkan dua orang itu harus menghadapi kebrutalan Rangga. Sabrina menarik napas panjang, meyakinkan diri bahwa segalanya akan baik-baik saja dan Rangga tidak akan berani bertindak macam-macam.

“Gue udah ngasih tahu cowok-cowok kos sebelah kalau lo kemungkinan butuh bantuan. Nanti kalau ada apa-apa, teriak yang kencang, oke? Mereka lagi pada ngumpul di gazebo depan sana dan bakal siap bantuin lo kalau lo butuh.” Kanina mendekat ke arah Sabrina dan membisikkan hal itu agar Sabrina bisa merasa sedikit tenang. Kanina sengaja tidak meminta rombongan anak laki-laki di kos sebelah yang dia maksud untuk langsung bertindak. Rangga itu orang gila, laki-laki itu tidak akan segan menyakiti Sabrina kalau merasa terancam dan Kanina tidak ingin membuat segalanya menjadi lebih runyam. Selain itu, Kanina sejujurnya tidak seberani itu untuk membantu Sabrina secara langsung. Nyalinya tidak sebesar Sabrina, jadi perempuan itu lebih memilih untuk membantu temannya dengan cara lain.

Let’s talk, tapi gue nggak mau bicara di tempat lain selain di dekat sini.” Sabrina menyanggupi, perempuan itu kemudian berjalan mendahului Rangga dan mencoba mencari tempat yang aman untuknya bicara dengan Rangga.

Mereka berdua kemudian sampai di depan sebuah taman yang sepi, tempat itu terletak kira-kira dua meter dari rumah kos Sabrina, tidak terlalu jauh dan masih dapat dijangkau oleh pandangan. Sabrina kemudian mendudukkan diri di sebuah ayunan di sana, dengan sengaja melebarkan kaki dan tangannya hingga tidak ada lagi tempat kosong untuk Rangga duduk. Dia biarkan laki-laki itu berdiri di sisi ayunan, benar-benar merasa enggan jika harus berada di dalam jarak dekat dengan Rangga.

“Lo mau ngomong apa lagi?” tanya Sabrina tanpa basa-basi. Perempuan itu benar-benar sudah terlihat muak dengan eksistensi Rangga.

Rangga memperhatikan perempuan di depannya itu dengan tatapan tertarik, laki-laki itu kemudian mengudarakan tawa sarkastik yang membuat Sabrina semakin harus menebalkan sabar. “First of all, tolong berhenti addressing diri kamu dengan kata ganti lo-gue. It doesn’t suit you, Sweetheart. Kamu kedengaran kayak bukan Sabrina yang aku kenal,” ucap laki-laki itu sebagai pembukaan.

Oh, please. Kalau lo cuma mau bilang sesuatu yang nggak penting begitu, gue bakal pulang. Stop wasting my time and get straight to the point, gue muak lihat muka lo.” Sabrina menyanggah dengan berani, tidak peduli kalau Rangga kemungkinan akan menjadikannya sasaran empuk untuk meluapkan emosi setelah ini. “And the way I’m addressing myself with lo-gue is not your business at the very first place, lo nggak punya hak untuk mengatur cara bicara gue.”

Damn, I didn’t know that you could be such a brat. Nggak apa-apa, I kind of love this side of you. It turns me on, you know?” ucap Rangga sambil menatap Sabrina seolah perempuan itu adalah seonggok daging lezat yang siap disantap kapan saja.

“Straight to the point, asshole.”

Rangga tertawa kencang. “Oke, maaf.”

Laki-laki itu kemudian meluruskan posisi berdirinya. “Siapa orangnya?” tanya Rangga, kali ini dengan nada yang benar-benar serius. Berhasil membuat Sabrina merinding hingga seluruh tubuhnya menegang takut.

“What do you mean?”

Rangga berdecak. “Kamu nggak mungkin minta putus tanpa alasan, Sabrina. Aku bukan orang tolol yang bisa kamu tipu seenaknya, alasan kamu ngajak putus itu benar-benar nggak masuk akal.”

Sabrina langsung mengangkat kepalanya agar bisa bertatapan langsung dengan Rangga. Sabrina heran, kemana sebenarnya otak Rangga yang pintar itu pergi? Bagaimana bisa laki-laki itu memiliki gelar mahasiswa berprestasi kalau untuk urusan memahami hal sesederhana ini saja Rangga tidak bisa?

“Lo memang selalu tolol kayak gini, ya?” tanya Sabrina.

Rangga mendesis menahan kesal. Laki-laki itu sampai harus memejamkan mata dan mengepalkan tangan di sisi tubuhnya, mencoba menahan gejolak emosi yang dengan cepat naik ke kepala karena karena cara bicara Sabrina yang benar-benar kasar.

“Damn, how far did that bastard change you actually?” Rangga menggeleng tidak habis pikir, membuat Sabrina yang mendengar itu langsung menunjukkan ekspresi bingung. Rangga kemudian melanjutkan, “Apa aja yang sebenarnya selingkuhan kamu ajarkan sampai kamu berubah jadi perempuan kasar kayak gini? Tell me, sejauh mana bajingan itu udah merusak otak kamu?”

Astaga, laki-laki ini benar-benar sudah gila sepertinya. Sabrina mengerang frustasi, diam-diam berharap kalau ada sebuah batu besar yang bisa digunakan untuk melempar Rangga dengan keras, Sabrina mungkin sudah melakukan itu sejak lama. Masalahnya, batu terdekat yang bisa dilihatnya saat ini berada sekitar sepuluh langkah dari tempatnya duduk dan Rangga pasti akan bisa membaca gerakannya jika Sabrina mencoba melakukan hal itu.

“Gue nggak selingkuh, Bangsat. Lo paham bahasa manusia nggak, sih? Gue mau putus karena lo kasar dan gue nggak tahan sama temperamen lo yang kacau itu, mana bagian yang lo nggak ngerti?!”

Rangga tertawa semakin kencang, wajah bengisnya benar-benar terlihat menakutkan dan Sabrina semakin marah dibuatnya.

“Perempuan murahan kayak kamu nggak mungkin bisa bertahan hidup tanpa laki-laki, Sabrina. Kamu nggak mungkin bisa lepas dari aku kalau belum menemukan orang lain yang bisa gantiin posisi aku. You’re a weak little slut, kamu itu lemah dan butuh dilindungi, nggak mungkin kamu berani melangkah ke dunia di luar sana tanpa seseorang yang bisa bikin kamu merasa aman. Tell me, siapa orangnya sekarang?”

Sabrina benar-benar ingin memukul wajah itu sekarang juga. Perempuan itu benar-benar hampir melayangkan sebuah tamparan keras ke wajah Rangga, tapi gerakannya terhenti ketika Rangga kembali bersuara.

“Sebutin namanya dan biar aku ketemu sama dia, kalau memang selingkuhan kamu itu jauh lebih baik dari aku, I’ll let you go. Aku bakal membiarkan kamu bebas kalau memang selingkuhan kamu bisa unggul dari aku dalam banyak hal.”

Oh, Sabrina melihat sebuah kesempatan untuk kabur dari Rangga karena mendengar kalimat itu. Kemudian dengan akalnya yang hanya tersisa setengah, Sabrina menatap Rangga dengan tatapan berapi-api, menantang Rangga seolah tidak ada lagi ketakutan yang menghuni dirinya. “Kalau dia memang lebih baik dari lo, apa lo bakal benar-benar enyah dari hadapan gue selamanya?” tanya Sabrina dengan nada berani.

Rangga tersenyum. “See? Kamu mengaku dengan sendirinya kalau kamu selingkuh. What a pathetic little whore you are, Sabrina. Aku nggak menyangka kalau selama ini, perempuan kesayanganku ternyata semurah ini.”

Dan sepertinya, Sabrina memang sudah benar-benar kehilangan kewarasannya. “Jawab pertanyaan gue, kalau memang selingkuhan gue jauh lebih baik daripada lo, apa lo bisa menjamin kalau lo bakal pergi dari hidup gue selamanya?”

Laki-laki itu mengangguk dan memperhatikan wajah Sabrina secara keseluruhan. Tatapan kejamnya semakin jelas terlihat ketika menemukan bahwa tidak satupun rasa takut yang bisa dia temukan di wajah Sabrina. Perempuan itu benar-benar menantangnya, membuat Rangga sekali lagi mengudarakan tawa sebelum kembali bicara. “Kalau memang iya, aku nggak akan mengganggu hidup kamu lagi.”

Sabrina hampir bersorak di tempatnya kala mendengar kalimat itu. Namun niatnya batal karena Rangga yang kembali bicara dan kali ini, sebuah ancaman mengerikan laki-laki itu lemparkan dengan santai. “Tapi kalau nggak, you’ll get the consequences. Aku pastikan kamu bakal menyesal dan merangkak di tanah biar bisa balik lagi ke aku. Aku bakal bikin kamu nggak mau melirik orang lain lagi selain aku, aku pastikan kamu memuja tiap bekas langkah kakiku sampai aku mau memaafkan kamu.”

Gilanya, Sabrina langsung mengangguk setuju.

“Gue pastikan dia jauh lebih baik dari kamu, pegang omonganku.” Perempuan itu bangkit dari ayunan yang dia duduki dan menatap Rangga sambil tersenyum lebar. “Atur waktunya biar kalian bisa ketemu, gue pastikan dia nggak akan kalah dari lo dari segi apapun.”

Sabrina gila. Perempuan itu benar-benar sudah gila.

Catatan: Narasi di bawah ini mengandung kata-kata kasar dan tidak pantas, mengangkat isu seputar toxic relationship dan kekerasan. Mohon untuk menjadi pembaca yang bijak. Karakter Narangga dalam cerita ini tidak akan diberi face claim untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

Jakarta, dua bulan sebelumnya.

Hari ini adalah hari jadi ke enam bulan bagi Sabrina dan laki-laki yang dia panggil dengan sebutan Rangga itu. Sabrina tidak tahu apa yang membuat dirinya sampai bisa bertahan dalam waktu yang cukup lama. Menghadapi Rangga bahkan hanya untuk satu hari akhir-akhir ini sudah terasa seperti neraka, entah bagaimana bisa perempuan itu menahan diri untuk tidak kabur dari Rangga selama enam bulan. Silakan sebut Sabrina bodoh karena tidak pernah menyadari kalau sebenarnya, ada yang salah dengan Rangga selama ini, tapi serius, laki-laki itu benar-benar tidak menunjukkan tanda-tanda aneh apapun di awal hubungan mereka dimulai.

Segalanya berjalan lancar, Rangga benar-benar merupakan laki-laki idaman yang membuat teman-teman Sabrina mengeluh iri karena tidak punya sosok yang sama dalam hidup mereka. Kalau dulu, Sabrina mungkin akan langsung setuju dengan ungkapan penuh rasa iri itu tanpa harus berpikir dua kali. Namun setelah melewati waktu hampir enam bulan bersama Rangga dan melihat bagaimana sifat laki-laki itu sebenarnya, Sabrina tidak akan sungkan memuntahkan semua rasa jijiknya di depan orang-orang yang memuji Rangga dengan kalimat-kalimat baik itu.

Narangga Adiwijaya, laki-laki itu berdiri di depannya sembari menjepit sebatang rokok di antara belah bibir. Tatapan mata Rangga sama sekali tidak terarah pada Sabrina, laki-laki itu lebih memilih untuk menatap ke samping, memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang di sekitar mereka seolah perempuan di depannya itu sama sekali tidak terlihat.

Sabrina memperhatikan presensi Rangga dengan hati-hati, menyapu seluruh wajah Rangga dengan tatapan yang terlihat datar andalannya. Wajah bengis di depannya itu membuat Sabrina bergidik ngeri. Laki-laki itu bisa melakukan apa pun yang dia inginkan sekarang dan Sabrina mungkin tidak akan selamat kali ini. Pikiran untuk mundur dan menyerah mulai membayangi, Sabrina takut kalau Rangga akan melakukan sesuatu yang lebih parah daripada yang sudah laki-laki itu lakukan kemarin.

Namun rasa sakit di tulang pipinya, hasil dari tamparan keras dari Rangga dua hari lalu, membuat perempuan itu kembali dijemput logika. Rasa perih dan pening yang sampai saat ini masih terasa di kulit kepalanya akibat dari tarikan kencang yang Rangga berikan pada helai rambut hitamnya membuat Sabrina kembali dikuasai amarah. Harga dirinya diinjak seenak hati dan Sabrina tidak akan membiarkan hal itu terjadi lagi.

Apa yang sebetulnya Sabrina cari dari laki-laki di depannya ini? Apa yang sebenarnya membuat Sabrina sampai mau bertahan selama ini? Apa yang Rangga tawarkan padanya sampai Sabrina mau menerima semua kalimat berisi hinaan yang dilontarkan dengan nada kasar itu selama beberapa bulan ini?

Sabrina mengernyit pelan karena pikirannya sendiri. Perlahan namun pasti, rasa asam dan pahit naik ke permukaan kerongkongannya dan membuat Sabrina harus menahan mual. Memikirkan pertanyaan-pertanyaan itu membuat Sabrina ingin muntah, merasa jijik pada dirinya sendiri yang sudah dengan mudah terjerumus ke dalam lubang hitam yang Rangga ciptakan. Menyesali kebodohannya karena mau terjebak dalam jerat yang Rangga pasang dan baru menyadari hal itu setelah tubuhnya sudah terlanjur menjadi sasaran amarah laki-laki di depannya ini.

Biar Sabrina ceritakan sedikit tentang dirinya dan laki-laki yang kini tengah menatapnya dengan malas itu. Semuanya berawal dari sebuah festival musik yang diadakan oleh fakultas tempat Rangga menimba ilmu delapan bulan yang lalu. Sejujurnya, Sabrina enggan mengingat kembali kejadian itu. Ingatan soal hari itu selalu berhasil membuat Sabrina membenci dirinya sendiri karena dengan mudah memberi kesempatan pada Rangga. Namun untuk kali ini, tidak apa-apa. Seluruh dunia memang sudah seharusnya tahu soal serusak dan sejahat apa sosok Rangga yang selama ini orang-orang puji.

Sabrina bukan orang yang suka keramaian. Perempuan itu lebih suka kesunyian yang tercipta saat dirinya berada di dalam kamar sendiri, hanya dirinya yang berbaring tanpa melakukan apa pun. Namun di hari itu Kanina Gangika, temannya, meminta Sabrina untuk menemani perempuan itu datang ke sebuah festival musik yang diadakan oleh Fakultas Hukum kampus tetangga. Kalila benar-benar ingin melihat salah satu guest star yang diundang, katanya. Kanina bilang, perempuan itu benar-benar mengidolakan band indie itu tapi tidak ada satu pun orang yang bisa menemaninya hari itu kecuali Sabrina.

“Gue tahu semua kegiatan lo, Sabrina. Nggak mungkin lo punya jadwal penting di hari Sabtu kayak begini, gue adalah orang yang paling hafal sama kebiasaan lo, oke? Jangan coba-coba buat bohong sama gue dan bilang kalau lo punya sesuatu yang lain untuk dikerjain.”

Sabrina yang pada dasarnya memang tidak punya kegiatan apa pun untuk dilakukan tidak kuasa menolak. Kaninaa sudah membantunya mengerjakan tugas penting di hari sebelumnya, jadi mau tak mau dia harus mengiyakan ajakan itu. Mereka berangkat ke venue tepat satu jam sebelum acara di mulai dan masalahnya, tidak satu pun dari mereka yang punya tiket untuk masuk.

“Sumpah, lo datang ke sini semangat banget tapi ternyata sama sekali belum punya tiket?” Sabrina menggerutu kesal pada Kanina, sedangkan lawan bicaranya hanya mengangguk tanpa dosa.

“Kata mutual gue di Twitter, nanti bakal banyak anak-anak panitia yang jualan tiket on the spot. Harganya gak bakal jauh beda, kok. Paling naik sekitar sepuluh ribu atau dua puluh ribu, lo tenang aja soalnya tiket lo bakal gue bayarin.” Kanina mencoba meyakinkan Sabrina kalau mereka akan tetap mendapat tiket yang dimaksud. Perempuan berambut pendek sebahu itu mengedarkan pandangan dan pada akhirnya tatapannya jatuh pada seorang laki-laki dengan nametag panitia yang menggantung di leher.

“Nah, itu dia. Dia pegang tiketnya, lo tunggu di sini sebentar. Gue mau beli tiketnya dulu, jangan kemana-mana.”

Sabrina sama sekali tidak protes saat Kanina berlari menjauh darinya. Perempuan itu lebih memilih untuk menyingkir dan berteduh di dekat salah satu stand makanan dan minuman yang letaknya sedikit di ujung. Sabrina mengangkat kepalanya dan mengawasi keberadaan Kanina di ujung sana. Sahabatnya itu terlihat tengah berbincang cukup akrab pada laki-laki yang dia sebut sebagai panitia penjual tiket. Namun tanpa disangka, bukannya bertemu dengan tatapan Kanina, kedua mata Sabrina malah bertemu dengan laki-laki si penjual tiket yang sedang dihampiri perempuan itu. Laki-laki itu memandangnya dengan tatapan penasaran, ada sesuatu yang terpancar dari tatapannya yang Sabrina tidak cukup mengerti apa itu.

Sabrina memutus kontak mata mereka, lebih memilih untuk memandang ke arah lain dan membiarkan laki-laki itu menatapnya semakin intens. Kemudian tak lama setelah itu, Kanina kembali menghampiri Sabrina. Langkahnya terlihat riang. Namun ada yang janggal dari perempuan itu, sebab kedua tangan Kanina kosong tanpa hasil dan tidak ada satu pun tiket yang perempuan itu bawa.

“Lah, bukannya tadi lo ke sana mau beli tiket? Terus mana tiketnya?” tanya Sabrina.

Kanina terkekeh pelan, perempuan itu menampilkan tawa jahil yang sering Sabrina lihat setiap kali Kanina punya sebuah ide gila di otaknya. Senyum itu membuat Sabrina seketika merasa was-was, terutama ketika matanya kembali bersinggungan dengan tatapan laki-laki penjual tiket di ujung sana.

“Cowok yang jualan tiket di sana, lo lihat, kan?” tanya Kanina.

Sabrina mengangguk pelan.

“Katanya dia baru mau jual tiketnya ke kita kalau lo yang ambil ke sana,” ucap Kanina. Kanina kembali tersenyum jahil, perempuan itu kemudian meraih tangan Sabrina, menggoyang-goyangkan tangannya dengan gerakan manja. “Dia kayaknya naksir sama lo, deh, Sab. Samperin, gih. Biar satu kali dayung, dua pulau terlampaui. Nonton festivalnya dapet, cowok juga dapet. Siapa tahu nanti kita dikasih diskon juga, kan?”

Gagasan itu terdengar buruk dan seharusnya hari itu, Sabrina sama sekali tidak pernah mendengarkan Kanina. Harusnya hari itu, Sabrina tidak pernah berjalan menuju si laki-laki penjual tiket dan berdiri di depan laki-laki itu dengan wajah kaku penuh gugup.

“Tiketnya masih ada, Kak?”

Laki-laki di depannya memiringkan wajah, menatap Sabrina dengan tatapan tertarik yang kali ini tidak lagi disembunyikan. Sabrina yang menerima tatapan itu kontan menelan ludah gugup, perempuan itu diam-diam memilin ujung baju yang dipakainya.

“Lo angkatan berapa?” tanya laki-laki itu.

“Hah?”

Lelaki di depannya itu berdecak pelan, ada kilat gemas yang terpancar di kedua matanya. “Gue nanya, lo angkatan berapa? Jurusan apa? Anak kampus sini juga atau bukan?”

“Angkatan 2020,” jawab Sabrina dengan suara gugup.

“Jurusan?”

“Hubungan Internasional.”

“Anak kampus sini?”

Sabrina menggeleng.

“Lo bawa hp?”

Sabrina mengangguk.

“Boleh minjem hp lo sebentar?”

Sabrina mengerutkan keningnya. “Buat apa?”

“Minjem dulu aja, nggak akan gue apa-apain. Percaya sama gue,” ucap laki-laki itu sembari mengulurkan tangan ke depan, bermaksud untuk meminta Sabrina menyerahkan ponsel yang tengah digenggam oleh perempuan itu. “Lo boleh nolak, kok. Kasih hp-nya kalau lo percaya sama gue aja. Kalau pun nanti gue bertindak macam-macam, bawa lari hp lo misalnya, lo boleh teriak. Banyak orang yang bakal nolongin lo dan gue nggak akan bisa lari kemana-mana.”

Bodohnya, Sabrina benar-benar menyerahkan ponselnya. Bahkan, Sabrina dengan enteng membukakan kunci layar ponselnya dan membiarkan laki-laki di depannya itu melakukan sesuatu di sana. Tak sampai satu menit kemudian, ponsel itu kembali berada di tangan Sabrina dalam keadaan layar yang menyala terang dan aplikasi Instagram miliknya yang terbuka.

“Itu akun Instagram gue, nanti kalau udah luang dan acara udah selesai bakal gue follow balik. Nama gue Narangga, panggil aja Rangga.” Laki-laki itu kemudian menyerahkan dua tiket yang dipegangnya kepada Sabrina sebelum kembali melanjutkan. “Ini tiketnya, nggak apa-apa nggak usah bayar. Gue percaya sama yang namanya takdir dan gue yakin, pertemuan hari ini adalah salah satu bagian dari takdir yang kita punya. Kalau memang diizinkan, kita bakal ketemu lagi dan gue bakal tagih duit tiket itu dalam bentuk lain. Makan bareng, misalnya? By the way, salam kenal ya, Sabrina.”

Harusnya hari itu, Sabrina tidak pernah mengizinkan rasa asing itu untuk mampir ke dalam dadanya. Harusnya, Sabrina sama sekali tidak pernah membiarkan Rangga masuk ke dalam hidupnya dan membuatnya berada di ambang kehancuran seperti saat ini. Harusnya hari itu, Sabrina sama sekali tidak pernah membiarkan jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Sebab delapan bulan setelahnya laki-laki itu malah menjadi alasan utama bagi rasa sakit yang Sabrina rasakan di bagian sana.

Padahal sebelum adanya Rangga, Sabrina baik-baik saja. Rutinitasnya sebagai mahasiswa semester enam jurusan Hubungan Internasional yang cukup aktif di kampus berjalan tanpa masalah yang berarti. Harusnya, Sabrina tidak perlu merusak hidupnya yang damai dan tenang hanya karena seorang bajingan seperti Rangga.

Rangga berdecak cukup keras, membuat Sabrina langsung ditarik keluar dari lamunannya. Perempuan itu kembali menatap Rangga seperti yang tadi dia lakukan, mendapati kalau kekasihnya itu tengah memperhatikan dirinya dengan tatapan tajam.

“Mau ngomong apa?”

Kini giliran Sabrina yang mengedarkan pandangan ke sekeliling. Perempuan itu memperhatikan suasana gedung fakultas Rangga yang hari ini terlihat cukup ramai, dalam hati merasa bersyukur karena sepertinya, nasib baik akan berpihak padanya kali ini. Setidaknya jika terjadi sesuatu nanti, orang-orang di sekitarnya akan mampu mendengar teriakannya dan akan menolongnya dari apapun yang Rangga lakukan.

Sabrina harap begitu, dia harap semuanya akan baik-baik saja nantinya. Sabrina menarik napas panjang, mempersiapkan diri sebaik mungkin sebelum mengatakan kalimat yang sejak tadi berputar di kepalanya sampai membuat perempuan itu pening bukan main. Kedua tangannya digenggam erat, berusaha keras agar jari-jemarinya berhenti gemetar supaya dia bisa fokus pada tujuannya kali ini.

“Aku mau putus,” ucap Sabrina pada akhirnya.

Kalimat itu berhasil membuat Rangga memusatkan perhatian pada Sabrina. Rokok yang tadi berada di antara jepitan bibirnya kini dimainkan dengan tangan, sebelum kemudian dia jatuhkan benda itu ke tanah. Dalam hitungan detik, batang rokok yang sebetulnya masih berukuran cukup panjang itu sudah berubah menjadi seonggok sampah tanpa harga. Dengan gerakan kasar, Rangga menginjak puntung rokok itu hingga tak berbentuk dan gerakan itu berhasil membuat nyali Sabrina kembali menciut.

“Kamu bilang apa tadi?” tanya Rangga dengan suara dingin yang menusuk.

Laki-laki itu maju satu langkah, dua tangannya dimasukkan ke dalam saku jaket yang dipakainya dan tubuhnya dibuat sedikit menunduk agar bisa menatap Sabrina tepat di mata.

“Aku—”

“Kamu mau putus? Iya?”

Sabrina mengangguk terpatah, perempuan itu benar-benar ketakutan sekarang. Wajah Rangga saat ini benar-benar terlihat menakutkan, rahang laki-laki itu mengetat dan matanya yang setajam elang itu menatap Sabrina seolah siap membelah tubuhnya menjadi dua bagian. Kaki Sabrina melemah dan kehilangan kekuatan, kalau saja saat ini tubuhnya tidak sedang bersandar pada dinding di belakangnya, tubuh perempuan itu mungkin benar-benar akan jatuh terduduk di lantai. Namun meskipun begitu, Sabrina juga sadar kalau posisinya saat ini tidak benar-benar menguntungkan. Rangga berada satu langkah di depannya, membuat tubuh Sabrina terhimpit di antara laki-laki itu dan dinding dan Sabrina kebingungan harus ke arah mana dirinya berlari kalau Rangga maju lebih dekat.

“Aku kurang apa memangnya sampai kamu mau minta putus begini?” tanya Rangga dengan suara menantang. “Aku kurang royal? Iya? Apa yang udah aku lakuin buat kamu selama ini kurang? Kasih tahu aku alasan kenapa kamu sampai tiba-tiba berani minta putus.”

Sabrina memejamkan mata sejenak, mencoba meyakinkan diri kalau dia bisa melewati ini, kalau dirinya bisa membuka mata dan menatap balik sosok Rangga yang kini berdiri menjulang di depannya, kalau dirinya bisa melawan kalau saja Rangga kembali melayangkan pukulan ke arahnya. Namun belum sempat Sabrina mengatakan apapun, Rangga menginterupsinya dengan mengucapkan sesuatu.

We’re in public, I won’t hit you. Buka mata kamu dan jangan bersikap seolah-olah kamu lagi diintimidasi, Sabrina.”

Masalahnya, Sabrina tidak bisa menyebutkan kata apapun yang cocok menggambarkan situasi itu selain dengan kata kalau dirinya merasa terintimidasi. Dengan segenap keberanian yang dia punya, Sabrina membuka mata dan menatap Rangga dengan tatapan menantang.

“Itu tadi adalah salah satu alasan kenapa aku berani minta putus dari kamu,” jawab perempuan itu. Punggungnya yang sedari tadi menempel pada dinding perlahan mendapat kekuatan untuk tak lagi bertumpu di sana.

You hit me two times, sesuatu yang bahkan nggak pernah berani dilakukan orang tuaku. Kamu manggil aku pelacur cuma karena aku minta tolong sama teman kamu, kata itu bahkan nggak pernah aku dengar dari orang-orang di sekitarku selama aku hidup dan kamu dengan enteng manggil aku dengan sebutan itu. Kamu mau tahu? Aku menyesal karena baru sekarang aku berani minta putus dari kamu. Harusnya dari awal sejak kamu berani main tangan, aku udah lari sejauh-jauhnya dari kamu. But I was too dumb for your sweet lies, padahal yang kamu bilang itu semuanya omong kosong yang nggak sepatutnya aku percaya.”

Sabrina bisa melihat kalau rahang Rangga semakin mengetat dan kedua tangan laki-laki itu mengepal semakin erat. Kalau Sabrina masih nekat melanjutkan kalimatnya, kepalan tangan itu mungkin benar-benar akan terarah padanya seperti yang sebelumnya terjadi. Namun Sabrina sudah terlanjur kehilangan kewarasannya, bukannya berlari dan menyelamatkan diri, perempuan itu malah bertekad menerima pukulan yang kemungkinan besar akan benar-benar dia terima dari Rangga dan membiarkan laki-laki itu lepas kendali sehingga orang-orang yang lewat di sekitar mereka akan tahu kalau laki-laki di depannya ini tengah memukulnya.

Biarlah begitu, biarlah reputasi yang Rangga bangun susah payah sebagai mahasiswa baik dan berprestasi selama ini hancur dalam sekejap karena perbuatannya sendiri, Sabrina yakin dirinya akan bisa menahan rasa sakit dari pukulan Rangga nantinya asal laki-laki itu juga ikut hancur.

“Siapa?” tanya Rangga.

Sabrina memandang laki-laki itu bingung.

“Siapa yang berani mendoktrin kamu dan bilang kalau semua yang kulakuin selama ini itu salah? Siapa orang yang udah berani mempengaruhi pikiran kamu sampai kamu jadi perempuan nggak tahu diri begini?” tanya Rangga sekali lagi. Lelaki itu memandang Sabrina dari kepala hingga ujung kaki, memindai pakaian yang Sabrina gunakan di tubuhnya pagi itu dan membuat Sabrina merasa ketakutan setengah mati.

“Siapa yang udah cuci otak kamu sampai kamu berani melanggar peraturan dari aku untuk nggak pakai pakaian kayak gini? Siapa yang berhasil bujuk kamu sampai berani ke kampus dengan penampilan kayak orang mau jual diri begini, Sabrina?”

Sabrina merasa napasnya mulai memburu, perempuan itu kesulitan mengatur tarikan dan hembusan udara yang masuk ke dalam paru-parunya. Kalimat yang Rangga katakan barusan menusuknya hingga ke ulu hati, membuat Sabrina gemetaran sebab darahnya mendidih hingga ke ubun-ubun.

There’s nothing wrong with the way I dress, dumbass.”

Rangga memicingkan mata. “What did you just call me?

Sabrina maju satu langkah, membuat jarak mereka kini benar-benar dekat sampai dia mampu mendengar deru napas Rangga yang sama berantakannya dengan dirinya.

I said, there’s nothing wrong with the way I dress and I called you a dumbass, a fucking dumbass who ruined my life.” Sabrina nekat mengangkat tangannya, menusukkan telunjuk ke dada Rangga dan mendorong laki-laki itu untuk mundur.

Perempuan itu benar-benar sudah tidak peduli kalau setelah ini wajah atau bagian tubuhnya yang lain akan menjadi korban pukulan Rangga seperti yang sudah-sudah. Sabrina sudah cukup mengalah selama ini, hanya karena kebodohannya yang percaya kalau Rangga akan berubah dan perilaku laki-laki itu hanya didasari emosi sesaat. Sudah cukup baginya menjadi bulan-bulanan laki-laki itu, merelakan tubuhnya menjadi samsak tinju hanya karena kesalahan kecil yang dia perbuat. Sudah cukup dan tidak lagi, Sabrina sudah muak dan perempuan itu sadar kalau seharusnya dia sudah kabur dari laki-laki itu sejak lama.

“Enam bulan, Rangga.” Sabrina menarik napas pelan seiring kalimatnya mengalir dengan suara bergetar. “Enam bulan hubungan ini aku jalani dengan perasaan tersiksa setiap kali melakukan sesuatu cuma karena takut kamu bakal marah dan berakhir mukul aku lagi. Enam bulan aku jalani kayak di neraka cuma karena aku takut kamu kecewa dan mengancam bakal menyakiti diri kamu sendiri karena gak mau aku pergi dari kamu. Enam bulan, harusnya nggak perlu waktu selama itu buat aku sadar kalau aku sama sekali nggak pantas hidup dalam neraka itu cuma buat kamu. Harusnya aku sadar lebih cepat dan membebaskan diri dari kamu.”

Dalam hitungan detik setelah kalimat itu tersampai, Sabrina bisa merasakan sebuah tarikan kencang di rambut belakangnya. Rangga tentu merupakan pelakunya, laki-laki itu tengah menatapnya dengan tatapan menggelap. Rangga benar-benar kehilangan kendalinya dan berakhir meluapkan amarah yang memuncak dalam dirinya dengan cara menjadikan Sabrina samsak tinjunya, entah untuk yang ke berapa kali ini.

Sabrina meringis menahan sakit, dan keadaan diperparah dengan tekanan kuat yang dia dapatkan dari tangan Rangga yang menekan lehernya. Rangga mencekiknya dengan segenap kekuatan yang laki-laki itu punya, membuat Sabrina semakin kesulitan bernapas dan batuk mulai menyerangnya tanpa ampun.

“Tolong—”

Sabrina mencoba untuk bersuara, berharap kalau ada seseorang yang melihat mereka dan menghentikan Rangga dari tindakan yang laki-laki itu tengah lakukan. Meski sebetulnya Sabrina kurang yakin akan hal itu, sebab posisi mereka sedikit terhalang oleh tangga menuju lantai dua sehingga orang-orang yang berlalu lalang mungkin tidak akan dapat melihat dengan jelas.

“Harusnya kamu tahu diri, Sabrina. Setelah semua yang kulakuin buat kamu selama ini, setelah semua barang yang kukasih dan semua waktu yang kubuang cuma buat kamu, harusnya kamu tahu diri dan nggak bersikap kayak gini. Dimana kata terima kasih yang sepantasnya kamu bilang ke aku? Kalau tanpa aku, kamu pasti gak akan bisa jadi kamu yang sekarang. Harusnya kamu berterima kasih karena aku bisa aja buang kamu dari dulu, tapi aku nggak pernah melakukan itu karena kasihan sama kamu. Kukira dengan ngasih kamu keringanan selama ini, kamu bakal sadar akan hal itu dan memilih untuk bersyukur, but you did the otherwise. Kamu berhasil buktiin ke aku kalau seharusnya, aku nggak pernah merasa kasihan sama kamu. Kalau seharusnya, aku nggak pernah mengorbankan waktuku buat kamu. Kalau harusnya aku nggak pernah sayang sama orang yang gak ngerti disayang kayak kamu.”

“Rangga—”

Mendengar suara Sabrina yang tercekat dan bagaimana kedua mata bulat di hadapannya itu mulai berkaca-kaca, Rangga tersenyum miring. Laki-laki itu kemudian melepaskan cekikannya dan memberikan Sabrina kesempatan untuk membalas kalimatnya.

“Sayang sama orang lain nggak seharusnya sesakit ini.” Sabrina mengatakan hal itu dengan lirih sebab pita suaranya masih terasa tercekat akibat cekikan yang Rangga berikan. Perempuan itu melanjutkan, “Nggak ada manusia waras yang mukul orang yang dia sayang, cuma orang gila yang ngelakuin itu.”

“Dan menurut kamu aku gila?”

Sabrina mengangguk menantang. “You’re totally out of your mind, kamu sama sekali nggak bisa disebut sebagai manusia normal dan harusnya aku sadar akan hal itu sejak lama.”

Rangga menyempatkan diri untuk tertawa pelan sebelum kemudian menarik Sabrina menuju sebuah gedung tidak terpakai dan membawanya ke bagian kosong di bawah tangga. Posisinya benar-benar tidak menguntungkan sekarang, Sabrina yakin kalau tidak ada orang yang akan tahu kalau mereka sedang berada di sana kalau tidak benar-benar berjalan menuju lorong sempit di samping tangga yang gelap gulita.

“Tarik lagi kata-kata kamu dan aku bakal pura-pura kalau kamu nggak pernah minta putus,” ucap Rangga dengan suara mengancam. Suara laki-laki itu pelan, tapi berhasil membuat seluruh tubuh Sabrina merinding akan rasa takut.

“Aku mau putus,” ucap Sabrina sekali lagi.

“Aku nggak bisa terus-terusan hidup dalam rasa takut kayak gini, aku nggak bisa selalu jadi samsak tinju kamu dengan alasan kalau aku udah ngelakuin kesalahan padahal saat itu kamu cuma pengen marah-marah nggak jelas. Aku nggak bisa terus-terusan jadi tempat kamu melampiaskan emosi padahal aku nggak salah apa-apa. Aku nggak bisa hidup terkekang kayak gini terus, Rangga. Aku mau bebas dan satu-satunya cara untuk bebas adalah lepas dari kamu.”

You didn’t mean it, sweetheart. You didn’t mean everything you told me just now, aku tahu kamu nggak bisa lepas dari aku. You can just say sorry and I’ll forget everything you said earlier, kamu cukup minta maaf dan janji nggak akan jadi anak bandel kayak gini lagi.”

Namun Sabrina lebih memilih untuk mengorbankan dirinya demi mengatakan hal lain yang sejak lama dia simpan di kepalanya sendiri. “Aku nggak akan pernah minta maaf, mau kamu pukul aku sampai mati pun, aku nggak akan pernah mau minta maaf dan jadi orang bodoh lagi. Kamu mau tahu sesuatu? Aku harap seluruh dunia tahu kalau sempurna yang kamu coba tunjukin ke mereka itu cuma omong kosong, kalau image yang kamu coba jaga setengah mati itu cuma topeng yang kamu pakai buat menutupi sifat kamu yang mirip sampah. Aku harap mereka tahu kalau orang yang mereka elu-elukan ini sebenarnya sama sekali nggak pantas mendapat pujian itu.”

Tanpa aba-aba, Rangga kembali mencekik leher Sabrina. Kali ini tekanan yang Rangga berikan di sana benar-benar di luar dugaan dan membuat Sabrina tak mampu bernapas. Rangga menekan tepat di jalur udaranya dan Sabrina tidak yakin kalau dirinya bisa menyelamatkan diri setelah ini. Tangan perempuan itu mencengkram tangan milik Rangga, berusaha menancapkan kuku-kukunya di permukaan kulit laki-laki itu sebagai perlawanan. Matanya memejam erat dan jantungnya bergema gila-gilaan di dalam sana. Sabrina benar-benar ketakutan, nyawanya berada di dalam bahaya dan yang bisa dia lakukan saat ini hanyalah berdoa kalau akan ada seseorang yang datang ke sana untuk menolongnya.

What a dumb little girl,” ucap Rangga dengan suara berbisik.

Laki-laki itu mendekatkan wajah ke arah Sabrina, bermaksud untuk menghadiahkan sebuah kecupan di wajah Sabrina sebelum kemudian laki-laki itu berteriak kencang karena entah dengan kekuatan dari mana, Sabrina berhasil menendang area selangkangannya.

Rangga terhuyung ke belakang, kakinya refleks mundur dan tubuhnya membungkuk menahan sakit. Erangan keras Rangga keluarkan dari belah bibirnya, sementara Sabrina langsung mengambil langkah seribu dari sana. Perempuan itu berlari kencang menuju area gedung yang lebih ramai dan kepanikan yang terlihat amat kentara menguar darinya itu membuat orang-orang yang melihat hal itu mulai menaruh perhatian. Seorang perempuan berusia empat puluh tahunan yang Sabrina tebak adalah seorang dosen kemudian menghampirinya, memegang kedua bahunya dan memberi instruksi padanya untuk menenangkan diri.

“Tolong....”

Suara Sabrina tercekat saat ekor matanya melihat sosok Rangga yang muncul dari arah tangga. Orang-orang yang menyadari itu pun mulai berkerumun membentuk sebuah benteng bagi Sabrina dan perempuan yang membantunya tadi.

Sabrina menunjuk ke arah Rangga yang berjalan pelan ke arahnya. “He—he tried to kill me. Dia mengancam saya karena saya minta putus. Dia selalu mukul saya selama kami berdua masih pacaran, dia selalu jadiin saya samsak tinjunya tiap kali dia emosi. Saya takut sama dia, saya—”

Sabrina tidak lagi mampu melanjutkan kalimatnya sebab beberapa orang laki-laki yang berada di sana mulai menahan tubuh Rangga dan membuat laki-laki itu tidak mampu mendekati Sabrina lagi. Tangis Sabrina pecah, rasa perih dari bekas tekanan yang Rangga berikan di lehernya membuat perempuan itu semakin vokal menyuarakan tangis.

“Leher kamu berdarah, astaga!” Perempuan yang sejak tadi menolongnya dengan menjadikan tubuhnya sebagai benteng bagi Sabrina itu berteriak cukup kencang dan membuat kerumunan semakin ramai.

Detik itu, Sabrina benar-benar menjatuhkan diri ke lantai dan membiarkan orang-orang di dekatnya menyambut tubuhnya. Sabrina kehilangan kesadaran setelahnya dan saat terbangun, perempuan itu menemukan dirinya sudah berada di sebuah ruangan putih asing yang ternyata adalah klinik di kampus itu.

Hari itu adalah titik awal bagi kehidupan Sabrina berubah. Perempuan itu resmi melepaskan diri dari Rangga dan berhasil membuat Rangga tak lagi dikenal sebagai pribadi yang baik di kalangan mahasiswa kampusnya. Orang-orang bilang, Rangga sempat mendapatkan dipanggil ke hadapan pihak kampus untuk memberi penjelasan tentang apa yang terjadi. Sabrina sempat dihubungi untuk dimintai keterangan, tapi perempuan itu menolak. Sabrina tidak ingin berurusan lagi dengan Rangga, bahkan hanya dengan mendengar nama laki-laki itu membuatnya mual bukan main.

Namun sepertinya, Rangga dan kuasa yang laki-laki itu punya memang tidak bisa dikalahkan begitu saja. Rumor tentang si anak tunggal dari donatur terbesar kampus itu nyatanya sama sekali tidak dijerat hukum. Rangga nyatanya kembali bebas tanpa syarat dan Sabrina yakin, laki-laki itu akan kembali mengusik hidupnya. Namun meskipun begitu, Sabrina tidak akan menyerah, tidak sampai Rangga berhenti mengganggunya dan membiarkannya hidup dengan tenang seperti sedia kala.

Keesokan harinya, saya mengantar Ibun ke sebuah cafe tempat dirinya dan Tante Lilian berjanji untuk bertemu. Kami butuh waktu setengah jam untuk menuju ke tempat itu sampai akhirnya, mobil saya terparkir rapi di depan bangunan itu. Bangunan cafe itu cukup luas, cukup untuk menambah beberapa meja dan kursi di luar untuk pelanggan yang ingin mencoba makan ditemani dengan bisingnya jalan raya. Ibun turun dari mobil terlebih dahulu, meninggalkan saya yang masih sibuk menyimpan karcis parkir yang sialnya jatuh ke bawah kursi pengemudi. Setelah berhasil mendapatkan benda kecil itu lagi, saya langsung turun dari mobil dan menyusul Ibun yang ternyata sudah berada di ambang pintu utama cafe.

Saya mengekor dari belakang bak seekor anak ayam yang tengah mengikuti sang induk, kemudian saat saya dan Ibun sudah berada di dalam dan berdiri setidaknya tiga langkah dari orang yang saya sangat yakini merupakan Tante Lilian, saat itulah seseorang lain menoleh ke arah saya dan membuat jantung saya hampir jatuh ke dasar perut.

Anindia duduk di sana, perempuan itu tengah di seberang Tante Lilian. Iya, Anindia yang itu. Anindia yang beberapa bulan lalu saya lihat presensinya di rumah sakit milik Ayah. Anindia yang beberapa bulan lalu menjadikan seekor anak kucing sebagai pasien dadakan hingga rela menjadi bulan-bulanan kemarahan dokter residen yang berjaga saat itu. Anindia yang saya eksistensinya hanya saya ketahui sebatas nama dan tempat bekerjanya. Anindia yang meskipun hanya saya ketahui namanya tapi berhasil membuat saya kasmaran selama berhari-hari setelah menyaksikan aksi heroiknya di rumah sakit hari itu.

Saya terpana, hingga tidak mampu menggerakkan kaki padahal Ibun sudah jauh lebih dulu maju dan memeluk Tante Lilian. Dua orang itu bahkan sudah sama-sama menumpahkan air mata dan membuat beberapa orang lain di meja sebelah menoleh untuk melihat apa yang terjadi. Anindia yang tadinya duduk kini sudah berdiri di sisi meja, sebuah senyum tipis muncul di wajah perempuan itu dan saya sampai harus menahan napas karena pemandangan sederhana itu.

“Ayo duduk dulu, kita ngobrol santai sambil makan. Jean, ambil buku menunya ya, nanti bawa ke sini biar kita pesan.” Saya baru bisa kembali pada kenyataan saat Ibun mengatakan hal itu. Saya mengangguk dan berdiri, kemudian bergerak untuk mengambil buku menu dari salah satu meja yang diletakkan dekat dengan kasir. Saya langsung kembali ke tempat dan menarik salah satu kursi untuk duduk. Saya memberikan buku kecil itu kepada Ibun sembari melirik ke arah lain untuk mendistraksi pikiran dari perempuan bernama Anindia itu.

“Ini Anindia ya?” tanya Ibun dengan suara lembutnya yang khas.

Anindia tersenyum dan mengangguk sopan. “Iya, Tante.”

Singkat dan padat, tapi berhasil membuat Ibun tampak terkesima dengan pembawaan lembut perempuan itu. Dalam hati, saya mendukung respon Ibun sepenuhnya, diam-diam setuju dan memaklumi tatapan terpesona yang Ibun lemparkan saat mereka berdua lanjut berbincang mengenai pekerjaan Anindia sebagai seorang dokter. Sialnya, Anindia tampaknya sama sekali tidak menyadari kalau kehadirannya di tempat ini membuat tidak hanya membuat Ibun terkesima, melainkan ada saya yang harus bersusah payah mengatur jantung agar tidak berdetak berlebihan. Perempuan itu sejak tadi duduk kursi di seberang saya dengan santai seakan yang dilakukannya itu adalah sesuatu yang biasa. Well, teknisnya memang biasa. Namun dampak yang ditimbulkan oleh hal itu membuat saya sampai harus mengarahkan pandangan ke tempat lain.

Saya menarik napas pelan, meyakinkan diri kalau ini bukan pertama kalinya saya berhadapan dengan seorang perempuan seperti ini. Saya pernah berada dalam jarak yang lebih dekat dengan perempuan lain di masa lalu, saya bahkan pernah hampir menjalin hubungan serius dengan beberapa orang. Jadi, harusnya menghadapi Anindia dalam jarak ini bukanlah masalah besar bagi saya. Benar, Anindia bukan masalah besar.

“Have you told your father about this meeting? Mama lupa kasih tahu Papa kamu kalau Mama ajak kamu ke sini, takutnya dia panik nyariin kamu di rumah tapi kamunya nggak ada.” Tante Lilian mengatakan hal itu pada Anindia, perempuan itu mengecek ponsel miliknya sejenak sebelum kembali memandang Anindia dengan tatapan sedikit khawatir.

“I’ve told him about this many times, Ma.”

Nyatanya, usaha saya untuk tidak memperhatikan perempuan itu berakhir gagal total. Pandangannya saya pada akhirnya tetap tertuju pada perempuan di seberang saya itu dan saya pada akhirnya tetap gagal mendistraksi diri. Suara lembut miliknya masuk ke telinga saya seperti alunan sebuah lullaby pengantar tidur, saya lagi-lagi harus menahan napas. Kemudian saat pandangan kami bertemu selama hitungan detik, dada saya seketika terasa penuh. Saya bahkan bisa mendengar suara detak jantung sendiri dari dalam sana, menggema gila-gilaan seperti tengah dipaksa mengikuti lomba lari jarak jauh dalam waktu singkat. Saya menatap kedua bola mata kembar itu lekat, kemudian Anindia menjadi yang pertama memutus kontak. Perempuan itu memandang ke arah lain, berbeda dengan saya yang masih betah memandang wajahnya dengan tatapan intens.

Saya selalu beranggapan kalau di dunia ini, tidak ada yang lebih cantik daripada Ibun. Tidak akan ada nomor dua untuk kategori yang saya tetapkan ini, Ibun memenuhi baik posisi satu, dua dan tiga dan tidak menyisakan satupun tempat untuk orang lain. Namun memandang Anindia seperti ini membuat saya diam-diam memberi trofi tak kasat mata itu pada perempuan itu. Di dalam kepala saya sendiri, saya diam-diam memaksa Ibun untuk memberikan ruang pada posisi nomor dua untuk diberikan pada Anindia tanpa dua perempuan itu sendiri ketahui.

Anindia hanya duduk di sana, perempuan itu hanya sesekali mengedarkan pandangan ke arah lain dan hanya dengan gerakan itu, saya dibuat kagum bukan kepalang. Hari itu, Anindia tidak lagi memakai pakaian khas petugas rumah sakit, perempuan itu tampil lebih rapi dengan sebuah kemeja putih kebesaran yang membuat tubuh mungilnya semakin tenggelam. Saya benar-benar penasaran sependek apa tubuh kecil itu kalau berdiri bersebelahan dengan saya. Rambutnya tidak lagi dikuncir asal-asalan sepertinya yang terakhir kali saya lihat di rumah sakit. Rambut berwarna cokelat itu digerai rapi, ada sedikit bagiannya yang dibiarkan jatuh di depan dahi dan menambah kesan manis di wajah perempuan itu. Lingkaran hitam di sekitar matanya sudah tidak terlihat, wajah Anindia benar-benar segar hari itu dan saya bersumpah, kalau seumur hidup belum pernah ada yang pernah membuat saya sampai kesulitan bernapas hanya karena pemandangan sesederhana itu.

Saya hampir berhenti bernapas saat pandangan kami kembali bertemu, saya menyadari sesuatu. Bahwa ternyata sejak tadi Anindia juga menahan napas hingga kedua pipinya tampak seperti kelopak mawar merah muda. Warna merah muda merona itu juga bersambung hingga ke ujung telinganya, begitu menggemaskan sampai saya tidak dapat menahan diri untuk mengembangkan senyum kecil di kedua sudut bibir.

“Ibun sama Mamanya Anin mau ke bagian depan cafe dulu ya, mau ngecek interiornya beneran masih sama kayak dulu atau nggak kayak yang orang-orang bilang.” Suara Ibun membuat saya kembali ditarik ke realita.

Saya mengangguk tanpa berniat menoleh ke arah lain, pemandangan Anindia yang tengah merona seperti ini jauh lebih menarik daripada apapun yang terjadi saat ini. Kemudian saat Ibun dan Tante Lilian sudah meninggalkan meja dan hanya tersisa saya serta Anindia di sana, saya mulai kehilangan kendali atas diri sendiri, terutama setelah perempuan itu tersenyum tipis ke atas saya, murni karena kami tak sengaja bertatapan dan saya yakin kalau hal itu dilakukannya hanya agar kami tidak terlalu canggung. Jantung saya hampir berhenti berfusngsi.

Nyatanya, menghadapi Anindia seperti ini adalah sebuah masalah besar. Jatuh untuk perempuan itu terjadi begitu cepat dan di detik itu juga, saya tahu bahwa saya berada di dalam masalah besar. Namun bukannya berusaha untuk menghindar, yang saya lakukan adalah menantang diri sendiri dan terjun ke dalam masalah itu tanpa persiapan. Nyatanya, jatuh cinta pada Anindia memang semudah itu dan kalau memang jatuh untuk perempuan itu adalah sebuah kesalahan, saya tidak akan keberatan.

Notes : Narasi di bawah ini berisi kilas balik kisah sebelum Sabrina dan Romeo menjalin hubungan. Nama Rangga akan dibahas sebagai topik utama dan narasi ini mengandung pembahasan sensitif seputar toxic relationship dan abusive behavior sebagai latar dari cerita masa lalu Sabrina. Harap menjadi pembaca yang bijak dan dipersilakan untuk keluar dari laman ini jika topik tersebut dianggap terlalu sensitif.

TW // Abusive behavior , Violence , Bunch of harsh words , Degrading words that might be very sensitive

Jakarta, enam bulan sebelumnya.

Satu tahun dan tiga bulan.

Sabrina tidak tahu apa yang membuat dirinya sampai bisa bertahan selama itu. Narangga Abdi Ragapura, lelaki yang selama ini menjadi kekasih Sabrina, berdiri di depannya sembari menjepit sebatang rokok di antara belah bibir. Tatapan mata Rangga sama sekali tidak terarah pada Sabrina, lelaki itu lebih memilih untuk menatap ke samping, memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang di sekitar mereka seolah gadis di depannya itu sama sekali tidak terlihat.

Sabrina memperhatikan presensi Rangga dengan hati-hati, menyapu seluruh wajah Rangga dengan tatapannya yang terlihat datar seperti biasa tapi menyimpan banyak pertanyaan di dalamnya.

Apa yang sebetulnya Sabrina cari dari lelaki di depannya ini? Apa yang sebenarnya membuat Sabrina sampai mau bertahan selama ini? Apa yang Rangga tawarkan padanya sampai Sabrina mau menerima semua perlakuan lelaki di depannya ini tanpa sedikit pun berani melancarkan protes?

Sabrina mengernyit pelan karena pikirannya sendiri. Perlahan namun pasti, rasa asam dan pahit naik ke permukaan kerongkongannya dan membuat Sabrina harus menahan mual. Memikirkan pertanyaan-pertanyaan itu membuat Sabrina ingin muntah, merasa jijik pada dirinya sendiri yang sudah dengan mudah terjerumus ke dalam lubang hitam yang Rangga ciptakan. Menyesali kebodohannya karena mau terjebak dalam jerat yang Rangga pasang dan baru menyadari hal itu setelah tubuhnya sudah serusak itu karena lelaki di depannya ini.

Well, biar Sabrina ceritakan sedikit tentang dirinya dan lelaki bernama Rangga yang kini tengah menatapnya dengan malas itu. Semuanya berawal sejak satu tahun dan tiga bulan yang lalu saat Sabrina tengah menemani salah satu teman baiknya untuk hadir di sebuah festival musik yang diadakan oleh kampus tempat Rangga menimba ilmu.

Sabrina bukan orang yang suka keramaian. Gadis itu lebih suka kesunyian yang tercipta saat dirinya berada di dalam kamarnya sendiri, hanya dirinya yang berbaring tanpa melakukan apapun. Namun di hari itu Kalila, temannya, meminta Sabrina untuk menemani gadis itu datang ke sebuah festival musik yang diadakan oleh Fakultas Hukum kampus tetangga dengan alasan kalau Lila benar-benar ingin melihat salah satu guest star yang diundang. Lila bilang, gadis itu benar-benar mengidolakan grup band indie itu tapi tidak ada satu pun orang yang bisa menemaninya hari itu kecuali Sabrina.

Sabrina yang pada dasarnya memang tidak punya kegiatan apapun untuk dilakukan tidak kuasa menolak. Lila sudah membantunya mengerjakan tugas penting di hari sebelumnya, jadi mau tak mau dia harus mengiyakan ajakan itu. Mereka berangkat ke venue tepat satu jam sebelum acara di mulai dan masalahnya, tidak satu pun dari mereka yang punya tiket untuk masuk.

“Sumpah, lo datang ke sini semangat bener tapi ternyata sama sekali belum punya tiket?” Sabrina menggerutu kesal pada Lila, sedangkan lawan bicaranya hanya mengangguk tanpa dosa.

“Kata temen gue, nanti bakal banyak anak-anak panitia yang jualan tiket on the spot. Harganya gak bakal jauh beda, kok. Paling naik sekitar sepuluh ribuan, lo tenang aja soalnya tiket lo bakal gue bayarin.” Lila mencoba meyakinkan Sabrina kalau mereka akan tetap mendapat tiket yang dimaksud. Gadis berambut pendek sebahu itu mengedarkan pandangan dan pada akhirnya tatapannya jatuh pada seorang lelaki dengan nametag panitia yang menggantung di leher.

“Nah, itu tuh. Dia pegang tiketnya, lo tunggu di sini sebentar. Gue mau beli tiketnya dulu, jangan kemana-mana.”

Sabrina sama sekali tidak protes saat Lila berlari menjauh darinya. Gadis itu lebih memilih untuk menyingkir dan berteduh di dekat salah satu stand jualan yang letaknya sedikit di ujung. Sabrina mengangkat kepalanya dan mengawasi keberadaan Lila di ujung sana. Namun tanpa disangka, kedua mata Sabrina malah bertemu dengan lelaki si penjual tiket yang sedang dihampiri Lila. Lelaki itu memandangnya dengan tatapan datar, tapi ada sesuatu yang terpancar dari tatapannya yang Sabrina tidak cukup mengerti apa itu.

Sabrina memutus kontak mata mereka, lebih memilih untuk memandang ke arah lain dan membiarkan lelaki itu menatapnya semakin intens. Kemudian tak lama setelah itu, Lila kembali menghampiri Sabrina. Namun ada yang janggal dari gadis itu, sebab kedua tangan Lila kosong tanpa hasil dan tidak ada tiket apapun yang gadis itu bawa.

“Lah, bukannya tadi lo ke sana mau beli tiket? Terus mana tiketnya?” tanya Sabrina dengan kening berkerut dalam. Lila terkekeh pelan, gadis itu menampilkan tawa jahil yang sering Sabrina lihat setiap kali Lila punya sebuah ide gila di otaknya. Senyum itu membuat Sabrina seketika merasa was-was, terutama ketika matanya kembali bersinggungan dengan tatapan lelaki penjual tiket di ujung sana.

“Cowok yang jualan tiket di sana, lo lihat kan?” tanya Lila.

Sabrina mengangguk pelan.

“Katanya dia baru mau jual tiketnya ke kita kalau lo yang ambil ke sana,” ucap Lila. Lila kembali tersenyum jahil, gadis itu kemudian meraih tangan Sabrina, menggoyang-goyangkan tangannya dengan gerakan manja. “Dia kayaknya naksir sama lo deh, Sab. Samperin gih, biar satu kali dayung, dua pulau terlampaui. Nonton festivalnya dapet, cowok juga dapet.”

Gagasan itu terdengar tidak bagus dan seharusnya hari itu, Sabrina sama sekali tidak pernah mendengarkan Lila. Harusnya hari itu, Sabrina tidak pernah berjalan menuju si lelaki penjual tiket dan berdiri di depan lelaki itu dengan wajah kaku penuh gugup.

“Kak, anu....”

Lelaki di depannya memiringkan wajah, menatap Sabrina dengan tatapan tertarik yang kali ini tidak lagi dapat disembunyikan. Sabrina yang menerima tatapan itu kontan menelan ludah gugup, gadis itu diam-diam memilin ujung baju yang dipakainya.

“Lo angkatan berapa?” tanya lelaki itu.

“Hah?”

Lelaki di depannya itu berdecak pelan, ada kilat gemas yang terpancar di kedua matanya. “Gue nanya, lo angkatan berapa? Jurusan apa? Anak kampus sini juga atau bukan?”

“Angkatan 2020,” jawab Sabrina dengan suara gugup.

“Jurusan?”

“Hubungan Internasional.”

“Anak kampus sini?”

Sabrina menggeleng.

“Lo bawa hp?”

Sabrina mengangguk.

“Boleh minjem hp lo sebentar?”

Sabrina mengerutkan keningnya. “Buat apa?”

“Minjem dulu aja, gak akan gue apa-apain. Percaya sama gue,” ucap lelaki itu sembari mengulurkan tangan ke depan, bermaksud untuk meminta Sabrina menyerahkan ponsel yang tengah digenggam oleh gadis itu.

Bodohnya, Sabrina benar-benar menyerahkan ponselnya. Bahkan, Sabrina dengan enteng membukakan kunci layar ponselnya dan membiarkan lelaki di depannya itu melakukan sesuatu di sana. Meski tak sampai satu menit kemudian, ponsel itu kembali berada di tangan Sabrina dalam keadaan layar yang menyala terang dan aplikasi Instagram miliknya yang terbuka.

“Itu akun Instagram gue, nanti kalau udah luang bakal gue follow balik. Nama gue Narangga, panggil aja Rangga.” Lelaki itu kemudian menyerahkan dua tiket yang dipegangnya kepada Sabrina sebelum kembali melanjutkan, “Ini tiketnya, gak apa-apa gak usah bayar. Gue percaya sama yang namanya takdir dan gue yakin, pertemuan hari ini adalah salah satu bagian dari takdir yang kita punya. Kalau memang diizinkan, kita bakal ketemu lagi dan gue bakal tagih duit tiket itu dalam bentuk lain. Makan bareng, misalnya, hehe. By the way, salam kenal ya, Sabrina.”

Harusnya hari itu, Sabrina tidak pernah mengizinkan rasa asing itu untuk mampir ke dalam dadanya. Harusnya, Sabrina sama sekali tidak pernah membiarkan Rangga masuk ke dalam hidupnya dan menghancurkannya hingga tak berbentuk seperti sekarang. Harusnya hari itu, Sabrina sama sekali tidak pernah membiarkan jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya, sebab satu tahun setelahnya lelaki itu malah menjadi alasan utama bagi rasa sakit yang Sabrina rasakan di bagian sana.

Rangga berdecak cukup keras, membuat Sabrina langsung ditarik keluar dari lamunannya. Gadis itu kembali menatap Rangga seperti yang tadi dia lakukan, mendapati kalau kekasihnya itu tengah memperhatikan dirinya dengan tatapan tajam.

“Mau ngomong apa?”

Kini giliran Sabrina yang mengedarkan pandangan ke sekeliling. Gadis itu memperhatikan suasana gedung fakultas Rangga yang hari ini terlihat cukup ramai, dalam hati merasa bersyukur karena sepertinya, nasib baik akan berpihak padanya kali ini. Setidaknya jika terjadi sesuatu nanti, orang-orang ini akan mampu mendengar teriakannya dan akan menolongnya dari apapun yang Rangga lakukan. Sabrina harap begitu, dia harap semuanya akan baik-baik saja nantinya. Sabrina menarik napas panjang, mempersiapkan diri sebaik mungkin sebelum mengatakan kalimat yang sejak tadi berputar di kepalanya sampai membuat gadis itu pening bukan main. Kedua tangannya digenggam erat, berusaha keras agar jari-jemarinya berhenti gemetar supaya dia bisa fokus pada tujuannya kali ini.

“Aku mau putus,” ucap Sabrina pada akhirnya.

Kalimat itu berhasil membuat Rangga memusatkan perhatian pada Sabrina. Rokok yang tadi berada di antara jepitan bibirnya kini digenggam dengan tangan, sebelum kemudian dia jatuhkan benda itu ke tanah. Dalam hitungan detik, batang rokok yang sebetulnya masih berukuran cukup panjang itu sudah berubah menjadi seonggok sampah tanpa harga. Dengan gerakan kasar, Rangga menginjak puntung rokok itu hingga tak berbentuk dan gerakan itu berhasil membuat nyali Sabrina kembali menciut.

“Kamu bilang apa tadi?” tanya Rangga dengan suara dingin yang menusuk. Lelaki itu maju satu langkah, dua tangannya dimasukkan ke dalam saku jaket yang dipakainya dan tubuhnya dibuat sedikit menunduk agar bisa menatap Sabrina tepat di mata.

“Aku—”

“Kamu mau putus? Iya?”

Sabrina mengangguk terpatah, gadis itu benar-benar ketakutan sekarang. Wajah Rangga saat ini benar-benar terlihat menakutkan, rahang lelaki itu mengetat dan matanya yang setajam elang itu menatap Sabrina seolah siap membelah tubuhnya menjadi dua bagian. Kaki-kaki Sabrina melemah dan kehilangan kekuatan, kalau saja saat ini tubuhnya tidak sedang bersandar pada dinding di belakangnya, gadis itu mungkin benar-benar akan jatuh terduduk di lantai. Namun meskipun begitu, Sabrina juga sadar kalau posisinya saat ini tidak benar-benar menguntungkan. Rangga berada satu langkah di depannya, membuat tubuh Sabrina terhimpit di antara lelaki itu dan dinding dan Sabrina kebingungan harus ke arah mana dirinya berlari kalau Rangga maju lebih dekat.

“Aku kurang apa emangnya sampai kamu mau minta putus begini? Aku kurang royal? Iya? Apa yang udah aku lakuin buat kamu selama ini kurang? Kasih tahu aku alasan kenapa kamu sampai tiba-tiba berani minta putus.”

Sabrina memejamkan mata sejenak, mencoba meyakinkan diri kalau dia bisa melewati ini, kalau dirinya bisa membuka mata dan menatap balik sosok Rangga yang kini berdiri menjulang di depannya, kalau dirinya bisa melawan kalau saja Rangga kembali melayangkan pukulan ke arahnya. Namun belum sempat Sabrina mengatakan apapun, Rangga menginterupsinya dengan mengucapkan sesuatu.

We're in public, I won't hit you. Buka mata kamu dan jangan bersikap seolah-olah kamu lagi diintimidasi, Sabrina.”

Masalahnya, Sabrina tidak bisa menyebutkan kata apapun yang cocok menggambarkan situasi itu selain dengan kata kalau dirinya merasa terintimidasi. Dengan segenap keberanian yang dia punya, Sabrina membuka mata dan menatap Rangga dengan tatapan menantang.

“Itu tadi adalah salah satu alasan kenapa aku berani minta putus dari kamu,” jawab gadis itu. Punggungnya yang sedari tadi menempel pada dinding perlahan mendapat kekuatan untuk tak lagi bertumpu di sana.

You hit me, many times dan aku bahkan nyesel kenapa baru sekarang aku berani minta putus dari kamu. Harusnya dari awal sejak kamu berani main tangan, aku udah lari sejauh-jauhnya dari kamu. But I was too dumb for your sweet lies padahal yang kamu bilang itu semuanya omong kosong yang gak sepatutnya aku percaya.”

Sabrina bisa melihat kalau rahang Rangga semakin mengetat dan kedua tangan lelaki itu mengepal semakin erat. Kalau Sabrina masih nekat melanjutkan kalimatnya, kepalan tangan itu mungkin benar-benar akan terarah padanya seperti yang hari-hari sebelumnya terjadi. Namun Sabrina sudah terlanjur kehilangan kewarasannya, bukannya berlari dan menyelamatkan diri, gadis itu malah bertekad menerima pukulan yang kemungkinan besar akan benar-benar dia terima dari Rangga dan membiarkan lelaki itu lepas kendali sehingga orang-orang yang lewat di sekitar mereka akan tahu kalau lelaki di depannya ini tengah memukulnya. Biarlah begitu, biarlah reputasi yang Rangga bangun susah payah sebagai mahasiswa baik dan berprestasi selama ini hancur dalam sekejap karena perbuatannya sendiri, Sabrina yakin dirinya akan bisa menahan rasa sakit dari pukulan Rangga nantinya asal lelaki itu juga ikut hancur.

“Siapa?” tanya Rangga.

Sabrina memandang lelaki itu bingung.

“Siapa yang ngasih doktrin ke kamu kalau semua yang kulakuin selama ini itu salah? Siapa orang yang udah berani mempengaruhi pikiran kamu sampai kamu jadi cewek gak tahu diri begini?” tanya Rangga sekali lagi. Lelaki itu memandang Sabrina dari kepala hingga ujung kaki, memindai pakaian yang Sabrina gunakan di tubuhnya pagi itu dan membuat Sabrina merasa ketakutan setengah mati. “Siapa yang udah cuci otak kamu sampai kamu berani melanggar peraturan dari aku untuk gak pakai pakaian kayak gini? Siapa yang berhasil bujuk kamu sampai berani ke kampus dengan penampilan kayak orang mau jual diri begini, Sabrina?”

Sabrina merasa napasnya mulai memburu, gadis itu kesulitan mengatur tarikan dan hembusan udara yang masuk ke dalam paru-parunya. Kalimat yang Rangga katakan barusan menusuknya hingga ke ulu hati, membuat Sabrina gemetaran sebab darahnya mendidih hingga ke ubun-ubun.

There's nothing wrong with the way I dress, dumbass.

Rangga memicingkan mata. “What did you just call me?

Sabrina maju satu langkah, membuat jarak mereka kini benar-benar dekat sampai dia mampu mendengar deru napas Rangga yang sama berantakannya dengan dirinya.

I said, there's nothing wrong with the way I dress and I called you a dumbass, a fucking dumbass who ruined my life.” Sabrina nekat mengangkat tangannya, menusukkan telunjuk ke dada Rangga dan mendorong lelaki itu untuk mundur.

Gadis itu benar-benar sudah tidak peduli kalau setelah ini wajah atau bagian tubuhnya yang lain akan menjadi korban pukulan Rangga seperti yang sudah-sudah. Sabrina sudah cukup mengalah selama ini, hanya karena kebodohannya yang percaya kalau Rangga akan berubah dan perilaku lelaki itu hanya didasari emosi sesaat. Sudah cukup baginya menjadi bulan-bulanan lelaki itu, merelakan tubuhnya menjadi samsak tinju hanya karena kesalahan kecil yang dia perbuat. Sudah cukup dan tidak lagi, Sabrina sudah muak dan gadis itu sadar kalau seharusnya dia sudah kabur dari lelaki itu sejak lama.

“Satu tahun, Rangga.” Sabrina menarik napas pelan seiring kalimatnya mengalir dengan suara bergetar. “Satu tahun aku jalani dengan perasaan tersiksa setiap kali melakukan sesuatu cuma karena takut kamu bakal marah dan berakhir mukul aku lagi. Satu tahun aku jalani kayak di neraka cuma karena aku takut kamu kecewa dan mengancam bakal menyakiti diri kamu sendiri karena gak mau aku pergi dari kamu. Satu tahun, harusnya gak perlu waktu selama itu buat aku sadar kalau aku sama sekali gak pantas hidup dalam neraka itu cuma buat kamu. Harusnya aku sadar lebih cepat dan membebaskan diri dari kamu.”

Dalam hitungan detik setelah kalimat itu tersampai, Sabrina bisa merasakan sebuah tarikan kencang di rambut belakangnya. Rangga tentu merupakan pelakunya, lelaki itu tengah menatapnya dengan tatapan menggelap. Rangga benar-benar kehilangan kendalinya dan berakhir meluapkan amarah yang memuncak dalam dirinya dengan cara menjadikan Sabrina samsak tinjunya, entah untuk yang ke berapa kali ini.

Sabrina meringis menahan sakit, dan keadaan diperparah dengan tekanan kuat yang dia dapatkan dari tangan Rangga yang menekan lehernya. Rangga mencekiknya dengan segenap kekuatan yang lelaki itu punya, membuat Sabrina semakin kesulitan bernapas dan batuk mulai menyerangnya tanpa ampun.

“Tolong—”

Sabrina mencoba untuk bersuara, berharap kalau ada seseorang yang melihat mereka dan menghentikan Rangga dari tindakan yang lelaki itu tengah lakukan. Meski sebetulnya Sabrina kurang yakin akan hal itu, sebab posisi mereka sedikit terhalang oleh tangga menuju lantai dua sehingga orang-orang yang berlalu lalang mungkin tidak akan dapat melihat dengan jelas.

“Harusnya kamu tahu diri, Sabrina. Setelah semua yang kulakuin buat kamu selama ini, setelah semua barang yang kukasih dan semua waktu yang kubuang cuma buat kamu, harusnya kamu tahu diri dan gak bersikap kayak gini. Dimana kata terima kasih yang sepantasnya kamu bilang ke aku? Kalau tanpa aku, kamu pasti gak akan bisa jadi kamu yang sekarang. Harusnya kamu berterima kasih karena aku bisa aja buang kamu dari dulu, tapi aku gak pernah melakukan itu karena kasihan sama kamu. Harusnya kamu bersyukur karena gak pernah kubuang dari dulu. Kukira dengan ngasih kamu keringanan selama ini, kamu bakal sadar akan hal itu dan memilih untuk bersyukur, but you proved me wrong. Kamu berhasil buktiin ke aku kalau seharusnya, aku gak pernah merasa kasihan sama kamu. Kalau seharusnya, aku gak pernah mengorbankan waktuku buat kamu. Kalau harusnya aku gak pernah sayang sama orang yang gak ngerti disayang kayak kamu.”

“Rangga—”

Mendengar suara Sabrina yang tercekat dan bagaimana kedua mata bulat di hadapannya itu mulai berkaca-kaca, Rangga tersenyum miring. Lelaki itu kemudian melepaskan cekikannya dan memberikan Sabrina kesempatan untuk membalas kalimatnya.

“Sayang sama orang lain gak seharusnya sesakit ini, Rangga.” Sabrina mengatakan hal itu dengan lirih sebab pita suaranya masih terasa tercekat akibat cekikan yang Rangga berikan. Gadis itu melanjutkan, “Gak ada manusia waras yang mukul orang yang dia sayang, cuma orang gila yang ngelakuin itu.”

“Dan menurut kamu aku gila?”

Sabrina mengangguk menantang. “You're totally out of your mind, kamu sama sekali gak bisa disebut sebagai manusia normal dan harusnya aku sadar akan hal itu sejak lama.”

Rangga menyempatkan diri untuk tertawa pelan sebelum kemudian menarik Sabrina menuju bagian kosong di bawah tangga. Posisinya benar-benar tidak menguntungkan sekarang, Sabrina yakin kalau tidak akan ada orang yang akan tahu kalau mereka sedang berada di sana kalau tidak benar-benar berjalan menuju lorong sempit di samping tangga yang gelap gulita.

“Tarik lagi kata-kata kamu dan aku bakal pura-pura kalau kamu gak pernah minta putus,” ucap Rangga dengan suara mengancam. Suara lelaki itu pelan, tapi berhasil membuat seluruh tubuh Sabrina merinding akan rasa takut.

“Aku mau putus,” ucap Sabrina sekali lagi.

“Aku gak bisa terus-terusan hidup dalam rasa takut kayak gini, aku gak bisa selalu jadi samsak tinju kamu dengan alasan kalau aku udah ngelakuin kesalahan padahal saat itu kamu cuma pengen marah-marah gak jelas. Aku gak bisa terus-terusan jadi tempat kamu melampiaskan emosi padahal aku gak salah apa-apa. Aku gak bisa hidup terkekang kayak gini terus, Rangga. Aku mau bebas dan satu-satunya cara untuk bebas adalah lepas dari kamu.”

You don't mean it, sweetheart. You don't mean everything you told me just now, aku tahu kamu gak bisa lepas dari aku. You can just say sorry and I'll forget everything you said earlier, kamu cukup minta maaf dan janji gak akan jadi anak bandel kayak gini lagi.”

Namun Sabrina lebih memilih untuk mengorbankan dirinya demi mengatakan hal lain yang sejak lama dia simpan di kepalanya sendiri. “Aku gak akan pernah minta maaf, mau kamu pukul aku sampai mati pun, aku gak akan pernah mau minta maaf dan jadi orang bodoh lagi. Kamu mau tahu sesuatu? Aku harap seluruh dunia tahu kalau sempurna yang kamu coba tunjukin ke mereka itu cuma omong kosong, kalau image yang kamu coba jaga setengah mati itu cuma topeng yang kamu pakai buat menutupi sifat kamu yang mirip sampah. Aku harap mereka tahu kalau orang yang mereka elu-elukan ini sebenarnya sama sekali gak pantas mendapat pujian itu.”

Tanpa aba-aba, Rangga kembali mencekik leher Sabrina. Kali ini tekanan yang Rangga berikan di sana benar-benar di luar dugaan dan membuat Sabrina tak mampu bernapas. Rangga menekan tepat di jalur udaranya dan Sabrina tidak yakin kalau dirinya bisa menyelamatkan diri setelah ini. Tangan gadis itu menggapai-gapai udara, matanya memejam erat dan jantungnya bergema gila-gilaan di dalam sana. Sabrina benar-benar ketakutan, nyawanya berada di dalam bahaya dan yang bisa dia lakukan saat ini hanyalah berdoa kalau akan ada seseorang yang datang ke sana untuk menolongnya.

What a pathetic little girl,” ucap Rangga dengan suara berbisik. Lelaki itu mendekatkan wajah ke arah Sabrina, bermaksud untuk menghadiahkan sebuah kecupan di wajah Sabrina sebelum kemudian lelaki itu berteriak kencang karena entah dengan kekuatan dari mana, Sabrina berhasil menendang area selangkangannya.

Rangga terhuyung ke belakang, kakinya refleks mundur dan tubuhnya membungkuk menahan sakit. Erangan keras Rangga keluarkan dari belah bibirnya, sementara Sabrina langsung mengambil langkah seribu dari sana. Gadis itu berlari kencang menuju area gedung yang lebih ramai dan kepanikan yang terlihat amat kentara menguar darinya itu membuat orang-orang yang melihat hal itu mulai menaruh perhatian. Seorang wanita berusia empat puluh tahunan yang Sabrina tebak adalah seorang dosen kemudian menghampirinya, memegang kedua bahunya dan memberi instruksi padanya untuk menenangkan diri.

“Dia—”

Suara Sabrina tercekat saat ekor matanya melihat sosok Rangga yang muncul dari arah tangga. Orang-orang yang menyadari itu pun mulai berkerumun membentuk sebuah benteng bagi Sabrina dan wanita yang membantunya tadi.

Sabrina menunjuk ke arah Rangga yang berjalan pelan ke arahnya. “Dia tadi nyekik saya dan mengancam saya karena saya minta putus. Dia selalu mukul saya selama kami berdua masih pacaran, dia selalu jadiin saya samsak tinjunya tiap kali dia emosi. Saya takut sama dia, saya—”

Sabrina tidak lagi mampu melanjutkan kalimatnya sebab beberapa orang lelaki yang berada di sana mulai menahan tubuh Rangga dan membuat lelaki itu tidak mampu mendekati Sabrina lagi. Tangis Sabrina pecah, rasa perih dari bekas tekanan yang Rangga berikan di lehernya membuat gadis itu semakin vokal menyuarakan tangis.

“Leher kamu berdarah, Nak, astaga!” Wanita yang sejak tadi menolongnya itu berteriak cukup kencang dan membuat kerumunan semakin ramai.

Detik itu, Sabrina benar-benar menjatuhkan diri ke lantai dan membiarkan orang-orang di dekatnya menyambut tubuhnya. Sabrina kehilangan kesadaran setelahnya dan saat terbangun, gadis itu menemukan dirinya sudah berada di sebuah ruangan putih asing yang ternyata adalah klinik di kampus itu.

Hari itu adalah titik awal bagi kehidupan Sabrina berubah. Gadis itu resmi melepaskan diri dari Rangga dan berhasil membuat Rangga tak lagi dikenal sebagai pribadi yang baik di kalangan mahasiswa kampusnya. Rangga menghilang dari pandangannya, entah kemana perginya lelaki itu. Sabrina lebih memilih untuk bersikap tidak peduli dan mulai menjalani hidupnya dengan baik. Namun masalah lain datang saat dua bulan kemudian, Rangga kembali muncul.

Lelaki itu meneror semua akun media sosial milik Sabrina, mendatangi kamar kosnya dan membuat Sabrina sampai harus menginap di tempat lain saking takutnya akan bertemu dengan lelaki itu. Sabrina sampai harus mengganti nomor teleponnya beberapa kali dan menghapus semua jenis akun yang dia punya, termasuk email yang dia gunakan sebab Rangga benar-benar mengganggunya sampai ke tahap separah itu. Namun tanpa disangka-sangka, masalah itu membawanya mengenal Romeo dan membuat kisah mereka dimulai.

Hari itu setelah lepas dari Rangga, Sabrina sama sekali tidak pernah berniat untuk kembali terlibat pada lelaki lain lagi. Namun teror yang gadis itu dapatkan dari mantan kekasihnya itu membuat Sabrina dengan terpaksa harus terlibat dengan orang lain lagi dan orang itu adalah Romeo.

-

TW // Intimidating scene , Violence , Harsh words

“Sabrina?”

Sabrina benar-benar panik saat suara berat milik seseorang yang sudah hampir enam bulan ini tidak menyapa telinganya kembali terdengar. Sabrina tidak ingin menoleh, kedua tangannya saling meremas kencang dan gadis itu bisa merasakan kalau perlahan, tubuhnya mulai gemetar tanpa bisa dikontrol. Terutama ketika dia bisa merasakan kalau tangan orang itu kini sudah berada di salah satu bahunya, menepuk pelan seolah meminta Sabrina untuk memutar tubuh ke arahnya.

“Sabrina?” panggil orang itu sekali lagi.

Kali ini, tubuhnya benar-benar diputar paksa hingga mata mereka bertemu. Di sana, di depannya, seorang lelaki dengan rambut panjang dan tindikan di salah satu telinga sedang berdiri dan tengah memasang wajah puas seolah sudah mendapatkan seekor ikan besar setelah lama memancing di danau.

“Rangga—”

Suara Sabrina tercekat, gadis itu benar-benar ketakutan sampai napasnya tersendat. Tarikan napasnya berantakan, Sabrina benar-benar tidak dapat menahan diri untuk tidak gemetaran sekarang. Lelaki di depannya itu tampak semakin melebarkan senyum, seolah senang melihat presensi Sabrina yang ciut tanpa nyali di hadapannya.

Long time no see, cantik.”

Kalimat itu sama sekali tidak membuat Sabrina merasa tinggi karena dipuji. Mendengar kalimat itu malah membuat Sabrina ingin berteriak mengeluarkan seluruh takut dan gelisahnya, membuatnya ingin memuntahkan seluruh isi perutnya di depan lelaki itu saat ini juga. Sabrina masih menunduk, lebih memilih untuk menatap lantai di bawah kakinya daripada bersinggungan pandangan dengan lelaki di depannya.

“Aku paling gak suka kalau kamu gak lihat mataku pas aku ngomong, remember that? Where's the good girl attitude, sweetheart?” ucap lelaki itu dengan nada lembut.

Suaranya lembut, tapi berhasil membuat Sabrina bergidik ngeri. Namun meski seluruh tubuhnya hampir tumbang karena rasa itu, Sabrina tetap memilih untuk bersikap keras kepala. Kepalanya masih tertunduk dalam, kedua matanya terpejam erat hingga kemudian bisa dia rasakan ujung jemari lelaki itu menyentuh dagunya. Lelaki itu memaksanya untuk mengangkat kepala hingga wajahnya bisa ditatap sepuas mungkin.

“Buka matanya, sayang.”

Namun Sabrina masih menolak, matanya terus terpejam erat. Gadis itu diam-diam merutuk di dalam hati, memaki dirinya sendiri karena tidak memilih untuk pulang lebih cepat hari ini. Kalau saja tadi Sabrina menolak tawaran teman-temannya untuk berdiskusi mengenai salah satu tugas di kantin, padahal tugas itu masih punya tenggat waktu yang cukup lama sebelum dikumpul, Sabrina pasti tidak harus berhadapan dengan Rangga saat ini. Wangi parfum lelaki itu menyengat hingga menusuk hidung, membuat Sabrina merasa pening dan mual mulai menyerangnya. Jarak mereka terlampau dekat, hanya butuh satu langkah dan Rangga mungkin sudah bisa meraih wajahnya ke dalam genggaman tangan lelaki itu.

“Buka matanya, Sabrina. Kamu tahu sendiri aku gak suka dibantah,” titah Rangga sekali lagi. Namun Sabrina masih belum menurut hingga Rangga harus mengulangi kalimatnya. “Buka matanya selagi aku masih baik, babe.”

Sabrina belum membuka matanya.

“Sabrina—”

“Gue bilang jangan pernah sentuh Sabrina pakai tangan kotor lo lagi, brengsek.”

Kalimat itu datang bersamaan dengan sebuah tendangan keras melayang ke arah punggung Rangga. Romeo adalah pelakunya, dan Sabrina bersumpah kalau dirinya tidak pernah merasa sangat bersyukur melihat lelaki itu datang ke hadapannya seumur hidupnya. Ini adalah pertama kalinya dan Sabrina benar-benar tidak bisa mengungkapkan bagaimana leganya dia ketika mendapati Romeo sudah berada di depannya.

“Romeo....”

Stay there, jangan kemana-mana. Gue mau ngasih pelajaran ke bajingan satu ini dulu.” Romeo melarang Sabrina untuk bergerak sembari menarik tubuh Romeo menjauh dari gadis itu.

Sabrina sontak membeku, kakinya benar-benar lemas dan tidak dapat bergerak kemana pun. Terutama saat matanya menonton bagaimana Romeo mulai memberi satu pukulan lain ke arah wajah Rangga. Romeo terlihat kehilangan kewarasannya, mata lelaki itu menggelap dan tampak tidak akan berhenti dalam waktu dekat.

Rangga yang menjadi bulan-bulanan pukulan Romeo pun tidak tinggal diam. Tangan Rangga terangkat, kemudian dia berikan tonjokan keras ke arah dagu Romeo yang berhasil membuat Romeo tersungkur ke belakang.

Sabrina yang melihat itu tidak dapat melakukan apapun selain menonton dengan seluruh tubuh gemetaran. Bibirnya kelu, matanya terasa panas dan bulir bening siap jatuh dari sana sekali saja Sabrina mengerjap. Kemudian saat Sabrina sudah siap menjatuhkan diri ke lantai, gadis itu ditahan oleh lengan seseorang. Ada Daffa di sana, lelaki itu datang tergesa-gesa dan langsung membantu Sabrina untuk kembali berdiri tegak.

“Lo minggir sekarang, gue mau misahin ini dua belalang sembah.” Daffa memberi kode pada Sabrina untuk menjauh, tapi Sabrina benar-benar tidak dapat menggerakkan kakinya.

“Minggir ke dekat motor gue, Sabrina.”

Lalu tanpa berkata apapun lagi dan tanpa peduli kalau Sabrina mematuhi kalimatnya atau tidak, Daffa segera maju dan menarik tubuh Romeo hingga menjauh dari Rangga. Romeo memberontak, Daffa bahkan sampai hampir terjatuh kalau saja lelaki itu tidak kuat menahan tumpuan kakinya.

“Eh, orang gila! Lo mau di drop out dari kampus atau gimana, hah?!” seru Daffa dengan segenap emosi. “Si Rangga mah enak, ini bukan kampusnya dia dan dia gak akan dapat masalah kalau ada yang lihat kalian berdua berantem. Lah, elo? Berhenti sekarang sebelum ada satpam yang lihat dan lo diseret ke dekanat.”

Namun Romeo masih terlalu emosi untuk mendengarkan. Romeo kembali maju dan kali ini memberikan tendangan ke arah perut Rangga. Rangga yang tidak siap dan masih berada dalam posisi terduduk di lantai pun tidak bisa melakukan apapun selain menerima tendangan Romeo dan meringis. Suara dari sentakan kaki Romeo di perut Rangga terdengar benar-benar menyakitkan, Sabrina sampai semakin ketakutan kala mendengar suara itu.

Daffa yang melihat itu semakin kalut, lelaki itu terlihat benar-benar frustasi sampai harus mengacak rambutnya sendiri. Daffa kemudian menoleh ke arah Sabrina, meminta bantuan pada gadis itu untuk melakukan sesuatu yang bisa membuat Romeo berhenti melayangkan pukulan ke arah Rangga.

“Sab, ngomong. Apapun itu lo harus ngomong sesuatu biar si bandit rambut pirang satu itu berhenti ngehajar anak orang. Si Rangga bakal mati kalau Romeo gak berhenti sekarang juga,” pinta Daffa dengan suara yang benar-benar terdengar frustasi.

Sabrina menggeleng kencang, dia juga ketakutan setengah mati. Romeo yang saat ini berada di depannya benar-benar bukan Romeo yang biasa dia kenal. Sosok tengil yang biasanya selalu bercanda itu lenyap, digantikan dengan Romeo yang menatap lawannya ganas dan penuh amarah.

“Demi Tuhan, Sabrina! Kalau lo gak ngapa-ngapain sekarang juga, Romeo beneran bisa dikeluarin dari kampus dan orangtua Romeo bakal memandang dia lebih rendah dari sebelumnya,” sentak Daffa sekali lagi.

Orangtua Romeo bakal memandang dia lebih rendah dari sebelumnya.

Sepertinya, kalimat itu cukup untuk membuat Sabrina sadar dan menumbuhkan keberanian dalam dirinya.

“Romeo,” panggil Sabrina pelan.

Romeo belum merespon, tangannya masih erat mencengkram kerah baju Rangga dan sudah berniat memukul lelaki di bawahnya itu sekali lagi.

“Romeo Putra Erlangga.”

Lalu ketika sadar kalau yang memanggil nama lengkapnya saat ini bukanlah Daffa melainkan Sabrina, Romeo seketika berhenti. Cengkeramannya di kerah Rangga mengendur meski napasnya masih tersengal.

“Gue takut. Please, gue beneran ketakutan sekarang, jangan ngapa-ngapain lagi.”

Semudah itu.

Membuat Romeo teralihkan dari amarahnya ternyata semudah itu. Daffa mendengus sebal, menyesali keputusannya mengorbankan diri hanya demi memisahkan dua orang yang memiliki tubuh lebih besar darinya itu hingga kedua lengannya kini terasa sakit. Kalau tahu efek dari Sabrina ternyata akan sedahsyat itu dalam membuat Romeo keluar dari pusaran amarah, Daffa tidak akan repot-repot maju.

Tatapan mata Romeo yang awalnya dingin menusuk langsung berubah lembut ketika menemukan kalau Sabrina masih bergetar ketakutan di depan sana. Lelaki itu lalu menyingkir dari tubuh Rangga, membiarkan Rangga terkapar dengan dada naik turun dan penampilan yang berantakan akibat bergumul di lantai dengannya tadi.

“Lo gak apa-apa? Ada yang luka?” tanya Romeo saat sudah berdiri di hadapan Sabrina. Mata lelaki itu memindai Sabrina dari ujung kepala hingga kaki, memeriksa setiap inci kulit Sabrina yang tidak tertutup oleh pakaian untuk memastikan kalau gadis di hadapannya itu baik-baik saja.

“Lo... lo berdarah. Astaga, Romeo, lo berdarah.”

Sabrina panik bukan main. Sudut bibir Romeo robek dan mengeluarkan darah segar. Ada aliran darah kecil yang terlihat keluar dari lubang hidung bangir lelaki itu dan pemandangan itu membuat Sabrina semakin resah.

Tangannya yang gemetar mencoba menyentuh wajah Romeo, tapi gerakannya tertahan oleh Romeo yang malah mengambil tangannya untuk digenggam.

Ssshh, gue gak apa-apa.”

Namun kalimat itu sama sekali tidak membuat Sabrina bisa tenang. Bagaimana mungkin? Ada luka di beberapa bagian wajah lelaki itu. Kemeja yang Romeo pakai juga terlihat benar-benar berantakan, hampir seluruh kancingnya terlepas. Romeo benar-benar kacau, meski sebetulnya Rangga terlihat lebih kacau.

Your hands are shaking. Damn, I'm sorry for making you feel scared,” ucap Romeo dengan nada menyesal.

Genggaman Romeo di tangan Sabrina terasa erat tapi tidak sampai menyakitinya. Romeo kemudian mengelus permukaan kulit Sabrina dengan gerakan teramat berhati-hati, seolah takut kalau gadis itu akan hancur dalam hitungan detik.

“Pulang sekarang, biarin si monyet satu itu Daffa yang ngurus.” Romeo kembali menggenggam tangan Sabrina dan menarik gadis itu menjauh dari sana. Sabrina tidak menolak. Langkahnya mengikuti Romeo yang tergesa menuju area parkir.

“Lo berdua mau kemana, anjing?!”

Daffa membuat keduanya berhenti dan menoleh. Romeo berdecak sebal, menyempatkan diri untuk memperhatikan bagaimana Rangga masih memejamkan mata dan terkapar di lantai.

“Lo urusin si bajingan itu, anterin balik atau gimana pun terserah. Mau lo buang ke sungai juga gak apa-apa, gue ikhlas lahir batin.”

Kemudian tanpa mengucapkan apapun lagi, Romeo kembali menarik Sabrina sampai mereka berdua sampai ke dekat motor milik Daffa. Romeo lalu menjalankan kendaraan itu seolah benda itu adalah miliknya sendiri. Samar-samar dari arah belakang, Sabrina bisa mendengar suara teriakan Daffa.

“KALAU MOTOR GUE LO BAWA, TERUS GUE PULANGNYA GIMANA, BRENGSEK?!”

Romeo menoleh ke belakang dan balik berteriak.

“NAIK BURAQ!” ucapnya.

-

Jean sama sekali tidak pernah menyangka kalau dalam hidupnya, akan ada saat dimana dia menyetir menuju rumah seseorang hanya demi beberapa buah mangga muda. Ada hangat yang menyebar ke seluruh dada Jean tiap kali mengingat alasan dari keinginan aneh yang beberapa bulan ini selalu menghampirinya itu.

Makaila.

Nama itu membuat Jean diam-diam tersenyum dan jantungnya berdetak tak karuan. Padahal bertemu saja belum pernah, tapi Jean sudah menanamkan dalam hati kalau nantinya, si pemilik nama itu akan menjadi penguasa nomor satu dalam hidupnya setelah Anindia. Padahal bentuk dan wajahnya pun masih kelabu, tapi Jean sudah berani bersumpah kalau makhluk kecil itu akan menjadi kelemahannya yang paling lemah, kekuatannya yang paling kuat, dan kebahagiaan yang membuatnya paling bahagia.

Sebelum hari ini, Anin sudah berkali-kali meminta Jean untuk tidak bersikap berlebihan. Tidak baik, begitu katanya. Jean sendiri tidak tahu mana bagian yang tidak baik dari mendambakan seorang bayi, baginya menunggu kehadiran si kecil itu adalah sebuah momentum yang harus disambut dengan sukacita.

Senyum kecil muncul di wajah Jean saat kepalanya lagi-lagi memikirkan hal yang sama. Ah, Anindia dan Makaila membuatnya sampai lupa diri akhir-akhir hingga rasanya, Jean mulai cocok dipanggil orang gila karena terus-terusan tersenyum dan tertawa sendiri hanya dengan memikirkan kalau dua nama itu.

Padahal hari ini masih hari ke 100. Masih ada 80 hari lagi sampai waktu dimana Makaila diperkirakan akan melihat dunia oleh dokter kandungan yang tiap bulan dia dan Anin datangi. Masih ada kurang lebih dua bulan dan 20 hari sebelum Anin dijadwalkan melakukan persalinan, tapi euforianya sudah bisa Jean rasakan sejak sekarang. Apalagi, tiap kali memikirkan bahwa si kecil itu tampaknya punya ikatan yang cukup erat dengan Jean. Buktinya, sejak kehamilan Anin di bulan pertama, Jean selalu kebagian merasakan mual dan ngidam layaknya ibu hamil.

Anin bilang hal itu wajar, sedangkan Ibun bilang kalau hal itu bisa saja menjadi tanda kalau anaknya punya ikatan yang lebih erat dengan sang ayah. Jean bersumpah kalau dirinya tidak pernah merasa seberbunga itu sebelumnya ketika mendengar pendapat Ibun mengenai mual dan ngidam aneh yang dia rasakan.

“Tapi bagus loh, Je. Sejak mual sama ngidamnya pindah ke kamu, Anin jadi jarang mual, kan? Malah enak kalau begitu, Anin jadi ngga perlu repot bolak-balik kamar mandi buat muntah. Terus kata teman Ibun, kalau misal yang ngidam itu ayahnya, berarti bayinya bakal jadi anak ayah banget.”

Jean ingat ketika Ibun berkata demikian padanya dan Anin waktu mereka berkunjung. Anin bereaksi bingung, katanya hal-hal seperti itu tidak bisa dikatakan baik karena sejak mual dan ngidam yang Anin alami berbalik menyerang Jean, lelaki itu dibuat kerepotan setiap pagi. Nafsu makan lelaki itu turun drastis, Jean jadi lebih pemilih soal makanan dan minuman yang masuk ke lambungnya sebab salah sedikit, lelaki itu akan langsung muntah tanpa henti hanya karena mencium bau makanan yang terlalu menyengat.

Reaksi Anin berbanding terbalik dengan Jean yang malah tersenyum lebar seolah baru saja mendengar kabar gembira. Pipinya memerah hanya dengan membayangkan kalau nantinya, Makaila akan jadi anak yang “ayah banget” seperti kata Ibun. Jean sampai tak berhenti mengecup punggung tangan Anin ketika mereka berdua sudah berada dalam perjalanan pulang. Kata terima kasih tidak pernah tertinggal keluar dari bibir Jean, kata itu terucap bersamaan dengan rasa syukur dan doa yang tak hentinya Jean panjatkan diam-diam dalam hati.

Segalanya berjalan lancar, padahal beberapa hari sebelumnya Jean sempat dibuat tidak tidur karena mimpi yang menghampirinya soal kematian. Beberapa hari ini berjalan amat mulus, seolah mimpi yang mendatangi Jean hari itu tidak pernah ada dan tangisan yang lelaki itu tumpahkan di depan Aksara tidaklah berarti apa-apa.

Padahal hari itu, Aksara dengan sampai harus meminta maaf berkali-kali pada pengunjung kafe lain yang memperhatikan mereka dan sampai harus menjelaskan kalau Jean menangis karena kalah taruhan. Untuk alasan yang satu itu, Jean sempat protes tapi dia sadar kalau Aksara tidak mungkin dengan jujur mengatakan kalau Jean menangis karena bermimpi akan meninggalkan wanita yang dicintainya menuju alam kematian. Jadi, dia memaklumi hal itu dan memilih untuk menyeka air mata yang masih menganaksungai di pipi.

Kalau dipikir-pikir, Jean juga tidak menyangka dirinya akan sampai menangis sebegitu hebohnya di depan Aksara. Mimpi yang dia lihat dalam tidurnya terlalu nyata, Jean sampai kesulitan tidur berhari-hari setelahnya hingga beberapa kali datang terlambat ke kantor karena baru bisa memejamkan mata di pukul tiga.

Dan kalau melihat bagaimana hari ini dirinya sudah bisa tersenyum lebar layaknya orang gila, Jean sedikit tidak percaya kalau dia pernah ketakutan seperti itu. Jean sampai harus menggeleng-gelengkan kepalanya, meminta kewarasannya untuk kembali dan menyetir dengan benar dalam perjalanan menuju rumah milik Aksara.

Untungnya, lelaki itu berhasil sampai di halaman depan rumah besar milik Aksara dengan selamat tanpa cacat. Jean memberhentikan mobilnya di depan pagar, kemudian turun dari sana untuk menghampiri seorang satpam yang tengah berjaga di pos bagian depan rumah. Melihat Jean yang mendekat ke arahnya, lelaki setengah baya dengan seragam keamanan itu langsung memberi senyum ramah dan menyapa Jean lebih dulu.

“Temannya Mas Aksara yang mau minta mangga ya?” tanya lelaki itu.

Jean meringis tipis, merasa sedikit tidak nyaman dengan sebutan itu namun tidak dapat membantah dan hanya bisa mengangguk sembari tersenyum sopan. “Iya, Pak. Kata Aksara masuk aja terus ambil sendiri mangganya di belakang soalnya dia masih ada operasi di rumah sakit.”

Lelaki di depan Jean itu mengangguk paham. Tangannya kemudian bergerak membuka gerbang dan mempersilakan Jean untuk masuk. Jean segera berjalan menuju mobilnya, kemudian kembali menghidupkan mesin kendaraan miliknya itu untuk dibawa masuk dan diparkirkan di area dalam rumah.

“Ayo, Mas. Saya temenin ke belakang,” ajak lelaki itu setelah Jean turun dari mobil. Jean mengangguk semangat, persis anak kecil yang dijanjikan es krim oleh sang ibu.

Tanpa basa-basi, dua orang itu berjalan menuju halaman belakang rumah seraya berbincang kecil. Tawa lepas Jean menggelegar ketika ditanya soal tujuannya sampai jauh-jauh kemari hanya demi mangga muda itu. Dengan malu-malu, Jean mengaku kalau buah dengan rasa asam dan sepat itu untuk dimakan olehnya sendiri karena sedang mengalami fase syndrome couvade atau kehamilan simpatik. Mereka sampai di halaman yang dituju, mata Jean langsung memberondong ke arah sebuah pohon mangga berukuran sedang yang tengah berbuah lebat. Tanpa membuang waktu, Jean langsung menghampiri pohon itu dan memilih buah mana yang akan masuk ke dalam kantong plastik di tangannya.

“Saya baru dengar kalau suami bisa ngidam juga, Mas. Biasanya kalau istrinya hamil, suaminya santai aja. Nah, kalau kasusnya Mas Jean ini kayaknya karena udah terlalu sayang sama istrinya, ya?” tanya lelaki itu dengan nada bercanda. Jean hanya menanggapi dengan tawa, tangannya sibuk memetik buah mangga yang tingginya sama dengan telinga Jean. Mudah bagi mereka untuk memetik mangga itu sebab jumlahnya yang melimpah dan dahan pohon yang tidak begitu tinggi.

Setelah memetik sebanyak lima buah, Jean menatap puas mangga yang berhasil dia masukkan ke dalam kantong plastik hitam bawaannya. Setelah mengucapkan terima kasih, Jean kembali ke mobilnya dan berniat pulang. Mangga yang sejak tadi pagi membuatnya sampai tidak fokus bekerja itu sudah di tangan, Jean rasa lima buah sudah cukup dan sudah waktunya untuk memberikan benda itu kepada Anin.

Jean baru hendak membelokkan mobilnya ke arah jalan pulang, tapi lelaki itu secara refleks menginjak rem ketika matanya melihat seorang lelaki yang tengah berjalan gontai tak jauh dari rumah Aksara. Perawakannya tampak tidak asing, Jean yakin dia mengenal punggung dan jaket yang membalut tubuh lelaki itu meski hanya dengan melihat dari belakang.

Secara impulsif, Jean jalankan mobilnya ke arah berlawanan dari arah yang seharusnya agar dapat menyusul lelaki itu. Kakinya menekan pedal gas sedikit demi sedikit agar dapat mengikuti sosok itu dengan perlahan. Lalu, ketika mobilnya melintas tepat di samping lelaki itu, Jean sontak menginjak remnya lagi tanpa aba-aba.

“Hema!” seru Jean.

Itu Hema. Jean tidak salah lihat.

Lelaki yang tengah berjalan sambil menenteng tas yang Jean yakin berisi kamera itu adalah Hema. Temannya itu sontak ikut berhenti di tempat, well sebenarnya Jean sendiri bingung harus dengan panggilan apa dia harus menyebut lelaki yang kini tengah menatapnya dengan tatapan terkejut itu.

Jean langsung turun dari mobilnya dan sedikit berlari kecil menghampiri Hema yang masih terperangah. Lalu ketika mereka berdua sudah berdiri berhadapan, Jean baru menyadari kalau ada yang berbeda dari sosok Hema yang kini tengah dia tatap itu.

Hema tampak kurus, jauh lebih kurus daripada Hema yang terakhir kali Jean temui beberapa bulan lalu. Rambut lelaki itu berantakan dan tidak tersisir rapi, ujung surainya bahkan sudah menyentuh area dua jari di bawah telinga. Hema tampak kacau dan sebagai orang yang bertahun-tahun mengenal lelaki itu sebagai teman, Jean mengaku kalau ada retak yang mengganggu hatinya ketika melihat bagaimana berantakannya lelaki di depannya itu.

“Lo mau kemana?” tanya Jean.

Namun bukannya menjawab pertanyaan Jean, Hema malah balik bertanya. “Apa kabar, Je? Lo kelihatan baik-baik aja.”

Pertanyaan itu datang dengan nada canggung yang tidak terelakkan. Jean sampai mengerutkan keningnya saking tidak nyamannya berada dalam situasi semacam itu dengan Hema. Mereka belum pernah secanggung itu sejak terakhir kali bertemu.

“Harusnya gue yang nanya, Hema. Apa kabar? Lo kelihatan ngga baik-baik aja and I swear, lo ngga kelihatan kayak Hema yang gue kenal selama ini.” Jean mengambil jeda sejenak sebelum kembali melanjutkan kalimatnya seraya memperhatikan Hema dari ujung kaki hingga kepala. “I was looking for you for these couple of days, gue rasa kita perlu bicara setelah apa yang terjadi di hari Anin keguguran itu.”

Hema mengerjapkan mata berkali-kali. “Anin... keguguran?”

Jean mengangguk pelan, dadanya tiba-tiba dihantam nyeri tak berujung kala mengingat hari terakhir dimana dia melihat Hema dan hari dimana Anin kehilangan satu janin di dalam rahimnya itu.

“Bayinya kembar and we lost one of the babies that day. Anin luar biasa kacau karena kejadian itu dan yah, banyak yang terjadi setelahnya. Lo dan Karin menghilang dan gue berupaya nyari kalian buat meluruskan hal-hal yang terjadi di masa lalu. Termasuk perkara minta maaf ke Karin dan ngasih penjelasan ke dia dengan detail soal kejadian tiga tahun lalu.”

Hema menatap Jean dengan tatapan yang tidak bisa Jean artikan. Seperti ada luka dalam dan rasa bersalah yang menyelimuti bola mata bulat yang dulu sering melemparkan kesan jahil itu.

“Lo ngga benci gue setelah kejadian itu?” tanya Hema.

Jean tidak menggeleng dan tidak juga mengangguk. Lelaki itu memilih untuk diam dan menyandarkan punggungnya di kap mobil. Satu tangannya dimasukkan ke dalam saku, matanya terarah pada Hema dengan tatapan sendu.

“Gue sempat membenci lo sepenuh hati setelah hari itu, terutama di masa-masa pemulihan Anin. Tapi Anin bilang, lo ngga harus mendapat kebencian karena cinta sama seseorang, jadi gue memutuskan untuk memaafkan dan gue juga sadar kalau masalah ini ngga akan terjadi kalau gue ngga mengambil keputusan dengan gegabah dan bodoh.”

Ada panas yang kontan merambati kedua mata Hema ketika mendengar kalau Anin bicara begitu tentang dirinya. Rasa bersalah yang awalnya hanya mencubit ujung hatinya kini semakin besar dan membuat Hema sampai harus menarik napas panjang demi membuat dadanya terasa sedikit longgar.

“Gue ngga pantas dimaafkan semudah itu, Je.” Hema menunduk dalam, kemudian tanpa dikomando setitik air mata jatuh membasahi ujung sepatu yang dia kenakan. Hema melanjutkan, “Kalau aja gue ngga main-main di belakang lo, Anin pasti ngga perlu semenderita itu sampai harus kehilangan satu bayinya. Lo juga ngga harus menanggung beban yang lebih berat kalau gue jujur dari awal kalau gue dan Karin punya hubungan di belakang lo. Kalau gue jujur dari awal soal itu, lo pasti punya kesempatan untuk ngejar Anin lebih awal dan bikin dia jadi punya lo lagi tanpa harus terluka sebanyak ini.”

Jean menggigit bibirnya, ada sesak yang melanda dadanya tiap kali nama Anindia disebut oleh Hema. Ada yang terasa hancur lebur tiap kali kalimat Hema keluar dari belah lidahnya, sebab seiring dengan kata demi kata itu terucap, Jean diam-diam mengamini kalimat itu agar menjadi nyata.

Agar Hema jujur padanya lebih awal supaya Jean tidak perlu merencanakan hidupnya dengan Karin terlalu jauh. Agar Hema mengaku padanya lebih awal supaya Jean tidak perlu menyakiti Anin sebanyak itu.

Tapi yang dia aminkan hanya sekedar kalimat kosong. Segalanya sudah terjadi. Bahkan mengaminkan hal itu seribu kali pun tidak akan mengubah satupun yang sudah terjadi. Anindia sudah terlanjur sakit, hidup Jean sudah terlanjur berantakan. Jadi, mau satu juta kali pun diaminkan, kalau sudah terjadi maka terjadilah.

“Gue—”

Jean baru berniat membalas kalimat Hema ketika ponselnya berdering nyaring. Nama Anin muncul di layar dan tanpa basa-basi, Jean menggeser layar ponselnya untuk menerima panggilan itu.

“Halo, Sayang?”

Namun, yang Jean dengar bukan suara Anin yang menyapa, melainkan suara asisten rumah tangganya yang bersuara.

Pak Jean!

Suara wanita itu terdengar panik dan hal itu membuat Jean ikut panik.

“Iya? Kenapa? Anin mana?!”

Napas wanita itu terdengar berantakan, tampak kentara kalau wanita itu tengah dilanda panik. “Halo? Bu? Kenapa? Anin kenapa?”

Jean luar biasa panik.

Bu Anin, Pak... Bu Anin pingsan, ada darah yang ngalir di pahanya dan sekarang lagi dibawa ke rumah sakit sama sopirnya Pak Jean. Saya nemuin Bu Anin di kamar mandi dan Ibu udah dalam keadaan pingsan.

Detik itu, ponsel Jean terhempas dari tangan lelaki itu.

-